Oleh:
Wanda Milenia Papuandari
F041181512
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
1. B.
BAB I
Pengeritian filsafat secara awam adalah ilmu yang mempersolakan sesuatu yang
tidak nampak atau metafisik. Selain itu, filsafat kadang-kadang sisebut sebagai ilmu
yang tidak ada ujung pangkalnya, karena selalu menimbulkan pertanyaan, seperti:
dainggap sebagai ilmu yang rumit denagn pertanyaan-pertanyaan yang rumit pula.
Dengan demikian, seseorang yang menjawab dan menanyakan sesuatu dengan kalimat
Pada mulanya kata filsafat berarti segala pengetahuan yang dimiliki manusia.
Mereka membagi filsafat dalam dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis.
1) norma-norma (akhlak),
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu
secara sistematis, radikal, dan kritis. In membuktikan, bahwa filsafat merupakan sebuah
“proses”‖ bukan sebuah “produk”‖. Berfikir kritis dapat diartikan sebagai sebuah usaha
secara aktif, sistematis, dan logis untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi
dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Tidak salah, jika
(Takwin, 2001) mengatakan, bahwa pemikiran filsafat akan terus berubah hingga satu
titik tertentu.
Kata ―filsafat‖ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab asal dan hukumnya. Kata filsafat terdapat dalam beberap bahasa, seperti; philosophy
dalam bahasa Inggris, “falsafah”‖ dalam bahasa Arab. Keseluruhan kata filsafat (Indonesia),
philosophia.
Secara etimologis kata tersebut terdiri atas dua kata yaitu: philos (cinta) atau philia
( persahabatan, tertarik kepada) dan shopia
( hikmah,kebijaksanaan,pengetahuan,keterampilan,pengalaman praktis,inteligensi). Jadi, kata
filsafat berarti metafisika, Epistemologi, Etika, Logika, Filsafat Agama, Filsafat Ilmu, Filsafat
pikiran, Sosial dan Filsafat Politik, Filsafat Pendidikan, Filsafat keindahan (Estetika), Filsafat
Menurut Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
menjadi pokok dan
Menurut Plato (427–348 SM), bahwa filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk
Menurut Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
Filosof lainnya seperti Cicero (106–043 SM) menyatakan, bahwa filsafat ialah ibu dari
semua ilmu pengetahuan lainnya. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof)
Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat (1986) menyatakan, bahwa ada beberapa butir
pemikiran di dalam filsafat, yaitu:
3) sistem filsafat harus bersifat koheren (runtut) yaitu adanya saling hubungan antara jawaban
dan kefilsafatan, dan
1) filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasa
diterima secara tidak kritis,
2) Filsafat juga diartikan sebagai suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat kita junjung tinggi,
4) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa,serta penjelasan arti kata dan konsep, dan
5) filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan
yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Menurut Soetrionon dan Rita Hanafie (2007), bahwa secara umum filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh
kebenaran. Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan apa hakikat atau sari
atau inti atau esensi segala sesuatu. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah ilmu yang
mencari sebab yang sedalam dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.
Jujun Suriasuamantri, bahwa pengertian filsafat dapat juga berupa suatu cara berpikir
yang radikal dan menyeluruh dan mengupas sesuatu sedalam dalamnya. Hal ini sesuai
dengan kata Socrates, bahwa tugas filsafat yang utama adalah mempersoalkan jawaban,
dahulu, 2) Berling, Pengertian filsafat adalah pemikiran yang bebas, di ilhami oleh rasio,
mengenai segala sesuatu yang muncul dari pengalaman pengalaman (experience), dan
penjuru.
bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat menembus
di balik pengetahuan itu sendiri. Dengan pandangan seperti ini akan terbuka
Dikataakan sistematis, karena filsafat menggunakan berpikir secara sadar, teliti, teratur,
Dari beberapa pernyataan dan pandang di atas dapat disimpulkna, bahwa filsafat
merupakan ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran asli dengan
Semua ahli sependapat, bahwa filsafat pada dasarnya lahir di Yunani. Itulah
sebabnya, mengapa filsafat selalu didasarkan pada filsafat klasik, yang muncul pertama
kali di Yunani. Alfred Whitehead mengatakan, bahwa "All Western phylosophy is but a
series of footnotes to Plato". Filsafat Yunani, yang diprakarsai oleh Plato umumnya
menyisakan problem filsafat yang hingga saat ini masih menjadi kajian dan perdebatan.
Filsafat mulai muncul ketika manusia sadar akan keberadaan dirinya dan
sesuatu. Keseluruhan kognisi (cognition) dan intuisi (intuition) diselimuti oleh rasa
ingin tahu dengan sejumlah pertanyaan: mengapa, kenapa, bagaimana, seperti apa,
untuk apa, kapan dan sebagainya. Manusia ketika itu sudah mulai berpetualangan
Apakah yang ada itu memang ada dan adakah juga yang tidak ada ?
Oleh karena itu, ada tiga sifat pikiran ilmuan, terutama para filosuf, yaitu:
1). bersifat menyeluruh: arinya seorang ilmuwan tidak akan pernah puas ketika mengetahui
sesuatu hanya dari sudut pandangan ilmu itu sendiri. Mereka ingin tahu hakikat ilmu dari
sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas. Meraka ingin yakin apakah ilmu ini
bermanfaat atau tidak pada diri dan manusia lainnya.Apakah yang mereka tahu itu
Apakah yang diketahui A dalam domain ilmu atau pengetahuan yang sama juga diketahui
B?
Semua manusia mempunyai kapasitas masing-masing, sehingga pepatah “ada langit di atas
langit”‖ mungkin cocok diterapkan dalam dunia filsafat.
Lalu benar itu sendiri seperti apa ? Inilah pertanyaan-pertanaan yang melingkar, yang harus
dimulaidengan menentukan titik awal yang benar, dan
menentukan titik awal dan akhir dari sebuah pertanyaan melingkar sangat dibutuhkan
sebuah sifat spekulatif, baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Prinsip
sepkulatif ini lebih dikenal dengan instilah hipotesis dan postlat.Setelah itu, barulah dapat
dipilah mana yang logis dan yang tidak logis.
Aliran-Aliran Filsafat
Secara garis besar terdapat dua aliran utama dalam filsafat, yaitu filsafat realisme dan filsafat
idealisme. Aliran filsafat realisme merupakan aliran yang berpandangan, bahwa pengetahuan
manusia yang benar adalah apa sesungguh-nya ”ada”‖, baik dalam arti realita atau
kenampakan. Aliran idealisme, di pihak lain,menyatakan pengetahuan manusia tidak lain apa
yang tergambar di dalam jiwanya.Apa yang nyata terlihat bukan sebenarnya, melainkan
gambaran luarnya saja (Subagio,1992: 47). Jadi keasliannya terletak pada jiwa dan roh (hakikat)
dari sesuatu penampakan.
Kedua bentuk aliran filsafat tersebut di atas, memunculkan corak pemikiran atau aliran filsafat
baru lainnya:
a. Positivisme: yaitu mengagungkan aspek kenyataan yang konkret (indra).
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme
sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran
Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam
memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa
hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu social dan ilmu alam, karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna
sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini
berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam
angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi
kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara
terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam "pencapaian kebenaran"-nya
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal di luar itu, sama
sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Positivisme adalah suatu aliran filasafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika,
tidak mengenal adanya spekulasi, semua di dasarkan pada data empiris dalam kajian filsafat,
sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai sarana untuk memperoleh
pengetahuan.
Positivisme merupakan empirisme yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau
lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang dapat menjadi pengaruh.
kelompok berikut:
1. Filsafat tentang Pengetahuan:
a. Epistemolog,
b. Logika,
c. Kritik llmu-ilmu
a. Etika,
b. Estetika,
d. Nilai Religi/Agama
4. Sejarah Filsafat:
a. Filsafat India,
b. Filsafat Cina,
c. Filsafat Barat
Filsafat adalah pengetahuan awal yang muncul tidak bersamaan di beberapa tempat.
Setidaknya ada lima jenis filsafat menurut tempat munculnya, pengikutnya, faham-faham yang
dikembangkan dan tokoh-tokoh dan pencetus. Ada lima jenis fisat yang disepakati oleh para ahli
dan pemerhati fisafat, yang akan saya paparkan dibawah ini:
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di
Eropa dan koloni mereka. Filosofi ini telah berkembang dari tradisi filsafat Yunani kuno.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi filsafat yang terutama tumbuh di Asia, terutama di India, Cina dan
daerah lain yang pernah dipengaruhi oleh budaya. Sebuah tanda dari filsafat Timur adalah
hubungan dekat dengan filsafat agama. Meskipun ini adalahkurang dari bisa dikatakan untuk
Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ̳an sich‘ masih lebih
menonjol daripada agama.
Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama Buddha /Buddha,
Bodhidharma, Lao Tse, Konfusius, Zhuang Zi dan Mao Zedong.
Filsafat Timur Tengah
Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarah adalah filsuf yang bisa mengatakan juga pewaris tradisi
filsafat Barat. Untuk filsuf pertama di Timur Tengah yang orang Arabatau Muslim, dan juga
beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah sekitarMediterania dan perjumpaan dengan
tradisi filsafat Yunani dari budaya mereka. Ketika Eropa tiba di Abad Pertengahan setelah
runtuhnya Kekaisaran Romawi dan melupakan karya-karya filsuf Yunani klasik Timur Tengah ini
mempelajari karya-karya yang sama, dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-
orang Eropa.
Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran, dan
Averroes.
Filsafat Islam
Filsafat Islam adalah filsafat yang seluruh Muslim Scholar. Ada beberapa perbedaan utama
antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meskipun para filsuf Muslim asli untuk
mengeksplorasi karya-karya filsafat Yunani klasik, terutama Aristoteles dan Plotinus, namun
kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam.
Filsafat Kristen
Filsafat Kristen pada awalnya dirancang oleh bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman
di abad pertengahan. Kristen dunia barat pada waktu itu di tengah-tengah Abad Kegelapan
(Dark Ages). Orang mulai mempertanyakan keyakinan agama. Filsafat Kristen banyak berkutat
pada masalah ontologis dan keberadaan tuhan. Hampir semua filsuf Kristen adalah seorang
teolog ahli atau isu-isu agama. Contohnya adalah St Thomas Aquinas dan St Bonaventura.
Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno (sistem berpikir) tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah
sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni
tradisi:
Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran
dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat
India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak
periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda.
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari
“bilangan-bilangan”‖: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”‖, dan Pythagoraslah
orang pertama yang menyebut/ memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”‖, yakni
seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapaikebenaran
melaluiberpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terusmenerus.
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi).
Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam
arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui
observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir
untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang
patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-
akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum
ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan.
Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen
secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah. Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani
Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428- 348 SM) dan Aristoteles
(384-322 SM).
Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa
yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles ―ide‖ bukanlah terletak dalam dunia
―abadi‖ sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”‖) dan bentuk (“morfé”‖). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa
”ide”‖ tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi
mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak”‖ di dalam materi,
artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari
materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi
dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada
perkembangan ilmu pengetahuan.
Sejarah perkembangan filsafat Barat berbasis pada kelahiran dan perkembangan ilmu
pengetahuan (science) . Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat dari dua tradisi filsafat lainnya
yaitu India dan Cina sangat berbeda dengan perkembangan filsafat Barat tersebut di atas.
Keduanya beorientasi, baik sejarah Filsafat India maupun Cina pada masalah-masalah
keagamaan (religion dan magic), moral (morality), etika (ethics) dan cara-cara atau kiat (the
way) untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak sesudah kematian.
Para pemikir pada periode ini mulai menggunakan rasio (rational) dan logika (logics). Sekalipun
demikian, periode pencarian arché seperti ini masih bersifat spekulatif, karena belum
dikembangkan lebih lanjut melalui pembuktian (verification), observasi (observation) dan
eksperimen (methode) dalam kenyataan (empiris). Prosedur berpikir untuk menemukan arché
dilakukan dalam ranah berpikir sebab-akibat yang juga sering disebut sebagai dasar untuk
berfikir ilmiah. Singkatnya, berfikir atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material
utama dari ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang telah diverifikasi melalui observasi dan
eksperimen secara berulangkali akan menghasilkan sebuah teori ilmiah.
