Anda di halaman 1dari 65

TUGAS SEMESTER AKHIR

ILMU FILSAFAT KLASIK

Oleh:
Wanda Milenia Papuandari

F041181512

DEPARTEMEN SASTRA INGGRIS

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
1. B.
BAB I

FILSAFAT DALAM PANDANGAN UMUM

Pengeritian filsafat secara awam adalah ilmu yang mempersolakan sesuatu yang

tidak nampak atau metafisik. Selain itu, filsafat kadang-kadang sisebut sebagai ilmu

yang tidak ada ujung pangkalnya, karena selalu menimbulkan pertanyaan, seperti:

mengapa, bagaimana, dimana dn sebagainya.awam kadang-kadang

dainggap sebagai ilmu yang rumit denagn pertanyaan-pertanyaan yang rumit pula.

Dengan demikian, seseorang yang menjawab dan menanyakan sesuatu dengan kalimat

yang berbelit-belit sering dikatakan sebagai pertanyaan dan jawaban filosofis.

Pada mulanya kata filsafat berarti segala pengetahuan yang dimiliki manusia.

Mereka membagi filsafat dalam dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis.

Filsafat teoretis mencakup:

1) ilmu penahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu

pertambangan, dan astronomi,

2) ilmu eksakta dan matematika, dan

3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika.

Filsafat praktis mencakup:

1) norma-norma (akhlak),

2) urusan rumah tangga, dan

3) sosial dan politik.

Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu

secara sistematis, radikal, dan kritis. In membuktikan, bahwa filsafat merupakan sebuah

“proses”‖ bukan sebuah “produk”‖. Berfikir kritis dapat diartikan sebagai sebuah usaha

secara aktif, sistematis, dan logis untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi

dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Tidak salah, jika

(Takwin, 2001) mengatakan, bahwa pemikiran filsafat akan terus berubah hingga satu

titik tertentu.
Kata ―filsafat‖ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,

sebab asal dan hukumnya. Kata filsafat terdapat dalam beberap bahasa, seperti; philosophy
dalam bahasa Inggris, “falsafah”‖ dalam bahasa Arab. Keseluruhan kata filsafat (Indonesia),

Philosophy (Inggris) dan Faslasafah (bahasa Arab) diturunakan bahasa Yunani,

philosophia.

Secara etimologis kata tersebut terdiri atas dua kata yaitu: philos (cinta) atau philia
( persahabatan, tertarik kepada) dan shopia
( hikmah,kebijaksanaan,pengetahuan,keterampilan,pengalaman praktis,inteligensi). Jadi, kata
filsafat berarti metafisika, Epistemologi, Etika, Logika, Filsafat Agama, Filsafat Ilmu, Filsafat
pikiran, Sosial dan Filsafat Politik, Filsafat Pendidikan, Filsafat keindahan (Estetika), Filsafat

Bahasa, dan sebagainya.

Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di

mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan-nya.

Menurut Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
menjadi pokok dan

pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4 persoalan:

a. Apakah yang dapat kita ketahui?,

b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan?,

c. Sampai di manakah harapan kita?, dan

d. Apakah yang dinamakan manusia itu?

Menurut Plato (427–348 SM), bahwa filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk

mencapai kebenaran yang asli.

Menurut Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.

Filosof lainnya seperti Cicero (106–043 SM) menyatakan, bahwa filsafat ialah ibu dari

semua ilmu pengetahuan lainnya. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof)

pencetus konsep filsafat sebagai “pencinta kebijaksanaan”.

Menurut Al Farabi seorang filosof asal Timur Tengah, bahwa filsafat

adalah ilmu (pengetahuan) tentang bagaimana sifat sesungguhnya dari kebenaran.

Menurut Rene Desacartes ,filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan, yang


bersaha menjelaskan bahwa Allah, manusia dan alam menjadi pokok penyelidikan.

Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat (1986) menyatakan, bahwa ada beberapa butir
pemikiran di dalam filsafat, yaitu:

1) filsafat harus merupakan sesuatu yang konsepsional,

2)pemikiran filsafat merupakan pemikiran yang rasional,

3) sistem filsafat harus bersifat koheren (runtut) yaitu adanya saling hubungan antara jawaban
dan kefilsafatan, dan

4)filsafat merupakan suatu pandangan dunia.

Harold Titus dan kawan-kawan (1984:11-14) menyatakan, bahwa:

1) filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasa
diterima secara tidak kritis,

2) Filsafat juga diartikan sebagai suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat kita junjung tinggi,

3) filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan,

4) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa,serta penjelasan arti kata dan konsep, dan

5) filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan
yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

Menurut Soetrionon dan Rita Hanafie (2007), bahwa secara umum filsafat

adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh

kebenaran. Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan apa hakikat atau sari

atau inti atau esensi segala sesuatu. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah ilmu yang

mencari sebab yang sedalam dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.

Jujun Suriasuamantri, bahwa pengertian filsafat dapat juga berupa suatu cara berpikir

yang radikal dan menyeluruh dan mengupas sesuatu sedalam dalamnya. Hal ini sesuai

dengan kata Socrates, bahwa tugas filsafat yang utama adalah mempersoalkan jawaban,

bukan menjawab pertanyaan kita.

Conny R. Semiawan (1988:37) dalam bukunya mengemukakan beberapa

pengertian tentang filsafat: 1) Menurut Walter Kuffman, bahwa pengertian filsafat

adalah pencarian akan kebenaran dengan pertolongan fakta-fakta dan argumentasi

argumentasi, tanpa memerlukan kekerasan dan tanpa mengetahui hasilnya terlebih

dahulu, 2) Berling, Pengertian filsafat adalah pemikiran yang bebas, di ilhami oleh rasio,
mengenai segala sesuatu yang muncul dari pengalaman pengalaman (experience), dan

3) Pengertian filsafat menurut Verhoeven, adalah meradikalkan keheranana ke segala

penjuru.

Selanjutnya, menurut Imam Barnadib (1982:11-12) bahwa filsafat sebagai

pandangan menyeluruh dan sistematis. Disebut meyeluruh, karena pandangan filsafat

bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat menembus

di balik pengetahuan itu sendiri. Dengan pandangan seperti ini akan terbuka

kemungkinan untuk menemukan hubungan pertalian antara semua unsur yang

dipertinggi, dengan mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebijakan.

Dikataakan sistematis, karena filsafat menggunakan berpikir secara sadar, teliti, teratur,

sesuai dengan hukum hukum yang ada.

Dari beberapa pernyataan dan pandang di atas dapat disimpulkna, bahwa filsafat

merupakan ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran asli dengan

ciri-ciri pemikiran: rasional, metodologi, sistematis, koheren, integral, tentang makro

dan mikro kosmos, indrawi dan nonindrawi.

Perjalanan Sejarah Filsafat

Semua ahli sependapat, bahwa filsafat pada dasarnya lahir di Yunani. Itulah

sebabnya, mengapa filsafat selalu didasarkan pada filsafat klasik, yang muncul pertama

kali di Yunani. Alfred Whitehead mengatakan, bahwa "All Western phylosophy is but a

series of footnotes to Plato". Filsafat Yunani, yang diprakarsai oleh Plato umumnya

menyisakan problem filsafat yang hingga saat ini masih menjadi kajian dan perdebatan.

Tema-tema tersebut: ada (being),menjadi (tobe),substansi (subsistence), ruang (room), waktu


(time), kebenaran (truth),jiwa (soul),pengenalan (introduction), Allah (God) dan dunia (world)
merupakan tema sentral yang di bahas dalam dunia filsafat.

Pemikiran Awal Tentang Filsafat

Filsafat mulai muncul ketika manusia sadar akan keberadaan dirinya dan

sesuatu. Keseluruhan kognisi (cognition) dan intuisi (intuition) diselimuti oleh rasa

ingin tahu dengan sejumlah pertanyaan: mengapa, kenapa, bagaimana, seperti apa,

untuk apa, kapan dan sebagainya. Manusia ketika itu sudah mulai berpetualangan

dengan perasaan curiga dan keinginan tahunya tentang sesuatu.


Bagaimana sesuatu ada dan kalau ada siapa yang mengadakan ?

Apakah yang ada itu memang ada dan adakah juga yang tidak ada ?

Kalau sudah ada untuk apa yang ada diadakan ?

Apa tidak ada memang tidak pernah ada ?

Apa tidak itu tidak pernah ada ?

Oleh karena itu, ada tiga sifat pikiran ilmuan, terutama para filosuf, yaitu:

1). bersifat menyeluruh: arinya seorang ilmuwan tidak akan pernah puas ketika mengetahui
sesuatu hanya dari sudut pandangan ilmu itu sendiri. Mereka ingin tahu hakikat ilmu dari
sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas. Meraka ingin yakin apakah ilmu ini
bermanfaat atau tidak pada diri dan manusia lainnya.Apakah yang mereka tahu itu

memenuhi apa yang seharusnya mereka tahu ?

Apakah yang diketahui A dalam domain ilmu atau pengetahuan yang sama juga diketahui
B?

Semua manusia mempunyai kapasitas masing-masing, sehingga pepatah “ada langit di atas
langit”‖ mungkin cocok diterapkan dalam dunia filsafat.

2).bersifatmendasar; artinya tidak langsung percaya akan kebenaran sebuah ilmu.


Pertanyaanmengapa ilmu itu benar ?

Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebutdilakukan, sehigga benar ?


Apakah kriteria itu sendiri sudah benar ?

Lalu benar itu sendiri seperti apa ? Inilah pertanyaan-pertanaan yang melingkar, yang harus
dimulaidengan menentukan titik awal yang benar, dan

3).3. bersifat spekulatif; artinya dalam

menentukan titik awal dan akhir dari sebuah pertanyaan melingkar sangat dibutuhkan

sebuah sifat spekulatif, baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Prinsip

sepkulatif ini lebih dikenal dengan instilah hipotesis dan postlat.Setelah itu, barulah dapat
dipilah mana yang logis dan yang tidak logis.

Aliran-Aliran Filsafat

Secara garis besar terdapat dua aliran utama dalam filsafat, yaitu filsafat realisme dan filsafat
idealisme. Aliran filsafat realisme merupakan aliran yang berpandangan, bahwa pengetahuan
manusia yang benar adalah apa sesungguh-nya ”ada”‖, baik dalam arti realita atau
kenampakan. Aliran idealisme, di pihak lain,menyatakan pengetahuan manusia tidak lain apa
yang tergambar di dalam jiwanya.Apa yang nyata terlihat bukan sebenarnya, melainkan
gambaran luarnya saja (Subagio,1992: 47). Jadi keasliannya terletak pada jiwa dan roh (hakikat)
dari sesuatu penampakan.

Kedua bentuk aliran filsafat tersebut di atas, memunculkan corak pemikiran atau aliran filsafat
baru lainnya:
a. Positivisme: yaitu mengagungkan aspek kenyataan yang konkret (indra).

Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme
sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran
Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam
memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa
hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu social dan ilmu alam, karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna
sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini
berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam
angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi
kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara
terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam "pencapaian kebenaran"-nya
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal di luar itu, sama
sekali tidak dikaji dalam positivisme.

Asas-asas positivisme logis terbagi menjadi 4 bagian: 1. empirisme, 2. Positivisme, 3. Logika, 4.


Kritik Ilmu. Postivisme pada hakikatnya juga adalah ajaran social atau pandangan dunia, yang
menganggap mungkin bahwa masyarakat yang lebih baik itu dapat dibentuk. Ilmu pengetahuan,
dalam pandangan Comte, patut menjadi pemimpin dalam usaha ini. para pengikut positivisme
logis menganut kayakinan ini. Hal ini tercermin dalam pemakaian kata 'positivisme' dalam nama
aliran filsafat ilmu pengetahuan.

Positivisme adalah suatu aliran filasafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika,
tidak mengenal adanya spekulasi, semua di dasarkan pada data empiris dalam kajian filsafat,
sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai sarana untuk memperoleh
pengetahuan.

Positivisme merupakan empirisme yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau
lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang dapat menjadi pengaruh.

b. Pragmatisme: yaitu mengagungkan aspek kefaedahan.

c. Materialisme: yaitu mengagungkan aspek kebendaan.

d. Naturalisrne: yaitu mengagungkan aspek alami.

e. Empirisme :yaitu mengagungkan aspek pengalaman dunia luar (indrawi).

f. Rasionalisme: yaitu mengagungkan aspek akal budi dan rasional.

g. Eksistensialisme: yaitu mengagungkan keberadaan manusia yang konkret.

h. Spritualisme: mengagungkan roh (spiritual) sebagai hakikamya.

Dr. Harry Hamersma kemdian mengelompokkan filsafat ke dalam empat

kelompok berikut:
1. Filsafat tentang Pengetahuan:

a. Epistemolog,

b. Logika,

c. Kritik llmu-ilmu

2. Filsafat tentang Keseluruhan:

a. Metafisika Umum (Ontologi)

b. Metafisika Khusus: Teologi Metafisika, Antropologi dan Kosmologi.

3. Filsafat Tindakan (aksiologi):

a. Etika,

b. Estetika,

c. Teori Nilai-nilai dan

d. Nilai Religi/Agama

4. Sejarah Filsafat:

a. Filsafat India,

b. Filsafat Cina,

c. Filsafat Barat

Filsafat adalah pengetahuan awal yang muncul tidak bersamaan di beberapa tempat.
Setidaknya ada lima jenis filsafat menurut tempat munculnya, pengikutnya, faham-faham yang
dikembangkan dan tokoh-tokoh dan pencetus. Ada lima jenis fisat yang disepakati oleh para ahli
dan pemerhati fisafat, yang akan saya paparkan dibawah ini:

Filsafat Barat

Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di
Eropa dan koloni mereka. Filosofi ini telah berkembang dari tradisi filsafat Yunani kuno.

Filsafat Timur

Filsafat Timur adalah tradisi filsafat yang terutama tumbuh di Asia, terutama di India, Cina dan
daerah lain yang pernah dipengaruhi oleh budaya. Sebuah tanda dari filsafat Timur adalah
hubungan dekat dengan filsafat agama. Meskipun ini adalahkurang dari bisa dikatakan untuk
Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ̳an sich‘ masih lebih
menonjol daripada agama.

Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama Buddha /Buddha,
Bodhidharma, Lao Tse, Konfusius, Zhuang Zi dan Mao Zedong.
Filsafat Timur Tengah

Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarah adalah filsuf yang bisa mengatakan juga pewaris tradisi
filsafat Barat. Untuk filsuf pertama di Timur Tengah yang orang Arabatau Muslim, dan juga
beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah sekitarMediterania dan perjumpaan dengan
tradisi filsafat Yunani dari budaya mereka. Ketika Eropa tiba di Abad Pertengahan setelah
runtuhnya Kekaisaran Romawi dan melupakan karya-karya filsuf Yunani klasik Timur Tengah ini
mempelajari karya-karya yang sama, dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-
orang Eropa.

Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran, dan
Averroes.

Filsafat Islam

Filsafat Islam adalah filsafat yang seluruh Muslim Scholar. Ada beberapa perbedaan utama
antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meskipun para filsuf Muslim asli untuk
mengeksplorasi karya-karya filsafat Yunani klasik, terutama Aristoteles dan Plotinus, namun
kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam.

Filsafat Kristen

Filsafat Kristen pada awalnya dirancang oleh bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman
di abad pertengahan. Kristen dunia barat pada waktu itu di tengah-tengah Abad Kegelapan
(Dark Ages). Orang mulai mempertanyakan keyakinan agama. Filsafat Kristen banyak berkutat
pada masalah ontologis dan keberadaan tuhan. Hampir semua filsuf Kristen adalah seorang
teolog ahli atau isu-isu agama. Contohnya adalah St Thomas Aquinas dan St Bonaventura.

Periodik Perkembangan Filsafat

Zaman Pencarian arché

Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno (sistem berpikir) tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah
sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni
tradisi:

(1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini),

(2) Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini),

(3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).

Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran
dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat
India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak
periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda.

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya


(YunaniKuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai
mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala
sesatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa
”air”‖ merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché
adalah sesuatu “yang tak terbatas”‖, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara”‖
yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah
Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa
segala sesuatu itu “mengalir”‖ (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus
menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru
sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).

Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari
“bilangan-bilangan”‖: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”‖, dan Pythagoraslah
orang pertama yang menyebut/ memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”‖, yakni
seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapaikebenaran
melaluiberpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terusmenerus.

Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi).
Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam
arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui
observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir
untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang
patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-
akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum
ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan.

Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen
secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah. Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani
Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428- 348 SM) dan Aristoteles
(384-322 SM).

Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa
yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles ―ide‖ bukanlah terletak dalam dunia
―abadi‖ sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”‖) dan bentuk (“morfé”‖). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa
”ide”‖ tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi
mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak”‖ di dalam materi,
artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari
materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi
dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada
perkembangan ilmu pengetahuan.

Sejarah perkembangan filsafat Barat berbasis pada kelahiran dan perkembangan ilmu
pengetahuan (science) . Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat dari dua tradisi filsafat lainnya
yaitu India dan Cina sangat berbeda dengan perkembangan filsafat Barat tersebut di atas.
Keduanya beorientasi, baik sejarah Filsafat India maupun Cina pada masalah-masalah
keagamaan (religion dan magic), moral (morality), etika (ethics) dan cara-cara atau kiat (the
way) untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak sesudah kematian.
Para pemikir pada periode ini mulai menggunakan rasio (rational) dan logika (logics). Sekalipun
demikian, periode pencarian arché seperti ini masih bersifat spekulatif, karena belum
dikembangkan lebih lanjut melalui pembuktian (verification), observasi (observation) dan
eksperimen (methode) dalam kenyataan (empiris). Prosedur berpikir untuk menemukan arché
dilakukan dalam ranah berpikir sebab-akibat yang juga sering disebut sebagai dasar untuk
berfikir ilmiah. Singkatnya, berfikir atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material
utama dari ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang telah diverifikasi melalui observasi dan
eksperimen secara berulangkali akan menghasilkan sebuah teori ilmiah.

Tokoh-Tokoh Filsafat dan Pemikirannya

Filsafat Yunani Klasik tau Kono

Zaman keemasan atau puncak filsafat Yunani Kuno atau Klasik terjadi pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM):

Sokrates (± 470 – 400 SM)

A. Biografi Sokrate
Socrates (470–399 BC) adalah seoang filusuf Klasik Yunani (Athenian) yang ditetapkan
sebagai salah satu pendiri filsafat Barat. Dia adalah sosok misterius yang dikenal,
terutama melalui perannya sebagai penulis klasik. Ia juga lebih dikenal, terutama
melalui tulisantulisan murid-muridnya (Plato dan Xenophon dan Aristophanes). Tulisan
atau konsep Plato tetang ―dialog‖ merupakan salah satu sumbangan yang paling
komprehensif bagi Socrates yang mengharumkan namanya dari dahulu hingga saat ini.
B. Pemikiran
Menurut salah seorang pengaut Sofis Marcus Tullius Cicero (106 BC –43 BC), bahwa
Socrates telah memindahkan filsafat dari langit ke bumi. Ini berarti, bahwa sasaran yang
diselidiki Socrates bukan lagi jagat raya, melainkan manusia. Itu juga sebabnya
Aristophanes (c. 450 bce - c. 388 bce), menyebut Socrates sebagai pengikut Sofis.
Sekalipun demikian ada perbedaan yang besar antara Socrates dan kaum sofis. Filsafat
Socrates adalah suatu reaksi dan suatu kritik terhadap kaum sofis.
Socrates mulai muncul ketia ada anggapan, bahwa “semua kebenaran itu relatif”‖.
Pernyataan ini mengguncang kemapanan teori-teori sains dan keyakinan agama di
Athena. Socrates berusaha keras untuk meyakinkan orang Athena, bahwa tidak semua
kebenaran itu relatif. Ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang.
Kaum sofis tetap menolak pendapat Socrates dan tetap beranggapan, bahwa ―semua
pengetahuan adalah relatif kebenarannya dan tidak ada pengetahuan yang bersifat
umum‖.Socrates juga tidak seratus persen menyalahkan kaum sofis, karena memang
sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagiannya pula bersifat khusus. Sifat
khusus pengetahuan itulah yang kebenarannya relatif. Ada falsafah orng Bugis
mengatakan, bahwa tongngeng muasengnge naekiya de natongeng-tongen artinya
‘betul yang engkau katakan tetapi tidak benar‘. Menurut orang Bugis, bahwa ada
perbedaan antara tongeng “betul” dan tongeng-tongeng ‘benar‘. Kata tongeng dalam
bahasa Bugis cenderung individu, karena hanya berasarkan pendapat pribadi.
Sedangkan tongeng-tongeng cenderung bersifat umum, karena berdasarkan pada
pendapat sema orang. Jadi, bobot kebenaran tongeng-tongeng lebih tinggi
dibandingkan dengan tongeng.
Socrates juga menggambarkan, bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya sematamata,
tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah intisari dan
hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena, jiwa adalah
intisari manusia, manusia wajib mengutamakan lebahagiaan jiwanya dalam entuk
eudaimonia daripada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah (kesehatan
dan kekayaan). Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin.
Pendirian Socrates yang terkenal adalah “Keutamaan adalah Pengetahuan”. Keutamaan
di bidang hidup baik menjadikan orang dapat hidup baik. Hidup baik berarti
mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik tersebut. Jadi, baik dan jahat
dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
Pada bagian kisah terakhir dalam hidup Socrates, dimana ia menyampaikan pandangan
tentang “kejadian setelah hari kematian”‖, ia benar-benar yakin pada imortalitas .
Seperti dalam cuplikan pesan terakhir Socrates sebelum dia dijatuhi hukuman mati:
“Dan sekarang wahai orang-orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib
kalian, sebab sebentar lagi aku mati, dan saat-saat menjelang kematian manusia
dianugerahi kemampuan meramalkan. Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku,
bahwa tak lama sesudah kepergianku, hukuman yang jauh lebih berat daripada yang
kalian timpakan kepadaku pasti akan menantimu… jika kalian menyangka, bahwa
dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu, sehingga tak mengecam
hidup kalian yang tercela, kalian salah duga. Itu bukan jalan keluar tepat dan adil. Jalan
paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus orang lain, namun
dengan memperbaiki diri kalian sendiri. Kematian mungkin sama dengan tidur tanpa
mimpi – yang jelas baik - atau mungkin pula berpindahnya jiwa ke dunia lain. Dan
adakah yang memberatkan manusia jika ia diberi kesempatan untuk berbincang dengan
Orpheus, Musaeus, Hesiodus, dan Homerus? Maka, sekiranya hal ini benar, biarlah aku
mati berulang kali. Di dunia lain itu mereka tak akan menghukum mati seseorang hanya
karena suka bertanya: tentu tidak. Sebab kecuali sudah lebih berbahagia daripada kita
saat ini, mereka yang di dunia lain itu abadi, sekiranya apa yang sering dikisahkan itu
benar… “
Dari pesan terakhir di atas, Socrates sangat percaya, bahwa ada kehidupan setelah mati
dan mati merupakan perpindahan jiwa manusia ke dunia selanjutnya. Orang mati hanya
meninggalkan jasad. Socrates berpendapat, bahwa ruh itu telah ada sebelum manusia
diciptakan, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun ruh itu telah bersatu
dengan tubuh manusia, tetapi pada waktu manusia itu mati, ruh itu kembali kepada
asalnya. Pada waktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja bermaksud akan
membunuhnya, dia malah menjawab: ―Socrates adalah di dalam kendi, raja hanya bisa
memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut‖. Maksudnya,
yang hancur luluh adalah tubuh, sedangkan jiwa adalah kekal (abadi).
Plato
a. Biografi Plato
Plato lahir 428/427 atau 424/423 - 348/347 SM). Ia adalah seorang filsuf Yunani
Klasik dan pendiri Akademi di Athena yaitu lembaga pendidikan tinggi pertama di
dunia Barat. Ia lebih dikenal sebagaisosok yang paling penting dalam perkembangan
filsafat, terutama tradisi Barat. Tidak seperti semua filosofis sezamannya, seluruh
pekerjaan Plato diyakini telah bertahan utuh selama lebih dari 2.400 tahun.
Plato adalah inovator konsep dialog (dialogue) 7 dan konsep dialektika (dialectics)
dalam dunia filsafat. Plato muncul sebagai satu-satunya penulis, yang menulis
filsafat politik Barat, konsep Republik (republic), konsep Hukum (laws) dan konsep
tentang dialog (dialoges). Sekalipun dmikian, Plato kadang-kadang dianggap berada
di bawah bayang-bayang temuan-temuan pemikiran pendahulunya seperti
Socrates, Parmenides, Heraclitus dan Pythagoras. Akan tetapi, untuk menjawab
fitnah tersebut, ia ternyata muncul dengan karya mutakhirnya “filosofi angka-
angka”‖ (philosophy of quantum), yang merupakan karya asli Plato sendiri.
b. Pemikiran-Pemikiran Plato
Pemikiran Plato maju selangkah dibandingkan dengan gurunya (Socrates). Ia
membantah dan menolak pendapat gurunya yang mengatakan, bahwa “sesuatu
yang umum dan merupakan hakekat “suatu realitas”‖. Plato telah mengembangkan
pemikiran gurunya dengan mngatakan, bahwa hakekat suatu realitas itu bukan
“yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang
berada secara konkret, yaitu ide (idea). Dunia ide inilah yang dapat dipikirkan dan
diketahui dengan menggunakan akal.
Puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang Negara, yang tertera
dalam Polities dan Nomoi. Pemikiran Palto ini muncul sebagai upaya untuk
memperbaiki keadaan Negara yang ketika itu dirasakan sangat buruk. Konsepnya
tentang Negara terkait di dalamnya etika dan teorinya tentang Negara. Konsepnya
tentang etika sama seperti Socrates, bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup
yang baik (eudaimonia atau well-being). Akan tetapi, untuk hidup yang baik tidak
mungkin dilakukan tanpa di dalam polis (Negara). Alasannya, karena manusia
menurut kodratnya merupakan makhluk sosial dan kodratnya di dalam polis
(Negara). Dengan demikian, untuk hidup yang baik diperlukan adanya Negara yang
baik pula. Sebaliknya, polis (Negara) yang jelek atau buruk tidak mungkin
menjadikan para warganya hidup dengan baik.
Aristoteles
a. Biografi Aristoteles
Aristotle lahir 384–322 BC. Dia merupakan salah seorang filusf Yunani dan
ilmuan yang lahir di kota Stagira, Chalkidice, bagian utara Yunani lama. Ayahnya
bernama Nicomachus meninggal ketika Arstoteles masih anak-anak. Ia kemsian
diasuh oleh Proxenus dari Atarneus. Ketika ia berumur 17 atau 18 tahun
Arsitoteles bergabung pada Akademi Plato di Atena dan menetap disana hingga
umum 37 tahun. (c. 347 BC). Tulisan-tlisannya menyangkut banyak subyek,
termasuk: fisika, biologi, kehewanan,metafisik, logika, etik, estetika, puisi,
drama, musik, retorika, ilmu bahasa, politik dan ilmu pemerintahan. Ia
merupakan pengembang filsafat barat secara koprehensif. Tidak lama
sepeninggal Plato, Aristoteles meninggalkan Athena dan atas permintaan Philip
II dari Makedonia, ia diminta mengajar Alexander the Great pada awal 343 SM.
Padangan Aristotles berkenaan dengan ilmu fisika memberi banyak peluang
beasiswa bagi yang ingin belajar darinya. Pengaruh Arsitoles bertahan dari akhir
antikuiti dan Awal Abad Pertengahan ke Renaissance. Padangan tersebut tidak
pernahberubah dari penjelasan dan teori-teori seperti mekanika klasik.
Beberapa pengamatan zoologi Aristoteles, seperti pada hectocotyl (reproduksi)
lengan gurita, tidak pernah dikonfirmasi atau disangkal sampai abad ke-19.
Karya-karyanya mengandung studi awal tentang logika, yang didirikan pada
akhir abad ke-19 dimasukkan ke dalam logika formal modern.
B.Pemikiran
Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju atau
berlawanan dengan gurunya (Plato). Menurut Aristoteles, bahwa ―ide‖
bukanlah terletak dalam dunia “abadi”‖ sebagaimana yang dikemukakan oleh
Plato, tetapi pada kenyataan (realities) atau benda-benda itu sendiri. Setiap
benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: materi (hylé)
dan bentuk (morfé). Menurut Aristoteles, bahwa “ide”‖ tidak dapat dilepaskan
dari materi, karena kenyataan materi pasti dengan bentuk. Dengan demikian,
bentuk-bentuk “bertindak”‖ di dalam materi memberikan kenyataan kepada
materi, sekaligus merupakan tujuan dari materi. Aristoteles, seperti halnya
dengan gurunya banyak menulis tetang: logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam. Dengan demikian, pemikiran-pemikirannya yang
sistematis tersebut banyak menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan.
Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya
(Yunani Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir memokuskan diri untuk mencari
unsur induk (arché) 13 yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu atau
semesta alam. Ada empat yang paling terkenal dalam periode ini,yaitu:
Thales (sekitar 600 SM)
a. Biografi Thales
Thales dari Miletus lahir c. 624 - c. 546 SM. I adalah filusuf praSokrates Yunani atau Fenisia,
matematikawan dan astronomer dari Miletus di Asia Kecil (sekarang Milet di Turki). Dia
adalah salah satu dari Tujuh Sages of Greece. Banyak, terutama Aristoteles,
menganggapnya sebagai filsuf pertama dalam tradisi Yunani, dan dia diakui sebagai
individu pertama dalam sejarah peradaban Barat. Ia juga dikenal sebagai orang yang erlibat
dalm filsafat ilmiah. Thales diakui telah enyimpang dari penggunaan mitologi dalam
menjelaskan dunia dan alam semesta. Dia yang pertama kali menjelaskan benda-benda
alam dan fenomena melalui hipotesis dan teori-teori. Hampir semua filsuf Pra-Sokrates
lainnya mengikutinya dalam menjelaskan alam semesta sebagai kesatuan dari segala
sesuatu berdasarkan pada keberadaan zat utama tunggal melalui penjelasan mitologis.
Menurut Aristoteles, bahwa hipotesis Thales' tentang alam dan sifat materi adalah zat
bahan tunggal adalah air.
Animisme dan Air
Thales mengatakan, bahwa “air”‖ merupakan arché dari semua yang ada. Bumi menurut
Thales terletak di atas air. Airlah yang menjadi pusat kehidupan bagi mahluk hidup,
termasuk ikan yang dianggapnya sebagai mahluk pertama di dalam air.
Ernst Waldfried Josef Wenzel Mach
Ernst Waldfried Josef Wenzel Mach (/ˈmɑ x/; German: [ˈɛ nst maχ]; 18 February 1838 – 19
February 1916) was an Austrian physicist and philosopher, noted for his contributions to
physics such as study of shock waves. The ratio of one's speed to that of sound is named
the Mach number in his honor. As a philosopher of science, he was a major influence on
logical positivism, American pragmatism[8] and through his criticism of Newton's theories
of space and time, foreshadowing Einstein's theory of relativity.

