Anda di halaman 1dari 210

1

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

1.1 ARTI ISTILAH DEFINISI FILSAFAT ILMU


Filsafat adalah induk ilmu pengetahuan dan istilah
filsafat telah dikenal manusia sejak lebih dari 2000 tahun
yang lalu pada masa Yunani Kuno. Filsafat terdiri dari dua
kata yaitu Filo dan sofia yang berarti cinta dan kebijaksanaan.
Cinta di sini dalam arti yang seluas-luasnya atau sedalam-
dalamnya. Karena cinta yang dalam, kemudian berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk meraih apa yang dicintainya
tersebut. Bijaksana dapat pula berarti tahu secara sungguh-
sungguh atau tahu secara mendalam. Secara harfiah filsafat
dapat berarti cinta pada kebijaksanaan atau tahu secara
mendalam (Poedjawijatna, 1980).
Sedangkan Filsafat Ilmu adalah
1. Refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik
henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai
kebenaran atau kenyataan yang tidak pernah habis
dipikirkan dan tidak pernah akan selesai diterangkan.
2. Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat
pengetahuan/epistemologi.
2

3. Filsafat ilmu juga membahas mengenai kebenaran


pengetahuan yaitu kebenaran koheren, koresponden, dan
pragmatis.
Kebenaran koherensi  proposisi berhubungan dengan
ide-ide/gagasan dari proposisi sebelumnya.
Kebenaran korespondensi  proposisi sesuai dengan
kenyataan.
Kebenaran pragmatis  memiliki manfaat praktis, tidak
mutlak, tidak tetap, tidak berdiri sendiri, tidak lepas dari
akal dan dapat dikoreksi oleh pengalaman sesudahnya.
4. Komponen pendukung ilmu :
Logika, bahasa, matematika, statistika, dan metode
penelitian.
5. Kebenaran pengetahuan adalah proposisi yang benar.
Pengetahuan merupakan kumpulan proposisi-proposisi.
6. Proposisi adalah makna yang dikandung dalam
sesuatu yang diperoleh dari sesuatu perbuatan mengetahui.
7. Logika  pengetahuan dan kecakapan berpikir
lurus.
8. Nalar  berpikir sesuatu yang benar.

1.2 CAKUPAN DAN PERMASALAHAN FILSAFAT


ILMU
Revolusi ilmu pengetahuan merupakan ancaman dengan
kemungkinan munculnya akibat fatal bagi kehidupan
3

kemanusiaan  muncul sikap optimis dan pesimis


disamping sisi positifnya.
Perkembangan ilmu begitu terspesifikasi dengan masing-
masing disiplin ilmu yang sempit  menimbulkan masalah
baru, kenyataannya pemecahan masalah menyangkut dan
berdampak pada masalah lain.
 Perlu membuka saluran interaksi antara berbagai cabang
ilmu untuk saling memberikan informasi dan kontribusi
dalam rangka memecahkan masalah.
 Filsafat ilmu dengan cakupan bahasannya yang
merupakan tiang penyangga eksistensi ilmu yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi memungkinkan
adanya keterjalinan antarcabang ilmu.

1.3 BERBAGAI PENDEKATAN FILSAFAT ILMU

Pendekatan dalam disiplin ilmu yang disebut filsafat


ilmu akan lebih mudah di pahami arti pengertian bila
diajukan pandangan Dewey tentang  pokok masalah, yaitu
tentang permasalahan filsafat yang berarti hubungan antara
filsafat dan ilmu. Pendekatannya antara lain:
1. Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif kerap dikontraskan dengan
pendekatan induktif. Pendekatan Deduktif merupakan
prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum,
yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan
4

berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru


yang bersifat lebih khusus. Dari segi bahasa, deduktif
atau deduksi berasal dari Bahasa Inggris, yaitudeduction
yang artinya penarikan kesimpulan-kesimpulan dari
keadaan-keadaan umum atau menemukan yang khusus
dari yang umum. Pendekatan deduktif juga diartikan
sebagai cara berpikir dimana pernyataan yang bersifat
umum ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
Penarikan kesimpulan dalam pendekatan deduktif
biasanya menggunakan pola pikir silogisme yang secara
sederhana digambarkan dalam penyusunan dua buah
pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah
kesimpulan.
2. Pendekatan Induktif
Pendekatan Induktif merupakan pendekatan yang
digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke hal umum. Hukum yang disimpulkan pada
fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis
yang belum diteliti. Berpikir induktif adalah bentuk dari
apa yang disebut generalisasi. Induksi (induction) adalah
cara mempelajarai sesuatu yang bertolak dari hal-hal
khusus untuk menentukan hukum atau hal yang bersifat
umum. Metode berpikir induktif merupakan cara berpikir
yang dilakukan dengan cara menarik suatu kesimpulan
yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
5

individual. Oleh karena itu, penalaran induktif dimulai


dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang
mempunyai ruang khusus dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum.
3. Pendekatan Rasionalisme
Rasionalisme merupakan suatu paham yang
mengutamakan rasio. Paham ini beranggapan bahwa
prinsip-prinsip dasar keilmuan bersumber dari rasio
manusia, sehingga pengalaman empiris bergantung pada
prinsip-prinsip rasio. Karena rasio itu ada pada subjek
(manusia), maka asal pengetahuan harus dicari pada
subjek. Rasio itu berpikir. Berpikir inilah ynag
membentuk pengetahuan. Karena hanya manusia yang
berpikir, maka hanya manusia yang mempunyai
pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah manusia
berbuat dan menentukan tindakannya. Berbeda
pengetahuan, berbeda pula laku perbuatan dan
tindakannya. Rasionalisme juga bisa diartikan sebagai
doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan
analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman,
dogma, atau ajaran agama.
6

4. Pendekatan Empirisme
Empirisme merupakan suatu paham yang
mengutamakan pengalaman. Secara harfiah, istilah
empirisme berasal dari Bahasa Yunani, yaitu kata
emperia yang berarti pengalaman. Pendekatan empiris
melihat bahwa pengalaman, baik pengalaman lahiriyah
maupun pengalaman batiniyah merupakan sumber utama
pengenalan. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat
yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan
bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan
dalam dirinya ketika dilahirkan.

1.4 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT


ILMU
1.4.1 Perkembangan Filsafat
Seorang pemikir pertama dan terkemuka pada jaman
Yunani Kuno yang dalam sejarah filsafat diakui sebagai
The Father of Philosophy atau bapak filsafat dan bapak
penalaran deduktif, terkenal sebagai ilmuwan pertama di
dunia dan ahli matematika Yunani yang pertama serta
termasuk sebagai salah seorang dari Seven Wise Men of
Greece atau tujuh orang arif bangsa Yunani adalah Thales
hidup tahun 640 sampai 546 sebelum masehi.
7

Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi


yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur
komposisi dari alam semesta, menurutnya semuanya berasal
dari air sebagai materi dasar kosmis. Sebagai ilmuwan ia
mempelajari magnetisme dan listrik yang merupakan pokok
soal fisika. Ia juga berusaha mengembangkan astronomi dan
matematika dengan antara lain mengemukakan pendapat
bahwa bulan bersinar karena memntulkan cahaya matahari,
menghitung terjadinya gerhana matahari dan membuktikan
dalil-dalil geometri. Salah satu yang dibuktikannya adalah
dalil bahwa kedua sudut alas dari suatu segitiga sama kaki
adalah sama besarnya. Dengan demikian, ia merupakan ahli
matematika Yunani yang pertama dan oleh penulis sekarang
dinyatakan sebagai The Father of Deductive Reasoning.
Tahap berikutnya muncullah Pythagoras yang hidup
pada tahun 572 sampai 497 sebelum masehi, dia seorang
ahli matematika yang mengemukakakan ajaran metafisika
dari Yunani Kuno dan pendiri mazhab filsafat
Pythagoreanisme yang mengajarkan bahwa bilangan
merupakan substansi dari semua benda. Dalilnya berbunyi
number rules the universe atau berarti bilangan memerintah
jagad raya. Ia menganggap dirinya hanya seorang pecinta
kearifan atau philosophos, dari kata ini berkembang istilah
philosophia yang berarti cinta kearifan.
8

Menurut Pythagoras, kearifan yang sesungguhnya


hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan, oleh karena itu
ia tidak mau disebut sebagai orang arif seperti halnya
Thales, melainkan menganggap dirinya hanya seorang
philosophos yang artinya pecinta kearifan. Istilah ini
kemudian menjadi philosophia yang berarti cinta kearifan.
Dengan demikian, secara etimologis dan sederhana filsafat
diartikan sebagai cinta kearifan atau love of wisdom.
Pythagoras berpendapat bahwa metematika merupakan
suatu sarana atau alat bagi pemahaman filsafati, pendapat
ini kemudian memperoleh pengukuhan dari seorang filsuf
besar Yunani lainnya yaitu Plato.
Menurut pendapat Plato yang hidup pada tahun 428
hingga 348 sebelum masehi adalah seorang filsuf besar
Yunani Kuno yang mengembangkan filsafat spekulatif
mengenai dunia ide yang sempurna dan abadi. Baginya
filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif
terhadap pandangan kebenaran yang menyeluruh. Ia
menegaskan bahwa filsuf adalah pecinta pandangan tentang
kebenaran atau vision of truth, sedangkan filsafat
merupakan pencarian yang bersifat perekaan atau spekulatif
terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran, sehingga
filsafat Plato disebut filsafat spekulatif. Selanjutnya
dikatakan bahwa geometri sebagai pengetahuan rasional
berdasarkan akal murni menjadi kunci kearah pengetahuan
9

dan kebenaran filsafati serta bagi pemahaman mengenai


sifat dasar dari kenyataan yang terakhir atau the nature of
ultimate reality. Geometri merupakan suatu ilmu yang
dengan akal murni membuktikan preposisi-preposisi ebstrak
mengenai hal-hal yang abstrak seperti garis lurus sempurna,
lingkaran sempurna atau segitiga sempurna dan salah
seorang murid Plato yang cerdas pada akademi Plato adalah
Aristoteles.
Filsafat dan ilmu yang dikenal di dunia barat dewasa
ini berasal dari jaman Yunani Kuno, pada jaman itu filsafat
dan ilmu saling terkait satu sama lain dan orang tidak
memisahkan sebagai dua hal yang berlainan, keduanya
termasuk dalam pengertian episteme, sedangkan kata
philosophia merupakan suatu kata yang sama dengan
episteme.
Seorang filsuf besar Yunani Kuno, Aristoteles yang
hidup pada tahun 382 sampai dengan 322 sebelum masehi
merupakan tokoh pelopor logika dan seorang ilmuwan yang
menelaah biologi, psikologi dan ilmu politik, kini diakui
sebagai filsuf ilmu yang pertama. Pendapatnya episteme
adalah an organized body of rational knowledge with its
proper object yang berarti suatu kumpulan yang teratur dari
pengetahuan rasional dengan obyeknya sendiri yang tepat,
dengan demikian filsafat dan ilmu tergolong sebagai
10

pengetahuan rasional yaitu pengetahuan yang diperoleh dari


pemikiran atau rasio manusia.
Pemikiran Aristoteles selanjutnya, disebut episteme
atau pengetahuan rasional yang kemudian dapat dibedakan
menjadi tiga bagian yaitu :
1. Pengetahuan praktis atau praktike
2. Pengetahuan produktif atau poietike
3. Pengetahuan teoritis atau theoretike

Theoretike atau pengetahuan teoretis oleh


Aristoteles dibedakan pula menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Pengetahuan matematika atau mathematike
2. Pengetahuan fisika atau physike
3. Pengetahuan filsafat pertama atau prote
philosophia

Filsafat pertama atau prote philosophia adalah


pengetahuan teoritis yang menelaah peradaban yang abadi,
tidak berubah dan terpisah dari materi. Aristoteles
mendefinisikannya sebagai the science of first principles
atau ilmu tentang asas-asas yang pertama. Semua
pengetahuan lainnya secara logis mengandaikan atau
berdasarkan ilmu ini, oleh karena itu ilmu ini dianggap
sebagai filsafat pertama, dan kemudian definisinya
dilengkapi menjadi suatu ilmu yang menyelidiki peradaban
11

sebagai peradaban dan ciri-ciri yang tergolong pada obyek


berdasarkan sifat dasarnya sendiri. Oleh karena dalam
pembagian dan urutannya Aristoteles menempatkan filsafat
pertama setelah fisika maka pengetahuan filsafat tersebut
kemudian disebutnya dengan metafisika yang artinya
sesudah fisika, sedangkan pengetahuan fisika itu sendiri
oleh Aristoteles disebutnya sebagai filsafat kedua.
Matematika, fisika dan metafisika telah berkembang pada
masa Aristoteles
Filsafat telah dimulai oleh Thales dan berkembang
ke arah kosmologi, sedangkan filsafat spekulatif
dikembangkan oleh Plato dan filsafat metafisika
dikembangkan oleh Aristoteles. Sejak memasuki jaman
romawi kuno, para pemikir mencari keselarasan antara
manusia dengan alam semesta. Keselarasan tersebut dapat
tercapai bilamana manusia hidup sesuai dengan alam dalam
arti mengikuti petunjuk akal (sebagai asas tertinggi sifat
manusiawi) dan mengikuti hukum alam dari logos (sebagai
akal alam semesta). Filsuf romawi Marcus Tullius Cicero
secara singkat memberikan definisi filsafat sebagai ars
vitae atau the art of life yaitu pengetahuan tentang hidup.
Konsepsi filsafat ini kemudian dianut secara luas oleh
orang-orang terpelajar pada jaman Renaissance di Eropa.
Marcus Tullius Cicero yang hidup pada tahun 106 hingga
43 sebelum masehi adalah seorang filsuf Romawi
12

terkemuka yang tergolong aliran Stoicisme, baginya filsafat


ialah ibu dari semua pengetahuan.
Pada abad pertengahan filsafat dianggap sebagai the
supreme art (pengetahuan yang tertinggi), namun
kedudukan dan peranannya adalah sebagai pelayan dari
teologi. Kebenaran yang diterima oleh kepercayaan melalui
wahyu tidak dapat ditentang oleh kebenaran filsafati yang
dicapai dengan akal manusia. Filsafat merupakan sarana
untuk menetapkan kebenaran-kebenaran tentang Tuhan
yang dapat dicapai oleh akal manusia.
Pada abad-abad selanjutnya filsafat berkembang
melalui dua jalur yaitu jalur yang pertama adalah filsafat
alam atau natural philosophy yang mempelajari benda dan
peristiwa alamiah dan jalur yang kedua disebut filsafat
mental dan moral atau mental and moral philosophy.
Perkembangan filsafat berjalan terus seiring dengan
perkembangan berbagai ilmu baru sampai memasuki abad
XX filsafat dibagi menjadi dua yaitu filsafat kritis dan
filsafat spekulatif. Filsafat kritis ini kemudian disebut
filsafat analitik atau analytical philosophy yang membahas
pertanyaan-pertanyaan tentang arti dari pengertian-
pengertian yang digunakan dalam filsafat atau dengan kata
lain filsafat analitik memusatkan perhatian pada makna
pengertian tentang substansi, eksistensi, moral, realitas,
sebab, nilai, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
13

Sedangkan filsafat spekulatif merupakan kata lain dari


metafisika, menurut Alfred North Whitehead filsafat
spekulatif adalah usaha menyusun sistem dari ide-ide yang
berpautan, logis dan perlu yang dalam kerangka sistem itu
setiap unsur dari pengalaman kita dapat ditafsirkan artinya
bahwa masing-masing unsur mempunyai ciri sebagai suatu
peristiwa khusus dari sistem ide-ide umum atau filsafat
yang disusun. Sistem itu harus koheren, logis, serta
diterapkan dan memadai yakni tiada unsur pengalaman
yang lepas dari penafsiran.

1.4.2 Perkembangan Ilmu


Pada zaman junani kuno episteme atau pengetahuan
rasional mencakup filsafat maupun ilmu, tidak terdapat
masalah besar atau kebutuhan penting untuk membedakan
secara tegas kedua jenis pengetahuan tersebut. Thales
sebagai seorang filsuf juga mempelajari astronomi dan topik
pengetahuan termasuk fisika.
Fisika adalah pengetahuan teoritis yang mempelajari
alam dan pengetahuan tersebut kemudian disebut dengan
filsafat alam.
Tetapi pada zaman Renaissance sejak abad XIV
sampai abad XVI terjadi perkembangan baru. Tokoh
pembaharu dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis
Bacon dan pada abad berikutnya Rene Descartes dan Issac
14

Newton memperkenalkan metode matematik dan metode


eksperimental untuk mempelajari alam. Dengan demikian
pengertian filsafat alam memperoleh arti khusus sebagai the
systematic study of nature through the use of the methode
introduced by the great reformers of the renaissance and
the early seventeenth century berarti penelaahan yang
sistematis terhadap alam melalui pemakaian metode-metode
yang diperkenalkan oleh para pembaharu dari zaman
Renaissance dan awal abad XVII. Galileo Galilei hidup
pada tahun 1564 sampai dengan 1642 adalah seorang
ilmuwan besar Italia menjadi pelopor ilmu modern. Ia
menguasai segenap filsafat alam yang berkembang pada
jamannya dari pengukuran kecepatan cahaya sampai
penimbangan bobot udara. Sedangkan Francis Bacon yang
hidup pada tahun 1561 hingga 1626 adalah seorang filsuf
ilmu terkemuka Inggris dan pelopor metode induktif dalam
mencari kebenaran dengan menyarankan langkah-langkah
pengamatan empiris, analisis data yang diamati, serta
penyimpulan dan pembuktian kebenaran dengan
pengamatan dan percobaan lebih lanjut.
Sejak abad XVII Filsafat alam sesungguhnya
bukanlah pengetahuan filsafat melainkan pengetahuan yang
dikenal sebagai Ilmu Alam. Perkembangan ilmu mencapai
puncak kejayaan ditangan Newton. Dalam perkembangan
selanjutnya pada abad XVIII philosophia naturalis
15

memisahkan diri dari filsafat dan para ahli menyebutnya


dengan nama Fisika. Issac Newton hidup pada tahun 1642
hingga 1727 adalah seorang ilmuwan terbesar dan ahli
matematik dari Inggris yang mengembangkan fisika,
matematika, dan kalkulus. Ia merumuskan empat aturan
penalaran bagi pengetahuan alam yang dikembangkan.
Cabang-cabang ilmu lainnya yang tercakup dalam
pengertian ilmu modern juga berkembang pesat berkat
penerapan metode empiris yang makin cermat, pemakaian
alat keilmuan yang lebih lengkap, dan komunikasi antar
ilmuwan yang senantiasa meningkat. James Conant
menyatakan bahwa ilmu modern mencapai tahap berjalan
pada tahun 1700 dan mulai masuk kedewasaan pada tahun
1780. Setelah dewasa masing-masing ilmu memisahkan diri
dari filsafat seperti halnya fisika. Pemisahan diri dilakukan
oleh biologi pada awal abad XIX dan oleh psikologi pada
pertengahan abad tersebut. Cabang-cabang ilmu lainnya
seperti sosiologi, antropologi, ilmu ekonomi dan ilmu
politik kemudian juga tegas-tegas terpisah dari filsafat.
Pada zaman modern timbul kebutuhan untuk
memisahkan secara nyata kelompok ilmu modern dari
filsafat karena perbedaan ciri-cirinya yang menyolok.
Filsafat kebanyakan masih bercorak spekulatif sedang ilmu
modern telah menerapkan metode empiris, eksperimental,
dan induktif.
16

Kini secara pasti semua cabang ilmu dinyatakan


sebagai ilmu-ilmu empiris, sifat empiris inilah yang
membentuk ciri umum dari kelompok ilmu modern dan
yang membedakannya dari filsafat. Terdapat kesepakatan
yang lebih besar antara para ilmuwan dengan filsuf
mengenai ciri umum dari ilmu, kesepakatan ini menyatakan
bahwa ilmu alam terdiri dari generalisasi yang mampu
memperoleh penguatan dengan pengamatan dan
eksperimen. Sehingga penelaahan sosial benar-benar ilmiah
bila ilmu tersebut memiliki ciri empiris dan isinya terbatas
pada apa yang dapat dibuktikan dengan fakta dan
dideskripsikan serta dapat diterapkan.
Matematika sejak semula menjadi pendorong bagi
perkembangan filsafat dan saling mempengaruhi. Tokoh
matematika adalah Rene Descartes hidup pada tahun 1596
hingga 1650 seorang filsuf besar Perancis, ahli matematika
dan pelopor aliran Filsafat Rasionalisme. Dalam filsafat ia
mengemukakan metode kesangsian untuk merenungkan
terus sesuatu hal sampai tidak ada keraguan lagi.
Gottfried Wilhelm Leibniz hidup pada tahun 1646
hingga 1716 seorang filsuf besar Jerman dan ahli
matematika yang menguasai berbagai bidang pengetahuan
misalnya hukum, sejarah, dan teologi. Ia mengembangkan
kalkulus dan kini diakui sebagai salah satu pelopor logika
simbolik.
17

1.5 FUNGSI DAN ARAH FILSAFAT ILMU


Banyak pendapat mengenai fungsi filsafat ilmu yang
dikemukakan oleh para ahli, antara lain memberi landasan
filosofis untuk memahami berbagai konsep dan teori suatu
disiplin ilmu maupun membekali kemampuan membangun
teori ilmiah (Ismaun, 2004: 2). Jadi, filsafat ilmu sangat
berperan dalam memahami konsep atau teori ilmu untuk
membangun teori ilmiah melalui landasan filosofis melalui
kajian filsafat.
Menurut Franz Magnis Suseno (1999: 21) fungsi filsafat
ilmu sangat luas dan mendalam, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk membantu mendalami pertanyaan-pertanyaan
tentang ilmu atau asasi manusia tentang makna realitas
dan lingkup tanggung jawabnya, secara sistematis dan
historis. Secara sistematis, filsafat menawarkan metode-
metode mutakhir untuk mendalami masalah-masalah
ilmu, manusia, tentang hakikat kebenaran, secara
mendalam dan ilmiah. Secara historis, di sini kita belajar
untuk mendalami dan menanggapi serta belajar dari
jawaban-jawaban filsof terkemuka.
2. Sebagai kritik ideologi, artinya kemampuan menganalisis
secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi
agama, ideologi dan pandangan dunia. Atau dengan kata
lain, agar mampu mendeteksi berbagai masalah
kehidupan.
18

3. Sebagai dasar dan metodis dan wawasan lebih mendalam


dan kritis dalam mempelajari studi-studi ilmu khusus.
4. Merupakan dasar paling luas untuk berbartisipasi secara
kritis dalam kehidupan intelektual pada umumnya dan
khususnya di lingkungan akademis.
5. Memberikan wawasan lebih luas dan kemampuan
analitis dan kritis tajam untuk bergulat dengan masalah-
masalah intelektual, spiritual, ideologis.
Secara singkat, Burhanuddin Salam (2000: 12)
mengemukakan bahwa filsafat berfungsi sebagai mater
scientarium ( induk ilmu pengetahuan). Begitu juga, Will
Durant dalam Jujun S. Suriasumantri (2003: 22), menjelaskan
bahwa filsafat berfungsi sebagai ‘perantas pengetahuan’.
Artinya, bahwa fillsafat telah memberi arah kepada ilmu
pengetahuan dalam merumuskan konsep dan teori untuk
membangun konsep ilmiah. Di lain pihak, dengan bantuan
filsafat ini telah berkembang berbagai ilmu baru yang sangat
penting bagi kelangsungan dan peradaban manusia di muka
bumi ini.

Sedangkan arah filsafat ilmu dapat dipahami dari


beberapa pendapat, antara lain: pertama, bahwa filsafat ilmu
diarahkan pada pembekalan pemahaman terhadap wawasan
baik (Ismaun, 2004: 2). Kedua, sebagaimana dikemukakan
19

oleh Burhanuddin Salam (2000: 11-12), filsafat ilmu


diarahkan untuk:
1. Lebih memanusiakan diri atau lebih mendidik atau
membangun diri sendiri;
2. Mempertahankan sikap yang objektif dan mendasarkan
pendapat atas pengetahuan yang objektif tidak hanya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan simpati dan
antipati saja;
3. Berpikir secara historis dalam menyelesaikan suatu
permasalahan, tidak mementingkan egoisme; dan
4. Berpikir kritis mandiri, dan tidak tergantung pada orang
lain.
20

PEMIKIRAN FILSAFAT

2.1 ILMU DAN FILSAFAT


Menurut Kattsoff, 1982 :
1. Filsafat merupakan pemikiran secara sistematis
Kegiatan kefilsafatan adalah merenung dalam arti
mencoba menyusun suatu sistem pengetahuan yang
rasional yang memadai untuk memahami lingkungan
dan diri kita sendiri.
2. Kegiatan. Kefilsafatan adalah pemikiran secara ketat
dalam arti filsafat sebagai perenungan mengusahakan
kejelasan, keruntutan dan keadaan memadainya
pengetahuan, agar kita dapat memperoleh pemahaman.
3. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan
pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih
layak.
4. Filsafat nerupakan pemikiran secara rasional
Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu
bagan konsepsional yang bersifat rasional yaitu
pemikiran secara logis berhubungan satu dengan yang
lain berisi kesimpulan yang diperoleh dari premise-
premise yang dususun secara baik.
21

5. Filsafat bersifat komprehensif atau menyeluruh dan


tidak ada sesuatupun yang berada di luar jangkauannya.

Filsafat merupakan usaha mencari kejelasan dan


kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus
menerus. Perenungan kefilsafatan tidak berusaha
menemukan fakta-fakta namun filsafat menerimanya dari
mereka yang menemukannya. Filsafat selalu menunjuk
fakta-fakta tersebut untuk menguji apakah penjelasannya
sudah memadai. Filsafat membahas fakta- fakta dengan
dua cara yaitu :
1. Filsafat mengajukan kritik atas makna yang
dikandung fakta-fakta
2. Filsafat menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
fakta-fakta

2.2 PENGERTIAN ILMU DAN PENGETAHUAN


Ilmu yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang
ilmiah sebagai terjemahan dari kata sains (science), oleh
karena itu sering disebut ilmu pengetahuan atau ilmu saja.
Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan
metode keilmuan. Ilmu dapat juga disebut pengetahuan
keilmuan. Walaupun ilmu memberikan kebenaran, namun
kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya kebenaran dalam
hidup dan karena ilmu merupakan salah satu buah pemikiran
22

manusia maka manusia ingin menjawab mengenai apa yang


ingin diketahui (ontologi), bagaimana cara mendapatkan ilmu
pengetahuan (epistemologi), dan kegunaan ilmu (aksiologi).