Zaman keemasan atau puncak filsafat Yunani Kuno atau Klasik terjadi pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM):
A. Biografi Sokrate
Socrates (470–399 BC) adalah seoang filusuf Klasik Yunani (Athenian) yang ditetapkan
sebagai salah satu pendiri filsafat Barat. Dia adalah sosok misterius yang dikenal,
terutama melalui perannya sebagai penulis klasik. Ia juga lebih dikenal, terutama
melalui tulisantulisan murid-muridnya (Plato dan Xenophon dan Aristophanes). Tulisan
atau konsep Plato tetang ―dialog‖ merupakan salah satu sumbangan yang paling
komprehensif bagi Socrates yang mengharumkan namanya dari dahulu hingga saat ini.
B. Pemikiran
Menurut salah seorang pengaut Sofis Marcus Tullius Cicero (106 BC –43 BC), bahwa
Socrates telah memindahkan filsafat dari langit ke bumi. Ini berarti, bahwa sasaran yang
diselidiki Socrates bukan lagi jagat raya, melainkan manusia. Itu juga sebabnya
Aristophanes (c. 450 bce - c. 388 bce), menyebut Socrates sebagai pengikut Sofis.
Sekalipun demikian ada perbedaan yang besar antara Socrates dan kaum sofis. Filsafat
Socrates adalah suatu reaksi dan suatu kritik terhadap kaum sofis.
Socrates mulai muncul ketia ada anggapan, bahwa “semua kebenaran itu relatif”‖.
Pernyataan ini mengguncang kemapanan teori-teori sains dan keyakinan agama di
Athena. Socrates berusaha keras untuk meyakinkan orang Athena, bahwa tidak semua
kebenaran itu relatif. Ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang.
Kaum sofis tetap menolak pendapat Socrates dan tetap beranggapan, bahwa ―semua
pengetahuan adalah relatif kebenarannya dan tidak ada pengetahuan yang bersifat
umum‖.Socrates juga tidak seratus persen menyalahkan kaum sofis, karena memang
sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagiannya pula bersifat khusus. Sifat
khusus pengetahuan itulah yang kebenarannya relatif. Ada falsafah orng Bugis
mengatakan, bahwa tongngeng muasengnge naekiya de natongeng-tongen artinya
‘betul yang engkau katakan tetapi tidak benar‘. Menurut orang Bugis, bahwa ada
perbedaan antara tongeng “betul” dan tongeng-tongeng ‘benar‘. Kata tongeng dalam
bahasa Bugis cenderung individu, karena hanya berasarkan pendapat pribadi.
Sedangkan tongeng-tongeng cenderung bersifat umum, karena berdasarkan pada
pendapat sema orang. Jadi, bobot kebenaran tongeng-tongeng lebih tinggi
dibandingkan dengan tongeng.
Socrates juga menggambarkan, bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya sematamata,
tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah intisari dan
hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena, jiwa adalah
intisari manusia, manusia wajib mengutamakan lebahagiaan jiwanya dalam entuk
eudaimonia daripada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah (kesehatan
dan kekayaan). Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin.
Pendirian Socrates yang terkenal adalah “Keutamaan adalah Pengetahuan”. Keutamaan
di bidang hidup baik menjadikan orang dapat hidup baik. Hidup baik berarti
mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik tersebut. Jadi, baik dan jahat
dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
Pada bagian kisah terakhir dalam hidup Socrates, dimana ia menyampaikan pandangan
tentang “kejadian setelah hari kematian”‖, ia benar-benar yakin pada imortalitas .
Seperti dalam cuplikan pesan terakhir Socrates sebelum dia dijatuhi hukuman mati:
“Dan sekarang wahai orang-orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib
kalian, sebab sebentar lagi aku mati, dan saat-saat menjelang kematian manusia
dianugerahi kemampuan meramalkan. Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku,
bahwa tak lama sesudah kepergianku, hukuman yang jauh lebih berat daripada yang
kalian timpakan kepadaku pasti akan menantimu… jika kalian menyangka, bahwa
dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu, sehingga tak mengecam
hidup kalian yang tercela, kalian salah duga. Itu bukan jalan keluar tepat dan adil. Jalan
paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus orang lain, namun
dengan memperbaiki diri kalian sendiri. Kematian mungkin sama dengan tidur tanpa
mimpi – yang jelas baik - atau mungkin pula berpindahnya jiwa ke dunia lain. Dan
adakah yang memberatkan manusia jika ia diberi kesempatan untuk berbincang dengan
Orpheus, Musaeus, Hesiodus, dan Homerus? Maka, sekiranya hal ini benar, biarlah aku
mati berulang kali. Di dunia lain itu mereka tak akan menghukum mati seseorang hanya
karena suka bertanya: tentu tidak. Sebab kecuali sudah lebih berbahagia daripada kita
saat ini, mereka yang di dunia lain itu abadi, sekiranya apa yang sering dikisahkan itu
benar… “
Dari pesan terakhir di atas, Socrates sangat percaya, bahwa ada kehidupan setelah mati
dan mati merupakan perpindahan jiwa manusia ke dunia selanjutnya. Orang mati hanya
meninggalkan jasad. Socrates berpendapat, bahwa ruh itu telah ada sebelum manusia
diciptakan, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun ruh itu telah bersatu
dengan tubuh manusia, tetapi pada waktu manusia itu mati, ruh itu kembali kepada
asalnya. Pada waktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja bermaksud akan
membunuhnya, dia malah menjawab: ―Socrates adalah di dalam kendi, raja hanya bisa
memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut‖. Maksudnya,
yang hancur luluh adalah tubuh, sedangkan jiwa adalah kekal (abadi).
Plato
a. Biografi Plato
Plato lahir 428/427 atau 424/423 - 348/347 SM). Ia adalah seorang filsuf Yunani
Klasik dan pendiri Akademi di Athena yaitu lembaga pendidikan tinggi pertama di
dunia Barat. Ia lebih dikenal sebagaisosok yang paling penting dalam perkembangan
filsafat, terutama tradisi Barat. Tidak seperti semua filosofis sezamannya, seluruh
pekerjaan Plato diyakini telah bertahan utuh selama lebih dari 2.400 tahun.
Plato adalah inovator konsep dialog (dialogue) 7 dan konsep dialektika (dialectics)
dalam dunia filsafat. Plato muncul sebagai satu-satunya penulis, yang menulis
filsafat politik Barat, konsep Republik (republic), konsep Hukum (laws) dan konsep
tentang dialog (dialoges). Sekalipun dmikian, Plato kadang-kadang dianggap berada
di bawah bayang-bayang temuan-temuan pemikiran pendahulunya seperti
Socrates, Parmenides, Heraclitus dan Pythagoras. Akan tetapi, untuk menjawab
fitnah tersebut, ia ternyata muncul dengan karya mutakhirnya “filosofi angka-
angka”‖ (philosophy of quantum), yang merupakan karya asli Plato sendiri.
b. Pemikiran-Pemikiran Plato
Pemikiran Plato maju selangkah dibandingkan dengan gurunya (Socrates). Ia
membantah dan menolak pendapat gurunya yang mengatakan, bahwa “sesuatu
yang umum dan merupakan hakekat “suatu realitas”‖. Plato telah mengembangkan
pemikiran gurunya dengan mngatakan, bahwa hakekat suatu realitas itu bukan
“yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang
berada secara konkret, yaitu ide (idea). Dunia ide inilah yang dapat dipikirkan dan
diketahui dengan menggunakan akal.
Puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang Negara, yang tertera
dalam Polities dan Nomoi. Pemikiran Palto ini muncul sebagai upaya untuk
memperbaiki keadaan Negara yang ketika itu dirasakan sangat buruk. Konsepnya
tentang Negara terkait di dalamnya etika dan teorinya tentang Negara. Konsepnya
tentang etika sama seperti Socrates, bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup
yang baik (eudaimonia atau well-being). Akan tetapi, untuk hidup yang baik tidak
mungkin dilakukan tanpa di dalam polis (Negara). Alasannya, karena manusia
menurut kodratnya merupakan makhluk sosial dan kodratnya di dalam polis
(Negara). Dengan demikian, untuk hidup yang baik diperlukan adanya Negara yang
baik pula. Sebaliknya, polis (Negara) yang jelek atau buruk tidak mungkin
menjadikan para warganya hidup dengan baik.
Aristoteles
a. Biografi Aristoteles
Aristotle lahir 384–322 BC. Dia merupakan salah seorang filusf Yunani dan
ilmuan yang lahir di kota Stagira, Chalkidice, bagian utara Yunani lama. Ayahnya
bernama Nicomachus meninggal ketika Arstoteles masih anak-anak. Ia kemsian
diasuh oleh Proxenus dari Atarneus. Ketika ia berumur 17 atau 18 tahun
Arsitoteles bergabung pada Akademi Plato di Atena dan menetap disana hingga
umum 37 tahun. (c. 347 BC). Tulisan-tlisannya menyangkut banyak subyek,
termasuk: fisika, biologi, kehewanan,metafisik, logika, etik, estetika, puisi,
drama, musik, retorika, ilmu bahasa, politik dan ilmu pemerintahan. Ia
merupakan pengembang filsafat barat secara koprehensif. Tidak lama
sepeninggal Plato, Aristoteles meninggalkan Athena dan atas permintaan Philip
II dari Makedonia, ia diminta mengajar Alexander the Great pada awal 343 SM.
Padangan Aristotles berkenaan dengan ilmu fisika memberi banyak peluang
beasiswa bagi yang ingin belajar darinya. Pengaruh Arsitoles bertahan dari akhir
antikuiti dan Awal Abad Pertengahan ke Renaissance. Padangan tersebut tidak
pernahberubah dari penjelasan dan teori-teori seperti mekanika klasik.
Beberapa pengamatan zoologi Aristoteles, seperti pada hectocotyl (reproduksi)
lengan gurita, tidak pernah dikonfirmasi atau disangkal sampai abad ke-19.
Karya-karyanya mengandung studi awal tentang logika, yang didirikan pada
akhir abad ke-19 dimasukkan ke dalam logika formal modern.
B.Pemikiran
Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju atau
berlawanan dengan gurunya (Plato). Menurut Aristoteles, bahwa ―ide‖
bukanlah terletak dalam dunia “abadi”‖ sebagaimana yang dikemukakan oleh
Plato, tetapi pada kenyataan (realities) atau benda-benda itu sendiri. Setiap
benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: materi (hylé)
dan bentuk (morfé). Menurut Aristoteles, bahwa “ide”‖ tidak dapat dilepaskan
dari materi, karena kenyataan materi pasti dengan bentuk. Dengan demikian,
bentuk-bentuk “bertindak”‖ di dalam materi memberikan kenyataan kepada
materi, sekaligus merupakan tujuan dari materi. Aristoteles, seperti halnya
dengan gurunya banyak menulis tetang: logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam. Dengan demikian, pemikiran-pemikirannya yang
sistematis tersebut banyak menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan.
Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya
(Yunani Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir memokuskan diri untuk mencari
unsur induk (arché) 13 yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu atau
semesta alam. Ada empat yang paling terkenal dalam periode ini,yaitu:
Thales (sekitar 600 SM)
a. Biografi Thales
Thales dari Miletus lahir c. 624 - c. 546 SM. I adalah filusuf praSokrates Yunani atau Fenisia,
matematikawan dan astronomer dari Miletus di Asia Kecil (sekarang Milet di Turki). Dia
adalah salah satu dari Tujuh Sages of Greece. Banyak, terutama Aristoteles,
menganggapnya sebagai filsuf pertama dalam tradisi Yunani, dan dia diakui sebagai
individu pertama dalam sejarah peradaban Barat. Ia juga dikenal sebagai orang yang erlibat
dalm filsafat ilmiah. Thales diakui telah enyimpang dari penggunaan mitologi dalam
menjelaskan dunia dan alam semesta. Dia yang pertama kali menjelaskan benda-benda
alam dan fenomena melalui hipotesis dan teori-teori. Hampir semua filsuf Pra-Sokrates
lainnya mengikutinya dalam menjelaskan alam semesta sebagai kesatuan dari segala
sesuatu berdasarkan pada keberadaan zat utama tunggal melalui penjelasan mitologis.
Menurut Aristoteles, bahwa hipotesis Thales' tentang alam dan sifat materi adalah zat
bahan tunggal adalah air.
Animisme dan Air
Thales mengatakan, bahwa “air”‖ merupakan arché dari semua yang ada. Bumi menurut
Thales terletak di atas air. Airlah yang menjadi pusat kehidupan bagi mahluk hidup,
termasuk ikan yang dianggapnya sebagai mahluk pertama di dalam air.