Pemikiran Teknik Shadowgraph


Pada tahun 1897, Mach menikahi Ludovica Marrusig dan sekaligus mendapatkan gelar
professor di bidang fisika eksperimental di Universitas Prague. Selama 28 tahun di sana, Mach
mempublikasikan lebih dari 100 paper teknik. Ia mempresentasikan papernya yang sangat
revolusioner yaitu Photograpische Fixierung der durch Projektile in der Luft eingleiten
Vorgange di Academy of Sciences di Vienna tahun 1887. Dalam papernya, Mach
mempublikasikan fotografi pertama yang menunjukkan sebuah gelombang kejut (schok wafe)
yang dibentuk oleh peluru yang melesat melewati batas kecepatan suara.

Mengeritik Teori Newton


Semasa hidupnya, Mach banyak mengeritik teori Newton. Padahal pada akhir abad 19, para
ilmuwan sedang nyaman-nyamannya dengan mekanika Newton. Menurut Mach, gaya
sentrifugal dan coriolis bukan berasal dari diri benda yang mengalami percepatan atau rotasi
terhadap kerangka acuannya seperti yang dikemukakan Newton. Ia berpandangan bahwa
sumber kedua gaya tersebut adalah distribusi massa dari seluruh alam semesta. Keyakinannya
didasarkan bahwa gaya gaya tersebut adalah yang kita rasakan. Jadi tidak mungkin berasal
dari suatu benda fisik. Ide menarik Mach ini membangkitkan minat Einstein, bahkan jika ia
tidak sharing dengan pandangan tersebut, ia akan mengambil sebagai teorinya sendiri. Mach
hingga akhir hayatnya tidak pernah menerima pemikiran tentang fisika atom dan kuantum
serta teori relativitas. Mach juga pernah menerima sejumlah kritik akibat suatu pernyataannya
dari Vladimir Lenin yang belakangan menjabat sebagai pemimpin Uni Soviet.

Immanuel Kant
a. Biografo
Immanuel Kant (lahir di Königsberg, Kerajaan Prusia, 22 April 1724 – meninggal di
Königsberg, Kerajaan Prusia, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun). Kota itu sekarang
bernama Kaliningrat di Rusia. Dia berasal dari keluarga pengrajin yang sederhana. Ketika
Kant masih muda, usaha ayahnya bangkrut. Kehidupan meraka harus didukung oleh
keluarga besar orang tuanya. Kant penuh dengan kerendahan hati dan sangat disiplin.
Kant kemudian menjadi guru besar untuk logika dan metafisika di Universitas Konisberg.
Dia secara rutin menyajikan kuliah tentang geografi fisik. Hal ini dilakukannya sepanjang
tahun sampai tahun 1796. Dalam pengantar kuliahnya, dia selalu menegaskan tempat
geografi dalam dunia ilmiah. Dia memberikan landasan falsafi bagi geografi sebagai
pengetahuan ilmiah.
Pemikiran Etika Kant
Immanuel Kant(1724-1804) adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki
pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari
wacana metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu,
dalam wacana etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara
mendalam mempengaruhi epistemologi selanjutnya.
Pemikiran Kant tentang Moral
Deontologi berasal dari kata Yunani “deon”‖ yang berarati apa yang harus dilakukan,
kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman,Immanuel Kant (1724- 1804).
Sistem etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan
moral dikritik habis-habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang
etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut
dilakukan berdasarkan kewajiban (duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang
terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa
kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan
semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.

b. Pemikiran
Strkturalisme Claude Lévi-Strauss
Levi Strauss was born in Buttenheim, Germany, on February 26, 1829, in the Franconian
region of Bavaria, Germany, to an Ashkenazi Jewish family.[3] He was the son of Hirsch
Strauss and his second wife Rebecca Strauss.[4][5] At the age of 18, Strauss, his mother
and two sisters traveled to the United States to join his brothers Jonas and Louis, who had
begun a wholesale dry goods business in New York City called J. Strauss Brother & Co
Lacan
Lacan was born in Paris, the eldest of Émilie and Alfred Lacan's three children. His father
was a successful soap and oils salesman. His mother was ardently Catholic – his younger
brother went to a monastery in 1929 and Lacan attended the Collège Stanislas between
1907 and 1918. During the early 1920s, Lacan attended right-wing Action Française
political meetings, of which he would later be highly critical, and met the founder, Charles
Maurras. By the mid1920s, Lacan had become dissatisfied with religion and became an
atheist. He quarreled with his family over this issue.
a. Pengalaman dan Dunia Yang Berubah
Experience (pengalaman) adalah salah satu dari kata kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah mengenai dan untuk pengalaman seharihari.
Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling
mempengaruhi antara organisme yang hidup dan lingkungan sosial dan fisik.
Deweymenolak mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak
untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian.
b. Metode Kecerdasan
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey adalah teori instrumental tentang ideide dan
menggunakan intelegensia (kecerdasan) sebagai metoda. Memikir adalah biologis, ia
mementingkan persesuaian antara suatu organisme dengan lingkungannya. Semua
pemikiran dan semua konsep, doktrin, logika, dan filsafat merupakan alat pertahanan
bagi manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
C. Kemerdekaan Kemauan dan Kebudayaan
Menurut filsafat instrumentalisme Dewey, manusia dan alam selalu saling bersandar.
Manusia bukannya sebagian badan dan sebagian jiwa, ia bersatu dengan alam dan
alam diinterpretasikan sehingga mencakup manusia. Alam dalam manusia adalah alam
yang sudah berpikir dan menjadi cerdas. Alam dikatakan tidak rasional dan tidak
irrasional. Alam dapat dipikirkan dan dipahami, alam tidak hanya sesuatu yang harus
diterima dan dimanfaatkan, tetapi sesuatu yang harus diubah dan dikontrol dengan
eksperimen.
D. Suatu Keprcayaan Umum
Dewey dan banyak pengikutnya menolak supernaturalisme dan mendasarkan nilai-nilai
moral dan agama atas dasar hubungan duniawi dari manusia. Nilai-nilai kehidupan
dapat diuji kebenarannya dengan metoda yang berlaku bagi fakta-fakta lain. Dewey
mengecam lembaga-lembaga greja tradisional, dengan tekanannya kepada ritus yang
tak berubah dan dogma yang otoriter. Ia memakai kata sifat religious untuk melukiskan
nilai-nilai yang menyempurnakan dan memperkaya kepribadian seseorang. Dengan
begitu, maka segala tindakan yang diambil demi suatu cita-cita karena keyakinan atas
nilai-nilai yang benar, adalah tindakan yang bersifat religious. Istilah Tuhan dapat
dipakai untuk menunjukkan kesatuan segala maksud yang ideal, dalam
kecondongannya untuk membangkitkan kemauan dan tindakan (Titus, dkk., 1984: 349-
350).
Ateisme Abad Kontemporer
Ateisme menjadi ancaman serius bagi kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, tidak
hanya selama abad XVII sampai XX tetapi juga abad sekarang. Atas nama empirisme,
pandangan yang beranggapan bahwa pengetahuan yang benar hanya dihasilkan
berdasarkan hal-hal yang empiris, para filsuf di awal abad modern seperti Thomas
Hobbes, John Locke, Berkeley, dan David Hume menyingkirkan Allah sebagai ―objek‖
yang dapat dipikirkan karena sifatnya yang tidak empiris. Ateisme abad XIX dan XX
ditandai dengan munculnya para filsuf ―pembunuh‖ Tuhan, seperti Feurbach, Karl
Marx, Nietzsche, dan Sartre. Bagi Feurbach, misalnya, Tuhan dengan berbagai sifat
yang mulia tidak lain sebagai proyeksi kekuatan manusia sendiri. Tuhan itu Maha Kuasa
karena manusia mempersepsi diri sebagai lemah dan tidak berdaya. Padahal,
kemahakuasaan Allah adalah kemahakuasaan manusia sendiri. Sementara kritik filsuf
ateis abad XXI lebih terpusat pada ketidakmampuan manusia
mempertanggungjawabkan imannya secara rasional.

Sebuah pertanyaan; peranan apa yang dapat dimainkan oleh para mahasiswa yang
menekuni filsafat barat kontemporer baik dalam kehidupan akademik
maupun dalam kehidupan masyarakat? Pokok permasalahan yang menjadi
pembahasan dalam filsafat kontemporer sangat luas, sebagaimana disebutkan
sebelumnya, meliputi fisika, sosiologi, ekonomi, psikologi, ilmu hukum, ilmu politik,
teologi, etika, budaya, bahasa, hermeneutika, dan masih banyak lagi yang menyangkut
perkembangan terkini dan pembahasannya juga tak jauh dari tuntutan kontemporer
seperti demokrasi, hak asasi manusia, etika, kebebasan, dan sebagainya. Dalam
menekuni dan memahami filsafat barat kontemporer, mahasiswa dapat memberikan
perhatiannya terhadap berbagai topik terkini yang terus berkembang yang selanjutnya
dapat dianalisis, dikritisi, sehingga dapat menjawab dengan kearifan berdasarkan
keintelektualannya. Menjadi jelas bahwa, studi filsafat barat kontemporer tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan dunia empiris dan interpretasi kebudayaan tertentu,
dan harus memanfaatkan semua perkembangan itu untuk menatanya kembali dengan
membentuk saling hubungan antar disiplin ilmu, mempertimbangkan konteks yang
lebih umum dan menyajikannya dalam bentuk yang sistematis. Selanjutnya, mahasiswa
hendaknya didorong untuk tidak hanya mengulang atau menelan mentah-mentah
berbagai pendirian, pemikiran, metode, dan teori yang lahir dalam ranah pemikiran
filsafat barat kontemporer, namun juga diharapkan dapat dengan arif dan mengkritisi
semua pemikiran yang kemudian pertimbangan dapat dipahami dan dilaksanakan serta
ditransformasikan berdasarkan tingkat kritisnya, bahkan lebih jauh lagi dapat
melahirkan teori baru demi pengembangan wilayah filsafat kontemporer selanjutnya.
Bab II
Filsafat Dalam Kepelbagaian

Filsafat sebagai kajian interdisipliner


Filsafat Ketuhanan
Tuhan dipahami sebagai Roh Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak ada
kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep
ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Dalam pandangan
teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam
semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, namun tidak ikut
campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam
semesta itu sendiri. Para cendekiawan menganggap berbagai sifatsifat Tuhan berasal
dari konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antaranya adalah
Mahatahu (mengetahui segalanya), Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak terbatas),
Mahaada (hadir di mana pun), Mahamulia (mengandung segala sifat-sifat baik yang
sempurna), tak ada yang setara dengan-Nya, serta bersifat kekal abadi. Penganut
monoteisme percaya bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak berwujud (tanpa
materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang
dapat direnungkan". Banyak filsuf abad pertengahan dan modern terkemuka yang
mengembangkan argumen untuk mendukung dan membantah keberadaan Tuhan.

Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat
pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimilikinya.
Atenisme pada zaman Mesir Kuno, kemungkinan besar merupakan agama monoteistis
tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan
pencipta alam semesta, yang disebut Aten. Kalimat "Aku adalah Aku" dalam Alkitab
Ibrani, dan "Tetragrammaton" YHVH digunakan sebagai nama Tuhan, sedangkan
Yahweh, dan Yehuwa kadangkala digunakan dalam agama Kristen sebagai hasil
vokalisasi dari YHVH. Dalam bahasa Arab, nama Allah digunakan, dan karena
predominansi Islam di antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki
konotasi dengan kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat muslim mengenal 99 nama
suci bagi Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar Elohim
atau Adonai (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari bahasa
Mesir Kuno, Aten). Dalam agama Hindu, Brahman biasanya dianggap sebagai Tuhan
monistis. Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya: Baha
dalam agama Baha'i, Waheguru dalam Sikhisme, dan Ahura Mazda dalam
Zoroastrianisme.
Etimologi dan terminologi
Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini berasal dari kata tuan. Buku pertama yang
memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah adalah
Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti
kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuanatasan/penguasa/pemilik. Kata
"tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai,
memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki
derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah
digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan"
itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya.
Kata ini biasanya digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.