Ilmu pengetahuan membatasi diri hanya pada kejadian


yang bersifat empiris, sehingga obyek-obyek yang berada di
luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang
penelaahan keilmuan. Ilmu menganggap bahwa obyek-obyek
empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat
keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya
terjalin secara teratur.

Pengertian ilmu berarti aktivitas penelitian (sebagai


proses), metode ilmiah (sebagai prosedur), dan pengetahuan
sistematis (sebagai produk).

2.3 SIFAT-SIFAT DAN ASUMSI DASAR ILMU


2.3.1 Ilmu bertujuan menjelaskan segala yang ada
dialam
Ciri umum dari kebenaran ilmu pengetahuan yang
bersifat Rasional,Empiris dan sementara. Rasional artinya
kebenaran itu ukuranya akal,sesuatu dianggap benar
menurut ilmu apa bila masuk akal. Contoh, bangunan
mesjid  dipulau penyengat dibangun berdasarkan teknik-
teknik arsitektur yang indah ini bisa diterima akal, tapi
23

tidak bisa diterima oleh ilmu apabila dibuat dengan


kekuatan ghaib.
Ada tiga sifat dasar yang melekat pada ilmu.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 140)
1. Ilmu menjelajah dunia empirik tanpa batas sejauh
dapat ditangkap oleh panca indera (dan indera yang
lain),
2. Tingkat kebenarannya relatif dan tidak sampai kepada
tingkat kebenaran yang mutlak,
3. Ilmu menemukan proposisi-proposisi (hubungan
sebab akibat) yang teruji secara empirik.

2.3.2 Asumsi Dasar Ilmu


Ilmu sendiri pada dasarnya memiliki dasar asumsi
yang tak boleh diganggu gugat agar ilmu bisa tetap berdiri.
Indera bisa dipercaya. Ini adalah asumsi pertama yang di
ajukan. Seorang ilmuan sama sekali tidak bisa bekerja
begitu dia tidak mempercayai inderanya. Dalam bidang
filsafat, yang mana dahulunya sering menyatu dengan
ilmu, indra boleh jadi tidak dipercayai. Sayangnya
pendapat ini akan berakibat fatal bagi ilmu, karena jika hal
ini tidak dipercayai maka segala penelitian pecuma saja,
karena toh Indra kita tidak dipercaya.
1. Dapat dikemukakan tiga asumsi dasar ilmu
a. Dunia ini ada
24

b. Fenomena yang ditangkap oleh indera manusia


berhubungan satu sama lain
c. Percaya akan kemampuan indera yang menangkap
fenomena itu,
d. Ilmu adalah pengetahuan yang sistematik.
2. Pentinganya asumsi terhadap ilmu
Sifat benda tidak akan berubah dalam jangka waktu
tertentu. Asumsi ini penting karena kita membutuhkan
dasar bahwa benda-benda memiliki ketetapan.  Benda-
benda seharusnya memiliki sifat yang sama dalam jangka
waktu tertentu, dan tidak berubah tiba-tiba tanpa alasan
apapun. Baik sifat  objek secara individu (karena
mempengaruhi penelitian) juga sifat-sifat benda-benda
pada umumnya. Jika tidak mengasumsikan ketetapan sifat
dari benda-benda secara umum maka tidak mungkin ada
peramalan.

2.4 ANATOMI/KOMPONEN ILMU


Ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang telah
memiliki tolak ukur tersendiri. Hasnah (2011:65)
mengemukan bahwa Ilmu adalah sebagian pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sestematik,
rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka,
dan kumulatif
25

Secara terminologi, ilmu mempunyai ciri-ciri utama


(Kartanegara:2003), Yaitu:
a. Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren,
empiris, sistematis dapat diukur dan dibuktika. Berbeda
dengan iman, yaitu pengetahuan yang didasarkan atas
keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta
pengalaman pribadi
b. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah
mengertikan kepingan pengetahuan satu putusan
sendiri, bebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan
ide yang mencakub ke objek (atau dalam objek) yang
sama dan saling berkaitan secara logis.
c. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan
dengan masing-masing penalaran perseorangan, sebab
ilmu dapat memuat di dalam dirinya sendiri, hipotesis-
hipotesis dan teori-teori  yang belum sepenuhnya
dimantapkan.
d. Di pihak lain, yang seringkali berkaitan dengan konsep
ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah ide bahwa metode-
metode yamg berhasil dan hasil-hasil yang terbukti
pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencarian
ilmu
e. Ciri hakiki lainya dari ilmu adalah metodologi, sebab
kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan
26

penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari


banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah.
f. Kesatuan setiap ilmu bersumber dalam kesatuan
objeknya.

Ilmu baru bisa dianggap jika memiliki komponen atau


bagian-bagian di dalamnya. Maka komponen atau bagian-
bagiannya tersebutlah yang menjadi syarat utama untuk
mengakui bahwa hal tersebut baru bisa dikatakan ilmu.
Menurut Bahm, ilmu pengetahuan setidaknya melibatkan
enam  komponen penting: 1) masalah (problems);  2) sikap
(attitude);  3) metode (method);  4) aktivitas (activity);  5)
kesimpulan (conclusion); 6) pengaruh (effects).
27

DASAR-DASAR PENGETAHUAN

3.1 HAKEKAT TERJADINYA PENELITIAN


“Hakikat penelitian dapat diartikan sebagai
penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris dan kritis
tantang fenomena alami dengan dipandu oleh teori dan
hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat antara
fenomena itu.” “Dari definisi diatas, ada dua hal yang perlu
ditekankan. Pertama, penelitian ilmiah bersifat sistematis dan
terkontrol. Kedua, penyelidikan bersifat empiris”. Penelitian
atau riset adalah terjemahan dari bahasa Inggris research,
yang merupakan gabungan dari kata re (kembali) dan to
search (mencari). Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa
research adalah berasal dari bahasa Perancis
recherche.Intinya hakekat penelitian adalah “mencari
kembali”.
Definisi tentang penelitian yang muncul sekarang ini
bermacam-macam, salah satu yang cukup terkenal adalah
menurut Webster’s New Collegiate Dictionary yang
mengatakan bahwa penelitian adalah “penyidikan atau
pemeriksaan bersungguh-sungguh, khususnya investigasi
atau eksperimen yang bertujuan menemukan dan menafsirkan
fakta, revisi atas teori atau dalil yang telah diterima”.
28

Penelitian bisa menggunakan metode ilmiah (scientific


method) atau non-ilmiah (unscientific method). Tapi kalau
kita lihat dari definisi diatas, penelitian banyak
bersinggungan dengan pemikiran kritis, rasional, logis
(nalar), dan analitis, sehingga akhirnya penggunaan metode
ilmiah (scientific method) adalah hal yang jamak dan
disepakati umum dalam penelitian. Metode ilmiah juga
dinilai lebih bisa diukur, dibuktikan dan dipahami dengan
indera manusia. Penelitian yang menggunakan metode ilmiah
disebut dengan penelitian ilmiah (scientific research).
Hakikatnya, penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan yang
benar tentang suatu masalah. Pengetahuan yang benar yang
dimaksud adalah berupa fakta-fakta, konsep, generalisasi, dan
teori, yang harapannya dapat membantu manusia memahami
dan dapat mempermudah pemecahan masalah berkaitan
dengan fenomena yang diteliti. Pembahasan utama dalam
penelitian disebut sebagai "masalah penelitian". Masalah
penelitian muncul karena adanya kesenjangan antara yang
diharapkan dengan kenyataan yang ada. Das Sein dan Das
Sollen, apa yang ada dan apa yang seharusnya ada.
Kebenaran yang berlaku dalam sebuah penelitian
adalah "kebenaran ilmiah". Hasil penelitian saat ini mungkin
hanya benar pada saat ini dan pada saat lain kebenaran sudah
tidak relevan. Motivasi dan tujuan dari sebuah penelitian
29

adalah keinginan untuk memecahkan masalah dan pemuasan


rasa ingin tau atas fenomena yang dihadapi.

3.1.1 Metode Ilmiah dan Langkah-langkahnya


Metode Ilmiah merupakan proses keilmuan untuk
memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan
bukti fisis. Senn, memandang metode sebagai prosedur
atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-
langkah yang sistematis. Ilmuwan melakukan pengamatan
serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk
menjelaskan fenomena alam. Sementara itu, metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Prediksi yang
dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan
melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji
berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi
suatu teori ilmiah. Metode ilmiah bergantung pada
karakterisasi yang cermat atas subjek investigasi. Metode
Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan
oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Dengan demikian maka metode penelitian
mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang
digunakan dalam suatu penelitian. Sedangkan metodologi
penelitian membahas konsep teoritik berbagai metode,
kelebihan dan kelemahannya.
30

Metode ini menggunakan langkah-langkah yang


sistematis, teratur dan terkontrol. Karakteristik penelitian
ilmiah, yaitu :
a. Sistematik.
Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan
secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari
yang mudah dan sederhana sampai yang kompleks.
b. Logis.
Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima
akal dan berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran
harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah
bekerjanya akal, yaitulogika. Prosedur penalaran yang
dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk
menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus individual
(khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara berpikir untuk
menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan
yang bersifat umum.
c. Empirik.
Artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada
pengalaman sehari-hari (fakta aposteriori,yaitu fakta dari
kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba
yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.
Landasan penelitian empirik ada tiga yaitu :
31

1. Hal-hal empirik selalu memiliki persamaan dan


perbedaan (ada penggolongan atau perbandingan satu
sama lain).
2. Hal-hal empirik selalu berubah-ubah sesuai dengan
waktu.
3. Hal-hal empirik tidak bisa secara kebetulan, melainkan
ada penyebabnya (ada hubungan sebab akibat).

d. Replikatif.
Artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus
diuji kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan
hasil yang sama bila dilakukan dengan metode, kriteria,
dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif,
penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah
penting bagi seorang peneliti.
Dalam proses karakterisasi, ilmuwan mengidentifikasi
sifat-sifat utama yang relevan yang dimiliki oleh subjek
yang diteliti. Selain itu, proses ini juga dapat melibatkan
proses penentuan (definisi) dan pengamatan;
pengamatan yang dimaksud seringkali memerlukan
pengukuran dan/atau perhitungan yang cermat. Proses
pengukuran dapat dilakukan dalam suatu tempat yang
terkontrol, seperti laboratorium, atau dilakukan terhadap
objek yang tidak dapat diakses atau dimanipulasi
seperti bintangatau populasi manusia. Proses pengukuran
32

sering memerlukan peralatan ilmiah khusus


seperti termometer, spektroskop, atau voltmeter, dan
kemajuan suatu bidang ilmu biasanya berkaitan erat
dengan penemuan peralatan semacam itu. Hasil
pengukuran secara ilmiah biasanya ditabulasikan
dalam tabel, digambarkan dalam bentuk grafik, atau
dipetakan, dan diproses dengan perhtiungan
statistika seperti korelasi dan regresi. Pengukuran dalam
karya ilmiah biasanya juga disertai dengan
estimasi ketidakpastian hasil pengukuran tersebut.
Ketidakpastian tersebut sering diestimasikan dengan
melakukan pengukuran berulang atas kuantitas yang
diukur. Langkah – Langkah Metode Ilmiah:
1. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah langkah awal dalam
melakukan kerja ilmiah. Masalah adalah kesulitan yang
dihadapi yang memerlukan penyelesaiannya atau
pemecahannya. Masalah penelitian dapat di ambil dari
masalah yang ditemukan di lingkungan sekitar kita, baik
benda mati maupun makhluk hidup. Untuk dapat
merumuskan permasalahan dengan tepat, maka perlu
melakukan identifikasi masalah. Agar permasalahan dapat
diteliti dengan seksama, maka perlu dibatasi. Pembatasan
diperlukan agar kita dapat fokus dalam menyelesaikan
penelitian kita.
33

2. Perumusan Hipotesis
Ketika kita mengajukan atau merumuskan
pertanyaan penelitian, maka sebenarnya pada saat itu
jawabanya sudah ada dalam pikiran. Jawaban tersebut
memang masih meragukan dan bersifat sementara, akan
tetapi jawaban tersebut dapat digunakan untuk
mengarahkan kita untuk mencari jawaban yang
sebenarnya. Pernyataan yang dirumuskan sebagai jawaban
sementara terhadap pertanyaan penelitian disebut sebagai
hipotesis penelitian. Hipotesis penelitian dapat juga
dikatakan sebagai dugaan yang merupakan jawaban
sementara terhadap masalah sebelum dibuktikan
kebenarannya. Oleh karena berupa dugaan maka hipotesis
yang kita buat mungkin saja salah.
3. Perancangan Penelitian
Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu harus
dipersiapkan rancangan penelitiannya. Rancangan
penelitian ini berisi tentang rencana atau hal-hal yang
harus dilakukan sebelum, selama dan setelah penelitian
selesai. Metode penelitian, alat dan bahan yang diperlukan
dalam penelitian juga harus disiapkan dalam rancangan
penelitian. Penelitian yang kita lakukan dapat berupa
penelitian deskriptif maupun penelitian eksperimental.
Penelitian deskripsi merupakan penelitian yang
memberikan gambaran secara sistematis, factual dan
34

akurat mengenai fakta dan sifat-sipat objek yang


diselidiki. Contoh dari penelitian deskriptif, misalnya
penelitian untuk mengetahui populasi hewan komodo yang
hidup di Pulau komodo pada tahun 2008. Adapun
penelitian eksperimental merupakan penelitian yang
menggunakan kelompok pembanding. Contoh penelitian
eksperimental, misalnya penelitian tentang perbedaan
pertumbuhan tanaman di tempat yang terkena matahari
dengan pertumbuhan tanaman di tempat yang gelap.
4. Pelaksanaan Penelitian
Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau
penelitian.
5. Pelaporan Penelitian
Hasil penelitian adalah data yang objektif, tidak
dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal
(dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan
memberikan hasil yang sama).

3.1.2 Paradigma Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif


Paradigma adalah seperangkat asumsi tersurat dan
tersirat yang menjadi gagasan-gagasan ilmiah (Ihalauw,
2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa paradigma bukan
masalah salah atau benar, melainkan lebih memberikan
manfaat atau kurang bermanfaat sebagai sebuah cara
pandang terhadap sesuatu. Perbedaan anatar kualitatif dan
35

kuantitatif ini dibedakan oleh paradigma yang masing-


masing menjadi kesepahaman para ahli-ahli pengikutnya.
Banyak tulisan telah membahas apa-apa saja yang
membedakan antara keduanya.

a. Paradigma Penelitian Kuantitatif


Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh
Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh
Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah
cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode
of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian
menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi
tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu
pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer
(1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan
yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori
melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan
melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
Penelitian yang menggunakan pendekatan deduktif yang
bertujuan untuk menguji hipotesis merupakan penelitian
36

yang menggunakan paradigma kuantitatif. Paradigma ini


disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional),
positivis (positivist), eksperimental (experimental), atau
empiris (empiricist). Metode kuantitatif berakar pada
paradigma tradisional, positivistik, eksperimental atau
empiricist. Metode ini berkembang dari tradisi pemikiran
empiris Comte, Mill, Durkeim, Newton dan John Locke.
“Gaya” penelitian kuantitatif biasanya mengukur fakta
objektif melalui konsep yang diturunkan pada variabel-
variabel dan dijabarkan pada indikator-indikator dengan
memperhatikan aspek reliabilitas. Penelitian kuantitatif
bersifat bebas nilai dan konteks, mempunyai banyak
“kasus” dan subjek yang diteliti, sehingga dapat
ditampilkan dalam bentuk data statistik yang berarti. Hal
penting untuk dicatat di sini adalah, peneliti “terpisah” dari
subjek yang ditelitinya.

b. Paradigma Penelitian Kualitatif


Paradigma kualitatif bersifat induktif, yaitu pada ranah
empirik melakukan amatan terhadap fakta atau peristiwa
untuk membentuk dan  memodifikasi dalil serta menata
dalil menjadi teori pada ranah abstrak. Ada beberapa istilah
yang digunakan untuk penelitian kualitatif yaitu penelitian
inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksi
simbolik, perspektif kedalam, etnometodologi, studi kasus,
37

interpratatif, ekologis, dan deskriptif. Secara lebih


sederhana Yunus (2009) membedakan bahwa penelitian
berparadigma kualitatif menekankan pada proses,
sedangkan penelitian berparadigma kuantitatif menekankan
pada produk. Sekali lagi, pandangan tersebut memberi
gambaran tegas perbedaan antara kualitatif dengan
kuantitatif. Salah satunya disajikan pada Tabel di bawah
ini. 

 Asumsi Pertanyaan Kuantitatif Kualitatif


Ontologis Apa Obyektif, Subyektif,
realitas? tunggal, ganda, seperti
terpisah dari yang dilihat
peneliti penelti
Episto- Hubungan Peneliti Peneliti
mologis peneliti independen berinteraksi
dengan dengan yang
objek? diteliti
Aksiologis Peranan Bebas nilai dan Terikat nilai
nilai ? tidak bias dan bias
Retorik Bahasa 1. Formal; 1. Informal;
penelitian? 2. melibatkan 2. melibatkan
seperangkat keputusan-
definisi keputusan

Metodologis Proses 1. Deduktif; 1. Induktif;


penelitian? 2. Hubungan 2. Faktor
sebab terbentuk
akibat; secara
38

3. Rancangan silmutan
statis; timbal balik;
4. Bebas 3. Rencana
konteks; berkembang;
5. Generalisasi 4. Terikat
yang konteks;
mengarah 5. Pola & teori
prediksi, untuk
eksplorasi, pemahaman;
pemahaman; 6. Akurasi &
6. Akurasi & reliabel lewat
reliabel pembuktian
lewat uji
Sumber : Modifikasi Cresswel, 2000 dalam Slamet 2006
 
Berdasarkan tabel tersebut jelas sekali adanya
perbedaan pandangan yang saling berlawanan antara
paradigma kualitatif dan kuantitatif.  Difinisi paradigma di
atas menyebutkan bahwa paradigma memberikan
pandangan lebih bermanfaat atau kurang bermanfaat.
Paradigma akan mempengaruhi pandangan seseorang atau
komunitas apa yang adil atau tidak adil, apa yang baik dan
tidak baik (Fakih, 2002). Lebih lanjut ditegaskan bahwa
melalui paradigma akan ada dua orang atau komunitas
melihat suatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan
pandangan, penilaian, dan sikap yang berbeda. Dengan
demikian jelas sekali bahwa paradigma sangat berpengaruh
terhadap teori dan analisis yang dianut seseorang atau
39

komunitas dalam mengambil kebijakan dan keputusan.


Habermas membagi paradigma  ilmu sosial menjadi tiga
yaitu instrumental knowledge, hermeneutic knowledge,  dan
critical/emancipatory knowledge (Fakih, 2002).
Instrumental knowledge berakar pada paham
positivisme yang berpandangan bahwa ilmu sosial
dikembangkan dari pandangan, metode, dan teknik ilmu
alam dalam memahami realitas. Dalam rangka memahami
objektivitas atas realitas sosial dalam metode ilmiah, maka
harus dipisahkan antara fakta dengan nilai. Pandangan
instrumental knowledge ini termasuk dalam paradigma
kuantitatif. Aplikasi dalam kehidupan sosial kita sangat
nyata, yaitu banyak kehidupan berinstrumen pada angka-
angka yang dianalisis secara statistik. Misalnya untuk
mengukur kepandaian seseorang diukur dari nilai raport,
nilai ujian nasional, indeks prestasi. Kebijakan pemerintah
dalam mengukur keberhasilan pembangunan juga
didasarkan pada angka-angka, seperti pertumbuhan
ekonomi, kemiskinan, indek kesejahteraan dan lainnya,
tidak terkecuali penelitian-penelitian ilmiah bidang sosial
yang banyak dilakukan oleh perguruan tinggi.
Sementara itu hermeneutic knowledge  dan
critical/emancipatory knowledge ini masuk dalam
paradigma kualitatif. Seringkali Hermeneutic knowledge 
disemboyankan dengan “biarlah fakta berbicara atas nama
40

dirinya sendiri” (Fakih, 2002). Sementara


critical/emancipatory knowledge dipahami sebagai proses
untuk memanusiawikan manusia, sehingga dalam analisis
suatu kajian ilmiah harus berpihak kepada perbaikan
kehidupan manusia.
Pada dasarnya paradigma kualitatif melihat bahwa
realitas sosial harus dipahami dari ilmu sosial dan
keberpihakan pada manusia, bukan seperti paradigma
kuantitatif yang melihat realitas sosial dengan pendekatan
ilmu alam. Dalam fakta kehidupan saat ini paradigma
kuantitatif jauh lebih mewarnai daripada paradigma
kualitatif. Realitas soaial hasil kajian paradigma kuantitatif
juga bisa disaksikan dalam kehidupan kita. Akan tetapi,
untuk ketiga kalinya dalam tulisan ini menyebutkan
penjelasan paradigma, bahwa paradigma memberikan
pandangan lebih bermanfaat atau kurang bermanfaat.
Antara paradigma kualitatif dan kuantitatif, mana yang lebih
bermanfaat bagi khususnya ilmu sosial ? Pendekatan apa
yang tepat untuk mengkaji dan memahami anarkisme dalam
masyarakat, ketimpangan kesejahteraan,  adaptasi
masyarakat terhadap bencana, patologi sosial, dan banyak
lagi permasalahan sosial kemasyarakatan dalam ruang muka
bumi ?

c. Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif


41

Penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki


perbedaan paradigma yang amat mendasar. Penelitian
kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme
dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian
kualitatif dibangun berlandaskan paradigma
fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan
penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme.
Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur
metafisik dan teologik dari realitas sosial. Dalam
penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya
pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu
pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal
dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang
tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh
nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian
kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber
pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah
terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap
pancaindera (exposed to sensory experience). Karena
pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh
melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus
didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan
bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran
42

rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran


terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren
berarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta
korespondensi berarti sesuai dengan kenyataan empiris.
Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses
perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian
diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih
lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru.
Secara garis besar, paradigma penelitian kuantitatif
mencakup :
1. Paradigma tradisional, positivis, eksperimental,
empiris.
2. Menekankan pada pengujian teori-teori melalui
pengukuran variabel penelitian dengan angka dan
melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
3. Realitas bersifat obyektif dan berdimensi tunggal.
4. Peneliti independen terhadap fakta yang diteliti /
berorientasi kepada hasil.
5. Bebas nilai dan tidak bias.
6. Pendekatan deduktif.
7. Pengujian teori dan analisis kuantitatif (menggunakan
pandangan ilmu pengetahuan alam).
43

3.2 PERSYARATAN UNTUK MENJADI SEORANG


PENELITI
Menurut Whitney (Nazir, 2009) syarat-syarat yang
harus dimiliki seorang peneliti, antara lain :
a. Daya nalar.
Seorang peneliti harus mempunyai daya nalar yang
tinggi, yaitu adanya kemampuan untuk memberi alasan
dalam memecahkan masalah, baiksecara induktif
maupun secara deduktif
b. Orisinalitas.
Peneliti harus mempunyai daya khayal ilmiah dan
harus kreatif. Peneliti harus brillian, mempunyai inisiatif
yang berencana serta harus subur dengan ide-ide yang
rasional dan menghindarkan plagiat
c. Daya ingat. 
Seorang peneliti harus mempunyai daya ingat yang
kuat, selalu ekstensif dan logis. Dapat dengan sigap
melayani serta menguasai fakta-fakta
d. Kewaspadaan.
Seorang peneliti harus secara cepat dapat melakukan
pengamatan terhadap perubahan yang terjadi atas sesuatu
varaibel atau atas suatu sifat fenomena. Ia harus sigap
dan mempunyai intaian yang tajam, serta responsive
terhadap perubahan atau kelainan
44

e. Akurat.
Seorang peneliti harus mempunyai tingkat
pengamatan serta tingkat perhitungan yang akurat, tajam,
serta beraturan.
f. Konsentrasi.
Seorang peneliti harus mempunyai kekuatan
konsentrasi yang tinggi, kemauan yang keras serta tidak
cepat muak
g. Dapat bekerja sama.
Peneliti harus mempunyai sifat kooperatif, dapat
bekerjasama dengan siapapun. Harus mempunyai
keinginan untuk berteman secara intelektual, dan dapat
bekerja secara team work
h. Kesehatan.
Seorang peneliti harus sehat, baik jiwa maupun fisik.
Peneliti harus stabil, sabar, dan penuh vitalitas.
i. Semangat
Kesehatan peneliti harus ditunjang pula oleh adanya
semangat untuk meneliti. Peneliti har us mempunyai
kreativitas serta hasrat yang tinggi.

3.3 SIFAT PENELITIAN ILMIAH


1. Penelitian dilakukan berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan yang diterima kebenarannya
45

Dalam hal ini jika menjadi seorang peneliti


tentunya memberikan dan menggambarkan sebuah
tulisan berdasarkan pengelaman dilapangan hal ini akan
singkron dan sesuai dengan kebenarannya, maka dari itu
jika rekan semua menjadi seorang peneliti gambarkanlah
sesuai dengan pengalaman
2. Penelitian diolah secara sitematik baik secara kualitatif
maupun kuantitatif
Jika sudah mengetahui dengan jelas tentu hal yang
kedua yaitu mengolah data tersebut secara sistematik
artinya berurutan. sehingga hasilnya kan sesuai dan
bertahap. dalam penelitian ini tentu berurutan secara
kulitatif maupun kuantitatif.
3. Hasil laporan dilaporkan secara logis dalam bentuk
tulisan karya ilmiah
Jika sudah diloah menjadi sebuah karya ilmiah
tentunya hal tersbut akan dilaporkan secara masuk akal
atau logis tentang kebenaran penelitian tersebut.
sehingga reel dan nyata penelitain tersebut memang hasil
penelitian murni.
4. Data yang dikumpulkan haruslah sesuai dengan data
penelitaian
Jika dalam sebuah penelitian data yang didapatkan
tentu harus sesuai dengan data diteliti contoh jika
penelitian dikelas tentang motivasi tentu data yang
46

dikumpulkan mengenai prestasi siswa. atau motivasi


yang diberikan  keseharian siswa dikelas.
5. penelitian tentunya menggunakan cara kerja dan
prosedur yang sistematis
Seperti yang telah diuraikan bahwa penelitian
tentunya harus mempunyai kinarja yang sesuai dan
sistematis sehingga karya ilmiah yang disusun bertahap
dan berurutan tidak acak adul kesana kamari.
6. Hasil laporan digunakan secara rasional dan logis
Jika sudah sesuai data yang diambil tentunya laporan
yang diberikan haruslah bersifat rasional dan masuk akal
seperti yang telah diuraikan diatas.