Ernst Waldfried Josef Wenzel Mach
Ernst Waldfried Josef Wenzel Mach (/ˈmɑ x/; German: [ˈɛ nst maχ]; 18 February 1838 – 19
February 1916) was an Austrian physicist and philosopher, noted for his contributions to
physics such as study of shock waves. The ratio of one's speed to that of sound is named
the Mach number in his honor. As a philosopher of science, he was a major influence on
logical positivism, American pragmatism[8] and through his criticism of Newton's theories
of space and time, foreshadowing Einstein's theory of relativity.
Immanuel Kant
a. Biografo
Immanuel Kant (lahir di Königsberg, Kerajaan Prusia, 22 April 1724 – meninggal di
Königsberg, Kerajaan Prusia, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun). Kota itu sekarang
bernama Kaliningrat di Rusia. Dia berasal dari keluarga pengrajin yang sederhana. Ketika
Kant masih muda, usaha ayahnya bangkrut. Kehidupan meraka harus didukung oleh
keluarga besar orang tuanya. Kant penuh dengan kerendahan hati dan sangat disiplin.
Kant kemudian menjadi guru besar untuk logika dan metafisika di Universitas Konisberg.
Dia secara rutin menyajikan kuliah tentang geografi fisik. Hal ini dilakukannya sepanjang
tahun sampai tahun 1796. Dalam pengantar kuliahnya, dia selalu menegaskan tempat
geografi dalam dunia ilmiah. Dia memberikan landasan falsafi bagi geografi sebagai
pengetahuan ilmiah.
Pemikiran Etika Kant
Immanuel Kant(1724-1804) adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki
pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari
wacana metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu,
dalam wacana etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara
mendalam mempengaruhi epistemologi selanjutnya.
Pemikiran Kant tentang Moral
Deontologi berasal dari kata Yunani “deon”‖ yang berarati apa yang harus dilakukan,
kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman,Immanuel Kant (1724- 1804).
Sistem etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan
moral dikritik habis-habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang
etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut
dilakukan berdasarkan kewajiban (duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang
terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa
kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan
semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.
b. Pemikiran
Strkturalisme Claude Lévi-Strauss
Levi Strauss was born in Buttenheim, Germany, on February 26, 1829, in the Franconian
region of Bavaria, Germany, to an Ashkenazi Jewish family.[3] He was the son of Hirsch
Strauss and his second wife Rebecca Strauss.[4][5] At the age of 18, Strauss, his mother
and two sisters traveled to the United States to join his brothers Jonas and Louis, who had
begun a wholesale dry goods business in New York City called J. Strauss Brother & Co
Lacan
Lacan was born in Paris, the eldest of Émilie and Alfred Lacan's three children. His father
was a successful soap and oils salesman. His mother was ardently Catholic – his younger
brother went to a monastery in 1929 and Lacan attended the Collège Stanislas between
1907 and 1918. During the early 1920s, Lacan attended right-wing Action Française
political meetings, of which he would later be highly critical, and met the founder, Charles
Maurras. By the mid1920s, Lacan had become dissatisfied with religion and became an
atheist. He quarreled with his family over this issue.
a. Pengalaman dan Dunia Yang Berubah
Experience (pengalaman) adalah salah satu dari kata kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah mengenai dan untuk pengalaman seharihari.
Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling
mempengaruhi antara organisme yang hidup dan lingkungan sosial dan fisik.
Deweymenolak mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak
untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian.
b. Metode Kecerdasan
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey adalah teori instrumental tentang ideide dan
menggunakan intelegensia (kecerdasan) sebagai metoda. Memikir adalah biologis, ia
mementingkan persesuaian antara suatu organisme dengan lingkungannya. Semua
pemikiran dan semua konsep, doktrin, logika, dan filsafat merupakan alat pertahanan
bagi manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
C. Kemerdekaan Kemauan dan Kebudayaan
Menurut filsafat instrumentalisme Dewey, manusia dan alam selalu saling bersandar.
Manusia bukannya sebagian badan dan sebagian jiwa, ia bersatu dengan alam dan
alam diinterpretasikan sehingga mencakup manusia. Alam dalam manusia adalah alam
yang sudah berpikir dan menjadi cerdas. Alam dikatakan tidak rasional dan tidak
irrasional. Alam dapat dipikirkan dan dipahami, alam tidak hanya sesuatu yang harus
diterima dan dimanfaatkan, tetapi sesuatu yang harus diubah dan dikontrol dengan
eksperimen.
D. Suatu Keprcayaan Umum
Dewey dan banyak pengikutnya menolak supernaturalisme dan mendasarkan nilai-nilai
moral dan agama atas dasar hubungan duniawi dari manusia. Nilai-nilai kehidupan
dapat diuji kebenarannya dengan metoda yang berlaku bagi fakta-fakta lain. Dewey
mengecam lembaga-lembaga greja tradisional, dengan tekanannya kepada ritus yang
tak berubah dan dogma yang otoriter. Ia memakai kata sifat religious untuk melukiskan
nilai-nilai yang menyempurnakan dan memperkaya kepribadian seseorang. Dengan
begitu, maka segala tindakan yang diambil demi suatu cita-cita karena keyakinan atas
nilai-nilai yang benar, adalah tindakan yang bersifat religious. Istilah Tuhan dapat
dipakai untuk menunjukkan kesatuan segala maksud yang ideal, dalam
kecondongannya untuk membangkitkan kemauan dan tindakan (Titus, dkk., 1984: 349-
350).
Ateisme Abad Kontemporer
Ateisme menjadi ancaman serius bagi kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, tidak
hanya selama abad XVII sampai XX tetapi juga abad sekarang. Atas nama empirisme,
pandangan yang beranggapan bahwa pengetahuan yang benar hanya dihasilkan
berdasarkan hal-hal yang empiris, para filsuf di awal abad modern seperti Thomas
Hobbes, John Locke, Berkeley, dan David Hume menyingkirkan Allah sebagai ―objek‖
yang dapat dipikirkan karena sifatnya yang tidak empiris. Ateisme abad XIX dan XX
ditandai dengan munculnya para filsuf ―pembunuh‖ Tuhan, seperti Feurbach, Karl
Marx, Nietzsche, dan Sartre. Bagi Feurbach, misalnya, Tuhan dengan berbagai sifat
yang mulia tidak lain sebagai proyeksi kekuatan manusia sendiri. Tuhan itu Maha Kuasa
karena manusia mempersepsi diri sebagai lemah dan tidak berdaya. Padahal,
kemahakuasaan Allah adalah kemahakuasaan manusia sendiri. Sementara kritik filsuf
ateis abad XXI lebih terpusat pada ketidakmampuan manusia
mempertanggungjawabkan imannya secara rasional.
Sebuah pertanyaan; peranan apa yang dapat dimainkan oleh para mahasiswa yang
menekuni filsafat barat kontemporer baik dalam kehidupan akademik
maupun dalam kehidupan masyarakat? Pokok permasalahan yang menjadi
pembahasan dalam filsafat kontemporer sangat luas, sebagaimana disebutkan
sebelumnya, meliputi fisika, sosiologi, ekonomi, psikologi, ilmu hukum, ilmu politik,
teologi, etika, budaya, bahasa, hermeneutika, dan masih banyak lagi yang menyangkut
perkembangan terkini dan pembahasannya juga tak jauh dari tuntutan kontemporer
seperti demokrasi, hak asasi manusia, etika, kebebasan, dan sebagainya. Dalam
menekuni dan memahami filsafat barat kontemporer, mahasiswa dapat memberikan
perhatiannya terhadap berbagai topik terkini yang terus berkembang yang selanjutnya
dapat dianalisis, dikritisi, sehingga dapat menjawab dengan kearifan berdasarkan
keintelektualannya. Menjadi jelas bahwa, studi filsafat barat kontemporer tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan dunia empiris dan interpretasi kebudayaan tertentu,
dan harus memanfaatkan semua perkembangan itu untuk menatanya kembali dengan
membentuk saling hubungan antar disiplin ilmu, mempertimbangkan konteks yang
lebih umum dan menyajikannya dalam bentuk yang sistematis. Selanjutnya, mahasiswa
hendaknya didorong untuk tidak hanya mengulang atau menelan mentah-mentah
berbagai pendirian, pemikiran, metode, dan teori yang lahir dalam ranah pemikiran
filsafat barat kontemporer, namun juga diharapkan dapat dengan arif dan mengkritisi
semua pemikiran yang kemudian pertimbangan dapat dipahami dan dilaksanakan serta
ditransformasikan berdasarkan tingkat kritisnya, bahkan lebih jauh lagi dapat
melahirkan teori baru demi pengembangan wilayah filsafat kontemporer selanjutnya.
Bab II
Filsafat Dalam Kepelbagaian
Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat
pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimilikinya.
Atenisme pada zaman Mesir Kuno, kemungkinan besar merupakan agama monoteistis
tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan
pencipta alam semesta, yang disebut Aten. Kalimat "Aku adalah Aku" dalam Alkitab
Ibrani, dan "Tetragrammaton" YHVH digunakan sebagai nama Tuhan, sedangkan
Yahweh, dan Yehuwa kadangkala digunakan dalam agama Kristen sebagai hasil
vokalisasi dari YHVH. Dalam bahasa Arab, nama Allah digunakan, dan karena
predominansi Islam di antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki
konotasi dengan kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat muslim mengenal 99 nama
suci bagi Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar Elohim
atau Adonai (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari bahasa
Mesir Kuno, Aten). Dalam agama Hindu, Brahman biasanya dianggap sebagai Tuhan
monistis. Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya: Baha
dalam agama Baha'i, Waheguru dalam Sikhisme, dan Ahura Mazda dalam
Zoroastrianisme.
Etimologi dan terminologi
Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini berasal dari kata tuan. Buku pertama yang
memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah adalah
Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti
kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuanatasan/penguasa/pemilik. Kata
"tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai,
memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki
derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah
digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan"
itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya.
Kata ini biasanya digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
FILSAFAT SOSIAL
Obyek
Filsafat ilmu sosial mulai muncul kepermukaan sebelum abad kedua puluh. Sejarah
perkembangan filsafat ilmu social dibagi menjadi empat periode:
1) Periode
Filsfat Barat yag mncul di Yunani kuno dengan tokoh utama pra-Socrates dengan konsep
memperdebatkan antara ―gagasan ilmu pengetahuan‖ dan ide ―ilmu pengetahuan manusia.
Perbedaan paradigma cukup memanas, karena hampir tidak ada kesepakatan dari kaum
4) Peride keempat sekitar akhir abad kesembilan belas dan awal abad
keduapuluh .dibenarkan yang dasar-dasar teori Comte ilmu. Tulisan-tulisan ini, maka, adalah
bahan dengan yang 'Ilmuwan sosial' di AS merupakan pembagian disiplin sekarang dari ilmu
manusia.
Manusia adalah mahluk sosial (social animal). Keberadaannya selaku manusia harus
abadi, alamiah, bermasa depan dan berkembang dalam berbagai aspek melalui intrakasi sosial.
Filsafat sosial mencoba untuk mencari aturan dasar yang berlaku di dalam sebuah masyarakat.
Plato memberikan gambaran terhadap masyarakat ideal (Utopia).
Dia mengklasifikasi masyarakat ke dalam tiga kategori sesuai bakat mereka, yaitu: penguasa,
prajurit dan pekerja. Plato menyatakan, bahwa filsuf harus menjadi Raja. Baginya tujuan kepala
negara adalah untuk menghasilkan warga negara yang baik yang dapat melakukan tugas
mereka dengan cara yang lebih baik.
F W Blackmar menyatakan, bahwa Filsafat Sosial didasarkan pada fakta- fakta umum
masyarakat. Itu membuat pengamatan umum tentang sifat masyarakat. Filsafat sosial dan ilmu
sosial berhubungan erat.
Untuk Bertrand Russell, ̳Filsafat Sosial berupaya kondisi di mana semua kecenderungan
konstruktif manusia (seperti cinta dan simpati) pernikahan Sosial dan pendidikan dapat
memberikan kesempatan maksimum yang mungkin untuk menghasilkan orang-orang yang
dapat menyelamatkan dunia dari bencana di masa depan.
Filsafat sosial adalah filsafat praktis. Filsafat ini mepertanyakan tentang ̳apa yang benar atau
Baik untuk manusia dan masyarakat‘. Filsafat sosial berkaitan dengan individu - hal yang paling
baik dalam masyarakat. Filsafat sosial adalah studi filosofis dari pertanyaan tentang perilaku
sosial manusia. Filsafat sosial adalah studi filosofis dari pertanyaan tentang perilaku sosial
manusia. Hal ini berkaitan dengan lembaga-lembaga seperti keluarga, lembaga pendidikan,
lembaga- lembaga ekonomi seperti bisnis dan pasar.