Konsep tentang Tuhan


Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam
agama samawi meliputi definisi monoteistis tentang Tuhan dalam agama Yahudi,
pandangan Kristen tentang Tritunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam. Agama-agama
dharma juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Tuhan. Konsep ketuhanan
dalam agama Hindu tergantung pada wilayah, sekte, kasta, dan beragam, mulai dari
panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga
diakui oleh Gautama Buddha, terutama Śakra dan Brahma.
Monoteisme dan henoteisme
Penganut monoteisme mengklaim bahwa Tuhan hanya ada satu, dan beberapa
ajaran monoteistis mengklaim bahwa Tuhan sejati adalah Tuhan yang dipuja oleh
semua agama dengan nama yang berbeda-beda. Pandangan bahwa seluruh pemuja
Tuhan (dalam agama yang berbeda-beda) sesungguhnya memuja satu Tuhan yang
sama—entah disadari atau tidak disadari oleh umat tersebut—terutama diajarkan
dalam agama Hindu dan Sikh. Agama samawi atau dikenal juga sebagai rumpun agama
abrahamis (karena meyakini Abraham/Ibrahim sebagai nabi) atau agama langit
dimaksudkan untuk menunjuk agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Agama-agama ini
dikenal sebagai agama monoteistis karena hanya menekankan keberadaan satu Tuhan.
Yahudi dan Islam bahkan menolak visualisasi Tuhan karena menurut mereka tidak ada
sesuatu yang dapat menyerupai Tuhan. Meskipun serumpun, agama-agama ini
menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan
bahasa dan rentang sejarahnya. Adapun nama yang sering disebutkan yaitu: Yahweh
dalam agama Yahudi; Bapa atau Yesus dalam Kristen; Allah dalam Islam.
Teisme, deisme, dan panteisme
Teisme pada umumnya mengajarkan bahwa Tuhan ada secara realistis, objektif,
dan independen. Tuhan diyakini sebagai pencipta dan pengatur segala hal; mahakuasa
dan kekal abadi; personal dan berinteraksi dengan alam semesta melalui pengalaman
religius dan doa-doa umat-Nya. Teisme menegaskan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh
manusia sekaligus kekal selamanya; maka, Tuhan bersifat tak terbatas sekaligus ada
untuk mengurus kejadian di dunia. Meski demikian, tidak seluruh penganut teisme
mengakui dalil tersebut. Teologi Katolik menyatakan bahwa Tuhan Mahakuasa
sehingga tidak akan terikat pada waktu. Banyak penganut teisme percaya bahwa
Tuhan Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahapenyayang, meskipun keyakinan ini memicu
timbulnya pertanyaan mengenai tanggung jawab Tuhan terhadap adanya kejahatan
dan penderitaan di dunia. Beberapa penganut teisme menganggap Tuhan menahan
diri meskipun memiliki kuasa, tahu apa yang akan terjadi, dan penuh kasih sayang.
Sebaliknya, menurut teisme terbuka, karena adanya sifat asasi waktu, atribut
Mahatahu tidak berarti bahwa Tuhan juga dapat memprediksikan masa depan.
"Teisme" kadangkala digunakan untuk mengacu kepada kepercayaan terhadap adanya
Tuhan dan dewa/dewi secara umum, contohnya monoteisme dan politeisme.
Konsep ketuhanan lainnya
Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang mengajarkan
bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai
konsekuensi adanya masalah kejahatan. Salah satu contoh aplikasi pandangan ini
berasal dari kisah karya Dostoevsky, Karamazov Bersaudara. Pada masa kini, beberapa
konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan, misalnya teologi proses dan teisme
terbuka. Filsuf Prancis kontemporer Michel Henry menyatakan suatu pendekatan
fenomenologi dan pengertian Tuhan sebagai esensi fenomenologis dari kehidupan.
Keberadaan Tuhan
Ada banyak persoalan filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi
Tuhan tidak bersifat spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat yang
saling bertentangan. Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe
metafisis, empiris, induktif, dan subjektif, sementara yang lainnya berkutat pada teori
evolusioner, aturan, dan kompleksitas di dunia. Pendapat yang menentang keberadaan
Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris, deduktif, dan induktif.
Tuhan dalam sudut pandang nonteistis
Menurut ajaran nonteisme, alam semesta dapat dijelaskan tanpa mengungkit hal-
hal gaib atau sesuatu yang tak teramati. Beberapa nonteis menghindari konsep
ketuhanan, sementara menurut yang lain, hal itu amat penting; nonteis lainnya
memandang sosok Tuhan sebagai simbol nilai-nilai dan aspirasi manusia. Ateis asal
Inggris, Charles Bradlaugh menyatakan bahwa ia menolak untuk berkata "Tuhan itu
tidak ada", karena kata 'Tuhan' sendiri terdengar sebagai ungkapan untuk maksud yang
tidak jelas atau tak nyata; secara lebih spesifik, ia berkata bahwa ia tidak meyakini
Tuhan menurut agama Kristen. Stephen Jay Gould melakukan pendekatan dengan
membagi dunia filosofi menjadi "non-overlapping magisteria" (NOMA). Menurut
pandangan tersebut, pertanyaan seputar hal-hal gaib/supernatural, seperti halnya
keberadaan dan sifatsifat Tuhan, bersifat non-empiris dan lebih layak diulas dalam
bidang teologi. Metode ilmiah seyogianya dipakai untuk menjawab pertanyaan
mengenai dunia nyata, dan teologi dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan
sejati dan nilainilai moral. Menurut pandangan ini, kurangnya bukti empiris tentang
kekuatan supernatural terhadap kejadian alam, menyebabkan ilmu pengetahuan
menjadi pilihan pokok dalam menjelaskan fenomena di dunia.
Tuhan antropomorfis
Pascal Boyer berpendapat bahwa dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai konsep
seputar hal gaib yang berbeda-beda, secara umum, makhluk gaib tersebut cenderung
bertindak selayaknya manusia. Penggambaran dewa-dewi dan makhluk gaib lainnya
selayaknya manusia adalah ciri yang mudah dikenali dari suatu agama. Sebagai contoh,
mitologi Yunani, yang menurutnya cenderung menyerupai opera sabun masa kini
daripada suatu sistem kepercayaan. Bertrand du Castel dan Timothy Jurgensen
mendemonstrasikan melalui formalisasi bahwa penjelasan Boyer cocok dengan
epistemologi fisika dalam memosisikan entitas yang diamati sebagai intermedian tidak
secara langsung.
Konsep ketuhanan lainnya
Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang mengajarkan
bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai
konsekuensi adanya masalah kejahatan. Salah satu contoh aplikasi pandangan ini
berasal dari kisah karya Dostoevsky, Karamazov Bersaudara. Pada masa kini, beberapa
konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan, misalnya teologi proses dan teisme
terbuka. Filsuf Prancis kontemporer Michel Henry menyatakan suatu pendekatan
fenomenologi dan pengertian Tuhan sebagai esensi fenomenologis dari kehidupan.
Keberadaan Tuhan
Ada banyak persoalan filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi
Tuhan tidak bersifat spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat yang
saling bertentangan. Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe
metafisis, empiris, induktif, dan subjektif, sementara yang lainnya berkutat pada teori
evolusioner, aturan, dan kompleksitas di dunia. Pendapat yang menentang keberadaan
Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris, deduktif, dan induktif.
Agama Yang Sakral dan Profane
Agama kalau ditnya kepada pemeluknya akan menjawab, bahwa agama yang
mereka anut adalah benar, merupakan jalan yang memberi ramhat baginya dan
sekalian alam, sangat sacral, sehingga tidak boleh dilanggar. Sedangkan agama yang
dtanyakan kepada orang-orang yang sekuler menyatakan bahwa agama biasa-biasa
saja. Agama dari mereka tidak lebih dari hanya sekedar harapan belaka. Bahkan
menurut mereka, agama adala konvensasi harapan-harapan untuk hidup yang lebih
damai, aman dan bahagia. Menurut Hocking (1946), bahwa agama merupakan obat
dari kesulitan dan kekhawatiran yang dihadapi manusia, sekurang-kurangnya
meringankan manusia dari kesulitan. Agama merupakan pernyataan pengharapan
manusia dalam dunia yang besar atau jagat raya, karena ada jalan hidup yang benar
yang perlu ditemukan. Agama menjadi suatu lembaga yang bersemangat untuk
memperoleh kehidupan yang baik dan merenungkannya sebagai suatu tuntutan
kosmis. Manusia menjadi penganutnya yang setia terhadap agama karena manurut
keyakinannya agama telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi hidupnya
yang tidak mungkin dapat diuji dengan pengalaman maupun oleh akal seperti halnya
menguji kebenaran sains dan filsafat karena agama lebih banyak menyangkut perasaan
dan keyakinan. Agama merupakan sesuatu yang ada, karena keberadaanya itulah
makanya agama dikatakan pengkajian filsafat. Landasan agama atau tauhid meurpkan
landasan utama yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
untuk keselamatan di dnia dan menjadi bekal di akhirat nanti.
Teologi metafisik
Teologi metafisik merupakan wilayah kajian metafisika yang membicarakan
tentang Tuhan. Tuhan sebagai obyek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding
kedua obyek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa
dapat ditangkap indera, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan.
Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat ditangkap indera. Filsafat ketuhanan
(teologi naturalis) adalah kajian metafisika tentang Tuhan. Filsafat ini berbeda dengan
teologi adikodrati atau teologi wahyu. Filsafat ketuhanan selalu mengambil Tuhan
sebagai titik akhir dan kesimpulan kajiannya, sedangkan teologi wahyu memandang
Tuhan sebagai titik awal pembahasannya. Filsafat ketuhanan berurusan dengan
pembuktian kebenaran adanya Tuhan, yang didasarkan pada penalaran manusia.
Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, namun
hanya ingin menggaris bawahi, bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak
disebabkan maka kedudukan bendabenda yang relatif-kontingen tidak dapat dipahami
akal.
Dalil Kemungkinan (Dalil Al-Imkan)
Sementara argumen pertama menekankan temporalitas dan eo ipso, penciptaan
alam semesta, argumen kita kali ini, yakni a contingenti mundi, terfokus pada argumen
dari kontingensi atau memungkinkan, dari mana adanya wujud niscaya Tuhan dapat
secara logis disimpulkan. Maksudnya : ―Argumen ari kemungkinan menyatakan
bahwa suatu wujud yang mungkin tidak bias dengan sendirinya – karena kontingensi
berarti menggantung falam keseimbangan antara ada dan tiada karena itu (ia)
membutuhkan sebuah sebab yang akan mengubah keseimbangan tersebut ke arah
yang ada.
Sementara itu, pembahasan fenomena ketuhanan yang menyangkut eksistensi
Tuhan tidak sama di semua tempat dan di semua jaman. Setidak-tidaknya terdapat dua
pendekatan utama yang selalu dilakukan manusia, yaitu pendekatan intuitif
eksistensial seperti pada filsafat Timur dan pendekatan rasional seperti pada filsafat
Barat. Dalam kerangka dua pendekatan utama ini terdapat aliran-aliran besar yang
memandang eksistensi Tuhan secara berbeda, bahkan ada yang menolak tentang
Tuhan itu sendiri.
Pertama, Theisme merupakan aliran dalam filsafat ketuhanan yang mengandung
pengertian bahwa adanya Tuhan bukan hanya sesuatu ide yang terdapat dalam pikiran
(mind) manusia, akan tetapi menunjukkan bahwa zat yang dinamakan Tuhan itu
berwujud obyektif. Zat Tuhan telah ada jauh sebelum kita sadar akan eksistensi Tuhan
sebagai ide bawaan dalam diri kita sebagaimana diungkapkan oleh Plato dan
Descartes. Artinya Konsep tentang Tuhan itu merupakan suatu keniscayaan.
Kedua, Atheisme merupakan antitesis dari konsep theisme yang berpandangan
tentang pengingkaran adanya Tuhan yang berarti menolak terhadap kepercayaan
adanya Tuhan. Penolakan terhadap Tuhan termasuk didalamnya adalah pengingkaran
terhadap wujud Tuhan yang personal, pencipta, pemelihara dan penguasa. Dengan
demikian, atheisme dapat dikatakan: pertama, paham-paham yang mengingkari
adanya Tuhan seperti materialisme, sebagian Naturalisme.Kedua, Paham-paham
ketuhanan yang tidak menggambarkan Tuhannya bersifat personal seperti Deisme,
Pantheisme dan lain sebagainya.
Ketiga, Anti-Theisme merupakan paham atau ajaran yang menolak atau melawan
(anti) terhadap paham atau ajaran-ajaran theisme (percaya adanya Tuhan). Paham ini
secara jelas sangat bertentangan dengan theisme. Dengan demikian, anti theisme
merupakan suatu ajaran yangyang menolak eksistensi Tuhan. Namun demikian,
gerakan antitheisme ini, terutama di jaman modern lebih sering tampak bukan sebagai
reaksi langsung kepada adanya Tuhan, tetapi yang ditentang adalah kehidupan
keagamaannya. Dalam kaitan ini, maka Comte dan Marx dapat dianggap sebagai
penganut antitheisme karena memandang agama sebagai factor yang menghambat
hidup bermasyarakat. Sedangkan Nietzsche dan Sartre berpendapat bahwa agama
merupakan suatu unsure negatif dalam perkembangan pribadi.
Keempat, Deisme merupakan paham ketuhanan yang hampir sama dengan
theisme, yaitu sama-sama mempercayai adanya Tuhan dalam perspektif natural atau
agama natural. Secara prinsip antara theisme dan Deisme sangat berbeda. Theisme
beranggapan bahwa Tuhan adalah transenden sekaligus immanen, sedangkan Deisme
berpandangan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam ini kemudian membiarkannya
secara mekanis berjalan sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan lagi.
Kelima, Agnostisisme merupakan paham atau aliran yang berpandangan bahwa
mustahil akal manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Ini karena, akal manusia
bersifat terbatas, sehingga tidak akan mampu mengetahui sesuatu di luar jangkauan
akal manusia termasuk di dalamnya aalah realitas ketuhanan. Dengan kata lain,
agnostisisme adalah pengingkaran secara umum terhadap segala persoalan metafisika
sebagai sumber ilmu pengetahuan nyata, sedangkan secara khusus merupakan
pengingkaran dari kemungkinan akal manusia mampu mengetahui eksistensi Tuhan.
Paham ini menerima kemungkinan adanya suatu kenyataan yang bersifat transenden
terhadap manusia, namun menolak gagasan bahwa manusia dapat mengetahui secara
pasti eksistensi Tuhan. Sebagai akibatnya, pengetahuan dibatasi pada barang-barang
material di dunia.
Keenam, Pantheisme merupakan aliran atau paham ketuhanan yang berpandangan
bahwa Tuhan adalah yang tertinggi dan semuanya adalah Tuhan, sehingga segala
sesuatu itu adalah Tuhan, sebab antara alam dan Tuhan merupakan suatu kesatuan
dari realitas Absolut. Realitas yang sesungguhnya adalah Tuhan. Disinilah ada
peleburan selain Tuhan ke dalam diri Tuhan, sehingga yang tampak adalah Tuhan itu
sendiri.
Ketujuh, Panentheisme merupakan paham atau pemikiran dalam filsafat
ketuhanan yang berpandangan bahwa Tuhan berada di alam semesta sebagai kesatuan
dua pola yaitu actual dan potensial. Pola actual Tuhan senantiasa berubah, terbatas
dan temporal, sedangkan pola potensial Tuhan bersifat abadi dan tidak berubah.
Secara literal, Panentheisme (pan – en - theisme) merupakan konsep ketuhanan yang
dapat dikatan sebagai semua – di dalam – Tuhan.
Panentheisme sebagai paham ketuhanan yang menganggap semua di dalam Tuhan
sesungguhnya mempunyai nama lain yang disebut dengan Teologi Proses yaitu adanya
anggapan bahwa Tuhan sebagai suatu Zat atau Realitas yang berubah); bisa juga
disebut teisme bipolar, karena mempercayai bahwa Tuhan memiliki pola ganda, yaitu
pola potensial dan pola Aktual. Disamping itu, panentheisme dapat juga dikatakan
sebagai teologi organisme, karena memandang semua yang terjadi sebagai organisme
besar (gigantic) atau juga disebut sebagai teisme neo-klasik (Tuhan yang bersifat
temporal atau terbatas) yang berlawanan dengan teisme klasik (Tuhan dipandang
sebagai yang abadi).
BAB III