3.4 SUMBER BACAAN


Sumber bacaan ialah seluruh bahan bacaan yang ada
diperpustakaan sekolah seperti buku-buku paket, majalah dan
surat kabar, yang merupakan sumber informasi bagi
pembacanya.
Menurut tingkatan aktualitas informasi yang
terkandung di dalam sumber informasi, Sungkana Hadi
(1986:33) membedakan dalam tiga tipe, yaitu sebagai
berikut:
1. Sumber informasi primer yaitu sumber yang memuat
informasi terbaru dan informasi pertama yang belum
pernah dimuat media yang lain. Macam-macam sumber
47

primer ini yaitu majalah, jurnal, buletin, laporan


penelitian.
2. Sumber informasi sekunder yaitu sumber yang memuat
petunjuk mengenai ada dan dimana sumber informasi
primer sehingga sumber informasi sekunder ini sering
disebut sebagai kunci informasi primer.
Macam-macam sumber informasi sekunder ini antara lain:
a. Indeks artikel majalah yaitu bahan pustaka yang
mendaftar adanya artikel mengenai sesuatu atau
sejumlah topik, serta menunjukan di mana (dalam
majalah apa) artikel tersebut dimuat.
b. Abstrak (sari karangan) : mirip seperti indeks artikel,
namun abstrak dilengkapi dengan ringkasan atau sari isi
artikel / karangan yang bersangkutan.
c. Tinjauan buku/ resensi : sama seperti abstrak, namun
dalam tinjauan buku terdapat pula pendapat atau
tanggapan penulis atas buku yang bersangkutan.
d. Ensiklopedi : bahan pustaka yang memuat penjelasan
atau uraian atau sejumlah topik, pada umumnya sudah
diketahui, bukan uraian atau informasi baru.
e. Buku teks yaitu bahan pustaka yang menyediakan
informasi dalam suatu pokok soal atau penjelasan
tertentu dalam studi dan merupakan sumber informasi
tertulis utama yang dianjurkan untuk suatu mata
pelajaran.
48

3. Sumber informasi tertier


Sumber informasi tertier yaitu bahan-bahan pustaka
yang memberi petunjuk mengenai ada dan di mana sumber
informasi baik primer maupun sekunder yang dengannya
para pemakai dapat menelusuri lebih lanjut macam-macam
sumber informasi tertier itu adalah :
a. Panduan pustaka (literature guide) yaitu bahan pustaka
yang ada mengenai sesuatu bidang ilmu
b. Bibliografi yaitu bahan pustaka yang mendaftar adanya
bahan pustaka mengenai sesuatu bidang ilmu tertentu
atau mengenai berbagai ilmu yang diterbitkan dinegara
tertentu.    
c. Katalog perpustakaan : sama seperti bibliografi, namun
pustaka yang didaftar katalog perpustakaan terbatas
pada yang dimiliki oleh atau yang terdapat disuatu
perpustakaan tertentu.
49

KEHIDUPAN, JIWA, DAN ETIKA MORAL

4.1 HAKEKAT HIDUP


4.1.1 Definisi Makna Hidup
Makna hidup menurut Frankl (1984) adalah kesadaran
akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang
dilatarbelakangi oleh realitas. Makna hidup adalah hal-hal
yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga,
dan diyakini sebagai sesuatu yang besar serta dapat
dijadikan tujuan hidup. Makna hidup juga memberikan dan
mendapatkan nilai khusus bagi diri sendiri dan bagi orang
lain
Sedangkan menurut Ponty (dalam Brower, 1984)
makna hidup adalah sebagai hal yang membuka suatu arah.
Implikasinya di analogikan seperti warna yang tidak bisa
membuka arah bagi yang buta, yang tertutup dalam penjara
kegelapan.
Lain lagi dengan pendapat Adler (2004), mengatakan
bahwa makna hidup merupakan suatu ‘gaya hidup’ yang
melekat, mendiami, dan menjadi ciri khas individu dalam
melakukan interpretasi terhadap hidupnya. Adapun ‘gaya
hidup’ itu bersifat unik yang mana disebabkan karena
50

perbedaan pola asuh setiap individu pada masa kanak-


kanak.
Yalom (dalam Sundari, 2001), berpendapat bahwa
makna hidup (meaning of life) adalah suatu pemeriksaan
mengenai makna alam dunia, mengenai hidup atau hidup
manusia yang sesuai dengan pola-pola yang koheren.
Ditambahkan bahwa pengertian tentang makna hidup
mengandung tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai
dan dipenuhi.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa makna hidup
merupakan suatu yang dianggap penting, benar dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang.
Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan
menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan
berharga. Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan
bahwa didalamnya terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-
hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Maka hidup ini benar-
benar terdapat dalam kehidupan itu sendiri, walaupun dalam
kenyataannya tidak mudah ditemukan karena sering tersirat
dan tersembuyi didalamnya. Bila makna hidup ini berhasil
ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan
dirasakan bermakna dan berharga yang pada gilirannya
akan menimbulkan perasaan bahagia.
Maka dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah
hal yang dianggap penting oleh seseorang, dirasakan
51

berharga, diyakini sebagai sesuatu yang sangat besar, dan


dapat memberikan nilai khusus bagi seseorang, juga dapat
dijadikan tujuan hidup.

4.1.2 Landasan Filosofis Makna Hidup


Menurut Bastaman, (1996) Logoterapi mempunyai
tiga landasan filosofis yang antara satu dan lainnya
berkaitan erat dan saling menunjang. Makna hidup
merupakan salah satu diantara filosofi yang saling berkaitan
itu. Landasan itu adalah :
a. Kebebasan berkehendak (Freedom of will)
Dalam keadaan logoterapi, manusia adalah mahluk yang
terbatas dan memiliki kebebasan yang juga terbatas,
artinya manusia tidak lepas dari kondisi-kondisi yang
melingkupinya, tetapi bebas untuk menyikapi berbagai
kondisi yang dihadapi. Frankl (1984) menyatakan bahwa
hidup manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan
dipengaruhi, ia dapat menentukan sikap untuk menyerah
atau mengatasi keadaan nya bahkan pada situasi yang
tidak dapat diubah, ia dapat memutuskan hidup yang
dijalani dan hidupnya di masa yang akan datang.
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk
menentukan sikap (freedom to take a stand) terhadap
kondisi itu. Manusia juga mampu mengambil jarak (to
detach) terhadap kondisi-kondisi diluar dirinya, bahkan
52

terhadap dirinya sendiri (self ditechment). Kemampuan-


kemampuan inilah yang kemudian membuat manusia
disebut sebagai “the self-determining being” yang
menunjukkan bahwa manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan sendiri apa yang dianggap baik dan
penting dalam hidupnya. Menurut Frankl (1984)
kebebasan adalah setengah dari kebenaran, maksudnya di
dalam kebenaran terkandung aspek negatif yaitu
kebebasan, dan aspek positifnya adalah sikap
bertanggung jawab, oleh karena itu agar kebebasan tidak
berkembang menjadi kesewenangan maka dalam
pandangan logoterapi kebebasan harus diimbangi dengan
sikap tanggung jawab (responsibility). Logoterapi
menganggap sikap tanggung jawab ini merupakan esensi
dasar kehidupan manusia.
b. Kehendak Hidup Bermakna (Will to Meaning)
Menurut Frankl (1968) setiap manusia secara alamiah
memiliki kehendak untuk hidup bermakna. Kehendak
inilah yang pada akhirnya mengarahkan kehidupan
manusia untuk menemukan makna hidupnya. Logoterapi
memandang perjuangan untuk menemukan makna hidup
merupakan motivasi utama dalam hidup manusia. Hasrat
ini memotivasi setiap orang untuk memberikan sesuatu
yang berharga dan berguna dalam kehidupan dengan
melakukan tindakan-tindakan nyata misalnya : bekerja,
53

berkarya, dan melakukan kegiatan-kegiatan penting


lainnya. Tujuannya adalah agar hidup berharga dan
dihayati secara bermakna. Hasrat hidup bermakna adalah
fenomena yang benar-benar nyata dan dirasakan penting
dalam kehidupan manusia. Hasrat ini membantu manusia
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Frankl menyebutnya sebagai “the will to meaning”
bukan “the drive to meaning” karena makna dan nilai-
nilai hidup tidak mendorong (to pust, to drive) tetapi
bersifat menarik (to pull) dan menawarkan (to offer)
seseorang untuk memenuhinya.
c. Makna Hidup (Meaning of Life)
Hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar,
berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus
bagi seseorang. Makna hidup terkandung dan
tersembunyi dalam setiap situasi yang dihadapi manusia,
ia mengarahkan manusia untuk mengambil peranan
dalam hidup bersama dengan manusia lain. Jika
seseorang berhasil dalam menemukan makna hidupnya
akan menimbulkan penghayatan bahagia (happiness)
sebagai efek sampingnya (Bastaman, 1996). Makna
hidup ini merupakan sesuatu yang unik dan khusus, dan
hanya bisa dipenuhi oleh individu yang bersangkutan.
54

4.1.3 Karakteristik Makna Hidup


Menurut Bastaman (1996) untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jelas tentang makna hidup maka
perlu diketahui karakteristiknya yaitu :
1. Unik dan Personal
Artinya apa yang dianggap berarti oleh seseorang
belum tentu berarti bagi orang lain bahkan apa yang
dianggap bermakna pada saat ini mungkin berbeda dalam
waktu yang berbeda. Apa yang bermakna bagi kehidupan
seseorang biasanya bersifat khas, berbeda dengan orang
lain, dan mungkin berubah juga dari waktu ke waktu.
Jadi, yang dimaksud unik dan personal adalah makna
yang bersifat khas bagi individu dan mungkin khas untuk
suatu kurun waktu.
2. Spesifik dan Konkrit
Artinya makna hidup ditemukan dalam pengalaman
dan kehidupan nyata sehari-hari, dan tidak harus
dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistis, prestasi-
prestasi akademis yang tinggi atau hasil-hasil renungan
filosofis yang kreatif. Peristiwa sehari-hari pun dapat
memberikan makna bagi kehidupan seseorang.
3. Memberi Pedoman dan Arah
Makna hidup seseorang akan memberikan pedoman
dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukannya,
55

sehingga makna hidup seakan-akan menantang


(challenging) dan mengundang (inviting) seseorang
untuk memenuhinya. Makna hidup tidak mendorong (to
pust, to meaning) kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang, tetapi menarik (to pull) atau seakan-akan
memanggil seseorang untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tertentu.
Mengingat keunikan dan kekhususan ini, maka
makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun,
melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri karena
makna hidup merupakan suatu hal yang sangat personal.
Selain ketiga karakteristik tersebut, logoterapi mengakui
adanya makna hidup yang sifatnya mutlak (absolut),
semesta (universal), paripurna (ultimate). Bagi orang
yang kurang religius, alam semesta, ekosistem,
pandangan filsafat dan ideologi tertentu memiliki nilai
universal, dan paripurna, dan menjadikannya sebagai
landasan dan sumber makna hidup, sedangkan bagi
orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan,
maka agama menjadi sumber makna hidup paripurna
yang mendasari makna hidup pribadi (Bastaman, 1996).
4. Sumber-Sumber Makna Hidup
Setiap individu dapat menemukan makna dalam
hidupnya dengan menelusuri sumber-sumber makna
56

hidup, Frankl (dalam Guttman, 1996) menunjukkan tiga


sumber makna hidup, yaitu :

a. Nilai-nilai Kreatif (Creative Values)


Nilai-nilai kreatif adalah nilai-nilai yang dapat
dipenuhi melalui berbagai tindakan yang nyata misalnya
dengan cara menciptakan suatu pekerjaan atau
melakukan suatu perbuatan. Inti dari nilai ini adalah
memberikan sesuatu yang berharga dan berguna bagi
kehidupan. Lingkup kegiatannya sangat luas, mulai dari
pelaksanaan tugas hingga aktifitas yang kreatif seperti
pekerjaan, belajar, kegemaran, dan hobi. Aktivitas-
aktivitas itu mempresentasikan keunikan keberadaan
individu dalam hubungannya dengan masyarakat dan
karenanya memperoleh makna dan nilai. Semua
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab
dengan sepenuh hati, dan bila hal itu dilakukan maka
secara tidak langsung ia telah menghayati aktivitasnya.
Bukan karena kewajiban rutin tetapi lebih karena nilai
yang terkandung didalamnya. Menurut Pattakos (2004)
memberi makna pada pekerjaan atau aktivitas lebih dari
sekedar menyelesaikan sebuah tugas untuk mendapatkan
imbalan nyata seperti : uang, status atau gengsi, tetapi
memiliki komitmen tehadap nilai dan tujuan yang
mungkin tidak kelihatan “nyata” dan penuh makna, yaitu
57

penghargaan kepada kebutuhan-kebutuhan yang


terdalam dari kita. Menemukan nilai melalui tindakan
kreatif merupakan cara mewujudkan potensi yang
dimiliki. Sejalan dengan itu Maslow (1987) mengatakan
bahwa tujuan utama upaya manusia adalah aktualisasi
diri yakni penggunaan potensi yang dimiliki secara
penuh. Melakukan tindakan kreatif merupakan wujud
dari kepedulian, tanggung jawab, dan kesadaran hidup
bersama dengan manusia lain. Semakin teraktualisasi
potensi maka semakin bermakna hidup yang dijalani.
b. Nilai penghayatan (Experietial Values)
Seseorang mencoba memahami, meyakini, dan
menghayati berbagai nilai yang ada dalam kehidupan.
Nilai-nilai ini diperoleh melalui apa yang dijalani dalam
hidup sehari-hari : pengalaman akan kebenaran,
kebaikan, keindahan, dan cinta. Apabila seseorang dapat
mengalami dan menghayati nilai-nilai tersebut dapat
dikatakan bahwa orang itu menemukan makna hidupnya.
c. Nilai-nilai Bersikap (Attitudinal Values)
Pendalaman dari nilai bersikap pada intinya
menuntut seseorang untuk dapat mengambil sikap yang
tepat dalam menghadapi berbagai peristiwa dan kondisi-
kondisi yang mungkin tidak menyenangkan dan sulit
untuk dihindari. Ketika dihadapkan pada kondisi tertentu
yang tidak bisa diubah maka mengubah cara untuk
58

menyikapi kondisi merupakan salah satu cara dalam


menemukan makna hidup. Nilai bersikap dianggap
merupakan nilai yang paling tinggi karena sekalipun
pada kondisi ini individu tidak bisa berkreativitas
ataupun kehilangan kesempatan untuk melakukan
penghayatan, nyatanya ia tetap dapat menemukan makna
hidupnya melalui penyikapan yang tepat terhadap
kondisi yang sedang dihadapinya.
Hidup adalah sebuah kesempatan untuk membentuk
nasib melalui nilai-nilai kreatif dengan menentukan sikap
terhadap nasib melalui nilai-nilai bersikap, di sanalah
pencapaian makna penderitaan terjadi. Dengan
merealisasi nilai-nilai bersikap ini, berarti individu
menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi
penderitaannya. Penderitaan dapat membuat manusia
menjadi matang karena melalui penderitaan itulah
manusia belajar dan semakin memperkaya hidupnya
(Bastaman, 1977).
5. Komponen-komponen Makna Hidup
Kesadaran akan pentingnya makna hidup manusia
tidak muncul begitu saja, namun didukung oleh beberapa
komponen, Bastaman (1996) mendeteksi adanya enam
komponen yang menentukan berhasilnya perubahan
hidup tidak bermakna menjadi bermakna, sebagai
berikut:
59

a. Pemahaman Diri (self insight), meningkatnya


kesadaran akan buruknya kondisi pada saat ini dan
keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah
kondisi yang lebih baik.
b. Makna Hidup (the meaning of life), nilai-nilai penting
dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang
yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus
dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.
c. Perubahan-perubahan Sikap (changing attitude), dari
yang tidak tepat menjadi lebih tepat dalam
menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah.
d. Keikatan Diri (self commitment), terhadap makna
hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang
ditetapkan.
e. Kegiatan Terarah (directed activities), upaya yang
dilakukan secara sadar dan sengaja berupa
pengembangan potensi pribadi (bakat, kemampuan,
dan keterampilan) yang positif serta pemanfaatan
relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya
makna tujuan hidup.
f. Dukungan Sosial (social support), hadirnya seseorang
atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan
selalu bersedia membantu pada saat-saat yang
diperlukan.
60

Berdasarkan sumbernya komponen ini dapat


dikelompokkan menjadi 3 (Bastaman 1996), yaitu :
1. Kelompok Komponen Personal
Pemahaman diri dan pengubahan sikap.
2. Kelompok komponen sosial
Dukungan sosial.
3. Kelompok komponen nilai
Makna hidup, keikatan diri, dan kegiatan terarah.

Keenam unsur diatas merupakan proses yang


integral dan dalam konteks mengubah penghayatan
hidup tidak bermakna menjadi bermakna antara satu
dengan yang lainnya tak dapat dipisahkan. Apabila kita
menganalisa unsur-unsur tersebut terlihat bahwa
seluruhnya lebih merupakan kehendak, kemampuan,
sikap, sifat, dan tindakan khas insan, yakni kualitas-
kualitas yang terikat dengan eksistensi manusia. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa keberhasilan
mengembangkan penghayatan hidup bermakna dapat
dilakukan dengan jalan menyadari dan
mengaktualisasikan potensi berbagai kualitas insan
(Bastaman, 1996).
6. Penyebab Timbulnya Makna Hidup
Menurut Frankl (2003), ada 3 penyebab timbulnya
61

makna dalam hidup ini yang dapat membawa manusia


kepada makna hidupnya, yaitu :
a. Memaknai Makna Kerja.
Menurut Frankl manusia adalah mahluk yang
bertanggungjawab dan harus mengaktualkan potensi
makna hidupnya. Makna hidup bukanlah untuk
dipertanyakan tetapi untuk dijawab, karena kita
bertanggung jawab atas hidup ini. Jawaban tidak
hanya diberikan dalam kata-kata tetapi yang utama
adalah dengan berbuat, dengan melakukan (Frankl,
2003). Aktualisasi nilai-nilai kreatif yang bisa
memberikan makna kepada kehidupan seseorang
biasanya terkandung dalam pekerjaan seseorang.
Menurut Frankl (2003) pekerjaan
memprentasikan keunikan keberadaan individu dalam
hubungannya dengan masyarakat dan karenanya
memperoleh makna dan nilai. Makna dan nilai ini
berhubungan dengan pekerjaan seseorang sebagai
kontribusinya terhadap masyarakat dan bukan
pekerjaannya yang sesungguhnya yang dinilai. Dalam
kasus-kasus dimana pekerjaan yang dimiliki
seseorang tidak membawanya kepada pemenuhan diri,
maka bukan pekerjaannya yang harus diubah,
melainkan sikap orang tersebut dalam dan terhadap
pekerjannya.
62

b. Memaknai makna cinta


Cinta hanyalah cara untuk mencapai keberadaan
orang lain pada bagian yang paling dalam dari
kepribadiannya. Tak seorangpun dapat menyadari
adanya sesuatu yang sangat esensial dari keberadaan
orang lain jika dia tidak mencintainya. Dengan
bertindak secara spiritual dalam cinta dia dapat
melihat ciri-ciri dan bentuk esensial pada orang yang
dicintai ; atau lebih dari itu, dia melihat apa yang
potensial dari dalam dirinya ; yang belum
teraktualisasikan tetapi harus diaktualisasikan.
Karenanya, dengan cintanya, seseorang yang sedang
mencintai dapat menjadikan orang yang dicintainya
mengaktualkan potensi-potensinya dengan
membuatnya sadar apa yang bisa dijadikan dan apa
dia harus menjadi, dia membuat potensi-potensinya
menjadi kenyataan.
Dalam cinta terjadi penerimaan penuh akan nilai-
nilai, tanpa kontribusi maupun usaha dari yang
dicintainya. Cinta akan mampu memperkaya si
pecinta. Cinta mengungkapkan individu untuk melihat
inti spiritual orang lain, nilai-nilai potensial dan
hakekat yang dimilikinya (Frankl, 2004) cinta
memungkinkan kita untuk mengalami kepribadian
orang lain dalam dunianya sendiri dan dengan
63

demikian memperluas dunia kita sendiri. Bahkan


ketika pengalaman kita dalam bercinta berubah
menjadi kisah yang menyedihkan, kita tetap diperkaya
dengan diberikan makna yang lebih mendalam akan
hidup. Manusia tetap rela untuk menanggung resiko
dan mengalami sekian banyak kisah cinta yang
menyedihkan asalkan dapat mengalami satu saja kisah
cinta yang membahagiakan.
Dalam logoterapi, cinta yang membahagiakan
sebagai epiphenomenon keinginan-keinginan seksual
dan insting belaka yang dalam perspektif ini disebut
juga sebagai sublimasi cinta secara primer adalah
fenomena sebagaimana seks. Normalnya, seks adalah
bentuk ekspresi cinta. Cinta tidak dapat dipahami
sebagai suatu efek samping saja dari seks, namun seks
adalah suatu cara pengungkapan pengalaman dari
puncak kebersamaan yang disebut cinta.
c. Memaknai makna penderitaan
Kapanpun sesorang bisa berhadapan dengan
sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan, situasi yang tak
terhindarkan, nasib yang tak bisa berubah, penyakit
yang tak terobati ; dengan demikian seseorang itu
diberikan kesempatan terakhir untuk
mengaktualisasikan nilai tertinggi. Untuk mengisi
64

makna terdalam, yaitu makna penderitaan. (Frankl,


2003).
Penderitaan memberikan suatu makna manakala
individu menghadapi situasi kehidupan yang tak dapat
dihindari. Hanya bilamana suatu keadaan sungguh-
sungguh tidak bisa diubah-ubah dan individu tidak
lagi memiliki peluang untuk merealisasikan nilai-nilai
kreatif, maka saatnyalah untuk merealisasi nilai-nilai
bersikap tiba. Dalam penderitaan individu berada
dalam ketegangan atas apa yang seharusnya terjadi
dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam kenyataan.
7. Struktur Makna Hidup
Kratochvil (dalam Bastaman 1996) membedakan
struktur makna hidup yaitu sebagai berikut :
a. Struktur Paralel
Suatu struktur sistem nilai disebut struktur
paralel jika beberapa nilai memiliki bobot sama kuat.
Tidak ada yang lebih kuat atau yang lebih lemah.
Contoh : orang yang sekaligus mencintai pekerjaanya
dan keluarga nya. Struktur ini dianggap lebih sehat
karena ketika suatu nilai tidak terpenuhi atau hilang,
maka dapat digantikan oleh nilai lain yang setara.
Seseorang yang berorientasi pada struktur ini akan
menemukan pilihan dan peluang yang lebih banyak
65

dan lebih mudah untuk menghargai pihak lain yang


keadaanya berbeda.
b. Struktur Piramidal
Suatu struktur sistem nilai disebut sturktur
piramidal jika menempatkan waktu nilai sebagai nilai
tertinggi atau tunggal, sedangkan nilai-nilai yang lain
memiliki peringkat dibawahnya atau seringkali
diabaikan. Contoh : orang yang hanya mencintai
pekerjaannya dan mengabaikan kegiatan-kegiatan
yang lain. Sistem ini memiliki kelemahan yaitu ketika
nilai tertinggi tidak terpenuhi, maka tidak dapat
digantikan oleh nilai yang lain sehingga sistem nilai
seakan-akan runtuh. Orang yang berpegang hanya
pada satu nilai tunggal memiliki kecenderungan untuk
fanatik dan memiliki ambang toleransi yang rendah.
Seseorang yang berorientasi pada struktur ini sulit
untuk memahami perbedaan.
8. Proses Keberhasilan Menemukan Makna Hidup
Bastaman (1996) menyatakan urutan pengalaman dan
tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah
penghayatan hidup tidak bermakna menjadi bermakna
adalah proses keberhasilan. Proses keberhasilan
menemukan makna hidup dikategorikan menjadi lima
kelompok tahapan berdasarkan urutan-urutannya,
yaitu :
66

a. Tahap derita
Pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa
makna.
b. Tahap penerimaan diri
Pemahaman diri dan pengubahan sikap.
c. Tahap penemuan makna hidup
Penemuan makna dan penentuan tujuan hidup.
d. Tahap realisasi makna
Keikatan diri, kegiatan terarah, pemenuhan makna
hidup.
e. Tahap kehidupan bermakna
Penghayatan bermakna dan kebahagian.