Filsafat social sebagai normative memusatkan perhatiannya pada kesatuan kemanusiaan (the
unity of mankind). Filsafat sosial berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan untuk
mewujudkan cita-cita yang terlibat dalam eksistensi sosial kita.
Social philosophy studies the ideals that are found in the society. It suggests the means to
realize those ideals through the social institutions such as family, education, the state etc.
Social Philosophy evaluates the various means to realize common Good. These customs,
traditions and institutions with their set of rules and laws impose several restrictions on the
conduct and behavior of its members. Social Philosophy aims at the criticism of social
interactions and the social relations in the community.
Social Philosophy is the speculation upon the basic principles of human behavior, the supreme
values of human life and the purpose of entire existence. Social Philosophy is not based on
empirical method. Social values are implied in social activities. The principles of Social
Philosophy are the basic conditions of any social relationship.
According to Ginsberg, the criticism by Social Philosophy is constructive. The Social philosopher
applies his standards of value to the various social phenomena. He seeks to find out the
conditions which make the society a harmonious whole.
Social Philosophy has passed through the stages of the speculative study to the descriptive
study; from the descriptive study to the analytical study and from the analytical study to the
philosophical reflections.
Social Philosophy studies the most fundamental laws which influence social cohesion, social
progress, social change and social disintegration. Social Philosophy reflects upon the impact of
science and technology on human society and gives a comprehensive philosophy of civilization.
It incorporates the conclusions of other sciences and gives their philosophical interpretation.
Social philosophy studies the interactions and inter- relations that exist among men and their
groups. The subject matter of Social Philosophy is man in the society. All roles of human beings
are
For Aristotle, man is a rational as well as social animal. Man is completely dependent upon the
society for the satisfaction of bare needs. Sociology is the science of the web of social
relationships. It is the science of the origin, structure and development of the society. Sociology
studies natural, structural and functional aspects of social phenomena. Its aim is to understand
the evolution and transformation of human habitations. Sociology is a positive discipline that
gives us a faithful description of multidimensional society. Social Philosophy is a normative
discipline that goes beyond the actual existence and seeks to discover the ideal that is highest
good for all.
The relation between Social Philosophy and Politics is direct and intimate. The theoretical
aspect of Politics (Political Philosophy) and Social Philosophy are philosophical reflections on the
nature of social systems. Both Politics and Social Philosophy are guided by the same ideal of
social harmony and cooperation. The very existence of individual depends upon the active and
willing cooperation
of other individuals in the society. The insight into social ideals helps to cultivate the virtues of
good and responsible citizens.
Social Philosophy and Ethics, both are said to be philosophy of practice. These branches of
Philosophy inquire into ̳what is Right or Good for man and society‘. Social Philosophy deals with
the
individual‘s Highest Good in the society. Social Philosophy studies all social relationships
including moral principles involved in these relationships.
POLITICAL PHILOSOPHY
Man is a social animal. Living in a society demands observation of certain rules of conduct. It
requires the agency to observe proper obedience of the rules. Political Philosophy is the study
of the relationship between individuals and society.
Political Philosophy can be defined as ―philosophical reflection on how best to arrange our
collective life – our political institutions and our social practices‖. It is the study of the
relationship between individuals and society.
Political Philosophy is the reflection on how to organize our collective life. Its aim is to find out
the conditions in which social relations of man are possible. Political Philosophy is a rational
discipline: Political Philosophy is a rational discipline that creates system and order in the
totality of our experience.
The subject matter of Political Philosophy is man in the society; man in the political sphere. It is
closely related with various aspects of collective life. Thus, whether consciously or
unconsciously any individual is a part of political community and he is connected with moral
and social realms.
Politics (Political Science) studies the State in regard to the past, present and future of political
institutions. Political Philosophy develops normative justification for the political concepts such
as
state, forms of government, authority, justice etc. Political Philosophy goes on refining the
political
concepts. In the light of the changing requirements of the citizens, existing concepts or laws
need re-evaluation.
Economics is a science that deals with Wealth. It is concerned with human activities which are
closely connected with the attainment & use of the material requisites of well beings.
Economics is the science of scarcity . It adopts method to overcome scarcity It gives insight into
the scarcity and suggests ways to deal with scarcity. Political Philosophy is a branch of
Philosophy which studies fundamental questions concerning the communal life of human
beings.
Ethics is the science of Highest Good of an individual in the society. The question of morality
arises when human beings live in a group. Ethics is concerned with the aspect of ̳virtue‘ in
human conduct; the individual life of men. Its concern is to build good, moral character
Institutions are usually defined as ̳certain enduring‘ and accepted form of governing
the relations between individuals and groups. Institution is only an organized form of racial
customs, dogmas and rituals or methods.
CHARACTERISTICS OF INSTITUTIONS
3. Every institution has some rules, which must be compulsorily obeyed by individuals.
4. It has definite procedures, which are formulated on the basis of customs and dogmas.
6. Institutions are means of controlling individual. They are more stable than other means
of social control. Institutions are formed for the fulfillment of the primary needs of an
individual.
IMPORTANCE OF INSTITUTIONS
In connection with the social importance of institution Mac Iver says : it is a means of
transferring cultural elements from one generation to another.
Modern India, is also offered and affected by many of the changes originating in the
communication.
1. Introduction :
Few social problems are more solemnly discussed than that of the future of the human family.
2. A Pessimistic view :
A pessimistic view predicts that family will ultimately disappear. According to them, the family
seems to have lost much of its former unity and its central position in the life
of an individual, the economic and social interdependence of its members, many of its
SUMMARY
The society is composed of human beings. Nature has created only biological
Although there are varied opinions on what constitutes liberty, it is generally classified as
positive liberty and negative liberty. The idea of distinguishing between a negative and a
positive sense of the term ̳liberty‘ goes back to Kant, but was first examined and defended in
depth by Isaiah Berlin in the 1950s and 60s.
TERRORISM
the opposite of war and instead focus on peace as a state of rest, wholeness, or completion.
BAB III
FILSAFAT SOSIAL
Manusia adalah mahluk social. Keberadaannya selaku manusia harus abadi, alamiah,bermasa
depan dan berkembang dalam berbagai aspek melalui intrakasi (Social interactional) sosial
dengan sesamanya.
Filsafat sosial adalah filsafat praktis. Filsafat ini mepertanyakan tentang ̳apa yang
benar atau Baik untuk manusia dan masyarakat‘. Filsafat sosial berkaitan dengan individu -hal
the thoughtful consideration of human society. Social Philosophy tries to find out the basic
experiences. It tries to give a rational picture of the whole universe. Political Philosophy is a
―branch of Philosophy which studies fundamental questions concerning the communal life of
human beings‖. Political Philosophy is closely connected with Politics, Economics and
Ethics. These branches of knowledge share some common areas. The circles of their
TYPES OF FAMILY
A. Joint Family
While the modern tendency to divorce has not yet spread in India, the birth rate has been
progressively declining among upper and middle class. Further reduction of birth is to be
expected specially among the educated.
DIVORCE
biological distinction among the human beings. However manmade society widens
That is, it is a negative behaviour directed towards members of social groups who are the object
of prejudice.
Tolerance is the need of the hour amidst the growing intolerance in religious
fundamentalism. While the true believers of all religion believe in harmony and brotherhood,
on the other hand, misguided fanatics and people with intolerance in the name of religion and
ideology, resort to all types of attacks on human rights. Every religion all over the world with its
spiritual experience like the Australian aborigines, the American Indians, Sikhism in
India and the Bahai faith is universal in the message to convey to human beings the
significance of collective living. They insist on the value of truth, love of justice and compassion
as eternal.
LET US SUM UP
In this unit you have studied about war and its causes, just and unjust war,
terrorism and pacifism. You have also learnt about the different strategies for peace.
It is a ground reality that wars will still happen so it is important to understand just war and
pacifism to guide our response to the violence of war. Itis equally important to promote a
greater public awareness about the environmental consequences of war, and sensitise them to
these issues in order to avoid further wars in future. Pacifism should not limit itself to opposing
war. It must be proactive to promote justice and human rights. The ̳war on terrorism‘ is a war
different from other wars, and it will require concerted efforts over decades. It is difficult to
change the attitudes of terrorists who have been indoctrinated with theories of hatred.
Terrorism has become global
problem, sponsored by networks rooted in many countries. Preventing terrorism is much more
than the any single nation can handle unilaterally Only unity and cooperation among nations
can help control terrorism.
BAB IIIA
Banyak pendapat, bahwa filsafat ilmi muncul pada era modern, sehingga sema
pendapat dan konsep tentang filsafat ilmu lebih cenderngmengarah pada era ini. Pendapat ini
memang benar, ketika kita berbicara tentang awal munculnya aliran poisitifisme, yang
cenderung empiris. Aliran ini muncul pada awal abad ke sembilan belas dengan premis-premis
empiris dan menolak premis-premis rasional, yang tidak bias dibuktikan melalui data-data
empiris. Bahkan, sering didengar pendapat dan dibaca tulisan mengenal pemarginalan filsafat-
filsafat sebelumnya. Bahkan dalam sah satu tuisan, benar-benar kurang setuju bila pembahasan
filsafat nodern dikait-kaitkan dengan filsafat sebelumnya.
pembahasan tentang filsafat ilmu dalam buku ini tidak priori dan apriori terhadap
pendapat di atas. Pembahasan filsafat ilmu dalam buku ini bertujuan untuk memberi pencahan
kepada pemerhati filsafat (dosen atau mahasiswa), bagaiman bentuk alur pikiran para filosof,
khususnya filsafat ilmu, Apa faedah yang dapat dipetik dari pengetahuan filsafat ilmu,
bagaimana filasafat ilmu tersebut dapat diterapkan untuk memecahkan masalah yang sedang
dihadapi manusia.
A. Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia,
karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris ke filsafat alam (natural
philosophy). Pola pikir manusia pada zaman ini adalah penggunaan mitos-mitos untuk
menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi, banjir, petir, wabah penyakit, pelangi dan
sebagainya. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut
tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.
Filsafat Yunani Kuno diawali dengan mitosentris di atas lal dilanjutkan dengan permasalah asal-
usul (arche) dari segala sesuatu di alam semesta ini. Tema sentral kedua ini diperdebatkan oleh
ahli-ahl filasaf klasik berikut ini:
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM)
mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam
adalah air, karena air merupakan unsur penting bagi setiap makhluk hidup. Air dapat berupab
menjadi uap menyebabkan hujan dan
benda padat es yang dapat diminum dan menjaga keseimbangan kutub Utara dan Selatan, dan
bumi ini juga berada di atas air.
Heraklitos kemudian mengritik pendapat Thales di atas dengan menyatakan, bahwa bahwa
yang mendasar pembentukan alam semesta ini bukan air seperti pendapat Thales, melainkan
api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam pembentkan alam, karena api dapat mengeraskan
adonan roti dan dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini,
sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.
Anaximander (sekitar 585 – 525 SM kemudian mengeritik kedua pendapat di atas
dengan mangatakan, bahwa “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu yang ada.
Anaximandros berpendapat udara yang terdapat dalam jagat raya yang tak terbatas merupakan
sumber dari segala kehidupan. Anaximenes menunjuk udara sebagai sumber dari segala bentuk
kehidupan. Ia pun menyamakan antara manusia dengan jagat raya.
Empedocles lahir pada abad ke-5 atau tahun c. 490 – c. 430 BC merupakan filosof yang
menentang pndapat ketiga rekannya di atas dengan mengatakan, bahwa Para Filsuf pluralis,
sebagai kebalikan dari monisme di atas berpendapat, bahwa realitas terdiri dari banyak unsur.
Empedocles, menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar), yaitu: api, udara,
tanah dan air.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat, bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam
dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam
segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas.
Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan
matematika dari orang-orang mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003).
Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga
timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa
ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran.
Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah
ukuran kebenaran.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada
zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat
alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM),
yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat
bahkan sudah ada di alam idea.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid
Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalan- persoalan besar filsafat yang
dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika
Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme
terdiri dari tiga premis:
Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah
secara sistematis.
Secara etimologis, kata filsafat ilmu diturunkan dari dua kata yaitu kata filsat
(philosophy) dan ilmu (science). Defenisi failsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan
ilmu. Filsafat adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan
agama dalam mencari kebenaran. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu. Pada perinsipnya ada
ratusan definisi tentang filsafat ilmu berdasarkan bidang ilmu dan peruntukannya. Akan
tetapi, dalam buku ini hanya dikutip beberapa definisi dari berbagai ahli filsafat ilmu, mulai
dari filsafat klasik, pertengahan, kontemporer atau modern.