FILSAFAT SOSIAL

Obyek

Filsafat Ilmu Sosial

Sejarah Filsafat Ilmu Sosial

Filsafat ilmu sosial mulai muncul kepermukaan sebelum abad kedua puluh. Sejarah
perkembangan filsafat ilmu social dibagi menjadi empat periode:

1) Periode

Filsfat Barat yag mncul di Yunani kuno dengan tokoh utama pra-Socrates dengan konsep

'alam filsuf' dan kaum Sofis.

2) Periode kedua dimulai pada akhir

Renaissance hingga pada Revolusi Perancis-periode, yang menghasilkan modernitas di Barat.

3) Periode ketiga sekitar abad kesembilan belas

memperdebatkan antara ―gagasan ilmu pengetahuan‖ dan ide ―ilmu pengetahuan manusia.

Perbedaan paradigma cukup memanas, karena hampir tidak ada kesepakatan dari kaum

dealisme dengan materialisme.

4) Peride keempat sekitar akhir abad kesembilan belas dan awal abad

keduapuluh .dibenarkan yang dasar-dasar teori Comte ilmu. Tulisan-tulisan ini, maka, adalah

bahan dengan yang 'Ilmuwan sosial' di AS merupakan pembagian disiplin sekarang dari ilmu

manusia.

Pengertian Filsafat Sosial

Manusia adalah mahluk sosial (social animal). Keberadaannya selaku manusia harus

abadi, alamiah, bermasa depan dan berkembang dalam berbagai aspek melalui intrakasi sosial.
Filsafat sosial mencoba untuk mencari aturan dasar yang berlaku di dalam sebuah masyarakat.
Plato memberikan gambaran terhadap masyarakat ideal (Utopia).

Dia mengklasifikasi masyarakat ke dalam tiga kategori sesuai bakat mereka, yaitu: penguasa,
prajurit dan pekerja. Plato menyatakan, bahwa filsuf harus menjadi Raja. Baginya tujuan kepala
negara adalah untuk menghasilkan warga negara yang baik yang dapat melakukan tugas
mereka dengan cara yang lebih baik.

Definition of Socio-cultural Philosophy


Menurut Mackenzie Filsafat Sosial berusaha untuk menjelaskan sifat dari masyarakat yang
tergambar di dalam prinsip solidaritas sosial‘.Filsafat sosial bertujuan menginterpretasi
masyarakat dengan mengacu pada norma ̳kesatuan sosial‘.

F W Blackmar menyatakan, bahwa Filsafat Sosial didasarkan pada fakta- fakta umum
masyarakat. Itu membuat pengamatan umum tentang sifat masyarakat. Filsafat sosial dan ilmu
sosial berhubungan erat.

Untuk Bertrand Russell, ̳Filsafat Sosial berupaya kondisi di mana semua kecenderungan
konstruktif manusia (seperti cinta dan simpati) pernikahan Sosial dan pendidikan dapat
memberikan kesempatan maksimum yang mungkin untuk menghasilkan orang-orang yang
dapat menyelamatkan dunia dari bencana di masa depan.

1.4 Sifat Filsfat Sosial

Filsafat sosial adalah filsafat praktis. Filsafat ini mepertanyakan tentang ̳apa yang benar atau
Baik untuk manusia dan masyarakat‘. Filsafat sosial berkaitan dengan individu - hal yang paling
baik dalam masyarakat. Filsafat sosial adalah studi filosofis dari pertanyaan tentang perilaku
sosial manusia. Filsafat sosial adalah studi filosofis dari pertanyaan tentang perilaku sosial
manusia. Hal ini berkaitan dengan lembaga-lembaga seperti keluarga, lembaga pendidikan,
lembaga- lembaga ekonomi seperti bisnis dan pasar.

Social Philosophy is Normative.

Filsafat social sebagai normative memusatkan perhatiannya pada kesatuan kemanusiaan (the
unity of mankind). Filsafat sosial berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan untuk
mewujudkan cita-cita yang terlibat dalam eksistensi sosial kita.

Social philosophy studies the ideals that are found in the society. It suggests the means to
realize those ideals through the social institutions such as family, education, the state etc.

Social Philosophy is Evaluative.

Social Philosophy evaluates the various means to realize common Good. These customs,
traditions and institutions with their set of rules and laws impose several restrictions on the
conduct and behavior of its members. Social Philosophy aims at the criticism of social
interactions and the social relations in the community.

Social Philosophy is Speculative.

Social Philosophy is the speculation upon the basic principles of human behavior, the supreme
values of human life and the purpose of entire existence. Social Philosophy is not based on
empirical method. Social values are implied in social activities. The principles of Social
Philosophy are the basic conditions of any social relationship.

Social Philosophy is Critical.

According to Ginsberg, the criticism by Social Philosophy is constructive. The Social philosopher
applies his standards of value to the various social phenomena. He seeks to find out the
conditions which make the society a harmonious whole.

Social Philosophy Transcends the Conclusions of Other Sciences


Social Philosophy transcends various conclusions (data) provided by other branches of
knowledge. It is the study of the most fundamental and general laws of social behavior and
social change.

Social Philosophy has passed through the stages of the speculative study to the descriptive
study; from the descriptive study to the analytical study and from the analytical study to the
philosophical reflections.

The Scope of Social Philosophy:

Social Philosophy studies the most fundamental laws which influence social cohesion, social
progress, social change and social disintegration. Social Philosophy reflects upon the impact of
science and technology on human society and gives a comprehensive philosophy of civilization.
It incorporates the conclusions of other sciences and gives their philosophical interpretation.

Social Philosophy and Other Sciences

Social philosophy studies the interactions and inter- relations that exist among men and their
groups. The subject matter of Social Philosophy is man in the society. All roles of human beings
are

to be played under the regulations of customs, traditions and social institutions.

Social Philosophy and Sociology

For Aristotle, man is a rational as well as social animal. Man is completely dependent upon the
society for the satisfaction of bare needs. Sociology is the science of the web of social
relationships. It is the science of the origin, structure and development of the society. Sociology
studies natural, structural and functional aspects of social phenomena. Its aim is to understand
the evolution and transformation of human habitations. Sociology is a positive discipline that
gives us a faithful description of multidimensional society. Social Philosophy is a normative
discipline that goes beyond the actual existence and seeks to discover the ideal that is highest
good for all.

Relation of Social Philosophy to Politics

The relation between Social Philosophy and Politics is direct and intimate. The theoretical
aspect of Politics (Political Philosophy) and Social Philosophy are philosophical reflections on the
nature of social systems. Both Politics and Social Philosophy are guided by the same ideal of
social harmony and cooperation. The very existence of individual depends upon the active and
willing cooperation

of other individuals in the society. The insight into social ideals helps to cultivate the virtues of
good and responsible citizens.

Relation of Social Philosophy to Ethics:

Social Philosophy and Ethics, both are said to be philosophy of practice. These branches of
Philosophy inquire into ̳what is Right or Good for man and society‘. Social Philosophy deals with
the

individual‘s Highest Good in the society. Social Philosophy studies all social relationships
including moral principles involved in these relationships.
POLITICAL PHILOSOPHY

Political Philosophy: Its Nature and Scope

Man is a social animal. Living in a society demands observation of certain rules of conduct. It
requires the agency to observe proper obedience of the rules. Political Philosophy is the study
of the relationship between individuals and society.

Definition of Political Philosophy :

Political Philosophy can be defined as ―philosophical reflection on how best to arrange our
collective life – our political institutions and our social practices‖. It is the study of the
relationship between individuals and society.

Nature of Political Philosophy :

Political Philosophy is the reflection on how to organize our collective life. Its aim is to find out
the conditions in which social relations of man are possible. Political Philosophy is a rational
discipline: Political Philosophy is a rational discipline that creates system and order in the
totality of our experience.

The Scope of Political Philosophy :

Political Philosophy as a branch of philosophy studies fundamental questions concerning the


social or communal life of human beings. Political Philosophy raises the question about the
relationship between individuals and their world, their society and their environment. What are
the limits or extent of freedom of individual citizens? The issues of obedience or disobedience
to the rule of law are discussed in Political Philosophy. Political Philosophy try to give a clear and
coherent notions of equality, liberty, justice, needs and interests, public interest, rights and
welfare. It aims at conservation of traditional knowledge or distinguishing features in a
particular nation or state.

Political Philosophy and Other Sciences

The subject matter of Political Philosophy is man in the society; man in the political sphere. It is
closely related with various aspects of collective life. Thus, whether consciously or
unconsciously any individual is a part of political community and he is connected with moral
and social realms.

Relation of Political Philosophy to Politics :

Politics (Political Science) studies the State in regard to the past, present and future of political
institutions. Political Philosophy develops normative justification for the political concepts such
as
state, forms of government, authority, justice etc. Political Philosophy goes on refining the
political

concepts. In the light of the changing requirements of the citizens, existing concepts or laws

need re-evaluation.

Relation of Political Philosophy to Economics :

Economics is a science that deals with Wealth. It is concerned with human activities which are
closely connected with the attainment & use of the material requisites of well beings.
Economics is the science of scarcity . It adopts method to overcome scarcity It gives insight into
the scarcity and suggests ways to deal with scarcity. Political Philosophy is a branch of
Philosophy which studies fundamental questions concerning the communal life of human
beings.

Relation of Political Philosophy to Ethics

Ethics is the science of Highest Good of an individual in the society. The question of morality
arises when human beings live in a group. Ethics is concerned with the aspect of ̳virtue‘ in
human conduct; the individual life of men. Its concern is to build good, moral character

FAMILY AS A SOCIAL INSTITUTION

DEFINITIONS AND MEANING OF INSTITUTIONS

Institutions are usually defined as ̳certain enduring‘ and accepted form of governing

the relations between individuals and groups. Institution is only an organized form of racial
customs, dogmas and rituals or methods.

CHARACTERISTICS OF INSTITUTIONS

The following are the characteristics of Institutions:

1. Every institution has some definite objectives.

2. There is a symbol of an institution, which can be material and non-material.

3. Every institution has some rules, which must be compulsorily obeyed by individuals.

4. It has definite procedures, which are formulated on the basis of customs and dogmas.

5. Institution depends upon the collective or group activities of man.

6. Institutions are means of controlling individual. They are more stable than other means

of social control. Institutions are formed for the fulfillment of the primary needs of an

individual.

IMPORTANCE OF INSTITUTIONS
In connection with the social importance of institution Mac Iver says : it is a means of
transferring cultural elements from one generation to another.

INSTITUTIONS AND ASSOCIATIONS

Associations lack the stability of institutions. An institution is a procedure of working while an


association is an organized group. An institution indicates procedure of works and association –
shows membership . Therefore , man is a member of association but not of an institution.

B. Modern Family (Nuclear Family)

Modern India, is also offered and affected by many of the changes originating in the

west especially technology, growth of scientific knowledge and effectiveness of

communication.

3.12 FUTURE OF THE FAMILY AS AN INSTITUTION

1. Introduction :

Few social problems are more solemnly discussed than that of the future of the human family.

2. A Pessimistic view :

A pessimistic view predicts that family will ultimately disappear. According to them, the family
seems to have lost much of its former unity and its central position in the life

of an individual, the economic and social interdependence of its members, many of its

loyalties, common interest, common amusement and common traditions.

SUMMARY

The society is composed of human beings. Nature has created only biological

distinction among the human beings.

POSITIVE AND NEGATIVE LIBERTY

Although there are varied opinions on what constitutes liberty, it is generally classified as
positive liberty and negative liberty. The idea of distinguishing between a negative and a
positive sense of the term ̳liberty‘ goes back to Kant, but was first examined and defended in
depth by Isaiah Berlin in the 1950s and 60s.

TERRORISM

Terrorism is the most internationationally debated pertinent topic today. It is a constantly


changing complex phenomenon involving varying motivations and groups. Strategies for peace
Despite being regarded as one of the most universally significant human ideal, peace is always
thought about in an abstract manner. Positive definitions of peace go beyond merely dialectical
definitions of peace as

the opposite of war and instead focus on peace as a state of rest, wholeness, or completion.
BAB III

FILSAFAT SOSIAL

Pengertian Filsafat Sosial

Manusia adalah mahluk social. Keberadaannya selaku manusia harus abadi, alamiah,bermasa
depan dan berkembang dalam berbagai aspek melalui intrakasi (Social interactional) sosial
dengan sesamanya.

Sifat Filsfat Sosial

Filsafat sosial adalah filsafat praktis. Filsafat ini mepertanyakan tentang ̳apa yang

benar atau Baik untuk manusia dan masyarakat‘. Filsafat sosial berkaitan dengan individu -hal

yang paling baik dalam masyarakat.