4.2 JIWA DAN KEHIDUPAN


4.2.1 Jiwa
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dari
makhluk ciptaan Allah yang lain, ia memiliki badan yang
tersusun dari organ-organ, sel-sel, otot, kelenjar dan lain
sebagainya, juga memiliki  jiwa, sesuatu yang substansial
dalam diri seorang manusia.
Sebagai sesuatu yang substansial dalam diri manusia
inilah yang mengundang tanda tanya besar dalam benak
manusia itu sendiri untuk menjawabnya seperti para filosof
yang menjadi kiblat bagi psikologi dan pemikir Islam.
Mereka ada yang berpendapat bahwa  jiwa itu sama dengan 
67

ruh dalam istilahnya. Tetapi ada juga yang mengatakan


bahwa jiwa dan ruh itu berbeda.
Sebagian besar hasil refleksi filosof tentang jiwa pada
soal itu bersifat “Atomistik” dimana jiwa manusia itu
dipandang sebagai sesuatu yang konstan, tidak berubah-
ubah dan dapat dianalisa sebagai memiliki unsur tersendiri
dan masing-masing terpisah satu sama lain. Pada zaman itu
pembahasan tentang jiwa dipisahkan dari pengetahuan
tentang raga (jasad). Jiwa dipercayai memiliki daya-daya
tertentu yang bekerja sendiri tanpa ada hubungan dengan
raga. Jiwa benar-benar didudukkan sebagai sebuah
substansi immaterial yang terpisah dari raga dan abstrak.
a. Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid setia Socrates, ia menyatakan
bahwa jiwa merupakan aspek yang pertama, ia lebih
unggul dari pada badan secara total (terutama dalam hal
jiwa manusia) bahwa tidak hanya menjadi prinsip hidup
tumbuh-tumbuhan dan hewani, tetapi juga prinsip
kesadaran, interioritas, pemikiran dan kebebasan jiwa
tidak bisa disamakan dengan organisme, baik dengan
bagian tertentu maupun dengan segi manapun yang
bersifat organik dan badaniah dalam makhluk hidup.
Plato menambahkan bahwa jiwa merupakan satu
substansi yang eksistensinya mendahului badan, yang
68

sementra waktu bertahan dalam badan seperti didalam


sebuah penjara.
b. Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid Plato namun secara keseluruhan
corak pemikirannya berbeda bahkan berlawanan dengan
gurunya, termasuk pemikirannya tentang jiwa bagi
Aristoteles. Jiwa tidak hanya dimiliki manusia tapi juga
oleh hewan dan tumbuhan. Hal tersebut tertuang dalam
bukunya “De Anima” (perihal jiwa) yang merupakan
hasil penelitiannya terhadap gejala-gejala kehidupan
tumbuhan, hewan dan manusia itu sendiri.
Menurutnya jiwa tumbuhan, hewan dan manusia itu
tidak hanya satu tetapi memiliki banyak jiwa dan terus
menerus mengalami perubahan dari jiwa yang lebih
rendah naik menuju jiwa yang lebih tinggi, ini
merupakan konsekuensi logis dari kerangka
pemikirannya mengenai  teleologis Proses perubahan itu
terjadi karena setiap makhluk memiliki energi hidup
yang disebut  “Entelechi”. Energi inilah yang sebenarnya
merupakan substansi kehidupan setiap makhluk atau jiwa
dari badan yang selalu bergerak menuju ke arah tujuan
(teleologis).
Macam-macam jiwa menurut Aristoteles ada 3 yaitu: 
1. Jiwa Tumbuhan (Anima Vegetativa) yaitu jiwa yang
terdapat pada tumbuhan yang mempunyai
69

kemampuan untuk makan minum dan berkembang


biak.
2. Jiwa Hewan (Anima Sentitiva), yaitu jiwa yang
terdapat pada hewan yang disamping mempunyai
kemampuan-kemampuan seperti pada anima
vegetativa juga mempunyai kemampuan-kemampuan
untuk berpindah tempat mempunyai nafsu, dapat
mengamati, dapat menyimpan pengalaman-
pengalamannya.
3. Jiwa Manusia (Anima Intelektiva) yaitu jiwa yang
terdapat pada manusia selain mempunyai
kemampuan-kemampuan yang terdapat pada anima
vegetativa dan  anima sentitiva, manusia masih
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi lagi yaitu
berpikir dan berkemauan dapat hidup dengan lebih
baik lagi.
c. Rene Descartes ( 1596-1650 M )
Descartes adalah seorang filosof Prancis. Ia adalah
peletak aliran Rasionalisme. Tidak banyak ditemukan
pemikiran Descartes yang khusus membicarakan
mengenai jiwa, namun demikian, diakui bahwa
rasionalisme descartes memiliki pengaruh yang sangat
besar bagi ilmu jiwa, khususnya ilmu jiwa metafisik
yang mencoba berkelana untuk menemukan substansi
jiwa itu sendiri. Dalam hal ini Descartes menyatakan
70

bahwa pada hakekatnya jiwa manusia itu terikat oleh


prosedur dan aturan hukum alam.
d. John Locke (1632-1704 M)
John Locke adalah putra seorang ahli hukum
berkebangsaan Inggris yang menetap di Washington.
Dalam ilmu jiwa ia sering disebut sebagai peletak  aliran
ilmu jiwa asosiasi. Bukunya yang terkenal dalam
psikologi adalah Essay Concerning Human
Understanding (1690). Dalam buku ini ia berpendapat
bahwa kalau suatu benda dapat dianalisa sampai sekecil-
kecilnya. Demikian pula halnya dengan jiwa manusia,
yang berisi unsur-unsur pengalaman sederhana yang
kemudian berasosiasi dan menjadi gejala-gejala jiwa
yang lebih rumit. Semua pengetahuan, respon dan
ungkapan perasaan jiwa manusia adalah hasil dari
pengalaman melalui penangkapan panca indera, ia juga
berkeyakinan bahwa setiap anak yang  lahir jiwanya
kosong bagai sehelai kertas putih bersih tidak tertulis
(tabularasa).
Tidak hanya para filosof dan psikolog saja yang
memberikan perhatiannya kepada masalah kejiwaan
manusia, tetapi banyak pula cendekiawan muslim yang
memberi perhatian pada masalah tentang jiwa
diantaranya:
a. Al-Kindi     
71

Menurutnya jiwa tidak tersusun, mempunyai arti


penting, sempurna dan mulia selain jiwa bersifat
spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dengan tubuh.
Jiwa mempunyai 3 daya yaitu: daya bernafsu, daya
pemarah dan daya pikir. Pendapat al-Kindi lebih dekat
pada pemikiran Plato dari pada Aristoteles. Namun, al-
Kindi lebih sependapat dengan Plato yang mengatakan
bahwa jiwa berasal dari alam ide.
b. Ibnu Majjah
Ibnu Majjah memulai pembahasan mengenai jiwa
dengan devinisi jiwa dan menyatakan bahwa tubuh, baik
yang alamiah atau tidak tersusun dari  materi dan 
bentuk. Bentuk merupakan perolehan permanen yang
merupakan kenyataan tubuh dengan fungsi-fungsinya
tanpa harus digerakkan. Jiwa dianggap sebagai
pernyataan pertama dalam tubuh alamiah yang teratur
yang bersifat nutritif, sensitif dan imajinatif.
c. Nasir Al-Din Tusi
Nasir Al-Din Tusi dalam membuka karangannya
tidak dengan mengemukakan bukti esensi mengenai
jiwa, tetapi dengan mengemukakan asumsi bahwa jiwa
merupakan suatu realitas yang dapat terbukti dengan
sendirinya dan memang tidak dapat dibuktikan. Jiwa
merupakan substansi yang sederhana dan immaterial
yang dapat merasa. Ia mengontrol tubuh melalui otot-
72

otot dan alat perasa, tetapi tidak dapat dirasakan melalui


alat-alat tubuh dan jiwa tidak dapat dibagi.Sedangkan 
dalam  kitab  karangan  Ibnu  Qayyim  Al  Jauziyyah “
Ar-Ruh” ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan
jiwa dan ruh.

d. Muqatil Bin Sulaiman


Ia mengatakan bahwa manusia itu mempunyai
kehidupan, ruh dan jiwa. Jika ia tidur, maka jiwanya
yang digunakan untuk memahami sesuatu itu keluar,
namun ia tidak berpisah dengan badan. Ia keluar seperti
benang panjang dan memiliki sinar sehingga ia bisa
bermimpi (melihat dalam tidur) dengan jiwa (nafs) yang
keluar dari jasadnya, sedangkan  kehidupan dan ruh
masih berada dalam tubuh, dengan jiwa inilah manusia
bisa berbolak-balik dan bernafas. Jika manusia bergerak,
maka jiwa itu dengan secepatnya kembali ke dalam
tubuh lebih cepat dari kedipan mata. Apabila Allah
menghendaki manusia itu mati, maka Allah menahan
jiwa (nafs) yang keluar itu.
e. Ahlul Atsar berpendapat bahwa ruh berbeda dengan
jiwa (nafs). Jiwa adalah gambaran hamba, hawa
nafsu, syahwat dan ujian. Sedangkan  ruh itu
mengajak kepada akhirat dan mempengaruhinya.
73

Yang lain berpendapat bahwa jiwa (nafs) adalah


makna yang memang ada memiliki batas, sendi, panjang,
lebar dan kedalaman. Ja’far bin Harb mengatakan bahwa
nafs  (Jiwa) merupakan sesuatu yang bukan inti (aradh)
yang  terdapat  di  dalam  jasad (tubuh) ini.
Kalangan lain berpendapat bahwa nafs (jiwa) adalah
hembusan yang keluar dan masuk dengan cara bernafas
sedangkan ruh adalah sesuatu yang bukan inti dan ia
hanyalah kehidupan ini. Ia berbeda dengan jiwa (nafs).
Ini adalah pendapat al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Baqilani
dan para pengikutnya dari kalangan Asy’ariyah.
Ada pula yang berpendapat bahwa jiwa (nafs)  itu
bukan merupkan badan  (jasad) dan bukan sesuatu yang 
bukan inti. Ia tidak berada disatu tempat, tidak punya
ukuran panjang dan lebar, tidak punya volume, tidak
punya warna, bukan merupakan bagian, tidak berada
dialam dan tidak pula diluarnya, tidak bisa disamakan
dan tidak bisa dibedakan.
Sedangkan jiwa menurut al-Qur’an adalah suatu dzat
yang bulat (Totaliteit) tercakup didalamnya ruh dan 
jasad atau dinyatakan kepada jasad saja atau kepada ruh
saja ( Q.S. al-Sajdah: 9 ). Tetapi ruh tidak dinyatakan
kepada jasad saja dan tidak juga kepada jiwa saja. Ruh
memberikan hidup kepada jasad dan  jiwanya sekaligus.
74

Dan ruh juga diartikan wahyu atau al-Qur’an karena


menghidupkan jiwa manusia.
Badan manusia disebut hidup karena ada ruhnya dan
disebut berharga (mulia) karena ada jiwanya. Dengan ruh
manusia hidup, dengan jiwa manusia menjadi makhluk
yang berharga mulia (Q.S. al-Hijr: 9). Jiwa yang dihidupi
oleh ruh menjadi mulia.

4.2.2 Filsafat Kehidupan


Hidup adalah yang menunjukkan masih berada,
bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya. Orang dapat
dipengaruhi oleh dua pandangan hidup, yaitu:
1. Mekanisme
Memandang segala kejadian di dunia ini sebagai suatu
atomatisme belaka, suatu kejadian yang dengan sendirinya
harus terjadi sebagai akibat dari suatu rentetan hukum
sebab-akibat (Cause-Effect). Yang dimaksud “sesuatu yang
mekanis” menunjuk pada tiga arti:
a. Sesuatu yang menunjuk pada teori mesin
b. Sesuatu yang menunjuk pada fisio-kimiawi
c. Sesuatu yang menunjuk pada proses kerja kausalistik
2. Vitalis
Menganngap adanya hidup sebagai prinsip yang lepas
dari segala kebendaan. Hidup itu dapat bermanifestasi
(menyatu) dalam benda yang mempunyai susunan tertentu,
75

kemudian benda itu kita sebut hidup. Kalau susunan benda


itu rusak maka hidup tidak lagi menyatu (bersemayam) di
dalamnya, dengan kata lain makhluk tersebut dianggap
mati.
Henry Bergson (1859-1941), seorang vitalisme yang
terkemuka, berpendapat bahwa hidup itu merupakan proses
yang berarah tujuan , bergerak maju ke bentuk-bentuk hidup
yang semakin tinggi hingga sangat muskil. Perkembangan
itu karena adanya “hasrat hidup” (elan vital). Elan vital
terus terus menerus mendorong organisme hidup terus
bergerak menyerap hidup. Sehingga terbentuk bentuk-
bentuk hidup yang baru  (evolusi).
Makhluk hidup
a. Tumbuh-tumbuhan, hanya dapat bertahan hidup dari
gangguan makhluk lain.
b. Hewan, tidak hanya dapat bertahan hidup, tetapi juga
dapat berlari dari kejaran musuhnya.
c. Manusia, tidak hanya sekedar bertahan dan
berlindung, tetapi bahkan dapat memikirkan mengapa
musuhnya berbuat demikian dan merencanakan
strategi balasan.

Kehidupan adalah yang menunjukkan kondisi hidup


seperti kehidupan dunia, akhirat dan lain-lain.
Hidup sekarang:
76

Hidup yang dulu: ketika kita merasakan seakan pernah


datang ke suatu tempat, padahal tempat itu baru pertama
kali kita kunjungi atau bahkan tempat tersebut baru
dibangun, maka tempat itu diberitahukan pada alam hidup
yang dulu.
Hidup yang nanti:
Dapat dirasakan oleh kita dan lebih-lebih penguasa yang
dzalim tindakannya akan diperhitungkan pada hidup
yang akan datang, tempat di mana semuanya harus
dipertanggungjawabkan. Hal ini dalam kajian agama
disebut akhirat.

4.3 NILAI DAN ETIKA


4.3.1 Pengertian Nilai
Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada
hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada
suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah
suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-
kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu
kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil
keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat
77

menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak


benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu
pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia
sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal,
rasa, karsa dan kepercayaan. Dengan demikian, nilai adalah
sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan
mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai
sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh
karena itu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam,
yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial,
nilai politik dan nilai religi.
Hierarkhi Nilai sangat tergantung pada titik tolak dan
sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu
obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa
nilai tertinggi adalah nilai material. Max Scheler
menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama
tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai – nilai dapat
dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan
dengan indra yang memunculkan rasa senang,
menderita atau tidak enak,
78

2. nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi


kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum,
3. nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan
dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4. nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah
modalitas nilai dari yang suci.
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga,
yaitu:
1. nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
jasmani manusia,
2. nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau
kegiatan,
3. nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat
rokhani manusia yang dibedakan dalam empat
tingkatan sebagai berikut :
a,nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio,
budi, akal atau cipta manusia.
b.nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada
perasaan manusia
c.nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber
pada unsur kehendak manusia
d.nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat
mutlak Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam
79

wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu


keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau
tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang
menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada
dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu
keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai
sistem nilai.

Nilai Dasar Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak


dapat diamati melalui panca indra manusia, tetapi dalam
kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau
berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya.
Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat,
esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena
menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu.
Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya.
Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan
maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah
kausa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang
diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu
berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus
bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan
dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar
(hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan
80

kepada hakikat suatu benda (kuantitas, aksi, ruang dan


waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai
norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praktis,
namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh
bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber
penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber
etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman
pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat
bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi
serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila
nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan
menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu
berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai
instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau
strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat
juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan
suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan
ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental
dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar
yang merupakan penjabaran Pancasila.
Nilai praktis merupakan penjabaran lebih lanjut dari
nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan
81

demikian nilai praktis merupakan pelaksanaan secara nyata


dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh
karena itu, nilai praktis dijiwai kedua nilai tersebut diatas
dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik
adalah wujud dari nilai praktis, dengan kata lain, semua
perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai
kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.

4.3.2 Etika
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari
kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas
yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti
benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of
Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam
kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur
etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan
refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat
etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai
perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan
82

sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan


refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai
suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.
Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti
juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang
normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan
buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika
(studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai
etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika)
4.3.3 Jenis Etika
1. Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan
sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau
berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika
sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari
filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara
etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat. Karena itu, bila
ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus
bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan
dijelaskan dua sifat etika:
a. Non-empiris, Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-
empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan
pada fakta atau yang konkret. Namun filsafat tidaklah
83

demikian, filsafat berusaha melampaui yang konkret


dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-
gejala konkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak
hanya berhenti pada apa yang konkret yang secara
faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
b. Praktis, Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai
sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum
mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak
terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang
harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai
cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan
praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai.
Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif.
Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok
seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb,
sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk
menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan
kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan
uji.
2. Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan
etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik
84

agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki


etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis
merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu
banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam
etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan
sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-
presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria
pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam
etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang
bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah
atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber
dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.
Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel
sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika
teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika
secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi,
tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu
mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam
hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya
yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi
sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara
85

agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki


perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.

4.3.4 Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis


Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis
dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah
pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban
menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas,
yaitu:
1. Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430)
yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk
merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
2. Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas
(1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika
teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini,
dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi
suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi
lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika
teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
3. Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher
(1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika
filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut
86

dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang


sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa
keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat
dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat
dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas
Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum
dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika
teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah
diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher,
diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap
setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu
hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan
dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan
hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.
Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini
dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu
membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

4.4 ETIKA MORAL


4.4.1 Pengertian Etika
Etik adalah kumpulan azas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat; pembangunan nilai
87

mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau


masyarakat dalam proses pembangunan.  Etika adalah
proses dan ilmu mengapa sesuatu dianggap benar ataupun
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Kamus besar bahasa Indonesia terbitan Departemen
Pendidikan dan kebudayaan (1988) merumuskan etika
dalam tiga arti sebagai berikut:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang
hak dan kewajiban moral.
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar salah yang dianut masyarakat.
Dari asal usulnya, etika berasal dari bahasa yunani
”ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik.
Etika berkembang menjadi studi tentang kebiasan manusia
berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang
berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam
kehidupan pada umumnya. Pada perkembangannya, etika
telah menjadi sebuah studi. Fagothey mengatakan bahwa
etika adalah studi tentang kehendak manusia, yaitu
kehendak yang berhubungan dengan keputusan yang benar
dan yang salah dalam tindak perbuatannya. Pernyataan
tersebut kembali di tegaskan oleh Sumaryono yang
menyatakan bahwa etika merupakan studi tentang
kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia
88

yang diwujudkan melalui kehendak manusia dalam


perbuatannya.
Fungsi Etika, Memberi orientasi kritis dan rasional
dalam menghadapi pluralisme moral, yang diakibatkan
oleh:
1. Adanya aneka pandangan moral.
2. Adanya gelombang modernisasi.
3. Munculnya berbagai ideologi.
4.4.2 Pengertian Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos
dalam bahasa Latin,bentuk jamaknya mores, yang artinya
adalah tata-cara atau adat-istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592),
moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila.
Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan
pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak
ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda.
Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah
ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan
(akhlak).
Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian
akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai
(watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan
merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari
89

dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan


direncanakan sebelumnya.

Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh


Bambang Daroeso (1986: 22) merumuskan pengertian
moral secara lebih komprehensip rumusan formalnya
sebagai berikut :
1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku
hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh
sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2. Moral adalah ajaran tentang perilaku hidup yang baik
berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang
mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh
keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
Beberapa ahli membedakan etika dengan moralitas.
Menurut Sony Keraf (1991) moralitas adalah sistem nilai
tentang bagaimana kita harus hidup dengan baik sebagai
manusia. Nilai-nilai moral mengandung petuah-petuah,
nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan lain sebagainya
yang terbentuk secara turun-temurun melalui suatu budaya
tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup dengan
baik agar menjadi manusia yang benar-benar baik. Frans
Magnis Suseno (1987) memiliki pernyataan yang sepaham
90

dengan pernyataan diatas, bahwa etika adalah sebuah ilmu


dan bukan sebuah ajaran, sedangkan yang memberi manusia
norma tentang bagaimana manusia harus hidup adalah
moralitas. Etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas
norma dan ajaran moral tersebut.

4.4.3 Hubungan Etika, Filsafat Ilmu Pengetahuan


Etika merupakan bagian dari filsafat. Filsafat sendiri
merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai interpretasi
tentang hidup manusia, yang betugas meneliti dan
menentukan semua fakta kongkrit hingga yang paling
mendasar. Ciri khas filsafat adalah upaya dalam
menjelaskan pertanyaan selalu menimbulkan pertanyaan
yang baru.
Abdul kadir (2001) memperinci unsur-unsur penting
filsafat ilmu sebagai berikut:
1. Kegiatan intelektual, Bahwa filsafat merupakan kegiatan
yang memerlukan intelektualitas atau pemukiran .
2. Mancari makna yang hakiki, Filsafat memerlukan
interpretasi terhadap suatu dalam kerangka pencarian
makna yang hakiki.
3. Segala fakta dan gejala, Bahwa obyek dari kegiatan
filsafat adalah fakta dan gejala yang terjadi secara nyata.
91

4. Dengan cara refleksi, metodis dan sistematis, Filsafat


memerlukan suatu metode dalam kegiatannya serta
membutuhkan prosedur-prosedur yang sistematis.
5. Untuk kebahagian manusia, Tujuan akhir filsafat sebagai
ilmu adalah untuk kebahagian manusia.
Etika merupakan bagian filsafat, yaitu filsafat moral.
Beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk itu antara
lain adalah bahwa etika merupakan ilmu yang mempelajari
perbuatan yang baik dan buruk, benar atau salah
berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan dalam
kehendaknya. Sebagai sebuah ilmu, etika juga berkembang
menjadi study tentang kehendak manusia dalam mengambil
keputusan untuk berbuat, yang mendasari hubungan antara
sesama manusia. Disamping itu, etika juga merupakan studi
tentang pengembangan nilai moral untuk memungkinkan
terciptanya kebebasan kehendak karena kesadaran, bukan
paksaan. Adapun alasan yang terakhir mengungkapkan
bahwa etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi yang
berupaya menunjukkan nilai-nilai hidup yang baik dan
benar menurut manusia.
Dalam konteks etika sebagai filsafat dan ilmu
pengetahuan ini, perlu dilakukan pemisahan antara etika dan
moral. Etika adalah ilmu pengetahuan, sedangkan moral
adalah objek ilmu pengetahuan tersebut. Dan sebagai ilmu
pengetahuan, etika menelaah tujuan hidup manusia, yaitu
92

kebahagiaan sempurna, kebahagiaan yang memuaskan


manusia, baik jasmani maupun rohani dari dunia sampai
akhirat melalui kebenaran-kebenaran yang bersifat filosofis.

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN


AKSIOLOGI
5.1 OBYEK STUDI DAN METODE FILSAFAT
5.1.1 Pengertian Objek Filsafat
Objek adalah sesuatu yang merupakan bahwa dari suatu
penelitian atau pembentukan pengetahuan.Setiap ilmu
pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan
menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipIkirkan.
Objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada
dan mungkin ada. ”Objek filsafat itu bukan main luasnya”,
tulis Louis Katt Soff, yaitumeliouti segala pengetahuan
manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia.
Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang
aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung
untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan mungkin ada
menurut akal piirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari
keterangan sedalam-dalamnya.
Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu
dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan formal.
93

Objek material ini banyak yang sama dengan objek material


sains. Sains memiliki objek material yang empiris. Filsafat
menyelidiki objek filsafat itu juga tetapi bukan bagian yang
empiris melainkan bagian yang abstrak. Sedang objek
formal filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang
sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni
segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).
Dari uraian yang tertera diatas, maka jelaslah bahwa:
1. Objek materia filsafat ialah sarwa-yang-ada yang pada
garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok,
yakni:
a. Hakekat Tuhan
b. Hakekat Alam, dan
c. Hakekat Manusia.
Objek Material adalah objek yang di jadikan sasaran
menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang yang di
pelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu
adalah pengetahuan itu  sendiri, yaitu pengetahuan yang
telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah
tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan
kebenarannya secara umum.
Objek material dari filsafat ad beberapa istilah dari
pada cendikiawan, namun semua itu sebenarnya tidak
ada yang bertentangan,
94

1) Mohammad Noor Syam berpendapat, ‘Parah ahli


membedakan bahwa objek filsafat itu atas objek
material dan objek material filsafat; segala sesuatu
yang ada dan yang mungkin ada.
2) Podjawijatna berpendapat, objek material filsafat
adalah ada dan yang mungkin ada
3) Oemar Amir Hoesain berpendapat, masalah lapangan
penyelidikan filsafat adalah karena manusia memiliki
kecenderungan hendak berfikir tentang segala sesuatu
dalam alam semesta, terhadap segala yang ada dan
mungkin ada.
4) H.A Dardiri berpendapat, objek material itu adalah
segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran,
ada dalam kenyataan maupunada dalamkemungkinan.
5) Abbas Hamami M. Berpendapat filsafat objek materil
itu adalah ada yang mengatakan, alam semesta, semua
keberadaan, masalah hidup, masalah manusia,masalah
tuhan dan lainnya. Karena untuk menjadikan satu
pendapat tentang tumpuan yang berbeda akhirnya
dikatakan bahwa segala sesuatu yang adalah yang
merupakan objek materil.
Setelah meneropong dari beberapa pendapat ahli
diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa objek
material dari filsafat sangat luas mencakup segala
sesuatu yang ada.
95

2. Objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan


secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akhirya)
tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada).
Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang
subjek menelaah objek materialnya.Objek formal filsafat
ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya
filsafat ilmu lebihmenaruh perhatian terhadap problem
mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat
ilmupengetahuan, bagaimana cara memperoleh
kebenaran ilmiah dan apa fingsi ilmu itu bagimanusia.
Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan
pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan
ontologis, epistemologis dan aksiologi.

5.1.2 Penyelidikan dan pembagian filsafat menurut


objeknya
Dalam buku Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan
Wahyu karangan Dr. H. Hamzah Ya’qub dikatakan bahwa
objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Di sinilah diketahui bahwa sesuatu yang ada atau yang
berwujud inilah yang menjadi penyelidikan dan menjadi
pembagian filsafat menurut objeknya ialah:
1. Ada Umum
Adalah menyelidiki apa yang ditinjau secara umum.
Dalam realitanya terdapat bermacam-macam yang
96

kesemuanya mungkin adanya. Dalam bahasa Erops, Ada


Umum ini disebut “Ontologia” yang berasal dari kata
Yunani “Onontos” yang berarti ada dan dalam bahasa
arab sering menggunakan Untulugia dan ilmu kainat.
2. Ada Mutlak
Adalah suatu yang secara mutlak yakni zat yang
wajib adanya, tidak tergantung pada apa dan siapapun
juga. Adanya tidak berpermulaan dan tidak
berpenghabisan dan harus terus ada, karena adanya
dengan pasti. Ia merupakan asal segala sesuatu. Ini
disebut Tuhan. Dalam bahasa Yunanu disebut
“Theodicia” dan dalam bahasa arab “Ilah atau Allah”.
3. Comologia
Yaitu filsafat yang mencari hakikat alam, dipelajari
apakah sebenarnya alam dan bagaimanakah
hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini ialah
filsafat alam yang menerangkan bahwa adanya alam
adalah tidak mutlak, alam dan isinya adanya itu karena
dimungkinkan Allah. Ada tidak mutlak, mungkin ada
dan mungkin lenyap sewaktu-waktu pada suatu masa.
4. Antropologia
Antropolgia (Filsafat Manusia), karena manusia
termasuk ada yang tidak mutlak, maka juga menjadi
objek pembahasan. Apakah manusia itu sebenarnya,
apakah kemampuan-kemampuannya dan apakah
97

pendorong tindakannya. Semua ini diselidiki dan dibahas


dalam Antropolgia.
5. Etika
Adalah filsafat yang menyelidiki tingkah laku
manusia. Betapakah tingkah laku manusia yang
dipandang baik dan buruk serta tingkah laku manusia
mana yang membedakannya dengan lain-lain makhluk.
6. Logika
Logika ialah filsafat akal budi dan biasanya juga
disebut mantiq. Akal budi adalah yang terpenting dalam
penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran.
Tanpa kepastian tentang logika, maka semua
penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya
tanpa akal budi maka tidak akan ada penyelidikan. Oleh
karena itu, dipersoalkan apakah manusia mempunyai
akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran.