BAB IV
FILSAFAT KEBUDAYAAN
Filsafat budaya pertama kali dikenali sebagai bidang penyelidikan oleh Kaum Sofis, yang
merumuskan antinomi alam dan moral. Oleh karena itu, menurut Hippias, institusi manusia
seperti adat dan hukum "sering memaksa kita untuk melawan alam" (dikutip oleh T. Gomperz di
Grecheskie mysliteli, jilid 1, St. Petersburg, 1913, hal 346). Pertentangan antara alam dan moral
dikembangkan lebih lanjut oleh kaum Sinis (misalnya Diogenes of Sinope dan Antisthenes), yang
menginginkan “kembali ke alam” yaitu, ke dalam kesederhanaan eksistensi manusia primitif.
Di zaman modern, pertanyaan filosofi budaya dan kritik budaya telah dieksplorasi
secara khusus oleh G. Vico, J.-J. Rousseau, F. Schiller (dengan konsepnya tentang puisi "naif"
dan "sentimental" sebagai dua fase perkembangan budaya), JG Herder, dan romantisme Jena
(dengan gagasan mereka masing-masing tentang keunikan budaya nasional dan konsep mereka
tentang tahap perkembangan budaya yang berbeda). Filsafat budaya --- didefinisikan secara
sempit sebagai konsepsi filosofis dari berbagai tahap perkembangan budaya manusia --- dapat
dikatakan sampai saat ini kembali ke F. Nietzsche dan sebagian ke Slavophiles Rusia. Isu sentral
sekarang menjadi pertentangan antara budaya sebagai keseluruhan dan peradaban organik,
yang dianggap sebagai manifestasi hubungan mekanis dan utilitarian terhadap kehidupan.
Banyak ahli budaya yang menyamakan antara antropogi dan ilmu budaya. Antropologi
berasalah dari kata “anthropos” artinya manusia dan “logos” atinya ”ilmu‟. Ilmu budaya
(culturology) berasal dari dua kata Logos artinya”ilmu‟ dan “culture” artinya ”budaya dan
kebdayaan‟. Ditilik dari segi obyeknya, antropologi dan ilm budaya memang sangat berbeda.
Antropologi memilih manusia sebagai obyknya, sementara ilmu mudaya memilih budaya
(culture) sebagai obyeknya.
Pada tahun 1795, ahli bahasa dan filsuf hebat Wilhelm von Humboldt (1767-1835)
mengambil jalan tengan melalui antropologi untuk menyatukan kepentingan Kant dan Herder.
Selama era Romantis, para ilmuwan di Jerman, terutama mereka yang peduli dengan gerakan
nasionalis --- seperti perjuangan nasionalis untuk menciptakan "Jerman" bebas dari berbagai
kerajaan, dan perjuangan nasionalis oleh etnis minoritas melawan Kekaisaran Austro-Hungaria
--- berkembang menjadi lebih inklusif.
Pada tahun 1860, Adolf Bastian (1826-1905) mengemukakan "kesatuan psikis umat
manusia". Dia mengusulkan, agar perbandingan ilmiah semua masyarakat manusia
akan mengungkapkan, bahwa pandangan dunia yang berbeda terdiri dari unsur dasar yang
sama. Menurut Bastian, semua masyarakat manusia memiliki seperangkat "gagasan elementer"
(Elementargedanken). Budaya yang berbeda atau "gagasan rakyat" yang berbeda (Völker-
gedanken), adalah modifikasi lokal dari gagasan dasar. Pandangan ini membuka jalan bagi
pemahaman budaya modern. Franz Boas (1858-1942) dilatih dalam tradisi ini membawanya
saat meninggalkan Jerman ke Amerika Serikat.
Dalam praktiknya, budaya mengacu pada kehidpan elit dan dikaitkan dengan aktivitas
seperti seni, musik klasik, dan kuliner. Hal ini terkait dengan kehidupan kota, "budaya"
diidentifikasi dengan "peradaban". Aspek lain dari gerakan Romantis adalah ketertarikan pada
cerita rakyat (folklore), yang menyebabkan identifikasi "budaya" di kalangan non-elit.
Antropolog Inggris Edward Bernard Tylor (1871) adalah ilmuwan Inggris pertama yang
menggunakan istilah budaya secara inklusif dan universal. Matthew Arnold mengkontraskan
"budaya" dengan anarki. Orang Eropa lainnya, mengikuti filsuf Thomas Hobbes dan Jean-
Jacques Rousseau, membandingkan "budaya" dengan "keadaan alam". Menurut Hobbes dan
Rousseau, penduduk asli Amerika yang ditaklukkan oleh orang Eropa dari abad ke 16 tinggal di
negara bagian. Pertentangan ini diungkapkan melalui kontras antara "beradab" dan "tidak
beradab." Menurut cara berpikir ini, seseorang bisa mengklasifikasikan beberapa negara dan
negara-negara yang lebih beradab daripada yang lain dan beberapa orang lebih berbudaya
daripada yang lain.
Kritikus abad ke-19 lainnya, setelah Rousseau telah menerima perbedaan antara
budaya tinggi dan rendah (ethnocentrism)ini, namun mereka melihat keaempurnaan dan
kecanggihan budaya tinggi merusak dan mengaburkan hak asasi manusia. Kritikus ini
menganggap musik rakyat untuk mengekspresikan secara jujur cara hidup alami mereka
dibandigkan dengan musik klasik yang tampak dangkal dan dekaden.
Pada tahun 1870 antropolog Edward Bernard Tylor (1832-1917) menerapkan gagasan
tentang budaya yang lebih tinggi versus yang lebih rendah ini untuk mengajukan teori evolusi
agama. Menurut teori ini, agama berevolusi dari bentuk politeisme menjadi lebih monoteistik.
Definisi Budaya
Ilmu budaya adalah the scientific study of culture (Smith, 1990: 89). Ilmu budaya juga
sering diasosiasikan dengan ilmu kebudayaan (culutural study) yang lebih banyak mengarah
pada ilmu perlambangan (semiotika) dan ilmu budaya (culture study) yang memokuskan
perhatiannya pada pembahasan budaya dan sistem- sistemnya. Dengan demikian, ilmu budaya
dekat dengan ilmu tentang budaya (culturology).
Dalam Bohannan (1988: 336) disebutkan, bahwa culturologg, as White calls the science
of culture, is regarded by him as being the latest step in the eoolution of sciences. It is culture as
a science, acording to White, that can explain more about human behavior then any other
science, including sociologi and psychology. Perilaku manusia (human behavior) yang dimaksud
White di sini adalah salah satu bentuk perwujudan dari tiga wujud kebudayaan yaitu perilaku
budaya (cultural behavior).
Apa bila dikatakan, bahwa ilmu budaya adalah the scientific study of culture dan/ atau
2
studi budaya (the study of culture), konsekuensi logisnya budaya merupakan ontologi dari
sebuah kajian (science). Ilmu budaya harus mempunyai alur dan kerangka pikir (ontologi,
epistemologi dan teoril) yang berbeda dengan disiplin- disiplin ilmu lain, yang juga membahas
kebudayaan sebagai obyek kajiannya.
masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak (berbudaya) dan dapat diterima oleh
para anggotanya. Sebaliknya perilaku yang lainnya dianggap tidak patut (tidak berbudaya) dan
dijauhi oleh anggotanya. Akan tetapi, patut atau tidaknya hal tersebut tergantung pada nilai-
nilai dan norma-norma konvensional dari masyarakat pendukung sebuah kebudayaan yang
bersangkutan.
Menurut Haviland (1993: 332), bahwa definisi kebudayaan secara teknis dan ilmiah
pertama kalinya dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir abad-19. Definisi
pertama yang sangat jelas dan dianggap komprehensif dikemukakan oleh Sir Edward Burnett
Tylor (1871). Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu "kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuaan (knowledge), kesenian (arts), hukum (laws), moral (moralities),
kebiasaan dan kecakapan lain (other capabilities) yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Isti1ah "kebudayaan" secara teknis mulai muncul dalam karya-karya para· ahli budaya
pertengahan abad ke-19. Antropolog Inggris, Sir Edward B. Tylor dalam bukunya Primitive
Culture (1871: 1). menggunakan kata kebudayaan untuk merujuk pada keseluruhan kompleks
dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya, termasuk di
dalamnya sistem pengetahuan (knowledge systems), sistem kepercayaan (believes systems),
seni (arts), hukum (laws), moral (moralities), kebiasaan dan kecakapan lain (other capabilities)
yang diperoleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat.
Pakar antropologi lain, seperti Gillin (1948: 181) beranggapan, bahwa kebudayaan
terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang terpola dan secara fungsional saling bertautan dengan
individu tertenlu yang membentuk kelompok-krlompok atau kategori sosial tertentu. Gilling di
sini melihat kebudayaan sebagai suatu kristalisasi nilai-nilai, aturan-aturan dan norma-norma
berbentuk kebiasaan-kebiasaan terpola sebagai hasil kesepakatan bersarna (conventional),
sehingga ia berfungsi sebagai perekat individu-individu dalam sebuah kelompok.
Banyak ahli lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari bentuk
majemuk budi-daya, mengartikan budaya sebagai "daya dari budi". Oleh karena itu, mereka
cenderung membedakan "budaya" dari "kebudayaan". Dengan demikian, "budaya" adalah
"daya dari budi" yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan "kebudayaan" adalah proses dari
cipta, karsa dan rasa itu sendiri. Maran (2000: 24) mengatakan, misalnya, para pakar
antropologi budaya Indonesia umumnya sependapat, bahwa kata "kebudayaan" berasal dari
bahasa Sansekerta buddhayah. Kata buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi yang berarti
'budi' atau 'akal'. Dengan demikian, menurutnya secara etimologis, kata "kebudayaan" berarti
hal-hal yang berkaitan dengan akal (lihat Koentjaraningrat 1974: 9).
Kata "kebudayaan" itu, lanjut Maran sepadan dengan kata culture dalam bahasa
Inggris. Kata culture itu sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang berarti merawat,
memelihara menjaga, mengolah, terutama mengolah tanah atau bertani. Jadi, semakin jelas di
sini, bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang sifatnya kognitif yang berisi nilai-nilai (values),
norma-norrna (norms), aturan-aturan (rules), serta kemampuan-kemampuan lain (other
cavacities) dalam menanggulangi segala bentuk permasalahan hidup manusia.
Da1am buku ini tetap dianggap budaya sebagai sesuatu yang berbeda dengan
kebudayaan. Saya setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Poerwanto (2000: 57), bahwa
kadang-kadang orang salah mengistilahkan "budaya" dan "kebudayaan". lstilah culture
diterjemahkan sebagai "kebudayaan", sedangkan cultural diterjemahkan "budaya". Padahal
terjemahan yang benar adalah culture untuk "budaya", sedangkan cultural untuk
"kebudayaan".
Definisi kebudayaan diusulkan oleh Edward B. Tylor (1973: 63) lihat juga Bohannan dan
Glazer 1988), memandang kebudayaan sebagai totalitas pengalaman manusia. Kebudayaan
atau peradaban dalam pengertian etnografi adalah keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan (knowledge), keyakinan (believes), seni (arts), moral (moralities), hukum (laws),
adat istiadat (customs), kapabilitas dan kebiasaan- kebiasaan lainnya (other capabilities) yang
dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat Konsep kebudayaan "sapu bersih" ini lebih
dominan dalam antropologi selama kurang lebih setengah abad lamanya, mengiringi munculnya
buku Taylor berjudul Primitive Culture.
Pada awal 1950an, Alfred Kroeber dan Clyce Kluckhohn menghimpun definisi- definisi
kebudayaan yang dibuat para antropolog selama setengah abad pertama abad ke-20. Kroeber
dan Kluckhohn (1963) berhasil menghimpun dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan,
yang dikelompokkan menjadi enam kategori: deskriptif, historical normatif, psikologis,
struktural, dan genetik. Selain menghimpun definisi- definisi pokok itu, Kroeber dan Kluckhohn
juga mencatat ratusan definisi yang mereka anggap sebagai variasi dari definisi-definisi pokok.
Kebudayan adalah sebuah abstraksi, seperti halnya dengan abstraksi peta kasus umum.
Hanya saja, sebuah peta umum lebih menggambarkan karakteristik paling penting dari sebuah
area secara geografis, sementara kebudayaan hanya mengacu pada aspek-aspek yang sangat
siginifikan terhadap perilaku manusia. Tentu saja, setiap ahli budaya tertarik lebih dari sekedar
karakter pokok dari kebudayaan.