Social Philosophy is one of the main and important branches of Philosophy. It is

the thoughtful consideration of human society. Social Philosophy tries to find out the basic

laws which operate in the society and influence human relations.

Philosophy is an attempt at rational interpretation and unification of all our

experiences. It tries to give a rational picture of the whole universe. Political Philosophy is a
―branch of Philosophy which studies fundamental questions concerning the communal life of
human beings‖. Political Philosophy is closely connected with Politics, Economics and

Ethics. These branches of knowledge share some common areas. The circles of their

interest are entangled with one another.

TYPES OF FAMILY

A. Joint Family

1. Origin of the Joint Family

2. Characteristics of Joint Family

B. Modern Family (Nuclear Family)

While the modern tendency to divorce has not yet spread in India, the birth rate has been
progressively declining among upper and middle class. Further reduction of birth is to be
expected specially among the educated.

DIVORCE

Causes for divorce:


Numbers of explanations have been given for the marked increase of divorce, especially in
countries like U.S.A., Russell says as the family feeling is very weak, there is frequency of
divorce.

The society is composed of human beings. Nature has created only

biological distinction among the human beings. However manmade society widens

the difference among the creatures of nature.

SOCIAL VIOLENCE AND HATE CRIMES

With this understanding, we can explain discrimination in an extended form.

That is, it is a negative behaviour directed towards members of social groups who are the object
of prejudice.

TOLERANCE IN MULTI-CULTURAL SOCIETY

Tolerance is the need of the hour amidst the growing intolerance in religious

fundamentalism. While the true believers of all religion believe in harmony and brotherhood,
on the other hand, misguided fanatics and people with intolerance in the name of religion and
ideology, resort to all types of attacks on human rights. Every religion all over the world with its

spiritual experience like the Australian aborigines, the American Indians, Sikhism in

India and the Bahai faith is universal in the message to convey to human beings the

significance of collective living. They insist on the value of truth, love of justice and compassion
as eternal.

LET US SUM UP

In this unit you have studied about war and its causes, just and unjust war,

terrorism and pacifism. You have also learnt about the different strategies for peace.

It is a ground reality that wars will still happen so it is important to understand just war and
pacifism to guide our response to the violence of war. Itis equally important to promote a
greater public awareness about the environmental consequences of war, and sensitise them to
these issues in order to avoid further wars in future. Pacifism should not limit itself to opposing
war. It must be proactive to promote justice and human rights. The ̳war on terrorism‘ is a war
different from other wars, and it will require concerted efforts over decades. It is difficult to
change the attitudes of terrorists who have been indoctrinated with theories of hatred.
Terrorism has become global

problem, sponsored by networks rooted in many countries. Preventing terrorism is much more
than the any single nation can handle unilaterally Only unity and cooperation among nations
can help control terrorism.
BAB IIIA

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Banyak pendapat, bahwa filsafat ilmi muncul pada era modern, sehingga sema
pendapat dan konsep tentang filsafat ilmu lebih cenderngmengarah pada era ini. Pendapat ini
memang benar, ketika kita berbicara tentang awal munculnya aliran poisitifisme, yang
cenderung empiris. Aliran ini muncul pada awal abad ke sembilan belas dengan premis-premis
empiris dan menolak premis-premis rasional, yang tidak bias dibuktikan melalui data-data
empiris. Bahkan, sering didengar pendapat dan dibaca tulisan mengenal pemarginalan filsafat-
filsafat sebelumnya. Bahkan dalam sah satu tuisan, benar-benar kurang setuju bila pembahasan
filsafat nodern dikait-kaitkan dengan filsafat sebelumnya.

pembahasan tentang filsafat ilmu dalam buku ini tidak priori dan apriori terhadap
pendapat di atas. Pembahasan filsafat ilmu dalam buku ini bertujuan untuk memberi pencahan
kepada pemerhati filsafat (dosen atau mahasiswa), bagaiman bentuk alur pikiran para filosof,
khususnya filsafat ilmu, Apa faedah yang dapat dipetik dari pengetahuan filsafat ilmu,
bagaimana filasafat ilmu tersebut dapat diterapkan untuk memecahkan masalah yang sedang
dihadapi manusia.

A. Zaman Yunani

Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia,
karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris ke filsafat alam (natural
philosophy). Pola pikir manusia pada zaman ini adalah penggunaan mitos-mitos untuk
menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi, banjir, petir, wabah penyakit, pelangi dan
sebagainya. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut
tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.

Filsafat Yunani Kuno diawali dengan mitosentris di atas lal dilanjutkan dengan permasalah asal-
usul (arche) dari segala sesuatu di alam semesta ini. Tema sentral kedua ini diperdebatkan oleh
ahli-ahl filasaf klasik berikut ini:

Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM)
mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam
adalah air, karena air merupakan unsur penting bagi setiap makhluk hidup. Air dapat berupab
menjadi uap menyebabkan hujan dan

benda padat es yang dapat diminum dan menjaga keseimbangan kutub Utara dan Selatan, dan
bumi ini juga berada di atas air.

Heraklitos kemudian mengritik pendapat Thales di atas dengan menyatakan, bahwa bahwa
yang mendasar pembentukan alam semesta ini bukan air seperti pendapat Thales, melainkan
api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam pembentkan alam, karena api dapat mengeraskan
adonan roti dan dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini,
sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.
Anaximander (sekitar 585 – 525 SM kemudian mengeritik kedua pendapat di atas
dengan mangatakan, bahwa “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu yang ada.
Anaximandros berpendapat udara yang terdapat dalam jagat raya yang tak terbatas merupakan
sumber dari segala kehidupan. Anaximenes menunjuk udara sebagai sumber dari segala bentuk
kehidupan. Ia pun menyamakan antara manusia dengan jagat raya.

Heraklitos kemudian mengritik pendapat Thales di atas dengan menyatakan, bahwa


bahwa yang mendasar pembentukan alam semesta ini bukan air seperti pendapat Thales,
melainkan api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam pembentkan alam, karena api dapat
mengeraskan adonan roti dan dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam
alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.

Anaximander (sekitar 585 – 525 SM kemudian mengeritik kedua pendapat di atas


dengan mangatakan, bahwa “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu yang ada.
Anaximandros berpendapat udara yang terdapat dalam jagat raya yang tak terbatas merupakan
sumber dari segala kehidupan.

Empedocles lahir pada abad ke-5 atau tahun c. 490 – c. 430 BC merupakan filosof yang
menentang pndapat ketiga rekannya di atas dengan mengatakan, bahwa Para Filsuf pluralis,
sebagai kebalikan dari monisme di atas berpendapat, bahwa realitas terdiri dari banyak unsur.
Empedocles, menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar), yaitu: api, udara,
tanah dan air.

Pythagoras (580-500 SM) berpendapat, bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam
dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam
segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas.
Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan
matematika dari orang-orang mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003).

Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga
timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa
ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran.
Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah
ukuran kebenaran.

Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada
zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat

alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM),
yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat
bahkan sudah ada di alam idea.

Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid
Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalan- persoalan besar filsafat yang
dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika
Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme
terdiri dari tiga premis:

- Semua manusia akan mati (premis mayor).


- Socrates seorang manusia (premis minor).

- Socrates akan mati (konklusi).

Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah
secara sistematis.

3.2 Konsep dan Definisi Filsafat Ilmu

Secara etimologis, kata filsafat ilmu diturunkan dari dua kata yaitu kata filsat
(philosophy) dan ilmu (science). Defenisi failsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan
ilmu. Filsafat adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan
agama dalam mencari kebenaran. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu. Pada perinsipnya ada
ratusan definisi tentang filsafat ilmu berdasarkan bidang ilmu dan peruntukannya. Akan
tetapi, dalam buku ini hanya dikutip beberapa definisi dari berbagai ahli filsafat ilmu, mulai
dari filsafat klasik, pertengahan, kontemporer atau modern.
BAB IV

FILSAFAT KEBUDAYAAN

4.1 Sejarah Filsafat Budaya

Di Jerman, Kulturphilosophie dikenal di Jerman sebagai cabang filsafat yang


mempelajari esensi dan makna budaya. Istilah ini pertama kali digunakan pada awal abad ke 19
oleh pelukis romantis Jerman A. Müller. Menurutya, filsafat budaya harus dibedakan baik dari
filsafat sejarah (tentang kesejarahan filsafat) dan sosiologi budaya (tentang studi budaya dalam
sistem relasi sosial tertentu).

Filsafat budaya pertama kali dikenali sebagai bidang penyelidikan oleh Kaum Sofis, yang
merumuskan antinomi alam dan moral. Oleh karena itu, menurut Hippias, institusi manusia
seperti adat dan hukum "sering memaksa kita untuk melawan alam" (dikutip oleh T. Gomperz di
Grecheskie mysliteli, jilid 1, St. Petersburg, 1913, hal 346). Pertentangan antara alam dan moral
dikembangkan lebih lanjut oleh kaum Sinis (misalnya Diogenes of Sinope dan Antisthenes), yang
menginginkan “kembali ke alam” yaitu, ke dalam kesederhanaan eksistensi manusia primitif.

Di zaman modern, pertanyaan filosofi budaya dan kritik budaya telah dieksplorasi
secara khusus oleh G. Vico, J.-J. Rousseau, F. Schiller (dengan konsepnya tentang puisi "naif"
dan "sentimental" sebagai dua fase perkembangan budaya), JG Herder, dan romantisme Jena
(dengan gagasan mereka masing-masing tentang keunikan budaya nasional dan konsep mereka
tentang tahap perkembangan budaya yang berbeda). Filsafat budaya --- didefinisikan secara
sempit sebagai konsepsi filosofis dari berbagai tahap perkembangan budaya manusia --- dapat
dikatakan sampai saat ini kembali ke F. Nietzsche dan sebagian ke Slavophiles Rusia. Isu sentral
sekarang menjadi pertentangan antara budaya sebagai keseluruhan dan peradaban organik,
yang dianggap sebagai manifestasi hubungan mekanis dan utilitarian terhadap kehidupan.

4.2 Antropologi dan Ilmu Budaya

Banyak ahli budaya yang menyamakan antara antropogi dan ilmu budaya. Antropologi
berasalah dari kata “anthropos” artinya manusia dan “logos” atinya ”ilmu‟. Ilmu budaya
(culturology) berasal dari dua kata Logos artinya”ilmu‟ dan “culture” artinya ”budaya dan
kebdayaan‟. Ditilik dari segi obyeknya, antropologi dan ilm budaya memang sangat berbeda.
Antropologi memilih manusia sebagai obyknya, sementara ilmu mudaya memilih budaya
(culture) sebagai obyeknya.

Filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804) telah merumuskan secara individualis


tentang definisi "pencerahan" yang serupa dengan konsep bildung dalam bahasa Jerman:
"Pencerahan adalah kemunculan manusia dari ketidakdewasaan dirinya sendiri." Dia
berargumen, bahwa ketidakmatangan ini bukan berasal dari kurangnya pemahaman, tapi dari
kurangnya keberanian untuk berpikir mandiri.

Pada tahun 1795, ahli bahasa dan filsuf hebat Wilhelm von Humboldt (1767-1835)
mengambil jalan tengan melalui antropologi untuk menyatukan kepentingan Kant dan Herder.
Selama era Romantis, para ilmuwan di Jerman, terutama mereka yang peduli dengan gerakan
nasionalis --- seperti perjuangan nasionalis untuk menciptakan "Jerman" bebas dari berbagai
kerajaan, dan perjuangan nasionalis oleh etnis minoritas melawan Kekaisaran Austro-Hungaria
--- berkembang menjadi lebih inklusif.
Pada tahun 1860, Adolf Bastian (1826-1905) mengemukakan "kesatuan psikis umat
manusia". Dia mengusulkan, agar perbandingan ilmiah semua masyarakat manusia

akan mengungkapkan, bahwa pandangan dunia yang berbeda terdiri dari unsur dasar yang
sama. Menurut Bastian, semua masyarakat manusia memiliki seperangkat "gagasan elementer"
(Elementargedanken). Budaya yang berbeda atau "gagasan rakyat" yang berbeda (Völker-
gedanken), adalah modifikasi lokal dari gagasan dasar. Pandangan ini membuka jalan bagi
pemahaman budaya modern. Franz Boas (1858-1942) dilatih dalam tradisi ini membawanya
saat meninggalkan Jerman ke Amerika Serikat.

Dalam praktiknya, budaya mengacu pada kehidpan elit dan dikaitkan dengan aktivitas
seperti seni, musik klasik, dan kuliner. Hal ini terkait dengan kehidupan kota, "budaya"
diidentifikasi dengan "peradaban". Aspek lain dari gerakan Romantis adalah ketertarikan pada
cerita rakyat (folklore), yang menyebabkan identifikasi "budaya" di kalangan non-elit.

Antropolog Inggris Edward Bernard Tylor (1871) adalah ilmuwan Inggris pertama yang
menggunakan istilah budaya secara inklusif dan universal. Matthew Arnold mengkontraskan
"budaya" dengan anarki. Orang Eropa lainnya, mengikuti filsuf Thomas Hobbes dan Jean-
Jacques Rousseau, membandingkan "budaya" dengan "keadaan alam". Menurut Hobbes dan
Rousseau, penduduk asli Amerika yang ditaklukkan oleh orang Eropa dari abad ke 16 tinggal di
negara bagian. Pertentangan ini diungkapkan melalui kontras antara "beradab" dan "tidak
beradab." Menurut cara berpikir ini, seseorang bisa mengklasifikasikan beberapa negara dan
negara-negara yang lebih beradab daripada yang lain dan beberapa orang lebih berbudaya
daripada yang lain.

Kritikus abad ke-19 lainnya, setelah Rousseau telah menerima perbedaan antara
budaya tinggi dan rendah (ethnocentrism)ini, namun mereka melihat keaempurnaan dan
kecanggihan budaya tinggi merusak dan mengaburkan hak asasi manusia. Kritikus ini
menganggap musik rakyat untuk mengekspresikan secara jujur cara hidup alami mereka
dibandigkan dengan musik klasik yang tampak dangkal dan dekaden.

Pada tahun 1870 antropolog Edward Bernard Tylor (1832-1917) menerapkan gagasan
tentang budaya yang lebih tinggi versus yang lebih rendah ini untuk mengajukan teori evolusi
agama. Menurut teori ini, agama berevolusi dari bentuk politeisme menjadi lebih monoteistik.