5.1.3 Metode Filsafat   


Istilah metode berasal dari kata Yunani, methodeuo
yang berarti mengikuti jejak atau mengusut, menyelidiki
dan meneliti yang berasal dari kata methodos dari akar kata
meta (dengan) dan hodos (jalan). Dalam hubungan dengan
suatu upaya yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja
yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk
memahami suatu objek yang dipermasalahkan, yang
98

merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode yang


benar dan tepat akan menjamin kebenaran yang diraih.
Oleh karena itu, setiap cabang ilmu pengetahuan
harus mengembangkan metodologi yang sesuai dengan
objek studi ilmu pengetahuan itu sendiri. Ini merupakan
suatu keharusan karena sesungguhnya tidak ada satu metode
yang cocok digunakan bagi semua bidang ilmu
pengetahuan. Filsafat pun memiliki metode sendiri, namun
harus ditegaskan pula bahwa filsafat sesungguhnya tidak
memiliki metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf
sejak zaman purba hingga sekarang ini. Dapat dikatakan
bahwa jumlah filsafat adalah sebanyak jumlah filsufnya.
Sangat banyak metode filsafat yang digunakan oleh para
filsuf dari dahulu sampai sekarang ini.
1. Metode Zeno : Reductio ad Absurdum
Memang Zeno dikenal sebagai seorang pemikir jenius
yang berhasil mengembangkan metode untuk meraih
kebenaran, dengan membuktikan kesalahan premis-premis
lawan, yang caranya ialah mereduksikannya menjadi suatu
kontradiksi sehingga konklusinya pun menjadi mustahil
(reduction ad absurdum).
Zeno sependapat dengan Parmenides yang mengatakan
bahwa realitas yang sesungguhnya di alam semesta ini
hanya satu. Untuk mempertahankan monisme dari serangan
plularisme, dengan metode reductio ad absurdum Zeno
99

mengatakan bahwa seandainya ada banyak titik yang


terdapat di antara titik A dan titik B, berarti kita juga harus
mengakui adanya suatu jumlah tak terbatas karena akan
senantiasa terdapat titik di antara titik-titik itu, dan demikian
seterusnya. Akan tetapi, ternyata bahwa orang dapat
berjalan dari A ke B, dan itu berarti bahwa jarak A ke B
dapat dilintasi. Oleh karena itu, hipotesis semula, yang
menyatakan bahwa ada banyak titik yang terdapat di antara
titik A dan B adalah tidak benar. Jadi, jelas bahwa pluralitas
itu absurd, tidak masuk akal, dan mustahil.
Parmenides juga pernah mengatakan bawha tidak ada
ruang kosong, yang berarti bahwa yang ada tidak berada
dalama ada yang lain karena yang ada senantiasa mengisi
seluruh tempat. Parmenides pun pernah mengatakan bahwa
jika ruang kosong itu tidak ada, berarti bahwa gerak pun
tidak ada. Untuk membuktikan kebenaran ajaran gurunya
itu, Zeno mengemukakan empat contoh sebagai berikut :
1. Dikotomi paradox.
2. Akhilles, si juara lari.
3. Anak Panah
4. Benda yang bergerak bertentangan.
Metode Zeno member nilai abadi bagi filsafat karena
memang tidak satu pun pernyataam yang melahirkan
pertentangan dapat dianggap benar. Metode yang
dikembangkan oleh Zeno sangat berguna dalam suatu
100

perdebatan karena dengan metode itu ia telah member dasar


yang kokoh bagi argumentasi-argumentasi yang rasional
dan logis. Zeno juga dikenal sebagai orang pertama yang
menggunakan metode dialektik, dalam arti mencari
kebeneran lewat perdebatan atau bersoal jawab secara
sistematis.
2. Metode Sokrates : Maieutik Dialektis Kritis Induktif 
Bagi Sokrates, kebenaran objektif yang hendak digapai
bukanlah semata-mata untuk membangun suatu ilmu
pengetahuan teoritis yang abstrak, tetapi justru untuk
meraih kebajikan karena, menurut Sokrates, filsafat adalah
upaya untuk mencapai kebajikan. Kebajikan itu harus
tampak lewat tingkah laku manusianyang pantas, yang baik
dan terpuji. Untuk menggapai kebenaran objektif itu,
Sokrates menggunakan suatu metode yang dilandaskan
pada suatu keyakinan yang amat erat digenggamnya.
Sokrates begitu yakin bahwa pengetahuan akan
kebenaran objektif itu tersimpan dalam jiwa setiap orang
sejak masa praeksistensinya. Karena itu, Sokrates tidak
pernah mengajar tentang kebenaran itu, melainkan berupaya
untuk menolong untuk mengungkapkan apa yang memang
ada dan tersimpan dalam jiwa seseorang. Sokrates merasa
terpanggil utnuk melakukan tugas yang mirip ibunya
(ibunya adalah bidan), maka cara yang digunakannya pun
disebutnya maieutika tekne (teknik kebidanan).
101

3. Metode Plato : Deduktif Spekulatif Transendental


Plato memusatkan perhatiannya pada pada bidang yang
amat luas, yaitu mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Dari
berbagai ilmu pengetahuan yang diminatinya itu, eksaktalah
bidang ilmu yang memperoleh tempat istimewa. Pada
umumnya para ahli membagi dialog-dialog Plato ke dalam
tiga periode :
a. periode dialog-dialog awal, disebut juga sebagai oeriode
penyelidikan (inquiry)
b. periode dialog-dialog pertengahan, disebut juga sebagai
periode spekulasi/pemikiran (speculation).
c. periode dialog-dialog akhir, disebut juga sebagai periode
kritisisme, penilaian dan aplikasi (critism, appraisal, and
application).
Inti dan dasar dari seluruh filsafat Plato ialah ajaran-
ajaran tentang ide-ide. Plato percaya bahwa ide yang
tertangkap oleh pikiran lebih nyata daripada objek-objek
material yang terlihat oleh mata. Hanya ide yang merupakan
realitas yang sesungguhnya dan abadi
4. Metode Aristoteles: Silogistis Deduktif
Aristoteles mengatakan bahwa ada dua metode yang
dapat digunakan untuk menarik kesimpulan demi
memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua
102

metode itu disebut metode induktif dan metode deduktif.


Induksi ialah cara menarik konklusi yang bersifat umum
dari hal-hal khusus. Deduktif adalah cara menarik konklusi
yang bertolak dari sifat umum ke khusus. Baik deduksi
maupun induksi, keduanya dipaparkan oleh Aristoteles di
dalam logika
Inti logika adalah silogisme. Silogisme merupakan alat
dan mekanisme penalaran untuk menarik konklusi yang
benar berdasarkan premis-premis yang benar. Bagi
Aristoteles, metode deduksi merupakan metode terbaik
untuk memperoleh konklusi demi mencapai kebenaran dan
pengetahuan baru. Demikianlah metodenya dikenal sebagai
metode silogistis deduktif.
Immanuel Kant mengatakan bahwa logika yang
diciptakan Aristoteles sejak semula sudah sempurna
sehingga tidak mungkin bertambah sedikit pun.
5. Metode Plotinos :Kontemplatif-Mistis
Plotinos merupaka filsuf neoplatonis. Filsafat Plotinos
didasarkan pada ajaran Plato, khususnya mengenai ide
kebaikan selaku ide yang tertinggi di dalam filsafat Plato.
Karena Plotinos menggunakan istilah-istilah dan
mengembangkan dasar-dasar pemikiran Plato, filsafat
Plotinos disebut neoplatonisme. Tetapi tidak berarti ia
hanya mempelajari filsafat Plato, ia mempelajari berbagai
filsafat lainnya. Filsafat Plotinos merupakan sintesis dari
103

semua filsafat yang mendahuluinya walaupun memang


terlihat dengan jelas bahwa pengaruh Platonisme sangat
dominan
Filsafat Plotinos merupakan suatu sistem yang hendak
menjelaskan asal mula dan tujuan seluruh realitas, termasuk
manusia. Menurutnya filsafat bukan hanya merupakan
doktrin melainkan juga merupakan suatu jalan kehidupan.
Karena itu metode Plotinos disebut metode kontemplatif-
mistis.
6. Metode Descartes: Skeptis
Filsafat Descartes yang paling terkenal yaitu: cogito
ergo sum, (aku berpikir maka aku ada). Bagi Descartes,
manusia harus menjadi titik berangkat dari pemikiran yang
rasional demi mencapai kebenaran yang pasti. Untuk
mencapai kebenaran yang pasti itu, rasio harus berperan
semaksimal mungkin.
Cara untuk mencapai kebenaran dengan pasti,
membutuhkan keraguan. Apabila melalui keraguan yang
begitu radikal ada suatu kebenaran yang saggup bertahan
sehingga tidak mungkin lagi diragukan kebenarannya, maka
kebenaran itu adalah kebenaran yang pasti. Setelah
meragukan segala sesuatu, Descartes menemukan bahwa
ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu: saya sedang
meragukan segala sesuatu, sedang berpikir, dan jika saya
sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa
104

saya pasti ada. Ini karena tidak mungkin yang tidak ada
dapat berpikir dan dapat meragukan segala sesuatu.
7. Metode Francis Bacon: Induktif
Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan-
pandangan Bacon bersifat praktis, konkret, dan utilitaris.
Untuk mengenal sifat-sifat segala sesuatu, dibutuhkan
penelitian-penelitian yang empiris. Pengalamanlah yang
menjadi dasar pengetahuan. Pengetahuan itu sangat penting
dan sangat diperlukan oleh manusia karena hanya dengan
pengetahuanlah manusia sanggup menaklukka alam kodrat.
Menurut Bacon, logika silogistis tradisional tidak
sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia
mengatakan bahwa logika silogistis tradisional hanya dapat
membantu mewujudka konsekuensi deduktif dari apa yang
sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan itu
berkembang dan memperoleh pengetahuan baru, metode
deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode
induktif.
Metode induktif adalah penarikan kesimpulan dari hal-
hal khusus ke hal-hal yang umum. Bacon memang bukan
penemu metode induktif, namun ia berupaya memperbaiki
dan menyempurnakan metode itu melalui pengkombinasian
metode induktif tradisional dengan eksperimentasi yang
cermat.
105

5.2 BIDANG KAJIAN FILSAFAT : ONTOLOGI,


EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
5.2.1 Ontologi
Ontologi adalah bagian metafisika yang
mempersoalkan tentang hal-hal yang berkenaan dengan
segala sesuatu yang ada atau the existence khususnya
esensinya.Dalam dictionary of philosophy, James K
Frebleman mengatakan bahwa ontologi adalah “the theory
of being qua being” teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan. Menurut Aristoteles ontologi adalah the first of
philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi
benda.Dari sekian definisi ini dapat disimpulkan bahwa
ontologi adalah salah satu bagian penting dalam filsafat
yang membahas atau mempermasalahkan hakikat-hakikat
semua yang ada baik abstrak maupun riil. Ontologi di sini
membahas semua yang ada secara universal,berusaha
mencari inti yang dimuat setiap kenyataan meliputi semua
realitas dalam segala bentuknya. Jadi objek dari ontology
adalah segala yang ada dan tidak terikat pada satu
perwujudan tertentu(hakikat). Hasbullah Bakry mengatakan
bahwa ontology mempersoalkan bagaimana menerangkan
hakekat segala yang ada baik jasmani maupun rohani dan
hubungan antara keduanya.
Dalam penyelesaian masalah dan pertanyaan tentang
hakekat, lahirlah mazhab-mazhab ontology yang mencoba
menjawab semuanya melalui beberapa pendekatan yang
106

berbeda yaitu; Naturalisme, Materialisme, Idealisme,


hylomorphisme dan Logic Empiricism (Louis O Katsof).
Untuk lebih jelasnya mari kita bahas satu persatu kelima
mazhab tersebut secara umum saja.
a. Naturalisme
Menurut Hasbullah Bakri naturalisme juga
mempersoalkan bagaimana menerangkan hakikat segala
yang ada baik rohani maupun jasmani serta hubungan
keduanya. Penganut naturalisme modern beranggapan
bahwa kategori pokok tentang kenyataan adalah kejadian-
kejadian kealaman. Jadi menuurut paham naturalisme ini
semua kenyataan itu pasti bersifat kealaman yang dapat
ketahui dengan bebagai kejadian alam.
b. Materialisme
Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa
atom materi yang berada sendiri dan merupakan unsur-
unsur yang membentuk alam.Menurut penganut
materialisme hakikat dari suatu benda adalah benda itu
sendiri atau wujud materi dari benda tersebut dan dunia
fisik itu adalah satu.
c. Idealisme
Idealisme adalah pandangan dunia metafisik yang
mengatakan bahwa realitas terdiri atas atau sangat erat
hubungannya dengan ide-ide, fikiran, akal dan jiwa. Jadi
Idealisme juga merupakan ajaran kefilsafatan yang berusaha
107

menunjukkan agar kita dapat memahami materi atau tatanan


kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada
hakikat terdalam dengan menggunakan ide,akal,fikiran-
fikiran dan jiwa atau ruh.
d. Hylomorphisme
Secara etimologi hylomorphisme berasal dari bahasa
yunani yaitu hylo yang berarti materi atau substansi dan
morph atau bentuk. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak
satu hal-pun yang ragawi itu bukan merupakan kesatuan
dari esensi dan eksistensi. Esensi adalahsegi tertentu dari
yang ada yang memasuki akal kita sehingga dapat diketahui
atau bisa dibilang wujud nyata suatu benda yang pertama
kali dapat menyentuh akal kita saat melihatnya. Menurut
Mariatin esensi adalah sesuatu yang terdapat pada obyek
manapun yang dipikirkan secara langsung dan yang pertama
dihadapkan pada akal. Sedangkan eksistensi adalah hal-hal
yang satu demi satu bersifat khusus, mandiri dan
mempunyai sarana lengkap untuk berada dan berbuat.
e. Logic Empiricism
Logika adalah ilmu yang memberikan peraturan-
peraturan yang harus diikuti agar dapat berfikir valid
sedangkan empris adalah pengalaman-pengalaman atau
fakta. Jadi Logic empiricism di sini adalah semua
pandangan yang sampai saat ini telah dibicarakan
mendasarkan diri pada penalaran akal dan semuanya
108

memakai perangkat fakta yang sama sebagai landasan


penopang untuk menunjukkan kebenarannya.

5.2.2 Epistimologi
Epistemologi atau Teori Pengetahuan berhubungan
dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-
pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh
setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode,
diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang
berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan
gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan
logos,theory.Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat
yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan.Epistemologi bertalian
dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang
bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim
(subjek) dan ma'lum (objek).Atau dengan kata
lain,epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-
usul, asumsi dasar, sifat-sifat,dan bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan
sebuah model filsafat.Dengan pengertian ini epistemologi
109

tentu saja menentukan karakter pengetahuan,bahkan


menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut
diterima dan apa yang patut ditolak.
Manusia dengan latar belakang,kebutuhan-kebutuhan
dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti,dari
manakah saya berasal?Bagaimana terjadinya proses
penciptaan alam?.Apa hakikat manusia?.Tolok ukur
kebaikan dan keburukan bagi manusia?.Apa faktor
kesempurnaan jiwa manusia?.Mana pemerintahan yang
benar dan adil?Mengapa keadilan itu ialah baik?Pada
derajat berapa air mendidih?Apakah bumi mengelilingi
matahari atau sebaliknya?. Dan pertanyaan-pertanyaan yang
lain.Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang
mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas
permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan
dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat
dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak
diketahuinya.Manusia sangat memahami dan menyadari
bahwa:
1. Hakikat itu ada dan nyata;
2. Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3. Hakikat itu bisa dicapai,diketahui,dan dipahami;
110

4. Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan,dan makrifat


atas hakikat itu.
Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-
persoalan yang dihadapinya,dan jalan menuju ilmu dan
pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang
baru,misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini
bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu
memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari
khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas
bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui
tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu
sebagaimana adanya?Apakah kita yakin bisa menggapai
hakikat dan realitas eksternal itu?. Sangat mungkin pikiran
kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai
hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat
khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan
yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi
yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah
manusia?
Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan
persoalan-persoalan sebelumnya,yakni persoalan-persoalan
sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu
ada,akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir
ini,keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah
111

yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh


berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan
yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda
dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda,
lantas dia meneliti benda-benda tersebut dengan
melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya.
Dengan perantara teropong itu sendiri, dia berupaya
menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda
yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya
kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini
memiliki ketepatan dalam menampilkan warna,bentuk dan
ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang
ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau
kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan
adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong.
Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan
kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan
lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas
eksternal,akan tetapi yang dipersoalkan adalah keabsahan
teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk
melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran,persepsi-
persepsi pikiran,nilai dan keabsahan pikiran,kualitas
pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal,
tolok ukur kebenaran hasil pikiran,dan sejauh mana
112

kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan


mencerap objek eksternal,masih merupakan persoalan-
persoalan aktual dan kekinian bagi manusia.Terkadang kita
mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda
hakiki dan kenyataan eksternal dan terkadang kita
membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh
akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam
bidang ilmu epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa
dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi
ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan.Dalam hal ini, dua
poin penting akan dijelaskan:
a. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek
epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam
pengertian khusus seperti ilmu hushûlî.Ilmu itu sendiri
memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah
menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan
secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki,
sains, teknologi, keterampilan,kemahiran dan juga
meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî,ilmu
Tuhan, ilmu para malaikat dan ilmu manusia.
2. Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk
penyingkapan.Istilah ini digunakan dalam filsafat
113

Islam.Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu


hudhûrî.
3. Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî
dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
4. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang
meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
5. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian
dengan kenyataan dan realitas eksternal.
6. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal
yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan
dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
7. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal
yang bersifat empirik.
b. Sudut pembahasan,yakni apabila subyek epistemologi
adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek
ini dibahas,karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam
ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang
berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu.
Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi
hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu
pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi
pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas
eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi.
Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan
perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang
114

menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas


dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek
ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap
tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang
pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman
mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan
probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu,
dan batasan-batasan pengetahuan.Dan dari sisi ini, ilmu
hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-
pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang
diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan
pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam
epistemologi.

5.2.3 Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan
ilmunya.Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata
Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartika
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.Menurut John
Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada
115

pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan


agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang
berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang
tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri.Jadi Aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat
yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu
pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-
akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan
yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai
kegunaan ilmu.Ilmu tidak bebas nilai.Artinya pada tahap-
tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-
nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai
kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat
dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama,
bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum
digunakan yaitu :
1. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara
kritis dan sistematis masalah-masalah moral.Kajian etika
lebih fokus pada prilaku,norma dan adat istiadat manusia.
116

Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua.


Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak
masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan
mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan
sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang
ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai
pemikiran kritis,sistematis dan mendasar tentang ajaran-
ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-
pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas
adalah norma-norma,adat,wejangan dan adat istiadat
manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri,etika tidak
menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan,
melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan
mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia
menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku
yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap
tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori
etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme,
eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme
adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut
pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme
117

menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan


adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum
adalah memajukan kepentingan para warga negara dan
bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi
apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi,
adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh
Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik
dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua
hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat.
Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik
oleh kehendak manusia.
2. Estetika
Estetika merupakan bidang studi manusia yang
mempersoalkan tentang nilai keindahan.Keindahan
mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam
satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya
adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat
selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu
kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa
bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi,
matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan
118

secara umum kita merasaakan kenikmatan.Meskipun


sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita
mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini
orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat
objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek
yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan
perasaan.
Aksiologi berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu
ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi
bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah
dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon
seperti yang dikutip oleh Jujun.S. Suriasumatri yaitu bahwa
“pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu
merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat
manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan
bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu
sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral,
ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan
tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan
filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita
119

dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal,


yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami
dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut
mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau
hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem
ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari
teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-
teori filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori
ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam
kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya
ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan
masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila
ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita
tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada
banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang
sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang
digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu
120

biasanya dapat mengungkap semua masalah yang


berkembang dalam kehidupan manusia.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat
subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif,
apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan
demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi
ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan
bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang
membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan
umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan
harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan
kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya.
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen.
Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada
121

proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be


rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.

5.3 Aliran/Mazhab Filsafat


1. Idealisme
Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang
mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat
dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind)
dan roh (spirit). Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa.Kata idealisme dalam
filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti
yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis
itu dapat mengandung beberapa pengertian, antara
lain:Seorang yang menerima ukuran moral yang tinggi,
estetika, dan agama serta menghayatinya;Orang yang
dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau
program yang belum ada.
Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan lebih
banyak oleh arti dari kata ide daripada kata ideal. W.E.
Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-
ism lebih tepat digunakan daripada idealism. Secara
ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari
ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan
bukan benda material dan kekuatan. Idealisme
122

menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer)


daripada materi.
Alam, bagi orang idealis, mempunyai arti dan
maksud, yang diantara aspek-aspeknya adalah
perkembangan manusia. Oleh karena itulah seorang
idealis akan berpendapat bahwa, terdapat suatu harmoni
yang dalam arti manusia dengan alam. Apa yang
“tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “yang terdalam
dalam alam”. Manusia merasa ada rumahnya dengan
alam; ia bukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib, oleh
karena alam ini suatu sistem yang logis dan spiritual; dan
hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari
kehidupan yang lebih baik. Jiwa (self) bukannya satuan
yang terasing atau tidak rill, jiwa adalah bagian yang
sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat
yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivis, akal,
jiwa, atau perorangan. Manusia sebagai satuan bagian
dari alam menunjukkan struktur alam dalam kehidupan
sendiri.
Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah
jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam
semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari
materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak
jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang akan
memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia
123

harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin


mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus
meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah
akal budi itu, bukannya apakah materi itu.
Paham ini beranggapan bahwa jiwa adalah
kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena ada
unsur yang tidak terlihat yang mengandung sikap dan
tindakan manusia. Manusia lebih dipandang sebagai
makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia
maka peralatan yang digunakannya bukan semata-mata
peralatan jasmaniah yang mencakup hanya peralatan
panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang
mencakup akal dan budi. Justru akal dan budilah yang
menentukan kualitas manusia.

2. Materialisme
Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala
sesuatu, dimana asal atau hakikat dari segala sesuatu
ialah materi. Karena itu materialisme mempersoalkan
metafisika, namun metafisikanya adalah metafisika
materialisme.
Materialisme adalah merupakan istilah dalam
filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-
faktor material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai,
fisiologi, efistemologi, atau penjelasan historis.
124

Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak


ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi
ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah
pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran (roh,
kesadaran, dan jiwa ) hanyalah materi yang sedang
bergerak.
Materi dan alam semesta sama sekali tidak
memiliki karakteristik-karakteristik pikiran dan tidak ada
entitas-entitas nonmaterial. Realitas satu-satunya adalah
materi. Setiap perubahan bersebab materi atau natura dan
dunia fisik.

3. Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan,
bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat
mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.
Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik
filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-
sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan
sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut
akan dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang
berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan
sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri
125

dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar


dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya
sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran
semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da
artinya di sana, sein artinya berada).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa
cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia
merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu
susunan dengan alam jasmani, manusia selalu
mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai.
Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan
membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat
eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan
filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat
eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai
tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah
aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada
manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada
di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara
beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia
mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.
126

Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di


antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai
arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek
artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang
disadarinya disebut obyek.

4. Monisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu
monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah
suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari
segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa.
Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah,
energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi,
sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide. Orang
yang mula-mula menggunakan terminologi monisme
adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini
tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya
berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan
namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan
energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya
merupakan bentuk lain dari zat.Atau dengan kata lain
bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada
satu kenyataan yang fundamental.
127

5. Dualisme
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu
duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang menyatakan
realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan
bertolak belakang. Masing-masing substansi bersifat
unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi
kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh
dengan materi, jiwa dengan badan dll. Ada pula yang
mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang
menggabungkan antara idealisme dan materialisme,
dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari
dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan
ruhani.
Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah
paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang
ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang
berdiri sendiri-sendiri.

6. Pluralisme
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis
(jamak). Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak
terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi
banyak substansi yang bersifat independen satu sama
lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta pada
128

dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis


dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental.
Didalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan
dan dimensi yang tidak dapat diredusir. Pandangan
demikian mencangkup puluhan teori, beberapa
diantaranya teori para filosuf yunani kuno yang
menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan
air. Dari pemahaman di atas dapat dikemukakan bahwa
aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi atau dua
substansi melainkan banyak substansi, karena
menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan
rohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang
merupakan unsur substansial dari segala wujud.