Ketika seorang ahli budaya melukiskan sebuah peta kebudayaan, ia tertarik dalam
pengkarakterisasin sifat sesungguhnya dan tidak akan pernah memperlihatkan kekecualian
dalam sebuah aturan. Maksud dari sebuah peta secara umum adalah menuntun dan
mengarahkan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman manusia terhadap sebuah lokasi.
Untuk melakukan hal ini peta harus akurat dan dibangun secara ilmiah. Sama halnya dengan
keakuratan analisis dari sebuah peta kebudayaan yang memungkinkan manusia menemukan
cara.hidup di sekitar masyarakatnya, mengantisipasi apa yang masyarakat akan lakukan dalam
situasi tertentu dan memahami keanehan upacara-upacara dan tradisi masyarakat yang
bersangkutan. Jadi, peta kebudayaan yang dimakasudkan di sini adalah strategi atau ancangan
hidup (way of life) dan/atau mekanisme adaptasi (copy mechanism) seperti yang diperkenalkan
oleh Kottek (1991: 3)
Tanpa masyarakat sangat tidak mungkin ada kebudayaan, dan tanpa kebudayaan
sangat tidak mungkin manusia mampu bertahan hidup, karena kebudayaan membangun
kemampuan (capacity building). Dalam istilah tradisional kebudayaan adalah alat pemecah
masalah mendasar manusia (means for basic problem), seperti: pemerolehan makanan,
melindungi diri, melahirkan dan membesarkan generasi. Juga sangat tidak mungkin
mempelajari kebudayaan sebagai referensi masyarakat seperti yang dilakukan oleh seorang
arkeolog dengan menganalisis efek-efek benda-benda budaya dari peradaban lama. Harus
dicatat, bahwa tanpa masyarakat memiliki seperangkat ide di dalam kepalanya, tanpa
masyarakat dikembangkan oleh aturan dan nilai sebuah kebudayaan tidak mungk in eksis.
Arti dari istilah "budaya" sangat diperdebatkan, terutama dalam antropologi (Kroeber dan
Kluckhohn 1952; Baldwin et al 2006). Definisi pertama yang sangat berpengaruh berasal dari
Edward Tylor (1871: 1), bahwa culture is that complex whole which includes knowledge, belief,
art, law, morals, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of
society. Penulis selanjutnya khawatir, bahwa definisi Tylor dikemas terlalu banyak,
menggabungkan barang psikologis (mis., Kepercayaan) dengan item eksternal (mis., Seni).
Baru-baru ini, definisi budaya fokus secara eksternal telah mengambil giliran semiotik.
Menurut Geertz (1973, 89), culture is an historically transmitted pattern of meanings embodied
in symbols. Budaya, pada pandangan seperti itu, seperti teks - sesuatu yang perlu ditafsirkan
melalui penyelidikan simbol. Bagi Geertz, dalam bukunya “thick descriptions” dijelaskan dengan
cukup rinci untuk melacak hubungan inferensial antara kejadian yang diamati. Tidak cukup
untuk merujuk pada ritual yang diamati sebagai pernikahan;
Uraian Geertz dalam bukunya Thick Desricption mungkin tampak bergerak dari fokus
eksternal pendekatan sebelumnya ke arena yang lebih psikologis, namun dia tidak mengambil
interpretasi untuk secara terpusat melibatkan tes psikologis.
Cultural Transmission
Saya kembali pada salah satu kata kunci dari definisi kebadayaan yang yaitu dipelajari dari
generasi ke genarasi. Kebudayaan bukan warisan kebendaan, tetapi hasil dari kesepakatan
masyarakat di mana ego berada. Kebudayaan bukan sebagai hasil dari pembiasaan
11
(habitated) , melainkan dipelajari dari generasi ke generasi (enkulturasi). Manusia sebagai
makhluk sosial mempelajari budaya mereka melalui pengalaman hidup keseharian masing-
12
masing. Setiap orang mempelajari budayanya melalui interaksi sosial (social interaction) di
lingkungannya dan inilah yang disebut sebagai trasmisi budaya (cultural transmission).
Ini merupakan sebuah ungkapan, bahwa budaya berubah seiring berjalannya waktu
(cultural evolution). Perubahan seperti itu sering digambarkan di bawah rubrik evolusi budaya.
Berdasarkan pada kata “evplusi” di atas, perubahan budaya bisa menyerupai perubahan
biologis dalam berbagai hal. Perubahan biologis yang dimaksud adalah suatu “sifat budaya”
yang timbul dan kemudian menyebar ke berbagai tingkat. Studi evolusi budaya mengeksplorasi
faktor-faktor yang dapat menentukan sifat budaya mana yang dapat diteruskan.
Boyer (2001) telah menerapkan gagasan ini pada penyebaran keyakinan agama. Cerita
tentang supernatural membangun pengetahuan yang ada. Ia menambahkan variasi yang
membuat mereka mengasyikkan, seperti gagasan seseorang yang bisa bertahan dalam
kematian dan berjalan melewati dinding. Boyer menunjukkan secara eksperimental, bahwa
variasi eksotis seperti itu pada kategori biasa mudah diingat dan menyebar.
Dalam transmisi budaya, sifat yang diperoleh dan dimiliki oleh satu anggota kelompok
sosial berakhir di anggota kelompok lainnya. Untuk menjamin keastian transmisi bdaya, ada
beberapa evolusi mekanisme pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan apa yang dilakukan
individu lain. Mekanisme pembelajaran tradisional (asosiatif, trial, error, pengkondisian) tidak
memadai untuk menjelaskan pembelajaran sosial. Ketika seseorang misalnya, melakukan
perilaku berbudaya di depan orang lainnya, orang tersebut hanya mengaitkan antara perilaku
tersebut dengan modelnya. Kecenderungan manusia untuk meniru dapat membantu
menjelaskan mengapa kemampuan kita untuk belajar sosial jauh melebihi spesies lainnya. Kera
mungkin lebih cenderung meniru daripada meniru (Tomasello 1996).
Biases in Cultural Transmission
Sudah disepakati secara luas bahwa transmisi budaya manusia sering melibatkan tiruan, namun
ada juga bukti bahwa kita tidak meniru setiap perilaku yang kita lihat. Kita meniru beberapa
perilaku yang teramati lebih dari yang lain. Banyak penelitian mengeksplorasi bias yang kita dan
makhluk lain gunakan saat menentukan siapa dan kapan harus meniru.
Bio-cultural Interaction
Transmisi budaya sifat sering dikontraskan dengan transmisi biologis. Dikatakan untuk
melibatkan pengasuhan dan bukan alam. Ahli antropologi menekankan fleksibilitas perilaku
manusia yang meluas dan menganggap transmisi budaya sebagai bukti untuk itu. Ini mungkin
menunjukkan bahwa transmisi budaya beroperasi dengan cara yang independen terhadap
biologi. Tapi ide ini telah ditantang.
Para filsuf telah lama berspekulasi tentang variasi budaya, menimbulkan pertanyaan tentang
apakah orang-orang dalam berbagai budaya berbeda secara psikologis.
BAB VII
Aliran ini muncul pada awal abad ke sembilan belas dengan premis-premis empiris dan
menolak premis-premis rasional, yang tidak bisa dibuktikan melalui data-data empiris.
Bahkan, sering didengar pendapat dan dibaca tulisan mengenal pemarginalan filsafat-filsafat
sebelumnya. Bahkan dalam salah satu tulisan, benar-benar kurang setuju bila pembahasan
filsafat nodern dikait-kaitkan dengan filsafat sebelumnya.
Pembahasan tentang filsafat ilmu dalam buku ini tidak priori dan apriori terhadap pendapat di
atas melainkan bertujuan untuk memberi pencerahan kepad pemerhati filsafat, bagaimana
bentuk alur pikiran para filsof.
Tuhan dipahami sebagai Roh Maha kuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak ada
kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan
meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain.
2. Filsafat Ketuhanan
Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu
memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang menganut agama
tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di
dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan
pendekatan akal budi tentang Tuhan.
Berikut adalah pemikiran dan pendapat beberapa tokoh filsafat tentang Tuhan :
Ludwig Wittgenstein
Tuhan adalah dzat transedental yang eksistensi-Nya melampaui seluruh matra materi
duniawi, Dia adalah mystic yang tidak pernah dapat diekspresikan dengan bahasa duniawi.
Al-Farabi
Tuhan Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa sebab suatu sebab, karena kalau
ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab tergantung kepada-Nya. Ia adalah wujud
yang paling mulia dan yang paling dulu adanya. Karena itu Tuhan adalah zat yang azali (tanpa
permulaan) dan yang selalu ada.
Berikut ini adalah beberapa istilah yang menyangkut tentang filsafat ketuhanan :
Teodise
Adalah pembenaran ajaran agama tentang kekuasaan dan aturan Tuhan yang
menyangkut masalah penderitaan dan adanya kejahatan dalam berbagai bentuk.
Theisma
Theisma mempercayai bahwa Theus (penamaan Tuhan dalam bahasa Yunani) itu ialah
awal dan akhir dari segala-galanya.
Henotheism
Istilah tersebut terkenal dalam agama Hindu dengan Trimurti, dalam agama nasrani
Trinitas atau Tritunggal. Trimurti lahir dari Politheisma. Dari sekian banyak dewa, suatu ketika
muncul tiga dewa yang dipandang paling berkuasa atau paling diperlukan. Dalam agama Hindu
Purana muncullah Brahman (Dewa yang mencipta), Wisynu (Dewa yang memelihara
ciptaan Brahman), dan Syiwa (Dewa yang merusak, melenyapkan apa yang dicipta
Brahman dan dipelihara oleh Wisnu.
Monotheisma Murni
Tuhan itu esa dalam jumlah, sifat dan perbuatan. Tuhan memiliki sifat satu-satunya,
tidak ada duanya. Tiap sifat yang ditemukan pada alam, bukan sifat Tuhan. Tiap bentuk atau
rupa yang ditemukan dalam alam (termasuk dalam alam imajinasi pikiran manusia), bukan
bentuk atau rupa Tuhan.
“Kamukah yang lebih sulit menciptakannya atau langit yang dibangunnya ?” (27)
Al-An’am ayat 3
“Dan Dia Allah Penguasa di langit dan di bumi, mengetahui rahasiamu dan yang kamu
terangkan, dan mengetahui apa yang kamu usahakan.”
Apakah konsepsi tentang tuhan itu mungkin? Karena bangunan konseptual pemikiran
terdiri atas definisi-definisi yang jelas atas berbagai faktor, yang kemudian dirangkai dalam
suatu pengertian yang sistematik, koheren dan konsisten. Apakah definisi tentang tuhan itu
juga ungkin? Padaha tuhan tidak terbatas, mutlak dan ghaib.
Secara keilmuan, tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi kajian ilmu, karena kajian
ilmu selalu parsial, terukur dan terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang pada
labolatorium percobaan keilmuan. Dengan demikian, kehendak untuk membuktikan adanya
tuhan melalui pendekatan ilmu, akan mengalami kegagalan karena sudah sejak awal tidak
benar secara metodologis.
Al Qur’an menggambarkan pencarian tuhan dengan menunjuk salah satu faktor alam
yang dianggap layak sebagai tuhan, digambarkan dalam logika Nabi Ibrahim mencari tuhan-Nya.
Al Qur’an 6:76-79 menegaskan :
Artinya : “Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
"Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada
yang tenggelam” (76).
Dalam membahas ketuhanan, setidaknya ada 5 hal yang harus dicakup, antara lain :
Wujud
Keberadaan dan eksistensi Tuhan adalah masalah yang paling awal dan mendasar.
Percaya atau tidaknya akan adanya Tuhan, pada akhirnya akan mempengaruhi cara dan pola
kehidupan yang dijalani manusia. Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Argumen Naqli
Yaitu argumen yang dikemukakan oleh ayat-ayat Al Qur’an atau wahyu Illahi atau segala
informasi yang diyakini berasal dari Tuhan. Beberapa bukti eksistensi Tuhan dalam Al Qur’an
antara lain adalah surat Al Ankabut (29):61 :
“Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka itu: Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi, dan yang memudahkan matahari dan bulan? Sudah tentu
mereka akan menjawab: Allah. Maka bagaimana mereka tergamak dipalingkan (oleh hawa
nafsunya)”.
Argumen Aqli
Yaitu argumen yang dikemukakan merupakan produk pemikiran rasio akal manusia, sepanjang
yang bisa dipikirkan dan yang mungkin terpikirkan.