Definisi Budaya

Ilmu budaya adalah the scientific study of culture (Smith, 1990: 89). Ilmu budaya juga
sering diasosiasikan dengan ilmu kebudayaan (culutural study) yang lebih banyak mengarah
pada ilmu perlambangan (semiotika) dan ilmu budaya (culture study) yang memokuskan
perhatiannya pada pembahasan budaya dan sistem- sistemnya. Dengan demikian, ilmu budaya
dekat dengan ilmu tentang budaya (culturology).

Dalam Bohannan (1988: 336) disebutkan, bahwa culturologg, as White calls the science
of culture, is regarded by him as being the latest step in the eoolution of sciences. It is culture as
a science, acording to White, that can explain more about human behavior then any other
science, including sociologi and psychology. Perilaku manusia (human behavior) yang dimaksud
White di sini adalah salah satu bentuk perwujudan dari tiga wujud kebudayaan yaitu perilaku
budaya (cultural behavior).
Apa bila dikatakan, bahwa ilmu budaya adalah the scientific study of culture dan/ atau
2
studi budaya (the study of culture), konsekuensi logisnya budaya merupakan ontologi dari
sebuah kajian (science). Ilmu budaya harus mempunyai alur dan kerangka pikir (ontologi,
epistemologi dan teoril) yang berbeda dengan disiplin- disiplin ilmu lain, yang juga membahas
kebudayaan sebagai obyek kajiannya.

Antropologi dan sosiologi memandang kebudayaan sebagai suatu bentuk rangkaian


proses dari sebuah bentuk kognitif (cultural knowledge) yang diaplikasikan kedalam bentuk
tindakan atau perilaku (cultural behavior) dan akhirnya menghasilkan benda budaya (cultural
artifacts). Perlu juga dijelaskan di sini, bahwa yang dimaksud perilaku, baik dalam antropologi
maupun sosiologi adalah tingkah laku yang berpola dan berulang-ulang (patterned dan
'regulated behavior).

Pengertian kebudayaan dan/ atau budaya secara non-teknis (modern) adalah


seperangkat peraturan dan standardisasi, yang apabila dipenuhi oleh para anggota

masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak (berbudaya) dan dapat diterima oleh
para anggotanya. Sebaliknya perilaku yang lainnya dianggap tidak patut (tidak berbudaya) dan
dijauhi oleh anggotanya. Akan tetapi, patut atau tidaknya hal tersebut tergantung pada nilai-
nilai dan norma-norma konvensional dari masyarakat pendukung sebuah kebudayaan yang
bersangkutan.

Menurut Haviland (1993: 332), bahwa definisi kebudayaan secara teknis dan ilmiah
pertama kalinya dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir abad-19. Definisi
pertama yang sangat jelas dan dianggap komprehensif dikemukakan oleh Sir Edward Burnett
Tylor (1871). Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu "kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuaan (knowledge), kesenian (arts), hukum (laws), moral (moralities),
kebiasaan dan kecakapan lain (other capabilities) yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.

Isti1ah "kebudayaan" secara teknis mulai muncul dalam karya-karya para· ahli budaya
pertengahan abad ke-19. Antropolog Inggris, Sir Edward B. Tylor dalam bukunya Primitive
Culture (1871: 1). menggunakan kata kebudayaan untuk merujuk pada keseluruhan kompleks
dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya, termasuk di
dalamnya sistem pengetahuan (knowledge systems), sistem kepercayaan (believes systems),
seni (arts), hukum (laws), moral (moralities), kebiasaan dan kecakapan lain (other capabilities)
yang diperoleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat.

Clyde Kluckhohn (1949: 35), pakar antropologi Amerika Serikat mendefinisikan


kebudayaan sebagai total dari padangan hidup suatu bangsa dan warisan sosial yang diperoleh
individu dari kelompoknya. Kluckohn melihat kebudayaan sebagai suatu integritas dari tiga
unsur at.au wujud kebudayaan yaitu: pengetahuan, pola perilaku dan benda-benda hasil
budaya.

Pakar antropologi lain, seperti Gillin (1948: 181) beranggapan, bahwa kebudayaan
terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang terpola dan secara fungsional saling bertautan dengan
individu tertenlu yang membentuk kelompok-krlompok atau kategori sosial tertentu. Gilling di
sini melihat kebudayaan sebagai suatu kristalisasi nilai-nilai, aturan-aturan dan norma-norma
berbentuk kebiasaan-kebiasaan terpola sebagai hasil kesepakatan bersarna (conventional),
sehingga ia berfungsi sebagai perekat individu-individu dalam sebuah kelompok.

Banyak ahli lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari bentuk
majemuk budi-daya, mengartikan budaya sebagai "daya dari budi". Oleh karena itu, mereka
cenderung membedakan "budaya" dari "kebudayaan". Dengan demikian, "budaya" adalah
"daya dari budi" yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan "kebudayaan" adalah proses dari
cipta, karsa dan rasa itu sendiri. Maran (2000: 24) mengatakan, misalnya, para pakar
antropologi budaya Indonesia umumnya sependapat, bahwa kata "kebudayaan" berasal dari
bahasa Sansekerta buddhayah. Kata buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi yang berarti
'budi' atau 'akal'. Dengan demikian, menurutnya secara etimologis, kata "kebudayaan" berarti
hal-hal yang berkaitan dengan akal (lihat Koentjaraningrat 1974: 9).

Kata "kebudayaan" itu, lanjut Maran sepadan dengan kata culture dalam bahasa
Inggris. Kata culture itu sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang berarti merawat,
memelihara menjaga, mengolah, terutama mengolah tanah atau bertani. Jadi, semakin jelas di
sini, bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang sifatnya kognitif yang berisi nilai-nilai (values),
norma-norrna (norms), aturan-aturan (rules), serta kemampuan-kemampuan lain (other
cavacities) dalam menanggulangi segala bentuk permasalahan hidup manusia.

Da1am buku ini tetap dianggap budaya sebagai sesuatu yang berbeda dengan
kebudayaan. Saya setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Poerwanto (2000: 57), bahwa
kadang-kadang orang salah mengistilahkan "budaya" dan "kebudayaan". lstilah culture
diterjemahkan sebagai "kebudayaan", sedangkan cultural diterjemahkan "budaya". Padahal
terjemahan yang benar adalah culture untuk "budaya", sedangkan cultural untuk
"kebudayaan".

Definisi kebudayaan diusulkan oleh Edward B. Tylor (1973: 63) lihat juga Bohannan dan
Glazer 1988), memandang kebudayaan sebagai totalitas pengalaman manusia. Kebudayaan
atau peradaban dalam pengertian etnografi adalah keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan (knowledge), keyakinan (believes), seni (arts), moral (moralities), hukum (laws),
adat istiadat (customs), kapabilitas dan kebiasaan- kebiasaan lainnya (other capabilities) yang
dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat Konsep kebudayaan "sapu bersih" ini lebih
dominan dalam antropologi selama kurang lebih setengah abad lamanya, mengiringi munculnya
buku Taylor berjudul Primitive Culture.

Pada awal 1950an, Alfred Kroeber dan Clyce Kluckhohn menghimpun definisi- definisi
kebudayaan yang dibuat para antropolog selama setengah abad pertama abad ke-20. Kroeber
dan Kluckhohn (1963) berhasil menghimpun dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan,
yang dikelompokkan menjadi enam kategori: deskriptif, historical normatif, psikologis,
struktural, dan genetik. Selain menghimpun definisi- definisi pokok itu, Kroeber dan Kluckhohn
juga mencatat ratusan definisi yang mereka anggap sebagai variasi dari definisi-definisi pokok.

Secara umum definisi-definisi kebudayaan mengungkapkan, bahwa kebudayaan adalah


milik bersama. Barangkali bisa dibayangkan, bahwa anda adalah ahli budaya yang baru saja tiba
di desa-desa terpencil, semisal di Afrika yang jauh sana. Tujuan kesana adalah meneliti dan
mendeskripsikan kebudayaan, atau adat-istiadat tradisional masayarakt setempat. Masyarakat
yang anda temui mungkin tinggal dalam sebuah kelompok masyarakat (sejenis desa di
Indonesia). Mereka akan berinteraksi dengan yang lainnya (dengan menepuk bahu, lalu mereka
berbicara) dalam rangka berkomunikasinya. Jika, kondisi seperti ini terjadi, anda bisa
mengatakan, bahwa masyarakat yang anda kenjungi itu sedang membentuk sebuah
masyarakat. Lalu bagaimana dengan kebudayaan mereka ? Ketika pertama kali anda menemui
salah seorang masyarakat Afrika tersebut, anda sebagai seorang ahli budaya sebaiknya ikut
serta dalam berbagai aktifitas (full participation research) masyarakat itu. Di salah satu desa,
anda menyaksikan seorang laki-laki sedang sibuk mengatapi rumahnya dan di desa lain seorang
perempuan mengasuh anak-anaknya (child rearing). Di luar dari desa yang anda kunjungi
tersebut, seorang laki-laki sibuk menyiangi (membajak) ladangnya.

Kebudayan adalah sebuah abstraksi, seperti halnya dengan abstraksi peta kasus umum.
Hanya saja, sebuah peta umum lebih menggambarkan karakteristik paling penting dari sebuah
area secara geografis, sementara kebudayaan hanya mengacu pada aspek-aspek yang sangat
siginifikan terhadap perilaku manusia. Tentu saja, setiap ahli budaya tertarik lebih dari sekedar
karakter pokok dari kebudayaan.

Ketika seorang ahli budaya melukiskan sebuah peta kebudayaan, ia tertarik dalam
pengkarakterisasin sifat sesungguhnya dan tidak akan pernah memperlihatkan kekecualian
dalam sebuah aturan. Maksud dari sebuah peta secara umum adalah menuntun dan
mengarahkan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman manusia terhadap sebuah lokasi.
Untuk melakukan hal ini peta harus akurat dan dibangun secara ilmiah. Sama halnya dengan
keakuratan analisis dari sebuah peta kebudayaan yang memungkinkan manusia menemukan
cara.hidup di sekitar masyarakatnya, mengantisipasi apa yang masyarakat akan lakukan dalam
situasi tertentu dan memahami keanehan upacara-upacara dan tradisi masyarakat yang
bersangkutan. Jadi, peta kebudayaan yang dimakasudkan di sini adalah strategi atau ancangan
hidup (way of life) dan/atau mekanisme adaptasi (copy mechanism) seperti yang diperkenalkan
oleh Kottek (1991: 3)

Tanpa masyarakat sangat tidak mungkin ada kebudayaan, dan tanpa kebudayaan
sangat tidak mungkin manusia mampu bertahan hidup, karena kebudayaan membangun
kemampuan (capacity building). Dalam istilah tradisional kebudayaan adalah alat pemecah
masalah mendasar manusia (means for basic problem), seperti: pemerolehan makanan,
melindungi diri, melahirkan dan membesarkan generasi. Juga sangat tidak mungkin
mempelajari kebudayaan sebagai referensi masyarakat seperti yang dilakukan oleh seorang
arkeolog dengan menganalisis efek-efek benda-benda budaya dari peradaban lama. Harus
dicatat, bahwa tanpa masyarakat memiliki seperangkat ide di dalam kepalanya, tanpa
masyarakat dikembangkan oleh aturan dan nilai sebuah kebudayaan tidak mungk in eksis.

Perdebatan dalam Fisfat Budaya

Arti dari istilah "budaya" sangat diperdebatkan, terutama dalam antropologi (Kroeber dan
Kluckhohn 1952; Baldwin et al 2006). Definisi pertama yang sangat berpengaruh berasal dari
Edward Tylor (1871: 1), bahwa culture is that complex whole which includes knowledge, belief,
art, law, morals, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of
society. Penulis selanjutnya khawatir, bahwa definisi Tylor dikemas terlalu banyak,
menggabungkan barang psikologis (mis., Kepercayaan) dengan item eksternal (mis., Seni).

Baru-baru ini, definisi budaya fokus secara eksternal telah mengambil giliran semiotik.
Menurut Geertz (1973, 89), culture is an historically transmitted pattern of meanings embodied
in symbols. Budaya, pada pandangan seperti itu, seperti teks - sesuatu yang perlu ditafsirkan
melalui penyelidikan simbol. Bagi Geertz, dalam bukunya “thick descriptions” dijelaskan dengan
cukup rinci untuk melacak hubungan inferensial antara kejadian yang diamati. Tidak cukup
untuk merujuk pada ritual yang diamati sebagai pernikahan;

Uraian Geertz dalam bukunya Thick Desricption mungkin tampak bergerak dari fokus
eksternal pendekatan sebelumnya ke arena yang lebih psikologis, namun dia tidak mengambil
interpretasi untuk secara terpusat melibatkan tes psikologis.

Cultural Transmission

Saya kembali pada salah satu kata kunci dari definisi kebadayaan yang yaitu dipelajari dari
generasi ke genarasi. Kebudayaan bukan warisan kebendaan, tetapi hasil dari kesepakatan
masyarakat di mana ego berada. Kebudayaan bukan sebagai hasil dari pembiasaan
11
(habitated) , melainkan dipelajari dari generasi ke generasi (enkulturasi). Manusia sebagai
makhluk sosial mempelajari budaya mereka melalui pengalaman hidup keseharian masing-
12
masing. Setiap orang mempelajari budayanya melalui interaksi sosial (social interaction) di
lingkungannya dan inilah yang disebut sebagai trasmisi budaya (cultural transmission).

Memes dan Epidemiologi Budaya

Ini merupakan sebuah ungkapan, bahwa budaya berubah seiring berjalannya waktu
(cultural evolution). Perubahan seperti itu sering digambarkan di bawah rubrik evolusi budaya.
Berdasarkan pada kata “evplusi” di atas, perubahan budaya bisa menyerupai perubahan
biologis dalam berbagai hal. Perubahan biologis yang dimaksud adalah suatu “sifat budaya”
yang timbul dan kemudian menyebar ke berbagai tingkat. Studi evolusi budaya mengeksplorasi
faktor-faktor yang dapat menentukan sifat budaya mana yang dapat diteruskan.

Boyer (2001) telah menerapkan gagasan ini pada penyebaran keyakinan agama. Cerita
tentang supernatural membangun pengetahuan yang ada. Ia menambahkan variasi yang
membuat mereka mengasyikkan, seperti gagasan seseorang yang bisa bertahan dalam
kematian dan berjalan melewati dinding. Boyer menunjukkan secara eksperimental, bahwa
variasi eksotis seperti itu pada kategori biasa mudah diingat dan menyebar.