5.4 CABANG-CABANG FILSAFAT


1. Metafisika
Filsafat memiliki cabang-cabang yang berkembang
sesuai dengan persoalan filsafat yang mana filsafat
timbul karena adanya persoalan-peersoalan yang di
hadapi oleh manusia. Setelah adanya persoalan-persoalan
tersebut maka muncullah cabang-cabang filsafat. Dimana
cabang-cabang filsafat yang tradisional itu terdiri atas
empat yaitu logika,metafisika,epistemologi,dan etika.
Namun demikian berangsur-angsur berkembang sejalan
dengan persoalan yang di hadapi oleh manusia. Untuk
129

mempermudah pemahaman kita perlu diutarakan kepada


cabang-cabang filsafat yang pokok,yaitu:
Metafisika digunakan untuk menunjukkan karya-
karya tertentu Aristoteles. Dimana didalam metafisika
terdapat persoalan -persoalan yang dapat di rinci menjadi
3 macam yaitu:
1. Ontologi
2. Kosmologi
3. Antropologi
Aliran -aliran dalam metafisika cabang-cabang filsafat
menimbulkan aliran-aliran filsafat sebagai berikut :
1. Segi kuantitas; dipandang dari segi kuantitas maka
muncullah aliran -aliran filsafat antara lain:
a. Mononisme; aliran filsafat yang menyatakan
bahwa hanya ada satu kenyataan yang terdalam
(yang funda mental)
b. Dualisme; yaitu aliran yang menyatakan adanya
dua substansi pokok yang masing-masing berdiri
sendiri.
c. Pluralisme; yaitu aliran filsafat yang tidak
mengakui adanya satu substansi atau hanya dua
substansi melaikan mengakui adanya banyak
substansi .
130

2. Dari segi kualitas; di mana di lihat dari segi


kualitasnya yaitu dipandang dari segi sifat nya maka
terdapat beberapa aliran filsafat yaitu:
a. Spritualisme; aliran filsafat yang menyatakan
bahwa kenyataan yang terdalam alam semesta
yaitu roh.
b. Materialisme yaitu aliran filsafat yang menyatakan
bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi.
3. Dilihat dari segi proses terdapat beberapa aliran yaitu;
a. Mekanisme dimana mekanisme ini berasal dari
bahasa yunani mechan(mesin).menurut aliran ini
semua gejala atau pristiwa seluruhnya dapat
diterangkan berdasarkan pada asas-asas
mekanis(mesin).
b. Telelogis aliran ini tidak mengingkari hukum sebab
akibat, tetapi bependirian bahwa yang berlaku
dalam kejadian alam bukanlah hukum sebab akibat
tetapi awal mulah nya memang ada sesuatu
kemauan
c. Vitalisme menyatakan bahwa hidup tidak dapat di
jelaskan secara fisik kimiawi .
2. Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa yunani
episteme(pengetahuan). Secara umum epistemologi yaitu
cabang filsafat yang membahas tentang hakikat
131

pengetahuan manusia, yaitu tentang sumber, watak dan


kebenaran pengetahuan.
1. Rasionalisme
Aliran rasionalisme berpendapat bahwa ssemua
pengetahuan beersumber pada akal fikiran atau ratio.
Tokoh-tokoh nya antara lain sebagai berikut: Rene
Descartes (1596-1650), ia membedakan ada nya tiga
idea yaitu:innate ideas (ide bawaan), yaitu sejak
manusia lahir. Adventitous ideas, yaitu idea-idea yang
berasal dari luar manusia, dan idea yang dihasilkan
oleh fikiran itu sendiri yaitu di sebut faktitious ideas.
Tokoh rasionalisme yang lain adalah spinoza (1632-
1677), Leibniz (1646-1716).
2. Empirisme
Empirisme adalah aliran ini beroendirian bahwa
semua pengetahuan manusia diperoleh melalui
pengalaman indra. Indra memperoleh pengalaman
(kesan-kesan) dari alam impiris, selanjutnyas kesan-
kesan tesebut terkumpul dalam diri manusia sehingga
menjadi pengalaman. Tokoh-tokoh impiris antara
lain:Jhon locke (1632-1704), menurutnya pengalaman
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: -
pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman yang
diperoleh dari luar. pengalaman dalam (batin)
(reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan
132

idea-idea yang sederhana, yang kamudian dengan


prosses asosiasai membentuk idea yang lebih
kompleks (Harun Hadiwijono;, lihat Ali Mudhofir:48:
David HUME (1711-1776); yang meneruskan
tradisi impirisme. Hume berpendapat bahwa, idea-
idea yang sederhana adalah salinan (copy) dan
sensasi-sensasi sederhana atau idea-idea yang
kompleks di bentuk dan kombinasi idea-idea
sederhana atau dari kesan-kesan yang kompleks.
Aliran ini kemudian berkembang dan memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan terutama pada abat 19 dan 20.
3. Realisme
Realisme yaitu suatu aliran filsafat yang
menyatakan bahwa objek-objek yang kita serap lewat
indra adalah nyata dalam diri objek tersebut. Objek-
objek tersebut tidak tergantung pada subjek yang
mengetahui atau tidak tergantung pada fikiran subjek.
Fikiran dan dunia luar saling berintriaksi , tetapi
intraksi tersebut mempunyai sifat dasar dunia
tersebut. Tokoh-tokoh aliran realisme antara lain
sebagai berikut: Aristoleles (384-322 SM), menurut
aristoteles realitas berada dalam benda konkrit atau
dalam proses-proses perkembangannya. Dunia yang
nyata adalah dunia yang kita serap. Bentuk (from)
133

atau idea atau prinsip keteraturan dan material tidak


dapat dipisakan. Kemudian aliran realisme
berkembang terus dan kemudian berkembanglah
aliran realisme baru, yang tokoh-tokohnya adalah
sebagai berikut: George Edward Moore, Bertrand
Russell, sebagai reaksi terhadap aliran ideaisme ,
subjektivisme dan absolutisme menurut rialialisme
baru bahwa eksestensi objek tidak tergantung pada
diketahuinya objek tersebut (lihat : Kattsoff 1986 :
110, Ali Mudhofir, 1985 : 49).
4. Kritisme
Kritisme yang enyatakan bahwa akal menerima
bahan-bahan pengetahuan dari empiris (yang meliputi
indra dan pengalaman). Kemudian akal
menempatkan, mengatur dan menertibkan dalam
bentuk-bentuk pengamatan yakni dalam ruang dan
waktu. Pengamatan merupakan permulaan
pengetahuan sedangkan pengolahan akan merupakan
pembentuknya. Tokoh-tokohnya adalah Imanuel Kant
(1724-1804). aliran kritisme Kant ini nampaknya
mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme
(Ali Mudhofir, 1985 : 52)
5. Positivisme
positivisme dengan tokohnya August Comte yang
memiliki pandangan sebagai berikut : sejarah
134

perkemabnagan pemikiran umat manusia dapat


dikelompokkan menjadi tiga tahap yaitu :
a. Tahap pertama : tahap theologis yaitu manusia
masih dipercaya dengan pengetahuan atau
pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini
masih dikuasai oleh tahyul-tahyul, sehingga subyek
dan objae tidak bisa dibedakan.
b. Tahap kedua : adalah tahap metafisis yaitu
pemikiran manusia berusaha memahami dan
memikirkan kenyataan, akan tetapi belum mampu
membuktikian dengan fakta.
c. Tahap ketiga : yaitu tahap positiv yang ditandai
dengan pemikiran manusia untuk menemukan
hukum-hukum dan saling hubungan lewat fakta.
Maka pada tahap inilah pengetahuan manusia dapat
berkembang dan dibuktikan lewat fakta. (Harun
Hadi Wijono, 1983 : 110 : dibandingkan dengan
Ali Mudhofir, 1985 : 52).
6. Skeptisisme
Skeptisisme menyatakan bahwa penyerapan indra
adalah bersifat menipu atau menyesatkan. Namun
pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme
metodis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti
sebelum suatu pengetahuan diakui benar. Tokoh-
tokohnya adalah Rene Descartes (1596 – 1650)
135

7. Pragmatisme
Pragmatis, aliran ini tidak mempersoalkan
tentang hakikat pengetahuan namun mempertanyakan
tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari
pengetahuan tersebut dengan kata lain perkataan
kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan
manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan.
Tokoh-tokoh aliran pragmatisme antara lain : C.S
Pierce (1839 – 1914), yang menyatakabn bahwa yang
terpenting adalah manfaat apa yang dapat dilakukan
pengetahuan dalam suatu rencana. Tokoh yang
lainnya adalah Willyam Jammes (1824 – 1910), yang
menyatakan bahwa urusan kebenran sesuatu ghal
adalah ditentukan oleh akibat praktisnya.

3. Metodologi
Cabang filsafat tentang metodologi adalah
membahas tentang metode terutama dalam kaitannya
dengan metode ilmiah. Hal ini sangat penting dalam ilmu
pengetahuan terutama dalam proses perkembangannya.
Misalnya metode ilmiah dalam ilmu sejarah, dalam ilmu
sosiologi, dalam ilmu ekonomi dan sebagainya.
Metodologi membicarakan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan kegiatan ilmiah misalnya sifat
136

observasi, hipotesis, hukum teori, susunan eksperimen


dan sebagainya (Kattsoff 1986 : 73 ).

4. Logika
Logika adalah ilmu yang mempelajari pengkajian
yang sistematis tentang aturan-aturan untuk menguatkan
sebab-sebab mengenai kesimpulan (Titus, 1984 : 18).
Logika pada hakekatnya mempelajari teknik-teknik
untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat
bahan-bahan tertentu, atau dari suatu premist. Logika
disebut juga sebagai suatu ilmu tentang penarikan
kesimpulan yang benar (Kattsoff : 1985 : 72). Logika
dibagi menjadi dua macam yaitu logika deduktif dan
logika induktif. Logika deduktif berusaha untuk
menemukan aturan-aturan yang dapat dipergunakan
untukl menarik suatu kesimpulan yang bersifat
keharusan dari peremis-premis tertentu. Logika Induktif,
mencoba untuk menarik suatu kesimpulan dari sifat-sifat
perangakat bahan yang diamati.

5. Etika
Etika atau filsafat prilaku sebagai satu cabang
filsafat yang membicarakan tindakan manusia dengan
penekanan yang baik dan yang buruk. Terdapat dua hal
permasalahan yaitu : menyangkut tindakan dan baik
137

buruk apabila permasalahan jatuh pada tindakan, maka


etika disebut sebagai “filsafat normatif”. Dalam
pemahaman etika sebagai pengetahuan mengenai norma
baik buruk dalam tindakan mempunyai persoalan yang
luas. Etika yang demikian ini mempersoalkan tindakan
manusia yang dianggap baik yang harus dijalankan, di
bedakan denga tindakan buruk atau jahat yang dianggap
tidak manusiawi. Dengan demikian etika berbeda dengan
agama yang didalamnya juga memuat dan memberikan
norma baik buruk dalam tindakan manusia. Pasalnya ,
etika mengandalkan pada rasio semata yang lepas dari
sumber wahyu agama yang dijadikan sumber norma
ilahi, dan etika lebih cendrung bersifat analisis dari pada
praktis.dengan demikian, etika adalah ilmu yang bekerja
secara rasional. Sementara dari kalangan non filsafat,
etika sering digunakan sebagai pola bertindak praktis
( Etika Propesi). Etika dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam yaitu: etika deskriftif.etika normatif, dan etika
metaetika.
Aliran-aliran dalam bidang etika yaitu:
1. Idealisme
Yaitu suatu sistem moral antara lain mengakui
hal-hal sebagai berikut: adanya suatu nilai,asas-asas
moral,atau aturan-aturan untuk bertindak,lebih
mengutamakan dengan kebebasan moral,lebih
138

mengutamakan hal yang umum dari pada yang


khusus.
2. Etika teleologi
Yang menyatakan bahwa perbaikan pertindakan
sepenuhnya bergantung pada suatu tujuan, atau suatu
hasil baik secara langsung maupun tidak
langsung.yang termasuk etika teleologi adalah
utilitarisme.
3. Hedonisme
Aliran ini menyatakan bahwa kebahagiaan yang
didasarkan pada suatu kenikmatan adalah merupakan
suatu tujuan dari tindakan manusia oleh karna itu
tindakan manusia baik dan buruk, etis atau tidak etis
didasarkan pada suatu tujuan kenikmatan manusia
4. Ultitarianisme.
Adalah aliran ini menyatakan bahwa tindakan
yang baik adalah tindakan yang menimbulkan jumlah
yang sebanyak-banyak nya. Aliran ini dikembangkan
oleh Bentham dan Mill bersaudara.
5. Intusionisme
Aliran ini berpandangan bahwa jenis-jenis
tindakan dapat diketahui baik atau buruk secara
langsung tanpa memikirkan nilai yang terdapat dalam
akibat-akibat dari tindakan tersebut.
139

6. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas
tetang keindahan. Estetika membicarakan tentang
definisi, susunan dan peranan keindahan. Kata estetika
beerasal dari bahasa yunani 'Aesthetikaos' yang artinya
bertalian dengan penjeratan (pengindraan). Apakah
fungsi keindahan dalam kehidupan kita? Apakah
hubungan antara yang indah dengan yang baik dan lain
sebagainya?
1. Filsafat Hukum yaitu membahas tentang hakikat
hukum
2. Filsafat bahasa yaitu membahas tentang hakikat
bahasa
3. Filsafat sosial yaitu membahas tentang hakikat
hubungan (intraksi manusia dalam masyarakat)
4. Filsafat ilmu yaitu membahas tentang hakikat ilmu
pengetahuan.
5. Filsafat politik yaitu membahasa tentang hakikat
masyarakat dan negara dengan segala apseknya.
6. Filsafat kebudayaan yaitu membahas tentang hakikat
kebudayaan
7. Filsafat Lingkungan yaitu membahas tentang hakikat
hubungan manusia dengan lingkungannya.
140

5.5 JALINAN ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA


5.5.1 Persamaan antara Ilmu, Filsafat, dan
Agama
Agama dan filsafat sebenernya memiliki kesamaan,
yaitu bahwa keduanya mengejar suatu hal yang dalam
bahasa Inggris disebut Ultimater yaitu hal-hal yang
sangat penting mengenai masalah kehidupan, dan bukan
suatu hal yang remeh. Orang yang memegang filsafat
dan agama tentunya sama-sama menjunjung tinggi apa
yang dianggapnya penting dalam kehidupan.
Persamaan :
1. Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya
menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-
akar-akarnya.
2. Ketiganya memberikan pengertian mengenai
hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-
kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan
sebab-akibatnya.
3. Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu
pandangan yang bergandengan.
4. Ketiganya mempunyai metode dan sistem.Ketiganya
hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan
seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas),
akan pengetahuan yang lebih mendasar.
141

5.5.2 Perbedaan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama


1. Filsafat Dan Ilmu
Apakah filsafat sama dengan ilmu pengetahuan?
Harus kita tegaskan sejak awal bahwa keduanya tidak
sama. Tetapi, yang terpenting adalah bahwa keduanya
saling berhubungan.
Perbedaan filsafat dengan ilmu pengetahuan juga
tampak jelas ketika berhadapan untuk melihat masalah-
masalah kenyataan yang bersifat praktis. Ilmu
pengetahuan bersifat binformasional dan analitis untuk
bidang-bidang tertentu, tetapi filsafat tidak sekedar
memberikan informasi dari kehidupan hanya menjadi satu
bagian saja yang harus dikaitkan dengan pengetahuan
lainnya.
Jadi, bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah
anak dari filsafat. Filsafat disebut sebagai “ibu dari ilmu
pengetahuan” (mother of science). Dilihat dari sejarahnya,
pengetahuan manusia dimulai dengan filsafat, ketika
filsafat adalah kegiatan untuk menjelaskan gejala-gejala
kehidupan yang belum terpecah-pecah menjadi berbagai
(bidang) ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi,
fisika kimia, biologi,psikologi, sosiologi, ilmu politik,
ilmu komunikasi,ilmu bahasa, dan lain-lain.
142

Jadi, ilmu berkaitan dengan lapangan yang terbatas,


sedangkan filsafat mencoba menghubungkan diri dengan
berbagai pengalaman manusia untuk memperoleh suatu
pandangan yang lebih utuh dan lengkap. Perbedaan antara
ilmu dan filsafat bisa terangkum dalam tabel ini.

ILMU FILSAFAT
Anak filsafat Induk ilmu
Objeknya terbatas Filsafat memiliki objek
(bidangnya saja) lebih luas, sifatnya
universal.
Deskriptif dan analitis, Sinoptik, memandang
memeriksa semua gejala dunia dan alam semesta
melalui unsur terkecilnya sebagai keseluruhan untuk
untuk memperoleh dapat menerangkannya,
gambaran senyatanya menafsirkannya, dan
menurut bagian- memahaminya secara utuh.
bagiannya
Menekankan fakta-fakta Bukan hanya menekankan
untuk melukiskan keadaan sebenarnya dari
objeknya, netral, dan objek, melainkan juga
mengabstrakkan faktor bagaimana seharusnya
keinginan dan penilaian objek itu. Manusia dan
manusia nilai merupakan faktor
penting
Memulai sesuatu dengan Memeriksa dan meragukan
menggunakan asumsi- segala asumsi-asumsi
asumsi
Menggunnakan metode Menggunakan semua
eksperimen yang penemuan ilmu
terkontrol dengan cara pengetahuan, menguji
143

kerja dan sifat terpenting, sesuatu berdasarkan


menguji sesuatu dengan pengalaman dengan
menggunakan indra menggunakan pikiran
manusia

2. Filsafat Dan Agama


Filsafat berbeda dengan agama, tetapi juga ada yang
menganggap agama sebagian bagian dari filsafat. Ketika
kita mendefinisikan filsafat sebagai kegiatan yang
menggunakan pikiran mendalam, menyeluruh, rasional,
dan logis, agama tampak sebagai suatu pemikiran yang
bukan hanya dangkal, melainkan juga suatu hal yang
digunakan tanpa menggunakan pikiran sama sekali.
Dari titik ini agama tampak sebagai hal yang malah
menentang filsafat. Pertentangan ini tampak dalam
berbagai ekspresi, yang paling tampak barang kali adalah
pertentangan antara orang yang berpegangan teguh pada
pikiran spekulatif serta tidak rasional agama dan para
filusuf yang muncul ditengah-tengah meluasnya pemikiran
agama. Kita dapat melihat pertentangan semacam itu pada
era munculnya era pencerahan di Eropa, ketika para
agamawan memusuhi para filsul dan pemikiran moderen.
Misalnya Copernicus dengan filsafatnya dan
pandangannya tentang alam semesta ~ bahwa pusat tata
surya adalah matahari ~ ditentang oleh para agamawan
(gereja) yang memegang pandangan lama bahwa pusat
144

tata surya adalah bumi. Pertentangan ini mengakibatkan


Copernicus dibunuh.
Agama dan filsafat sebenernya memiliki kesamaan,
yaitu bahwa keduanya mengejar suatu hal yang dalam
bahasa Inggris disebut Ultimater yaitu hal-hal yang sangat
penting mengenai masalah kehidupan, dan bukan suatu hal
yang remeh. Orang yang memegang filsafat dan agama
tentunya sama-sama menjungjung tinggi apa yang
dianggapnya penting dalam kehidupan.
Menurut David Trueblood dalam bukunya phylosophy
of religion, perbedaan antara agama dan filsafat tidak
terletak pada bidang keduanya, tetapi dari cara kita
menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat berarti berfikir,
sedangkan agama berarti mengabdi diri. Orang yang
belajar filsafat tidak saja mengetahui soal filsafat, tetapi
lebih penting adalah bahwa ia dapat berfikir. Begitu juga
dengan orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas
dengan pengetahuan agama, tetapi butuh untuk
membiasakan dirinya dengan hidup secara agama.
William Temple mengatakan, “Filsafat itu menuntut
pengetahuan untuk beribadat. Pokok dari bukan
pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi hubungan antara
manusia dan Tuhan.
145

FILSAFAT AGAMA
Filsafat berarti berfikir, jadi Agama berarti mengabdi
yang pentingialah ia dapat diri, jadi yang penting ialah
berfikir hidup secara beragama
sesuai dengan aturan-
aturan agama itu
Menurut William Tample, Agama menuntut
filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk
pengetahuan untuk beribadat yang terutama
memahami merupakan hubungan
manusia dengan Tuhan
C.S. Lewis membedakan Agama dapat dikiaskan
“enjoymen” dan dengan enjoymen atau rasa
“contemplation”, misalnya cinta seseorang, rasa
laki-laki mencintai pengabdia (dedication)
perempuan. Rasa cinta atau contentmen.
daisebut enjoymen,
sedangkan memikirkan rasa
cintannya disebut
contemplation, yaitu pikiran
sipecinta tentang rasa
cintanya itu
Filsafat banyak berhubungan Agama banyak
dengan pikiran yang diingin berhubungan dengan hati
dan tenang
Filsafat dapat diumpamakan Agama dapat
seperti air telaga yang diumpamakan sebagai air
tenang dan jernih dan dapat sungai yang terjun dari
dilihat dasarnya bendungan dengan
gemuruhnya
Seorang ahli filsafat, jika Agama oleh pemeluk-
146

berhadapan dengan penganut pemeluknya, akan


aliran atau paham lain, diperhatikan dengan habis-
biasanya bersikap lunak habisan sebab mereka telah
terikat dan mengabdikan
diri
Filsafat, walaupun bersifat Agama disamping
tenang dalam pekerjaannya, memenuhi pemeluknya
sering mengeruhkan pikiran dengan sangat dan
pemeluknya perasaan pengabdian diri,
juga mempunyai efek yang
menenangkan jiwa
pemeluknya. Filsafat
penting dalam mempelajari
agama
Ahli filsafat ingin mencari
kelemahan dalam tiap-tiap
pendirian dan argumen
walaupun argumennya
sendiri

Perbedaan :
1. Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal
(umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita).
Sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah)
itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya
terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra
kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak
terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
2. Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat
non fragmentaris, karena mencari pengertian dari
147

segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan


mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris,
spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu
bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia
itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
3. Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang
menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan,
sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat
pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu
terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan
filsafat timbul dari nilainnya.
4. Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih
mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas
sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu
menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu
menjadi tahu.
5. Filsafat memberikan penjelasan yang terakhar, yang
mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary
cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang
tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang
sekunder (secondary cause).
6. Filsafat dan ilmu bersumber pada kekuatan akal,
sedangkan agama bersumber pada wahyu.
148

7. Filsafat didahului oleh keraguan, ilmu didahului oleh


keingintahuan, sedangkan agama diawali oleh
keyakinan.

5.5.3 Relasi antara Filsafat, Ilmu, dan Agama


Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh
filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama
juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat
dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran
menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak
akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar
di antara ketiganya, akan tetapi kita akan melihat apakah
ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai.
Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan
akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu
juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran
yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di
dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam
agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran.
Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan
agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat
sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut,
dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai
sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di
149

dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia,


kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia
telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia
meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan
tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya,
bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan
sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci
mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya
ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya
akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan
tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada
hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya
akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya
atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan
antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya,
jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari
hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan
yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan
telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu.
Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Selanjutnya,
jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa
manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka
jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini
yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya,
150

kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama


manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik
tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton
Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk
memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang
dikemukan bermacam-macam antara lain:
1. Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu
asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya
jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini
menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme,
atomisme.
2. Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan
satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan
raga tidak terdapat hubungan.
3. Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
4. Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri
dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai
bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh
tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari
ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar
bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal
151

manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab


pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia.
Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi
jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya
terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat
mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-
nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai
manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman
apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal
dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak
menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan
suatu kepercayaan baru.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai
hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu
dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran
agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam
mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya.
Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif
tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode
pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama
dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya,
mengusahakan mendapat anak dengan in vitro
fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang
152

Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu


bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini
etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis
sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya
berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban
terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan
dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak
juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama
adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar
manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana
manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa
bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang
sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran,
untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar
cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya
kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang
lain mampu membangun dunia ini.
Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama.
Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap
agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya,
teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan
dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia.
Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia
tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita
153

begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham.


Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir
pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh
karena itu para penganut agama yang sama pun sering
masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan
arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus
persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang
maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu
memang tepat, memang itulah maksud Allah. Oleh sebab
itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk
menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya,
mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia
seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat,
untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu
bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas
bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan
dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu
tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya
dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan
yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya).
Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat
dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama
dalam memastikan arti wahyunya. Kedua, secara
spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan
itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan,
154

membetulkan dan memastikan ajaran agama yang


berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara
tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para
filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi).
Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham
dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta
metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari
filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan
kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya
dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal
yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea",
pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus
Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan
penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat
mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani
tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham
filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan
kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan
kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu. Ketiga, filsafat
dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-
masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu
wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan
secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan
dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung
atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil
155

sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak?


Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada
agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua
masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat
ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika
yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada
masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan
pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga dapat
membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis
yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil
ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita,
misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Keempat, yang dapat diberikan oleh filsafat kepada
agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu
tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah
sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca
tradisional, berada di bawah semburan segala macam
pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan
keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu
kesamaan: Mereka mengatakan kepada masyarakat
bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak.
Filsafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara
kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan
implikasinya, membuka kedok kepentingan yang
barangkali ada di belakangnya.
156

Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua


arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan,
terutama pandangan-pandangan yang mau merusak sikap
jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar
mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita
sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi
rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-
ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya
karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan
argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti
orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri.
Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang
oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam
wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat
dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama
dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang
sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya
berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat
membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan
tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar
menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya
dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya
diwahyukan oleh Allah. Dengan cara menyadari keadaan
serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan
filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang
157

harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas


pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang
dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat
dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang
dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu,
filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling
menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul
dalam kehidupan.
Sesungguhnya kaum Ionian telah membuat
pemisahan antara filsafat dan ilmu. Namun dalam
kenyataannya, sekarang filsafat memiliki arti yang sangat
terbatas. Hal ini terjadi karena filsafat telah menjadi
korban kesuksesannya sendiri. Bermula dari
penyelidikan tentang cara kerja alam semesta, cabang
penyelidikan tersebut segera memberikan hasil yang
positif, tetapi kemudian bidang tersebut dialihkan dari
filsafat lalu dinamakan sebagai ilmu. Dengan demikian
ilmu merupakan anak dari filsafat. Begitu pula agama,
mutlak harus ada dan diseimbangkan dengan ilmu.
Karena di dalam kemajuan ilmu, seseorang berkiblat
kepada moral, dan moral yang di tata secara hakiki
adalah agama.
158

SUBSTANSI FILSAFAT ILMU

6.1 KENYATAAN ATAU FAKTA


Kenyataan atau fakta adalah sesuatu yang benar-benar
terjadi dan memiliki bukti tetapi tidak mungkin dengan alat-
alat yang serba kasar seperti panca indera, manusia dapat
menyaksikan hakikat semua kenyataan sebagai kebenaran
sejati. Untuk dapat meraih hakikat kenyataan sebagai
kebenaran sejati, disamping panca indra dan akal, manusia
dikaruniai pula budi sebagai alat perantara akal dan Tuhan.
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam,
tergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
a. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata
bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan
sensual lainnya.
b. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan
mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus
kearah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi
antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus kearah
koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena
dengan sistem nilai.
c. Rasionalistik menganggap sesuatu sebagai nyata, bila
ada oherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
159

d. Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang


nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
e. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu
yang berfungsi
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan
tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu
peristiwa, fenomena atau bagian realitas yang merupakan
obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan
fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif
dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah
deskriptif fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah
merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta
ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak
terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-
istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi
ilmiah.