Dalil gerak
Ada suatu ujung yang tidak digerakkan dan ujung itu merupakan suatu sumber segala macam
gerakan dan tujuan akhir semua gerakan yang disebut sebagai penggerak yang tidak digerakan.
Sebab Akibat
Setiap sesuatu tidak lepas dari hukum sebab akibat. Dalam suatu rantai sebab akibat tersebut
harus ada ujung dari pada sebab, yang menjadi sebab utama sekaligus menjadi sumber sebab
akibat dan tujuan dari sebab akibat itu.
Dalil Wujud
Dalil kejadian bahwa setiap yang ada pasti ada yang mengadakan. Tidak mungkin keberadaan
alam ini tidak ada yang mengadakan. Secara rasio akan meniscayakan adanya wujud yang
pertama yang menjadi asal dan paling fundamental-sejati.
Dalil Empiris
Bukti-bukti wujud Tuhan secara empiris maksudnya adalah bukti yang didapat dari hasil
pengamatan indrawi secara langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk
manusia itu sendiri.
Dalil Psikofisik
Argumentasi yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia misteri jiwa atau ruh dapat
mengantarkan kepada keberadaan tuhan, melalui penempaan spiritual, atau juga melalui
fenomena mimpi, sebagaimana yang dialami para Nabi dalam menerima wahyunya.
Argumen Moral
Argumen tentang nilai baik dan buruk yang ada dalam realitas kehidupan nyata ini. Dalil Moral
menyatakan kebaikanyang dilakukan manusia akan memperoleh keselamatan sebagai
imbalanya. Sebaliknya, siapa yang berbuat kejahatan akan menerima imbalan kesengsaraan dan
penderitaan.
Dzat Tuhan
Pembahasan tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan pemikiran jernih
dan mendalam. Dengan demikian larangan berfikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak,
namun melihat keadaan pemikiran seseorang.
Sifat
Membahas sifat tuhan tidak bisa dilepaskan dari dzat, wujudnya dan juga namanya. Sebab sifat
adalah suatu yang melekat pada suatu realitas, yang apabila sesuatu itu lepas maka realitas
telah kehilangan sebutanya. Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu
dikenal, yaitu aliran antrophomorfisme atau disebut sebagai tasybih, yaitu menyerupakan sifat
Tuhan dengan sifat manusia yang dapat dikenali dengan mudah oleh manusia. Sementara yang
kedua teophomorfisme atau tanzih, yaitu ketidakserupaan sama sekali sifat tuhan dengan sifat
manapun mahluknya, dan hanya tuhan sendiri yang tahu hakikat sifatnya.
Nama-nama Tuhan
Nama adalah sebutan yang bersifat simbol yang dinisbahkan kepada suatu realitas. Nama-nama
tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjukan realitas Tuhan, yang mencakup wujud,
dzat, dan sifat-Nya.
Pada tahun tujuh puluhan, sejarah filsafat Barat terbagi dalam kurunkurun waktu yang
kurang lebih jelas dari zaman Yunani kuno hingga perkembangan filsafat kontemporer. Namun
sejak berkembang apa yang disebut posmodernisme, perspektif historis seperti itu mulai
digugat. Kedudukan posmodernisme sendiri tidak jelas. Perspektif historis yang lurus dan
kontinu disangkal dan digantikan dengan cara berpikir pluralis yang bebas.
Dalam tradist kristiani, filsafat sangat erat dikeaitkan dengan teologi Sebab "credo ut
intelligam" dan fides quaerens intellectum" nsafut melayani pemahaman iman. Namun, tradisi
memperlihatkan juga bagaimana terutama filsafat humanis dan ilmu-ilmu modern yang empiris-
rastonal menantang pemahaman dan penghayatan iman.
Hubungan filsafat Yunani dengan teologi kristiani merupakan hal yang telah lama
menjadi kepentingan Gereja. Sejak runtuhnya Hellenis- me, filsafat Yunani diselamatkan dan
direngkuh dalam Gereja dan tumbuh berdampingan dengan teologi kristiani. Eratnya hubungan
menandai masa jaya kristianisme pada Abad Pertengahan. Hingga kini, sisa sisa kejayaan itu
masih dilestarikan dalam tradisi kristiani, terutama dalam Gereja Katolik, khususnya dalam
pendidikan klerus, calon imam, para intelektual atau kaumelite. Juga pandangan yang
ditanamkan dengan sangat mendalam oleh alam pikiran abad pertengahan mengenai
kedudukan filsafat sebagai abdi teologi (ancilla theologiae) masih tetap dominan dan belum
banyak berubah.
Ketika pada tahun 529, Akademi Plato di Athona ditutup oleh Kaisar Yustinianus (tanda
berakhirnya Hellenisme, para filsuf Yunani mening galkan Eropa, sebagian lari ke Damaskus,
sebagian lagi ke Aleksandrisa situ, banyak karya filsafat Yunani klasik disalin dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Banyak di antara para filsuf menjadi Kristen dan memperkembangkan
filsafat dalam kerangka pengajaran dan ajaran kristiani. Dalam arti ini, filsafat Yunani
berlangsung terus dalam pemi kiran kristiani. Pandangan-pandangan Plato dan Neoplatonisme
diadopsi dan disesuaikan dengan kepentingan refleksi dalam Gereja. Dalam teologi, terdapat
semacam devosi dan rasa hormat yang mendalam ter hadap pemikiran filsafat, namun jerih
payah pemikiran akhirnya dituju kan untuk memperjelas iman dan untuk meneguhkan teologi
supaya wahyu Allah sampai pada manusia.
Pada abad keenam belas, lahirlah ilmu-ilmu modern terutama ilmu- ilmu alam yang
memisahkan diri dari model pengetahuan klasik me- tafisik, dan memperlihatkan sifat-sifat yang
sangat berbeda dari penge- tahuan filosofis maupun teologis. Ilmu-ilmu alam tidak bicara
mengenai Allah dan malaikat atau mengenai hal-hal yang menyangkut transen densi atau
eskatologi. Ilmu-ilmu itu meneliti alam duniawi yang dapat disentuh dan dirasakan dengan
mengemukakan bukti-bukti objektif materiil yang diuji dalam eksperimen di laboratorium, atau
dengan me ngemukakan evidensi yang bisa disaksikan langsung dari peristiwa alam. Pelan-pelan
tetapi pasti pengetahuan tidak lagi disebut disciplina yang bernuansa normatif dan praktis
dalam kehidupan, melainkan scien tia yang objektif, netral, dan rasional.
Sekarang kita sadar bahwa ilmu-ilmu alam ini sebenarnya tidak pernah melawan
pengetahuan suci yang diteguhkan oleh dan dalam teologi, namun kategori kebenaran yang
dicanangkan memang berlain an. lmu-ilmu alam, sciences, dalam pemahaman para ilmuwan
peng anut bukanlah pengetahuan visioner atau normatif. Ilmu-ilmu ini bercita-cita untuk
memaparkan data netral mengenai alam semesta, apa adanya, menurut cara pandang yang
dipandang objektif dan materiil, dibantu oleh peralatan makin canggih dan perkakas ilmiah.
4. Filsafat, Humanisme dan Humanities
Filsafat berkembang menjauh dari teologi juga karena mengikuti arah pemikiran
humanisme. Humanisme yang berpengaruh dalam fils:a fat berawal dari budaya lahirnya
kembali re-naissance) kebudayaan Yunani dan Romawi kuno dalam peradaban Eropa abad
kelima belas dan keenam belas, Memang, humanisme sebagai budaya untuk memanusiakan
manusia tidak terbatas pada budaya renaisans, juga tidak secara khusus terdapat dalam budaya
Roma atau Yunani. Dalam budaya Repu blik Roma kuno, isu “kemanusiaan”.
Ketuhanan bukan lagi pokok perhatian atau dasar pemikiran filsa fat. Meskipun ada
filsuf yang tetap setia memasukkan isu ketuhanan dalam pemikirannya, namun in practico isu
ketuhanun adalah fakultatif, relatif. Agama adalah sikap masing-masing orang, bukan lagi
urusan publik atau isu sosial yang mesti diperhatikan bersama. “Humanisme” menjadi label
yang diperebutkan banyak pihak; ada humanisme ateis, humanisme Marxis, humanisme
eksistensialis, humanisme religius, dan humanisme sckuler; dalam semuanya, kehidupan
manusia nyata men jadi pokok perhatian.
Mulai pada akhir Abad Pertengahan, filsafat dan teologi berjalan sendiri-sendiri. Teologi
menentang gaya pikir ilmu modern dan menolak hasil penemuannya, sementara filsafat
sekurangkurangnya untuk beberapa waktu-justru mengacu pada cara kerja ilmu baru. Akhirnya,
ternyata juga bahwa cara kerja ilmu baru tidak cocok untuk pengetahuan visioner seperti
teologi dan filsafat sebab cakupan filsafat lebih luas dari ilmu-ilmu alam. Seharusnya filsafatlah
yang memberi dasar-dasar pem benaran ilmu, bukan sebaliknya. Kesadaran ini mengantarkan
filsafat pada perkembangan baru, mula-mula dalam bentuk filsafat-filsafat ilmu (yang dirintis
oleh Kant). Pada abad kedua puluh, filsafat berkembang dalam filsafat bahasa dan
hermeneutika. Di zaman mutakhir ini, filsafat pun surut dariotoritasnya untuk membenarkan
atau menyalahkan, me ngukuhkan atau memberi dasar, dan mencukupkan diri dengan menaf
sir dan menerangkan apa saja yang pernah menjadi ungkapan manusia.
C. Virtue Theory
Aristotle (384–322 BC) was a scholar in disciplines such as ethics, metaphysics, biology
and botany, amongst others. It is fitting, therefore, that his moral philosophy is based around
assessing the broad characters of human beings rather than assessing singular acts in isolation.
Indeed, this is what separates Aristotelian Virtue Ethics from both Utilitarianism and Kantian
Ethics.
1. Explanation
According to Aristotle, virtues are character dispositions or personality traits. This focus
on our dispositions and our character, rather than our actions in isolation, is what earns
Aristotelian Virtue Ethics the label of being an agent-centred moral theory rather than an act-
centred moral theory.
The Nicomachean Ethics advances an understanding of ethics known as virtue ethics because of
its heavy reliance on the concept of virtue. The word we translate as virtue is aretê, and it could
equally be translated as “excellence.” Something has aretê if it performs its function well.
Moral virtue is simply a matter of performing well in the function of being human. For
the Greeks, the motivation for being good is not based in a divine legislator or a set of moral
dos and don’ts but rather in the same kind of striving after excellence that might make an
athlete train hard. The Greek word ethos, from which we derive the word ethics, literally means
“character,” and Aristotle’s goal is to describe what qualities constitute an excellent character.
2. Eudaimonia
only win at the Olympic Games if they compete. A virtuous person who does not exercise virtue
is like an athlete who sits on the sideline and watches. Aristotle has a proactive conception of
the good life: happiness waits only for those who go out and seize it.
1. Philosophy
The straight lines of philosophy are of no use when it is the crooked labyrinth of
machinery and machinations, of artifacts and daedalia. We have to explore. To cut a hole at the
apex of the shell and weave my thread, I need to define, in opposition to Heidegger, what
mediation means in the realm of techniques.
For Heidegger, a technology is never an instrument, a mere tool. That mean that we
have ourselves become instruments for no other and then instrumentality itself. Man-no
Woman in Heidegger- is possessed by technology, and it is a complete illusion to believe that
we can master it. We are, on the contrary, framed by this Gutell.
The key to this sort of naturalism is the notion of teleology. It is assumed that every species of
living being has a characteristic, objectively observable mode of life, and the function of their
psychological and physical faculties is the unimpeded expression of this mode of life. Aristotle
believes that we have both rational and irrational psychological faculties and he defines
psychological health in terms of the unimpaired functioning of the rational faculty and the
perfect obedience of the irrational faculty to the rational faculty. Of the rational faculties, one is
practical and another is theoretical. The excellence or virtue of the practical rational faculty is
called practical wisdom. The excellence or virtue of the irrational faculty in obeying the
commands of the practical rational faculty is called virtue of character.
2. Sociology
Stanley Kubrick, in 2001: A Space Odyssey. Offers us a modern myth as powerful as that
Daedalus. Unidentified extraterrestrial minds have sent to the primeval earth a huge black box,
a monolith, which a band of screaming monkeys now cautiously has been explore. The film does
not indicate what the properties of the box are (apart from blackness as opaque as the
genealogy of techniques I am trying to fathom here), but the box has a mysterious effect on the
apes.