6.2 KEBENARAN
Benar pada dasarnya adalah persesuaian antara pikiran
dan kenyataan. Kebenaran juga diartikan dengan tidak
adanya pertentangan dalam dirinya. Sedangkan kebenaran
adalah persesuaian antara tahu dengan objeknya juga antara
pengetahuan dan objeknya.
Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria
kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu
160

berbeda. Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama


dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun
memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dari
bidang pengetahuan.
Problem kebenaran ilmiah yang memacu tumbuh dan
berkembanganya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap
kebenaran membawa orang kepada sesuatu kesimpulan
bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu
kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran
semantis.
kebenaran epistemologi adalah kebenaran yang
berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam
arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang
melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang
terdapat serta melekat dalam tutur kata bahasa. Namun,
dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistimologis
karena kebenaran yang lainnya secara inhern akan masuk
dalam kategori kkebenaran epistimologis.
Teori yang menjelaskan epistimologis adalah sebagai
berikut :
1. Teori koherensi (Coherence Theory of Truth)
Bagi penganut teori koherensi, maka suatu
pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut
161

bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-


pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Misalnya bila kita menganggap bahwa, “semua
manusia akan mati”. Adalah sebagai pernyataan yang
benar, maka pernyataan bahwa “Panjul adalah seorang
manusia, dan Panjul pasti akan mati” adalah benar pula,
sebab penyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan pertama.
2. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran
dapat disimpulkan sebagai dua hal yang sudah diketahui
sebelumnya, yaitu pernyataan dan kenyataan. Menurut
teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan
tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.
3. Teori Pragmatisme
Kadang-kadang teori ini disebut teori kebenaran
inherensi. Menurut filsafat ini benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada
asas bermanfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat.
Penganut pragmatis meletakkan ukuran kebenaran
dalam salah satu jenis konsekuensi, atau proposisi itu
dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang
memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah
benar.
162

4. Agama sebagai Teori Kebenaran


Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah
satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah
melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia,
maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori sebelumnya
lebih mengedeopankan akal, budi, rasio, dan reason
manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu
yang bersumber dari Tuhan.
5. Teori Performatif
Menurut teori ini persyaratan kebenaran bukanlah
kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan
(performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka
cukup melakukan tindakan konsesi
(setuju/menerima/membenarkan) terhadap gagasan yang
telah dinyatakan. Jadi sesuatu itu dianggap benar jika
memang dapat diaktualisasikan dalam tindakan.

6.3 KONFIRMASI
Konfirmasi berasal dari bahasa inggris
“confirmation”, yang berarti penegasan, pengesahan.
Konfirmasi apabila dikaitkan dengan ilmu, Fungsi ilmu
adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang
akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan
163

tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau


probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya
menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah
dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan
asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat
penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar
kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif,
deduktif, ataupun reflektif. Konfirmasi berbicara tentang
penegasan atau penguatan dari apa yang didapat dari fakta.

6.3.1 Aspek dalam Konfirmasi


1. Kualitatif :
Yaitu informasi untuk konfirmasi didapat dalam
bentuk narasi atau deskripsi (gambaran seluruhnya).
Contohnya, dalam sebuah penelitian, peneliti
menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan data
ilmiah.
2. Kuantitatif :
Yaitu informasi untuk konfirmasi yang didapat
dalam bentuk angka. Konfirmasi kuantitatif membutuhkan
sampel-sampel yang bisa mewakili keseluruhan bahan
penelitian sehingga bisa dilakukan generalisasi
kesimpulan. Contoh penerapan konfirmasi kuantitatif
dalam penelitian adalah penggunaan angket.
164

6.3.2 Kuantitatif dan Kualitatif Konfirmasi


Dasar untuk memastikan kebenaran penjelasan atau
kebenaran prediksi sebagian ahli mengemukakan aspek
kuantitatif dan sebagian lain aspek kulitatif. Derajat
konfirmasi bersifat probabilitas; probabilitas dari hasil
analisis frekuensi.Derajat konfirmasi kuantitatif menjadi
masalah pada keluasan generalisasi, seberapa jauh
generalisasi dapat diterapkan.Konfirmasi kuantitatif
menimbulkan masalah pada signifikansinya.Batas koefisien
dianggap signifikan menjadi masalah, karena dalam terapan
di jumpai batas signifikansi statistik dan batas signifikansi
arbiter, misalnya dalam analisis data psikologis, sosiologis
yang mentoleri koefisien lebih rendah dari tabel signifikansi
statistik, karena objeknya adalah manusia.
Dalam membangun konfirmasi kualitatif dan upaya
melepaskan dari yang kuantitatif tampaknya memang belum
dapat dilakukan sepenuhnya.Rudold carnap
mengembangkan dua model bahasa yaitu, bahasa
terjemahan dan bahasa interpretasi.

6.3.3 Teori Konfirmasi


Teori kepastian berupaya mencari deskriptif
hubungan normative antara hipotesis dengan refidensi,
hubungan tersebut berupaya mengukur dan bagaimana
suatu efidensi menjamin kepercyaan kita pada hipotesis.
165

Setidaknya ada tiga teori konfirmasi, yaitu decision theory,


estimation theory, dan realiability analiysis.Decision theory
menerapkan kepastian berdasarkan keputusan. Sedangkan
estimation theory menetapkan kepastian dengan memberi
peluang benar-salah dengan menggunakan konsep
probabilitas, konsep ini dominan dalam analisis
statistic.Hampell menggunakan konsep probabilitas dengan
berdasarkan pada hubungan logis antara proposisi dengan
hipotesis. Sedangkan Rudolp Carnap mendasarkan pada
hubungan sintaktikal antara evidensi dengan hipotesis.
Adapun reliability theory menetapkan kepastian
dengan mencermati stabilitas efidensi terhadap hipotesis.
Banyak ahli menganut yang pertama, tapi lebih banyak
yang menganut yang kedua.

6.3.4 Jenis Konfirmasi


1. Decision Theory : 
Mempunyai manfaat aktual atau tidak. Dalam
penjelasan lain decision theory menerapkan kepastian
berdasar keputusan apakah hubungan antara hipotesis
dengan evidensi memang memiliki manfaat aktual.
2. Estimation Theory : 
Menetapkan kepastian dengan memberi peluang benar
– salah dengan menggunakan konsep probabilitas.
166

3. Reliability Theory :
Mencermati stabilitas fakta/evidensi yang berubah-
ubah terhadap sebuah hipotesis. Menetapkan kepastian
dengan mencermati stabilitas evidensi (yang mungkin
berubah-ubah karena kondisi atau karena hal lain.

6.4 LOGIKA INFERENSI


6.4.1 Pengertian
Logic (logika) berasal dari kata logos (Bhs. Yunani)
yang artinya kata (word) atau apa yang diucapkan,
kemudian berubah menjadi studi sistem preskriptif dari
argumen dan penalaran (reasoning), yaitu sistem yang
menjadi acuan bagaimana manusia harus berfikir. Logika
dapat dikatakan sebagai bentuk penarikan kesimpulan,
apakah sesuatu atau argumen itu absah (valid) atau sebagai
pendapat yang keliru (fallacious).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, logika
berarti; (1) pengetahuan tentang kaidah berfikir, (2) jalan
fikiran yang masuk akal. Inferensi berarti simpulan; yang
disimpulkan. Oleh karena demikian, logika inferensial dapat
didefinisikan sebagai “berfikir dengan akal yang sehat
untuk memperoleh kesimpulan”. Contohnya, ketika
seseorang menghadapi sebuah persoalan yang memerlukan
jalan keluar (pemecahan), lalu persoalan tersebut ia fikirkan
dengan menggunakan akal yang sehat, kemudian dari hasil
167

berfikir itu ia mendapatkan sebuah simpulan pemecahan


dari persoalan tersebut.
M. Taib Thahir Abd. Muin mengemukakan bahwa
ilmu manthiq (logika) menurut bahasa ialah bertutur benar.
Adapun definisinya bermacam-macam, namun
kesimpulannya sama, antara lain;
1. Ilmu tentang undang-undang berfikir,
2. Ilmu untuk mencari dalil,
3. Ilmu untuk menggerakkan fikiran kepada jalan yang
lurus dalam memperoleh suatu kebenaran,
4. Ilmu yang membahas tentang undang-undang yang
umum untuk fikiran,
5. Alat yang merupakan undang-undang berfikir dan bila
undang ini dipelihara dan diperhatikan, maka hati nurani
manusia pasti dapat terhindar dari fikiran-fikiran yang
salah.

6.4.2 Sejarah Ringkas Logika


W. Poespoprodjo dalam bukunya yang berjudul
Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu,
membagi sejarah logika, sebagai berikut:
1. Dunia Yunani Tua
Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium
(±340-265) disebutkan bahwa tokoh Stoa adalah yang
pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian,
168

akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para


filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas
dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum sofis-lah
yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran
secara eksplisit. Gorgias (±483-375) dari Lionti (Sicilia),
mempersoalkan masalah pikiran dan bahasa, masalah
penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran. Dapatkah
ungkapan mengatakan secara tepat apa yang ditangkap
pikiran?
Sokrates (470-399) dengan metodenya,
mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini
dikumpulkan contoh dan peristiwa konkrit untuk kemudian
dicari  ciri umumnya. Plato, yang nama aslinya Aristokles,
(428-347) mengumumkan metode Sokrates tersebut
sehingga menjadi teori ide, yakni teori dinge an sich versi
Plato. Sedangkan oleh Aristoteles, dikembangkan menjadi
teori tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah bentuk
“mulajadi” atau model yang bersifat umum dan sempurna
yang disebut prototypa, sedangkan benda individual
duniawi hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak
sempurna yang disebut ectypa. Gagasan Plato ini banyak
memberikan dasar terhadap perkembangan logika, lebih-
lebih yang bertalian dengan ideogenesis dan penggunaan
bahasa dalam pemikiran. Namun demikian, logikè epistèmè
169

(logika ilmiyah) sesungguhnya baru dapat dikatan terwujud


berkat karya Aristoteles.
Sesudah Aristoteles, Theoprastus mengembangkan
teori logika Aristoteles, dan kaum Stoa mengembangkan
teori logika dengan menggarap masalah bentuk argument
disjungtif dan hipotesis serta beberapa segi masalah bahasa.
Chrysippus yang Stoa mengembangkan  logika proposisi
dan mengajukan bentuk-bentuk berfikir yang sistematis.
Galenus, Alexander Aphrodisiens, dan Sextus
Empiricus mengadakan sistematisasi logika dengan
mengikuti cara geometri, yakni metode ilmu ukur. Galenus
sangat berpengaruh karena tuntutannya yang sangat ketat
aksiomatisasi logika. Karya utama Galenus berjudul Logika
Ordini Geometrico Demonstrata. Tapi impian Galenus
hanya terlaksana jauh kemudian. Yakni di akhir abad XVII
melalui karya saceheri yang berjudul Logica
Demonstrativa.
Kemudian muncullah zaman dekadensi logika.
Salama ini logika mmengembang karena menyertai
perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari
betapa berseluk beluknya kegiatan berpikir yang
langkahnya mesti dipertanggungjawabkan. Kini ilmu
menjadi dangkal sifatnya dan sangat sederhana, maka logika
juga merosot. Tetapi beberapa karya pantas mendapat
perhatian kita, yakni Eisagogen dari Porphyrios, kemudian
170

komentar-komentar dari Boethius dan Fons Scientiae


(Sumber Ilmu) karya Johannes Damascenus.

2. Logika Abad Pertengahan


Pada mulanya hingga tahun 1141, penggarapan logika
hanya berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul
Kategoriai dan Peri Hermenias. Karya tersebut ditambah
dengan karya Phorphyrios yang bernama Eisagogen dan
traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian,
masalah metode debat, silogisme kategoris hipotesis, yang
biasa disebut logika lama. Sesudah tahun 1141, keempat
karya Aristoteles lainnya dikenal lebih luas dan disebut
sebagai logika baru. Logika lama dan logika baru kemudian
disebut logika antik untuk membedakan diri dari logika
terministis atau logika modern, disebut juga logika suposisi
yang tumbuh berkat pengaruh para filosof Arab. Di dalam
logika ini di ditunjuk pentingnya pendalaman tentang
suposisi untuk menerangkan kesesatan logis, dan tekanan
terletak pada ciri-ciri term sebagai symbol tata bahasa dari
konsep-konsep seperti yang terdapat di dalam karya Petrus
Hispanus, William dari Ockham.
Thomas Aquinas dkk., mengusahakan sistimatisasi
dan mengajukan komentar-komentar dalam usaha
mengembangkan logika yang telah ada. Pada abad XIII-XV
berkembanglah logika seperti yang sudah disebutkan di
171

atas, disebut logika modern. Tokohnya adalah Petrus


Hispanus, Roger Bacon, W. Okcham, dan Raimon Lullus
yang menemukan metode logika baru yang disebut Ars
Magna, yakni semacam Al-jabar pengertian dengan tujuan
untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Abad pertengahan mencatat berbagai pemikiran yang
sangat penting bagi perkembangan logika. Karya Boethius
yang orisinal dibidang silogisme hipotesis, berpengaruh
bagi perkembangan teori konsekwensi yang merupakan
salah satu hasil terpenting bagi perkembangan logika di
abad pertengahan. Kemudian dapat dicatat juga teori
tentang cirri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam
ternyata lebih kaya dari semiotika matematika di zaman ini.
Selanjutnya diskusi tentang universalia, munculnya logika
hubungan, penyempurnaan teori silogisme,  penggarapan
logika modal, dan lain-lain penyempurnaan terknis.

3. Logika Dunia Modern


Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan
yang murni, juga dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi
dengan tekanan-tekanan yang berbeda. Thomas Hobbes,
(1632-1704) dalam karyanya Leviatham (1651) dan John
Locke (1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay
Concerning Human Understanding (1690). Meskipun
mengikuti tradisi aristoteles, tetapi dokrin-dokrinya sangat
172

dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai


suatu proses manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip
operasi-operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini
memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan di dalam
pengalaman.
Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat
deduktif silogistik dan menunjukkan tanda-tanda induktif
berhadapan dengan dua bentuk metode pemikiran lainnya,
yakni logika fisika induktif murni sebagaimana terpapar
dalam karya Francis Bacon, Novum Organum (London,
1620) serta matematika deduktif murni sebagaimana terurai
di dalam karya Rene Descartes, Discors The La Methode
(1637).
Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang
direncanakan Francis Bacon, didasarkan pada pengamatan
empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan yang
terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan
verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen
lebih lanjut.

4. Logika di India
Di Asia hanya India yang sudah mengembangkan
logika secara formal sejak masa lalunya. Logika lahir dari
Sri Gautama yang harus sering berdebat melawan golongan
Hindu fanatic yang menyerang aliran kesusilaan yang
173

diajarkannya. Dengan sistematis logika dipaparkannya


dalam Nyaya-Sutra sehingga mencapai taraf perkembangan
ilmu. Nyaya-Sutra mendapat komentar dari Prasastapada,
yang kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikut
Buddha lainnya.
Logika terus sebagai metode berdebat, dan
mengundang banyak komentar dari orang-orang seperti
Uddyotakara, Vacaspati Misra, Mazdab Nyaya, Kumarila
Bhatta, Mazdab Mimamza Dharmakirti, seorang Buddhis
Udayana, Bhagavata, dan lain-lain.

6.4.3 Logika Formal dan Logika Material


Setelah pengetahuan logika makin ramai dibicarakan
orang maka logika artificialis dibedakan orang menjadi dua
macam, yaitu logika formal dan logika material.
Logika formal mempelajari asas-asas, aturan-aturan
atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati, agar orang
dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran.
Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta
menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan
kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Apakah
hasil-hasil logika formal itu sungguh sesuai dengan isi
(materi) kenyataan yang sebenarnya.
Logika material mempelajari sumber-sumber dan
asal-usul pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses
174

terjadinya pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode


ilmu pengetahuan. Logika material inilah yang menjadi
sumber yakni yang menimbulkan filsafat mengenal
(kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan
(wetenschapsleer).
Logika formal dinamakan orang juga logika minor,
sedang logika material dinamakan sebagai logika mayor.
Dan apa yang disebut dengan logika formal sekarang ini
ialah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara
berfikir untuk mencapai kebenaran.

6.4.4 Positivistic Logic


Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme
logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah
sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada
tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa
filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk
menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah
atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis
ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath,
dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung
dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus
utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
175

Secara umum, para penganut paham positivisme


memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap
skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau
metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu
pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang
berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini
mendukung teori-teori paham realisme, materialisme
naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal
antara lain teori tentang “makna yang dapat dibuktikan”,
yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut
sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut
dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari
pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak
dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya
adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna
apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa
landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis
sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten.
Misalnya, prinsip tentang teori tentang “makna yang dapat
dibuktikan” seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak
dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul
adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang
dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada
176

burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal


negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam)
mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun
masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk
eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang
berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua
burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak
mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis
yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung
(Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia
menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna,
yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk
yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik
yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara
pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk
membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan
yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik
tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah
pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena
pada saat tersebut belum ditemukan metode
penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat
metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu
tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak
dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat
177

nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan


melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan
sebagai ilmiah.

6.4.5 Mathematical Logic


Logika matematika adalah cabang ilmu pengetahuan
logika dan matematika. Logika matematika mempelajari
tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke dalam
ruang lingkup matematika. Logika matematika juga
memiliki kaitan erat dengan ilmu komputer dan logika
filsafat. Lebih dari itu, logika matematika kadang dianggap
sebagai ilmu yang bisa memetakan logika manusia.
Logika matematika sebenarnya mengacu kepada dua
ruang lingkup penelitian yang berbeda. Yang pertama
adalah aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam
matematika dan penalaran matematika. Sedangkan yang
kedua, sebaliknya, adalah aplikasi dari teknik-teknik
matematika ke dalam representasi dan analisis logika
formal. Bisa dikatakan bahwa logika matematika
menyatukan kekuatan ekspresi dari logika formal dan
kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal (formal
proof system). Penggunaan matematika dalam hubungannya
dengan logika dan filsafat dimulai pada zaman Yunani
kuno.
178

Beberapa hasil teori logika yang telah berhasil dan


terkenal di kalangan para matematikawan barat di antaranya
adalah Teori silogisme dari Aristoteles dan aksioma Euclid
untuk geometri planar. Sekitar tahun 1700, percobaan-
percobaan untuk melakukan operasi-operasi logika formal
dengan memakai simbol-simbol dan aljabar juga dilakukan
oleh banyak matematikawan lain, termasuk Leibniz dan
Lambert. Akan tetapi, informasi mengenai hasil pekerjaan
mereka sangat sedikit dan jarang sekali ditemukan, yang
karena itu tidak terlalu diketahui oleh publik.

6.4.6 Postmodern Logic


Istilah postmodern, pertama kali dilontarkan oleh
Arnold Toynbee pada tahun 1939. Kendati sampai saat ini
belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi
istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di
Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu
berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir
Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J Francois
Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat
dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya
yang berjudul The Post-Modern Condition sebagai kritikan
atas karya The Grand Narrative yang dianggap sebagai
dongeng khayalan hasil karya masa Modernitas.
179

Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah


disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam
memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep
akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran
berfikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat
konsep berfikir yang tidak jelas akan membingungkan
pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah
postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang
seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan
dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat
martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti
Jameson beranggapan, postmodernisme adalah
pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap
Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and Post-
Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan
pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-
modernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat
berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi
paradok, sedang yang lain menganggap bahwa
postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme,
yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang
postmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas. Dari
pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi
menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis
180

Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-


Modernisme dan Affirmative Post-Modernism. Akibat dari
perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat
ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang
kontradiktif tadi.
Zygmunt Bauman dalam karyanya yang berjudul
Post-Modern Ethics berpendapat, kata “post” dalam istilah
tadi bukan berartikan “setelah” (masa berikutnya) sehingga
muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi.
Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras
sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna
begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-
siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang
bersumber dari prasangka (insting, wahm) belaka. Asas
pemikiran postmdernisme sebagaimana berbagai isme dan
aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu dan berakhir
pada empat pola pemikiran; epistemologi materialisme,
humanisme, liberalisme dan sekularisme. Tidak terkecuali
dengan postmodernisme.

6.4.7 Pragmatic Logic


Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani
“pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di
sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu
aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme
181

adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu


menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah “faedah”
atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan
kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori
dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang
memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau
teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau
tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide
ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika
khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai
sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem
yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis
di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang
kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910)
dan John Dewey (1859-1952).

6.4.8 Transendental Logic


Emanuel Kant menemukan Logika Transendental
yaitu logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran
yang mengatasi batas pengalaman.
182

6.5 TELAAH KONSTRUKSI TEORI


6.5.1 Pengertian konstruksi
Konstruksi adalah suatu entitas yang keberadaan dan
sifatnya tidak dapat secara langsung di deduksi secara
empiris. Karena, hanya dapat dijelaskan atas dasar jaringan
operasi terpadu. Untuk membuat lebih jelas definisi
diatas,perhatikan perbedaan antara konsep ‘kursi’ dan
konstruk ‘kecerdasan’. (dalam kebanyakan tulisan
ilmiah,konsep,dan konstruk adalah istilah isomorfik).
Dalam hal ini konsep ‘kecerdasan’ ini bukan kenyataan
sebagaimana konsep ‘kursi’. Kursi dapat dijelaskan lebih
mudah oleh pengamat (kursi adalah coklat; memiliki empat
kaki,dll).konsep ‘kursi’ bisa dijelaskan yaitu seperangkat
atribut minimal yang diperlukan untuk membedakan kursi
dengan objek lain.
Atribut ini dapat bersifat fisik (kursi memiliki empat
kaki) atau fungsional (kursi adalah tempat duduk), atau
mungkin sesuatu yang lain, tetapi karakteristik penting
adalah bahwa satu set atribut tertentu yang disepakati oleh
anggotakomunitas linguistik untuk menentukan konsep.
Bandingkan ini sekarang dengan konstruk
‘kecerdasan’ sama seperti konsep ‘kursi’, konsepnini hanya
dapat didefinisikan dengan menetapkan apa subset unik dari
atribut ciri ‘kecerdasan’ dari proses psikologis lainnya.
Dalam beberapa hal seringkali kita mengatakan bahwa
183

individu x lebih cerdas daripada individu y, penilaian


tersebut masih abstrak karena terangkum dalam perilaku.
Tetapi bisa diukur berdasarkan kriteria tertentu.
Untuk meringkas banyaknya perbedaan tentang
definisi dari istilah-istilah diatas,nampaknya bahwa teori
adalah istilah yang paling umum dan paling inklusif,dan
lainnya adalah bagian dari teori atau dihasilkan dari teori
tersebut. Sebuah teori terdiri dari konstruk dan
menghasilkan hipotesis. Model seringkali dimaksudkan
untuk menterjemahkan teori menjadi bentuk lain yang
diambil dari teori tersebut berasal. Hukum dan prinsip
seringkali digunakan sebagai dinding bangunan yang
bahannya teori.

6.5.2 Pengertian  Teori


Kata ‘teori” secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu theorea, yang berarti melihat, theoros yang
berarti pengamatan.
Adapaun pengertian teori menurut terminologi
memiliki beberapa pengertian seperti yang dikemukakan
oleh ilmuwan sebagai berikut:
1. Kerlinger mengemukakan bahwa teori adalah suatu
kumpulan variabel yang saling berhubungan, definisi-
definisi, proposisi-proposisi yang memberikan
pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan
184

mempesifikasikan relasi-relasi yang ada di antara


beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan
fenomena yang ada”.
2. Cooper and Schindler (2003), mengemukakan bahwa, A
theory is a set systematically interrelated concepts,
definition, and proposition that are advanced to explain
and predict phenomena (fact). Teori adalah seperangkat
konsep, defininisi dan proposisi yang tersusun secara
sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan
dan meramalkan fenomena.
3. Dalam bidang Administrasi Hoy & Miskel (2001)
mengemukakan defenisi bahwa teori adalah seperangkat
konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan
untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam
berbagai organisasi.
4. Teori menurut Sugiyono adalah alur logika atau
penalaran, yang merupakan seperangkat konsep,
defenisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis.
Secara umum teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk
menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan
pengendalian (control) suatu gejala.
Berdasarkan pengertian teori tersebut dapat kita
mengemukakan bahwa teori memiliki komponen-komponen
yang terdiri atas: Konsep, fakta, fenomena, defenisi,
proposisi dan variabel.
185

6.5.3 Telaah Konstruksi Teori


Telaah konstruksi teori (Bangunan teori) Adalah
sekumpulan proporsi yang saling berkaitan secara logis
untuk memberikan pengertian mengenai sejumlah
fenomena. Atau bisa diartikan abstrak dari sejumlah konsep
yang disepakatkan dalam definisi-definisi. Konsep sebagai
abstraksi dari banyak empiri yang telah ditemukan
kesamaan umumnya dan kepilahannya dari yang lain atau
abstraksi dengan cara menemukan sejumlah esensi pada
suatu kasus, dan dilakukan berkelanjutan pada kasus-kasus
lainnya, dapat dikonstruksikan lebih jauh menjadi proposisi
atau pernyataan, dengan membuat kombinasi dari dua
konsep atau lebih.
Bangunan-bangunan teori tersebut mecakup pembahasan
antara lain :
1. Teori Ilmu
Teori ilmu memiliki dua kutub arti teori. Kutub
pertama adalah teori sebagai hukum eksprimen muncul
beragam, mulai dari hasil eksprimen tersebut meluas ke
hasil observasi fisik seperti teori tentang panas bumi.
Kutub kedua adalah hukum sebagai kalkulus formal
dapat muncul beragam pula, mulai dari yang dekat
dengan kutub pertama seperti teori sebagai eksplanasi
phisik misalnya teori Galileo tentang peredaran planet
pada porosnya, teori sinar memancar melengkung bila
186

lewat medan gravitasi. Selanjutnya teori sebagai


interpretasi terarah atas observasi seperti teori sosial
statis dan sosial dinamis dari August Comte dan pada
ujung kutub kedua adalah teori sebagai prediksi logik;
dengan sifatnya berlaku umum dan diprediksikan berlaku
kapan pun dahulu dan yang akan datang, seperti teori
evolusi dari Darwin, teori relativitas dari Einstein yang
memnberikan penjelasan alternatif tentang sumber energi
yang memungkinkan matahari menghasilkan energi
begitu besar dalam waktu begitu lama.

2. Temuan Substantif Mendasar


Temuan-temuan atas bukti empirik dapat dijadikan
tesis substantif, dan diramu dengan konsep lain dapat
dikonstruk menjadi teori substantif. Asumsi keberlakuan
tesis substantif tersebut ada pada banyak kasus yang
sama di tempat dan waktu berbeda.
Temuan huruf baca hirogliph Mesir, huruf baca
kanji Jepang dan Cina adalah symbol-simbol untuk
benda-benda Huruf baca lebih maju tampil sebagai
simbol-simbol ucapan. Angka-angka Rumawi dan Latin
adalah simbol-simbol, seperti X adalah simbol dari 10, L
=50, M = 100,  dan seterusnya. Huruf tulis yang kita
gunakan adalah huruf Latin. Jika angka ilmu
pengetahuan yang kita gunakan  adalah angka latin,
187

bagaimana matematika dan ilmu eksakta lain akan dapat


dikembangkan dengan huruf-huruf simbol X,L,M, dan
lainnya. Angka arab yang kita gunakan dalam  berilmu
pengetahuan sekarang ini bukan representasi simbol,
melainkan representasi placed value. Sama-sama angka 5
dengan letak berbeda, berbeda nilainya. Contoh:
5.555.55. Itu merupakan temuan  teori substantif
mendasar.
Demikian pula persepsi ilmuwan tentang atom,
berkembang. Dari partikel terkecil, ke ditemukannya
unsur radioaktif pada atom, dan diketemukannya unsur-
unsur electron yang berputar mengorbit pada proton yang
mempunyai kekuatan magnetik. Kemudian pada tahun
1937 diketemukan neutron, semacam proton, tetapi tidak
mempunyai kekuatan magnetik. Berat neutron beragam
dan inilah yang menyebabkan atom satu beda beratnya
dengan atom yang lain. Temuan teori atom ini
merupakan temuan ilmiah substantif  mendasar.

3. Hukum-hukum Keteraturan
a. Hukum Keteraturan Alam
Alam semesta ini memiliki keteraturan yang
determinate. Ilmu pengetahuan alam biasa disebut hard
science, karena segala proses alam yang berupa benda
anorganik sampai organik dan hubungan satu dengan
188

lainnya dapat dieksplanasikan dan diprediksikan relatif


tepat. Kata relatif  tepat momot dua makna: pertama, bila
teori yang kita gunakan untuk membuat eksplanasi atau
prediksi sudah sangat lebih baik, dan kedua, bila variabel
yang ikut berperan lebih terpantau.Menurut al-Kindi
ketertiban alam ini, baik susunan, interaksi, relasi bagian
dengan bagiannya, ketundukan suatu bagian pada bagian
lainnya, dan kekukuhan strukturnya di atas landasan
prinsip yang terbaik bagi proses penyatuan, perpisahan,
dan muncul serta lenyapnya sesuatu dalam alam,
mengindikasikan adanya pengaturan yang mantap dan
kebijakan yang kukuh. Tentu ada Pengatur Yang Maha
Bijaksana dibalik semua ini, yaitu Allah.

b. Hukum Keteraturan Hidup Manusia


Hidup manusia itu memiliki keragaman sangat luas.
Ada yang lebih suka kerja keras dan yang lain menyukai
hidup santai, ada yang tampil ulet meski selalu gagal,
yang lain mudah putus asa, ada yang berteguh pada
prinsip dan sukses dalam hidup, yang lain berteguh pada
prinsip, dan tergilas habis. Kehidupan manusia
mengikuti sunnatullah, mengikuti hukum yang sifatnya
indeterminate. Mampu membaca kapan harus teguh pada
prinsip, kapan diam dan kapan berbicara dalam nada
bagaimana, dia akan sukses beramar ma’ruf nahi
189

mungkar. Manusia mempunyai kemampuan untuk


memilih yang baik, dan menghindari yang tidak baik.
Dataran baik tersebut dapat berada pada dataran
kehidupan pragmatik sampai pada dataran moral human
ataupun moral religious.
Memilih kerja yang mempunyai prospek untuk
menghidupi keluarga, merupakan kebebasan memilih
manusia dengan konsekuensi ditempuhnya keteraturan
sunnatullah; harus tekun bekerja dan berupaya
berprestasi di dunia kerjanya. Untuk diterima
kepemimpinannya, seorang pemimpin perlu berupaya
menjadi shiddiq, amanah, dan maksum. Kedaan
demikian berkenan dengan pemikiran Ibnu Bajjah yang
membagi perbuatan manusia kepada perbuatan
manusiawi, yaitu perbuatan yang didorong oleh
kehendak/kemauan yang dihasilkan oleh pertimbangan
pemikiran, dan perbuatan hewani yaitu perbuatan
instingtif sebagaimana terdapat pada hewan, muncul
karena dorongan insting dan bukan dorongan pemikiran.

c. Hukum Keteraturan Rekayasa Teknologi


Keteraturan alam yang determinate, dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu keteraturan substantif dan ketraturan
esensial. Seperti Pohon mangga golek akan berbuah
mangga golek. Ketika ilmuwan berupaya menemukan
190

esensi rasa enak pada mangga, menemukan esensi buah


banyak pada mangga, dan menemukan esensi pohon
mangga yang tahan penyakit, ilmuwan berupaya
membuat rekayasa agar dapat diciptakan pohon mangga
baru manalagi yang enak buahnya, banyak buahnya, dan
pohonnya tahan penyakit, di sini nampak bahwa
ilmuwan mencoba menemukan keteraturan esensial pada
benda organik. Produk teknologi merupakan produk
kombinasi antara pemahaman ilmuwan tentang
keteraturan esensial yang determinate dengan upaya
rekayasa kreatif manusia mengikuti hukum keteraturan
sunnatullah.

4. Konstruksi Teori Model Korespondensi

Konstruksi berfikir korespondensi adalah bahwa


kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara menemukan
relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan
korespondensi tersebut beragam mulai dari korelasi, kausal,
kontributif, sampai mutual. Konstruk berfikir statistik
kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan
cara ini. (Menurut Bertand Russel suatu pernyataan benar
jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan itu. Misalnya, jika ada seseorang
191

yang mengatakan “ Ibu kota republik Indonesia adalah


Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu
sesuai dengan fakta objektif.
Pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX,
terobosan-terobosan dramatik telah dilakukan dalam logika
formal. Secara khusus jelas dihargai bahwa hal dapat ditarik
kesimpulan, dapat dikonstruksi sebagai sebuah relasi formal
yang sepenuhnya indefenden dari maknanya. Misalnya,
orang dapat menyimpulkan kalimat r dari kalimat-kalimat s
dan “jika s maka r” tanpa mengetahui apapun tentang apa
yang diklaim (dinyatakan) kalimat-kalimat s dan r. Para
penstudi dan ahli logika menyelidiki kemungkinan
pengkonstruksian (pembentukan) bahasa-bahasa formal
yang di dalamnya relasi-relasi logikal akan menjadi persis
(terumus secara cermat). Dari aksioma-aksioma teori itu
semua teorema secara murni formal akan mengikuti (seperti
r mengikuti dari s dan “jika s maka r”) sebab teori itu
mengatakan kepada kita tentang dunia, ia memerlukan
sebuah ‘interpretasi”: Kita harus diberi tahu apa yang
menjadi makna dari term-termnya dan pernyatan-
pernyataan pendiriannya. “Correspondence rule” (aturan
kores pondensi) adalah pernyataan-pernyataan yang
sekaligus dimaksudkan untuk menyediakan interpretasi itu
dan untuk memungkinkan klaim-klaim dari teori-teori yang
sekarang sudah diinterpretasi dapat diuji.
192

5. Konstruksi Teori Model Koherensi


Konstruksi teori model koherensi merentang dari
koheren dalam makna rasional sampai dalam makna
moral. Konstruk koheren dalam makna rasional adalah
kesesuaian sesuatu dengan skema rasional tertentu,
termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan kebenaran
obyektif rasional.
Aristoteles dalam teori koherensi memberikan
standar kebenaran dengan cara deduktif, yaitu kebenaran
yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat
diungkap bahwa berdasarkan teori koherensi suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar. Bila kita menganggap benar bahwa
“semua manusia pasti mati” adalah pernyataan yang
benar, maka pernyataan bahwa “si fulan adalah seorang
manusia dan si Fulan pasti mati” adalah benar pula.
Sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
Konstruksi berfikir koherensi kedua adalah yang
dilandaskan kepada kebenaran moral dan nilai. Sesuatu
dipandang sebagai benar bila sesuai dengan moral
tertentu. Moral dalam maknanya yang luas menyangkut
masalah: right or wrong, truth or false, justice or unfair,
human or inhuman dan lainnya. Hal ini terkait dengan
193

kehidupan budi yang terjelma dalam proses penilaian itu


merupakan ciri manusia yang terpenting dalam
kehidupan individu, masyarakat dan kebudayaan, sebagai
makhluk yang berkelakuan.

6. Konstruksi Teori Model Pragmatis


Konstruksi teori model Prgmatis berupaya
mengkonstruk teorinya dari kosep-konsep, pernyataan-
pernyataan yang bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis atau tidak. Kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak; Artinya
suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
implikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia. Kaum pragmatis berpaling pada
metode ilmiah sebagai metode untuk mencari
pengetahuan tentang alam ini yang dianggap fungsional
dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah.
Agama bisa dianggap benar karena memberikan
ketenangan pada jiwa dan ketertiban dalam masyarakat.
Para ilmuan yang menganut azas ini tetap menggunakan
suatu teori tertentu selama teori itu mendatangkan
manfaat.
194

7. Konstruksi Teori Iluminasi


Teori Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yazdi adalah
pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam
kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi
gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa
membutuhkan hubungan eksterior. Artinya hubungan
mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah
hubungan swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan
objek eksternal.
Selanjutnya Iluminasi oleh Yazdi disebut sebagai
ilmu hudhuri yaitu pengetahuan dengan kehadiran karena
ia ditandai oleh keadaan neotic dan memiliki objek
imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek. Ilmu
hudhuri tidak memiliki objek diluar dirinya, tetapi objek
itu sendiri ada adalah objek subjektif yang ada pada
dirinya. Oleh sebagian sufi, iluminasi itu adalah
pengetahuan diri tentang diri yang berasal dari penyinaran
dan anugerah Tuhan yang digambarkan dengan berbagai
ungkapan dan keadaan. Ada yang menyebutkannya
dengan terbukanya hijab antara dirinya dengan Tuhan,
sehingga pengatahuan dan rahasianya dapat diketahui.
Ada yang mengungkapkan dengan rasa cinta yang sangat
dalam sehingga antara dia dan Tuhan tidak ada rahasia
lagi. Pengetahuan Tuhan adalah pengetahuannya. Dan
195

ada yang menyatakan dengan kesatuan kesadaran


(ittihᾶd/hulûl).

Terdapat 2 bentuk dasar dalam konstruksi teori


(bagunan teori) antara lain;
Metode deduktif,dan metode induktif
1. Konstruksi teori deduktif
Penekanan dalam jenis ini adalah terletak pada
membangun sistem konstruk dan aturan relasional yang
secara konseptual dan logis konsisten tapi verifikasi
empiris yang terbuka untuk dipertanyakan. Penemu jenis
teori bekerja dari atas ke bawah,membangun sebuah teori
yang tampaknya logis dengan basis apriori dan kemudian
menguji kebenaran dari teori ini dengan melakukan
percobaan yang ditentukan oleh teori.
Contoh paling jelas seperti teori dalam psikologi
adalah teori pembelajaran hipotetiko deduktif oleh hull.
Dalam teori ini seperangkat postulat atau asumsi-asumsi
dasar dirumuskan terlebih dahulu dengan
memperhitungkan faktor pengetahuan tertentu,tetapi
secara esensial hasil dari menebak informasi. Dari
postulat-postulat ini,hipotesis (atau teorema) kemudian
diuji dan salah satu teori yang terbukti benar
dipertahankan. Ini adalahka rakteristik dari teori deduktif
pada umumnya.
196

2. Konstruksi teori induktif

Pada jenis konstruksi teori ini, teori merupakan


ringkasan pernyataan-pernyataan atau generalisasi dari
fakta-fakta empiris. Para penganut teori ini bekerja
bawah keatas, menyusun sistem (atau teori kecil) yang
sudah diverifikasi dengan replikasi hasil penelitian
tertentu, kemudian memikirkan sistem tingkat tinggi
yang menggeneralisir seluruh teori miniature/kecil, dan
akhirnya merumuskan teori yang dapat menjelaskan
semua pernyataan dalam skema. Keuntungan dari
pendekatan seperti itu adalah bahwa para penganut ini
tidak pernah sangat jauh dari pernyataan yang
‘kebenaran’ nya diverifikasi dengan baik. Dengan cara
ini ia cenderung untuk tersesat dalam menyusun dalil-
dalil teoretesnya. Masalah dalam metode tersebut adalah
menyebabkan proliferasi teori yang sangat rendah-
tingkat,kebanyakannya tidak unik dan tumpang tindih
dalam fungsinya. Serta tidak efisien.

Praktek saat ini


Seperti disebutkan sebelumnya,kedua metode
konstruksi teori tersebut menunjukkan ekstrem. Beberapa
penganut teori akanmenunjukkan preferensi untuk satu jenis
dari yang lain, meskipun setiap penganut teori akan
menggunakan strategi yang mengandungunsur-unsur dari
197

kedua pendekatan tersebut. Pertannyaannya adalah bukan


apakah orang itu dikatakan lebih baik dari yang lain
melainkan apakah seseorang lebih produktif atau efisien
pada waktu tertentu dalam sejarah ilmu pengetahuan/sains.
Pilihan antara metode deduktif dan metode induktif
tergantung pada keyakinan dari penganut teori dan
pengetahuan dalam bidang sains. Jika seseorang dapat
merasakan terdapat beberapa fakta-fakta dalam psikologi
dan bahwa ia memiliki pemahaman yang cukup baik
tentang proses psikologi dasar,maka penggunaan metode
deduktif dibenarkan. Jika, kurang memahami tentang nilai
ilmiah dan data psikologis saat ini, menggunakan
pendekatan induktif lebih baik.

6.5.4 Fungsi telaah konstruksi teori


fungsi dari telaah konstruksi teori antara lain :
1. Sebagai pedoman,bagan sistemanisasi,atau system acuan.
2. Memberikan suatu skema atau rencana sementara
mengenai medan yang semula belum dipetakan.
3. Menunjukkan atau menyarankan kearah-arah
penyelidikan lebih lanjut.
4. Sebagai pengembangan teori vs pengumpulan fakta.
5. Untuk memberitahu para ilmuwan tempat untuk mencari
jawaban atas pertanyaan.
6. Dapat digunakan sebagai untuk memprediksi.
198

7. Untuk memberi penjelasan peristiwa atau faktor-faktor


yang tidak diketahui/dipahami.
199

DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU

7.1 DIMENSI ONTOLOGIS

Kata dimensi digunakan untuk menunjukan sudut


pandang terhadap sesuatu, dari sudut pandang kepentingan
apa kita mengkaji ilmu pengetahuan. Dimensi keilmuan
diartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang,
melihat, atau mengkaji ilmu pengetahuan, misalnya apakah
kita akan melihat ilmu pengetahuan dari sudut (a)
substansinya atau upayanya, (b) cara memperoleh,
mengembangkan dan menggunakanya, atau (c) kita akan
melihat manfaat dan nilainya. Pembedaan sudut pandang
tersebut hanyalah sebagai perbedaan kehendak, karena ketiga
sudut pandang itu pada praktik berpikirnya tidak terpisahkan.
Semua hal itu tidak terlepas dari pengamatan study filsafat
ilmu pengetahuan. Apakah manfaat study ini bagi mahasiswa
calon ilmuan? Apakah ruginya jika studi ini diabaikan
mahasiswa?
Istilah “ontologi” berasal dari bahasa Yunani “onta”
yang berarti sesuatu “yang sungguh-sungguh ada”,
“kenyataan yang sesungguhnya”, dan “logos” yang berarti
“studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu” (Angeles,
1.981). Jadi ontologi adalah studi yang membahas sesuatu
200

yang ada. Secara sungguh sungguh juga diartikan sebagai


metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat
dasar kenyataan terdalam, ontologi membahas asas asas
rasional dari kenyataan (Kattsoff, 1986).
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala
galanya, meliputi yang ada sebagai wujud kongkret dan
abstrak, indrawi maupun tidak indrawi.
Fungsi atau manfaat dalam mempelajari ontologi antara
lain: Pertama, berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau
bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-
postulat ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain:
Pertama, dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa
dunia benar ada. Kedua, dunia empiris itu dapat diketahui
oleh manusia dengan panca indera. Ketiga, fenomena yang
terdapat di dunia ini terdapat di dunia ini berhubungan satu
dengan yang lainya secara kausal (Anshari, 1987:20). Ilmu
tidak dapat merefleksikan postulat-postulat, asumsi-asumsi,
prinsip, dalil, dan hukum sebagai pikiran dasar keilmuan dan
paradigmanya. Dalam hal ini ontologi dapat membantu kita
untuk merefleksikan eksistensi suatu disiplin keilmuan
tertentu.

7.2 DIMENSI EPISTIMOLOGI

Epistemologi sering disebut teori pengetahuan (theory of


knowledge). Istilah epistemologi berasal dari kata bahasa
201

Yunani ‘episteme’ yang artinya pengetahuan, dan ‘logos’


yang artinya teori. Jadi epistemologi dapat didefinisikan
sebagai dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber,
manfaat dan sahihnya pengetahuan. secara sederhana
disebutkan saja sebagai bagaimana cara mempelajari,
memanfaatkan dan mengembangkan ilmu bagi kemaslahatan
umat manusia.
Epistemologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan
legitimasi bagi suatu “ilmu pengetahuan” untuk diakui
sebagai disiplin ilmu, dan menentukan keabsahan disiplin
ilmu tertentu. Dengan demikian epistemologi juga
memberikan kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan. Aspek epistemologi yang penting didalam
pengembangan pengetahuan adalah metodologi keilmuan.
Pengetahuan pada umumnya dan ilmu pada khususnya
merupakan produk dari sebuah proses. Proses mempunyai
tempat yang penting karena akan menentukan kualitas
produk, selain pula mempengaruhi pula apakah jalan kepada
output akan lebih mudah atau lebih susah. Oleh karena itu
metodologi jugs menjadi alat atau wahana
pertanggungjawaban dan penilaian kualitas dari produk.
Maka dewasa ini metodologi menjadi penting sekali.
Persoalan tentang apa yang seharusnya diketahui telah
lama menjadi persoalan. Sebagai contoh, adanya
pertentangan besar antara idealisme dan realisme. Idealisme
202

pada yaman Yunani diwakili oleh Plato meyakini bahwa


pengetahuan sungguh-sungguh adalah dunia ide. Dengan kata
lain, dunia riil yang konkret ini adalah pengetahuan yang
semu, hanya merupakan ‘copy’ dunia ide. Sebaliknya,
realisme memandang bahwa dunia sesungguhnya dapat
diketahui karena dapat diserap dengan indra. Pengetahuan
yang berdasarkan ide (idealisme) mengandung implikasi
pendekatan rasional. Sifat idealisme lebih menekankan proses
berpikir deduktif yang terimplikasi dalam premis-premis,
yaitu premis mayor, premis minor dan simpulan. Sedangkan
realisme menganut pendekatan empirik. Pengetahuan yang
berdasarkan empiris memandang pengetahuan itu adalah
kenyataan dan menganut pendekatan berpikir induktif,
sehingga untuk mencapai kebenaran, pengetahuan didasarkan
realitas kongkret yang parsial.
Kedua pendekatan yang antagonistik itu berlanjut terus
dalam sejarah filsafat walaupun aliran kritisme mencoba
menengahinya. Kritisme memandang baik pengetahuan
rasional maupun pengetahuan empirik adalah benar dalam
batas-batas tertentu. Untuk maksud itu, ritisme mencoba
memunculkan suatu tesis baru yang lebih memihak
rasionalistik, sehingga ukuran-ukuran kebenaran pun lebih
pada otonomi rasio.
Fenomena epistemologi realisme tampak pada adanya
ilmu pengetahuan yanag lebih menekankan aspek empirik.
203

Akibatnaya, muncul pandangan yang bersifat pragmatis.


Kegunaan atau yang dapat dirasakan dampaknya secara fisik,
merupakan hal utama untuk dikembangkan. Kehidupan
materialistis yang pragmatis itu menjadi model dalam
kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian pragmatisme
tidak sepenuhnya mengambil tradisi masyarakat ilmiah Barat,
melainkan lebih cenderung mengambil ilmu sebagai suatu
produk. Untuk Indonesia khususnya diperlukan landasan
epistemologi baru yang dapat mewadahi secara proporsional
pemikiran modern yang cenderung humanis dan sekuler, dan
landasan epistemologi humanistik religius yang dapat
membantu memandang realitas secara lebih komperhensif
dalam menyelesaikan persoalan masa kini sesuai dengan
budaya bangsa.

7.3 DIMENSI AKSIOLOGI

Ecara etimologis aksiologi berasal dari kata aksios yang


berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori. Aksiologi
sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai,
sehingga disebut Filsafat Nilai. Persoalan tentang nilai
apabila dibahas secara filsafati akan lebih memperhatikan
persoalan tentang sumber nilai (lihat Sri Soeprapto:1). Dalam
definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu
pengetahuan membahas nilai nilai yang memberi batas-batas
bagi pengembangan ilmu.
204

a. Problematik dalam Aksiologi


Dalam Filsafat Ilmu terjadi banyak kesibukan
dalam menghadapi pertanyaaan apakah ilmu bersifat
bebas nilai ataukah tidak. Suatu tanggapan disebut
pertimbangan nilai (value judgement) jika didalamnya
orang mengatakan bahwa sesuatu hal baik atau tidak,
positif atau negatif. Ini berarti hal tersebut terikat oleh
asas moral keilmuan.
Secara epistemologis ilmu memang disusun dan
dikembangkan sedikit demi sedikit secara atomistik,
namun untuk kepentingan manusia tersebut maka
pengetahuan ilmiah dapat diperoleh dan disusun itu
dimiiki dan digunakan secara holistik, komunal, dan
universal (Suriasumantri, 1983). Manusia memiliki ilmu
pengetahuan bukan secara parsial melainkan secara
menyeluruh. Komunal berarti ilmu merupakan
pengetahuanyanag menjadi milik bersama, setiap orang
berhak memanfaatkan ilmu sesuai kebutuhanya, sesuai
dengan asas kebersamaan.
b. Fungsi Aksiologi
Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk
mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang
negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh
karena itu, daya kerja aksiologi (1) menjaga dan
205

memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan


kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu
dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi
pada kepentingan langsung. (2) dalam pemilihan obyek
penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak
merubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat
manusia. (3) pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan
untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta
keseimbangan,kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu
dan temuan-temuan universal.
c. Aksiologis dan Nilai
Dikursus yang terjadi diantara para filusuf yaitu
apakah ilmu pengetahuan itu bersifat bebas atau terikat
nilai. Aliran logis provistik menganggap bahwa ilmu
pengetahuan haruslah bebas nilai. Mengaitkan antara
ilmu dengan nilai akan mengurangi kadar objektivitas
dari ilmu. Persoalan nilai dianggap merupakan sesuatu
yang sifatnya subjektif-emosional. Hal-hal yang sifatnya
subjektif harus disingkirkan agar validitas kebenaran
yang objektif dapat dipertanggungjawabkan. Sesuatu
dikatakan benar apabila dapat diukur, ditakar dan
ditimbang.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi di era
kontemporer menunjukan adanya spesialisasi spesialisasi
206

yang sempit. Filsafat sebagai awal dan dasar dari segala


ilmu mulai ditinggalkan satu per satu oleh anaknya. A.
Comte memisahkan diri dari bidang filsafat kemudian
membuat ilmu baru yaitu sosiologi. Hal ini diikuti oleh
bidang-bidang ilmu lainnya, dan yang terakhir
memisahkan diri dengan bidang filsafat adalah psikologi.
207

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Isep Zainal Arifin, Filsafat Umum, Bandung:


Gema Media Pusakatama, 2002.

Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan


Metode Penelitian: Memungut dan Meramu Mutiara-
Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP
Bandung.

Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT


Pustaka Setia, 1997.

Ali Maksum, 2008 pengantar filsafat Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni


untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung: Fakultas
Sastra Unpad Bandung.

Bakhtiar, Amsal,  Filsafat Agama 1, Jil.I. ( Cet. I; Pamulang


Timur, Ciputat: Lolos Wacana Ilmu, 1997)

Bakry, Hasbullah. Sistematik Filsafat. Cet. IX; Jakarta:


Penerbit Wijaya, 1992 M.

Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial.


(Jakarta: Kencana, 2006)

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia

Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin,


Djakarta:Balai Pustaka.

Burhanuddin Salam, 1997 Logika Materiil Filsafat Ilmu


Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta,
208

Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme,


Jakarta:Rineka Cipta.

Edi Kusnadi, Metodologi Penelitian. (Metro: Aneka printing,


2008)

Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua:


Perkenalan Pertama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 94

Fakih, M., Jalan Lain (Manifesto Intelektual Organik.


(Yogyakarta: Insist Press, 2002)

Fred N, Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, Editor


H.J. Koessosemanto. (Yogyakarta: Gajah Mada
Universiy Press, 1990)

Hasnah Fauzih (2011),  Filsafat Ilmu. Pekanbaru. Cendikia


Insani

Hector Hawton, 2003 filsafat yang menghibur Yogyakarta:


Ikon Teralitera,

Hidayat, Widi dan Tri Ratnawati. 2012. Filsafat Ilmu dan


Logika Sains. Sidoarjo : CV. Citramedia

Hidayat, Ferry., Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, paper yang


tidak diterbitkan, 2004.

Ihalauw, J. J. O. I., Bangunan Teori. (Salatiga: Satya Wacana


University Press, 2004)

Inu Kencana Syafiie, 1995 filsafat kehidupan Jakarta: Bumi


Aksara,

IHSAN, H.A. Fuad, Filsafat ilmu, jakarta, 2010. Hlm 222-


223
209

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung: UPI


Bandung.

Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu: Sebuah


Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.

Kaelan, M.S. 1996. Filsafat Pancasila. Paradigma.


Yogyakarta

K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


25

Mg. Sri Wiyarti dan Sutapa Mulya, Sosiologi. (Surakarta:


UNS Press, 2007)

Muin, M. Taib Thahir Abd. Ilmu Manthiq (Logika). Cet. IV;


Jakarta: Penerbit Wijaya, 1993 M.

Nasroen, M., Falsafah Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan


Bintang, 1967

Nazir, Moh. (2009). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Nurani soyomukti, 2011. pengantar filsafat umum.


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif.


(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990)

Parmono, R., Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia,


Yogyakarta: Andi Offset, 1985

Paul L. Lehmann. 1963. Ethics in a Christian Context. New


York: Harper & Row Publishers, 25
210

Petter R. Senn, Sosial Science ang Its Methods. (Boston:,


Holbrook, 1981)

Praja, juhaya s. 2006. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika.


Bandung: Yayasan PIARA (Pengembangan Ilmu Agama
dan Humaniora).

Robert Bogdan dan S. Knop Biklen, Qualitative Research for


education: An Introduction to theory and methods.
(Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1982)

Sidi Gazalba,  1981 sistematika  filsafat. Jakarta: N.V. Bulan


Bintang,

Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan


metodologi Penelitian, Ed.I.(Yogyakarta: Cv. Andi
offset, 2007)

Somantri, Gumilar R, Memahami Metode Kualitatif. (Jurnal


Makara: Sosial Humaniora, vol. 9, 2005)

Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.

Sunoto, Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita


Offset1987

Taftir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum., PT. Remaja


Rosdakarya. Bandung

Tim Direktorat Akademik, Buku Panduan Pengembangan


Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi
(Sebuah alternatif penyusunan kurikulum). Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (Jakarta,ttp, 2008)

Anda mungkin juga menyukai