The Promethean ape, thrilled by this invention and sudden change in the fortunes of
war, launches the bone into the sky; the bone whirls around, then-again, suddenly-becomes a
vast futuristic station, slowly turning on itself in thee depth of space. From tools to high
technology, millions of years are summarized in one beautiful cue. It designates,
first, a subprogram, it means that we have to deviate for a moment from the main
task and that we will eventually resume our normal course of action, which is the only
focus worth our attention. Second, technical designates the subordinate role of people, skills,
or objects that occupy this secondary function of being present, indispensable, but invisible. It
thus indicates a specialized and highly circumscribed task, clearly subordinate in a hire archly.
Third, the adjective designates a hitch, a snag a catch, a hiccup in the smooth functioning of the
subprograms, as when we say that "there is a technical problem to solve first."
The fourth meaning carries with it the same uncertainty about what is an end and what
is a means. Daedalus the perverse, and Hephaiscos the limp- ing god, are good illustrations of
the meaning of technical. So the adjective technical has a useful meaning that maps in the
language the three first types of translation chat I defined above. Technical skill is not a thing
we can study directly. We can only observe its dispersal among various types of acrants. For
instance, one could automate noc only the uptake of liquid but its release, and there exist
now in biological laboracories many pipetting robots. When we talk about something
technical, we calk about displacement, conflicts, re- placement, unskilling, deskilling, and
reskilling; never about a mere "thing." Technical skill is nor uniquely possessed by humans
and reluccancly granced co nonhumans. Skills emerge in the zone of transaction, chey are
properties of the assembly that circu- late or are rediscribuced among human and nonhuman
technicians, enabling and au thorizing chem co act.
Critical theory is unable to explain why artifacts enter the stream of our relations, why
we so constantly recruit and socialize nonhumans. It is not to mirror, inscribe, or hide social
relations, but to remake them through fresh and unexpected sources of power. Society is not
stable enough to inscribe itself in anything.
Society is not stable enough to inscribe itself in anything.
3. Genealogy
Technical mediation-which we are now prepared to summarize: Technical action is a
form of delegation that allows us to mobilize, during interactions, moves made elsewhere,
earlier, by other acrants. It is the presence of the past and distant, the presence of nonhuman
characters, that frees us, precisely, from interactions (what we manage to do, right away, with
our humble social skills).
The traditional definition of technique as the imposition of a form consciously planned
into shapeless matter should be replaced by a view of technique-a more accurate view-as the
socialization of nonhumans.
If anything, the modern collective is that in which the relations of human and
nonhuman are so intimate, the transactions so many, the mediations so convoluted, that there
is no plausible sense in which artifact. Corporate body and subject can be distinguished. In
order to take account of this symmetry between humans and nonhumans, on the one hand,
and this continuity between traditional and modern collectives, on the other, social theory must
be somewhat modified. It is a commonplace, in critical theory, to say that techniques are social
because they have been socially constructed. But this pronouncement is vacuous if the
meanings of mediation and social are not made precise.
As a result, all of science, literature, and the arts - as well as everyday thought can be seen
to stem from the astounding expressive power of the human conceptual system. Given the
foundational role that concepts have for understanding the nature of cognition, it's not possible
to provide a theory of concepts without taking sides on a number of fundamental questions
about the mind. In order to keep the discussion, focused and manageable it will be necessary to
make certain assumptions about matters that remain controversial both within the philosophy
of mind in general and within the theory of concepts in particular.
a. Classical Theory
Appreciating the motivations for the Classical Theory and its pitfalls is essential to
understanding work on the nature of concepts. Concepts are complex mental representations
whose structure generally encodes a specification of necessary and sufficient conditions for
their own application. Example, the concept of bachelor. The idea is that bachelor is actually a
complex mental representation whose constituents are unmarrted and man.
As attractive as it may be, the Classical Theory has few adherents today:
There are few, if any, viable cases where a concept can be said to have been defined. In
fact, the failures of this research program are notorious.
Because of its commitment to definitions, it is also committed to a form of the analytic
or synthetic distinction -a distinction which, in the wake of Quine's famous critique, is
thought by many philosophers to be deeply problematic.
Classical Theory just is a form of the description theory, only it holds at the level of
concept not words.
Definitions are very hard to come by.
They don't have any psychological effects.
Can’t explain any of the most significant psychological facts that are known about
concepts.
Not equipped to explain how the reference of a concept is determined.
Philosophical investigations; ordinary concepts don't seem to be any more definable than
philosophical ones. While definitions are indeed hard to come by, this doesn't necessarily mean
that there aren't any. Perhaps definitions are tacit and so not easily accessible to inuospection
(see, e.g., Rey 1993; Peacocke 1998). However, that if a concept has a definition; this definition
will strongly constrain theoretical developments in science and place a priori limits on what we
are capable of discovering about the world. A definition may appear to capture the structure of
a concept, but the appearance may only be an illusion which later discoveries help us to see
beyond. The philosophical considerations weighing against the Classical Theory are impressive.
b. Prototype Theory
Gave up on the idea that a concept's internal structure provides a definition of the
conceptual Instead, the Prototype Theory adopted a probabilistic treatment of conceptual
structure. According to the Prototype Theory, most lexical concepts are complex mental
representations whose structure encodes not defining necessary and sufficient conditions, but,
rather, conditions that items in their extension tend to have.
According to the Prototype Theory concepts, by and large, lack definitional structure; they
have prototype structure instead. The way the theory is generally understood, it takes
categorization to be a feature-matching process where an exemplar or individual is compared
to a target category for how similar they are. Prototype Theory has tremendous psychological
advantages. Typicality effects are a variety of psychological phenomena connected to the fact
that people willingly rate subcategories for how typical or representative they are for a given
category. Typicality effects are a variety of psychological phenomena connected to the fact that
people willingly rate subcategories for how typical or representative they are for a given
category.
Advantages of the prototype theory are that it doesn't require that concepts have definitions.
The problem that prototypes are not suited to determining reference. They could maintain,
instead, that a concept's prototype is a crucial part of its structure, but that there is more to a
concept than its prototype.
Prototypes are supposed to be confined to identification procedures. They account for quick
categorization processes as well as all of the typicality effects. On the other hand, cores are
supposed to have some other type of structure that accounts for reference determination and
is responsible for our most considered categorization judgments - the default view being that
cores exhibit classical structure.
The resulting version of the Dual Theory would seem to have considerable promise. Cores with
theory structure would seem to be a vast improvement on cores with classical structure. The
first problem is one that has already cropped up, so it shouldn't be much of a surprise (the
problem of reference determination); the other problem is new (the problem of stability). The
alternative suggestion is that people need only have similar concepts.
a. Eric Lormand (1996) Lormand claims that even a completely holistic theory of
content needn't have any difficulties with stability in other words, stability isn't
supposed to be a problem even for a theory that claims that any change in the
total belief system changes the content of every single belief. The trick to
establishing stability, Lormand claims, is the idea that a given symbol has
multiple meanings.
b. Paul Churchiand (1998) State-space semantics is a theory of content for neural
networks where content i, srrpposed to be holistic. To a first approximation, the
content of an activation vector - i.e ., a paftern of activation across an assembly
of nodes in such a network - is supposed to be determined by its position within
the larger structure of the network.
c. Churchland (1984). Imagine a connectionist network with a series of input
nodes, output nodes, and an intermediary set of so-called hidden nodes. Taking
the hidden nodes as specifying contentful dimensions, we can contact a
semantic space of as many dimensions as there are hidden nodes, where points
within the space correspond to patterns of activation across the hidden nodes.
2. Aboriginal Philosophy
Aboriginal society has operated on a core set of values, beliefs and customs that are
complex, in which it forms the basis for religious practice and ways of being and doing. This
philosophy constitutes a set of "truths" for people, so the people will have a parameter or
something to hold on to in matters of knowledge, reality, and cultural practice.
This concept has connected Aboriginal people inextricably to the land and all of creation which
made it also has a role as the Aboriginals’ guide of living, it commands the rules of being in
Aboriginal culture, and it contains a set of obligations and cultural practices that ensured the
conservation of the natural world.
Kindness is a value that revolves around notions of love, easy-goingness, praise, and
gratefulness. If love and good feelings pervade the group, then balance, harmony, and beauty
result. If individuals are appropriately and immediately given recognition for upholding
strength, honesty, and kindness, then the good of the group will continue to be the goal of all
members of society.Understanding the four petals of the flower which is strength, sharing,
honesty, and kindness that interrelated demonstrates why collective decision making was and is
such an important Aboriginal custom.
5. Eurocentric Values
In contrast to Aboriginal value systems, one can summarize the value systems of
Western. Europeans as being linear and singular, static, and objective.
7. Jagged Worldviews
Colonization made Aboriginal people's worldviews shatter. By force, terror, and
educational policy, it attempted to destroy Aboriginal's worldview - but failed. Instead,
colonization left a legacy of jagged worldviews among Indigenous people. They no longer had
an Aboriginal world view, nor did they adopt a Eurocentric worldview, they decide their own
worldview.
2.
Disini disimpulkan bahwa pada sumber bacaan buku filsafat dan makalah setiap
kelompok memiliki hubungan yang sejalan di mana objek kajian utamanya adalah filsafat.
Filsafat sebagai induk dari segala ilmu mempunyai peranan yang mendasar dalam
pengembangan tiap sub ilmu yang ada. Dalam sumber bacaan buku filsafat menerangkan
bahwa filsafat ilmu memiliki masing-masing objek kajian yang berbeda-beda. Telah diketahui
sebelumnya bahwa filsafat ilmu dan filsafat tidak dapat dipisahkan. Sebagai sebuah disiplin
ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus
yaitu ilmu pengerahuan yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu. Dan bertujuan sebagai
sebuah penilaian terhadap segala pandangan yang berdasarkan pada proses pemikiran
ilmiah. Materi yang diberikan pada makalah tiap kelompok memiliki hubungan yang sejalan.
Kedua material menjelaskan bahwa filsafat bukan hanya membahas mengenai sosial, sains
dan budaya melainkan filsafat dapat mencapai segala aspek kajian teori. Maka dari itu
filsafat terkenal dengan sebutan mother of all knowledge.
B. Hubungan materi II
Tidak terdapat hubungan antara buku Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar dengan materi
pada buku filsafat dan makalah tiap kelompok. Meskipun budaya termasuk ke dalam filsafat
ilmu, tetapi tidak ditemukan persamaan antar objek kajiannya. Pada buku filsafat, dijelaskan
secara detail mulai dari sejarah filsafat sampai cabang-cabang ilmunya yang memperlihatkan
bahwa kajian filsafat sangatlah luas. Begitu juga dengan makalah tiap kelompok yang telah di
diskusikan. Pada makalah tiap kelompok, materi yang dibahasa merupakan cabang-cabang
dari filsafat ilmu.
3.
Tiap Pertemuan Sejak pertemuan pertama kelas filsafat klasik, dapat penulis simpulkan
bahwa filsafat adalah ilmu yang banyak bertanya. Dalam kajian ilmu ini pemikiranlah yang
berperan sangat penting. Agar bisa menemukan kebenaran yang hakiki, butuh proses pemikiran
yang tidak mudah. Bisa dibilang seorang yang berkecimpung dan mempelajari ilmu ini harus
mempunyai keselarasan terhadap manusia, tuhan, dan ciptaannya yang lain karena filsafat tidak
hanya berfokus pada satu bidang ilmu. Melainkan filsafat dapat mencapai segala cabang ilmu
pengetahuan. Filsafat juga membahas etika. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki
fitrah yang harus dijunjung tinggi dimana fitrah berarti kondisi penciptaann manusia yang
mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran.
Timbulnya perasaan kagum terhadap alam, manusia mulai meletakkan dasar penemuan
pertama, bagaimana semua itu tercipta? Pertanyaan ini menimbulkan permulaan terbentuknya
suatu kepercayaan pada zaman kuno yang disebut animisme. Manusia yang pada dasarnya
tidak Awesome Surprise Coverage Trials Research Nature Things Events Truth Science Animisme
Dinamisme Sistem kepercayaan Agama pernah puas dengan hal yang telah dicapai lalu
melakukan penelitian lanjutan pada bendabenda mengagumkan yang diciptakan oleh manusia.
Keterkaguman ini menimbulkan adanya kepercayaan dinamisme. Agama yang timbul saat ini
mengalami proses panjang yang disebabkan oleh penalaran manusia. Cogito Ergo Sum, Aku
berpikir maka Aku ada. filsafat senantiasa mengajak manusia untuk terus berfikir dan
menemukan hal-hal baru sehingga dapat menjadi pedoman bagi ilmu pengetahuan lainnya.