Imitation and Animal Culture

Dalam transmisi budaya, sifat yang diperoleh dan dimiliki oleh satu anggota kelompok
sosial berakhir di anggota kelompok lainnya. Untuk menjamin keastian transmisi bdaya, ada
beberapa evolusi mekanisme pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan apa yang dilakukan
individu lain. Mekanisme pembelajaran tradisional (asosiatif, trial, error, pengkondisian) tidak
memadai untuk menjelaskan pembelajaran sosial. Ketika seseorang misalnya, melakukan
perilaku berbudaya di depan orang lainnya, orang tersebut hanya mengaitkan antara perilaku
tersebut dengan modelnya. Kecenderungan manusia untuk meniru dapat membantu
menjelaskan mengapa kemampuan kita untuk belajar sosial jauh melebihi spesies lainnya. Kera
mungkin lebih cenderung meniru daripada meniru (Tomasello 1996).
Biases in Cultural Transmission

Sudah disepakati secara luas bahwa transmisi budaya manusia sering melibatkan tiruan, namun
ada juga bukti bahwa kita tidak meniru setiap perilaku yang kita lihat. Kita meniru beberapa
perilaku yang teramati lebih dari yang lain. Banyak penelitian mengeksplorasi bias yang kita dan
makhluk lain gunakan saat menentukan siapa dan kapan harus meniru.

Bio-cultural Interaction

Transmisi budaya sifat sering dikontraskan dengan transmisi biologis. Dikatakan untuk
melibatkan pengasuhan dan bukan alam. Ahli antropologi menekankan fleksibilitas perilaku
manusia yang meluas dan menganggap transmisi budaya sebagai bukti untuk itu. Ini mungkin
menunjukkan bahwa transmisi budaya beroperasi dengan cara yang independen terhadap
biologi. Tapi ide ini telah ditantang.

Examples of Cultural Influence

Para filsuf telah lama berspekulasi tentang variasi budaya, menimbulkan pertanyaan tentang
apakah orang-orang dalam berbagai budaya berbeda secara psikologis.
BAB VII

Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Aliran ini muncul pada awal abad ke sembilan belas dengan premis-premis empiris dan
menolak premis-premis rasional, yang tidak bisa dibuktikan melalui data-data empiris.
Bahkan, sering didengar pendapat dan dibaca tulisan mengenal pemarginalan filsafat-filsafat
sebelumnya. Bahkan dalam salah satu tulisan, benar-benar kurang setuju bila pembahasan
filsafat nodern dikait-kaitkan dengan filsafat sebelumnya.

Pembahasan tentang filsafat ilmu dalam buku ini tidak priori dan apriori terhadap pendapat di
atas melainkan bertujuan untuk memberi pencerahan kepad pemerhati filsafat, bagaimana
bentuk alur pikiran para filsof.

A. Defenisi filsafat Ilmu


Defenisi filsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan ilmu filsafat adalah berfikir secara
mendalam tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan agama dalam mencari kebenaran sedang
ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang (pengetahuan) yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu dibidang itu.

B. TUJUAN FILSAFAT ILMU


Tujuan Filsafat ilmu sebagaimana yang disebutkan sebagai berikut : Mendalami unsur-unsur
pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan
ilmu. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu diberbagai bidang
sehingga kita mendapatkan gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.

Filsafat ilmu pada masa islam.


Ilmu pengetahuan dan teknologi lahir dari kandungan islam yaitu menemukan metode ilmiah
menjadi kunci rahasia pembuka rahasia alam yang jadi perintis modernisasi eropa dan Amerika.
Percobaan-percobaan yang dilakukan dalam dunia islam mirip dengan percobaan trial and
erorr untuk membuat logam emas yang sangat berharga lahirlah metode kimia (alkimia) dan
penemuan dalam kedokteran ialah salmak dari sini lahirlah pemikir-pemikir dalam islam seperti
Ibnu Sina Ibnu Rusd, al-Rasi.

Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.


Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan
mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus
yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase
sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran
filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase
tersendiri.
C.
A. Tuhan dan Filsafat Ketuhanan
1. Definisi Tuhan

Tuhan dipahami sebagai Roh Maha kuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak ada
kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan
meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain.

Dalam pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala


kejadian di alam semesta. Menurut Deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, namun
tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut Panteisme, Tuhan merupakan alam
semesta itu sendiri. Para cendekiawan menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari
konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antaranya adalah Maha Tahu
(mengetahui segalanya), Maha Kuasa (memiliki kekuasaan tak terbatas), Maha Ada (hadir di
mana pun), Maha Mulia (mengandung segala sifat-sifat baik yang sempurna), tak ada yang
setara dengan-Nya, serta bersifat kekal abadi. Penganut Monoteisme percaya bahwa Tuhan
hanya ada satu, serta tidak berwujud (tanpa materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban
moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan". Banyak filsuf abad pertengahan dan modern
terkemuka yang mengembangkan argumen untuk mendukung dan membantah keberadaan
Tuhan.

2. Filsafat Ketuhanan

Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu
memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang menganut agama
tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di
dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan
pendekatan akal budi tentang Tuhan.

a. Pemikiran Para Tokoh Filsafat Tentang Tuhan

Berikut adalah pemikiran dan pendapat beberapa tokoh filsafat tentang Tuhan :

 Ludwig Wittgenstein

Tuhan adalah dzat transedental yang eksistensi-Nya melampaui seluruh matra materi
duniawi, Dia adalah mystic yang tidak pernah dapat diekspresikan dengan bahasa duniawi.

 Al-Farabi

Tuhan Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa sebab suatu sebab, karena kalau
ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab tergantung kepada-Nya. Ia adalah wujud
yang paling mulia dan yang paling dulu adanya. Karena itu Tuhan adalah zat yang azali (tanpa
permulaan) dan yang selalu ada.

b. Istilah-Istilah Filsafat Ketuhanan

Berikut ini adalah beberapa istilah yang menyangkut tentang filsafat ketuhanan :

 Teodise

Adalah pembenaran ajaran agama tentang kekuasaan dan aturan Tuhan yang
menyangkut masalah penderitaan dan adanya kejahatan dalam berbagai bentuk.

 Theisma

Theisma mempercayai bahwa Theus (penamaan Tuhan dalam bahasa Yunani) itu ialah
awal dan akhir dari segala-galanya.

 Henotheism

Masing-masing dewa memiliki kekuasaannya sendiri-sendiri, misalnya Dewa Matahari


kekuasaannya panas. Dewa hujan kekuasaannya air. Ketika musim kemarau orang memuja
Dewa Hujan. Untuk mengambil hatinya, dikatakanlah bahwa Dia-lah yang paling berkuasa,
bahkan satu-satunya Dewa. Ketika musim hujan yang panjang, orang memrlukan Dewa
Matahari. Dikatakan pula bahwa Dia-lah yang paling berkuasa, bahkan satu-satunya Dewa.

 Ketuhanan Maha Tiga (Trinitheisma)

Istilah tersebut terkenal dalam agama Hindu dengan Trimurti, dalam agama nasrani
Trinitas atau Tritunggal. Trimurti lahir dari Politheisma. Dari sekian banyak dewa, suatu ketika
muncul tiga dewa yang dipandang paling berkuasa atau paling diperlukan. Dalam agama Hindu
Purana muncullah Brahman (Dewa yang mencipta), Wisynu (Dewa yang memelihara
ciptaan Brahman), dan Syiwa (Dewa yang merusak, melenyapkan apa yang dicipta
Brahman dan dipelihara oleh Wisnu.

 Monotheisma Murni

Tuhan itu esa dalam jumlah, sifat dan perbuatan. Tuhan memiliki sifat satu-satunya,
tidak ada duanya. Tiap sifat yang ditemukan pada alam, bukan sifat Tuhan. Tiap bentuk atau
rupa yang ditemukan dalam alam (termasuk dalam alam imajinasi pikiran manusia), bukan
bentuk atau rupa Tuhan.

3. Sifat dan Hakikat Tuhan Dalam Islam


Keberadaan Tuhan telah diyakini oleh sebagian besar umat manusia. Namun masih terdapat
sekelompok kecil dari mereka yang merasa Tuhan itu tidak ada. Dalam islam, bukti-bukti
mengenai eksistensi Tuhan telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Diantaranya:

 Surat An-naziat 17-23

“Kamukah yang lebih sulit menciptakannya atau langit yang dibangunnya ?” (27)

“Ditinggikan-Nya dan diatur-Nya dengan sebaik-baiknya.”(28)

“Dan dijadikan-Nya malam gelap-gulita dan siang terang cuaca.”(29)

“Dan bumi sesudah itu dikembangkan-Nya”(30)

“Dikeluarkan-Nya dari situ airnya dan padang rumputnya”(31)

“Dan gunung-gunung diletakkan-Nya dengan teguh.”(32)

“Keperluan untukmu dan binatang ternakmu”(33)

 Surat Al-Ikhlash 1-4

“Katakanlah : Allah itu Esa.”(1)

“Allah itu tempat untuk meminta.”(2)

“Tiada beranak dan tiada diperanakkan (beribu-bapak).”

“Dan tiada seorang pun yang serupa dengan dia.”

 Al-An’am ayat 3

“Dan Dia Allah Penguasa di langit dan di bumi, mengetahui rahasiamu dan yang kamu
terangkan, dan mengetahui apa yang kamu usahakan.”

4. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Apakah konsepsi tentang tuhan itu mungkin? Karena bangunan konseptual pemikiran
terdiri atas definisi-definisi yang jelas atas berbagai faktor, yang kemudian dirangkai dalam
suatu pengertian yang sistematik, koheren dan konsisten. Apakah definisi tentang tuhan itu
juga ungkin? Padaha tuhan tidak terbatas, mutlak dan ghaib.

Secara keilmuan, tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi kajian ilmu, karena kajian
ilmu selalu parsial, terukur dan terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang pada
labolatorium percobaan keilmuan. Dengan demikian, kehendak untuk membuktikan adanya
tuhan melalui pendekatan ilmu, akan mengalami kegagalan karena sudah sejak awal tidak
benar secara metodologis.
Al Qur’an menggambarkan pencarian tuhan dengan menunjuk salah satu faktor alam
yang dianggap layak sebagai tuhan, digambarkan dalam logika Nabi Ibrahim mencari tuhan-Nya.
Al Qur’an 6:76-79 menegaskan :

Artinya : “Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
"Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada
yang tenggelam” (76).

5. Cakupan Kajian Ketuhanan

Dalam membahas ketuhanan, setidaknya ada 5 hal yang harus dicakup, antara lain :

 Wujud

Keberadaan dan eksistensi Tuhan adalah masalah yang paling awal dan mendasar.
Percaya atau tidaknya akan adanya Tuhan, pada akhirnya akan mempengaruhi cara dan pola
kehidupan yang dijalani manusia. Beberapa argumen bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan
sebagai berikut :

 Argumen Naqli

Yaitu argumen yang dikemukakan oleh ayat-ayat Al Qur’an atau wahyu Illahi atau segala
informasi yang diyakini berasal dari Tuhan. Beberapa bukti eksistensi Tuhan dalam Al Qur’an
antara lain adalah surat Al Ankabut (29):61 :

“Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka itu: Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi, dan yang memudahkan matahari dan bulan? Sudah tentu
mereka akan menjawab: Allah. Maka bagaimana mereka tergamak dipalingkan (oleh hawa
nafsunya)”.

 Argumen Aqli

Yaitu argumen yang dikemukakan merupakan produk pemikiran rasio akal manusia, sepanjang
yang bisa dipikirkan dan yang mungkin terpikirkan.

Beberapa dalil akal tersebut antara lain adalah :

 Dalil gerak

Ada suatu ujung yang tidak digerakkan dan ujung itu merupakan suatu sumber segala macam
gerakan dan tujuan akhir semua gerakan yang disebut sebagai penggerak yang tidak digerakan.

 Sebab Akibat

Setiap sesuatu tidak lepas dari hukum sebab akibat. Dalam suatu rantai sebab akibat tersebut
harus ada ujung dari pada sebab, yang menjadi sebab utama sekaligus menjadi sumber sebab
akibat dan tujuan dari sebab akibat itu.
 Dalil Wujud

Dalil kejadian bahwa setiap yang ada pasti ada yang mengadakan. Tidak mungkin keberadaan
alam ini tidak ada yang mengadakan. Secara rasio akan meniscayakan adanya wujud yang
pertama yang menjadi asal dan paling fundamental-sejati.

 Dalil Empiris

Bukti-bukti wujud Tuhan secara empiris maksudnya adalah bukti yang didapat dari hasil
pengamatan indrawi secara langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk
manusia itu sendiri.

 Dalil Psikofisik

Argumentasi yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia misteri jiwa atau ruh dapat
mengantarkan kepada keberadaan tuhan, melalui penempaan spiritual, atau juga melalui
fenomena mimpi, sebagaimana yang dialami para Nabi dalam menerima wahyunya.

 Argumen Moral

Argumen tentang nilai baik dan buruk yang ada dalam realitas kehidupan nyata ini. Dalil Moral
menyatakan kebaikanyang dilakukan manusia akan memperoleh keselamatan sebagai
imbalanya. Sebaliknya, siapa yang berbuat kejahatan akan menerima imbalan kesengsaraan dan
penderitaan.

 Dzat Tuhan
Pembahasan tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan pemikiran jernih
dan mendalam. Dengan demikian larangan berfikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak,
namun melihat keadaan pemikiran seseorang.

 Sifat
Membahas sifat tuhan tidak bisa dilepaskan dari dzat, wujudnya dan juga namanya. Sebab sifat
adalah suatu yang melekat pada suatu realitas, yang apabila sesuatu itu lepas maka realitas
telah kehilangan sebutanya. Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu
dikenal, yaitu aliran antrophomorfisme atau disebut sebagai tasybih, yaitu menyerupakan sifat
Tuhan dengan sifat manusia yang dapat dikenali dengan mudah oleh manusia. Sementara yang
kedua teophomorfisme atau tanzih, yaitu ketidakserupaan sama sekali sifat tuhan dengan sifat
manapun mahluknya, dan hanya tuhan sendiri yang tahu hakikat sifatnya.
 Nama-nama Tuhan
Nama adalah sebutan yang bersifat simbol yang dinisbahkan kepada suatu realitas. Nama-nama
tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjukan realitas Tuhan, yang mencakup wujud,
dzat, dan sifat-Nya.

 Af’al, Perbuatan Tuhan


Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan semesta ini.
Perbuatan Tuhan, juga tidak lepas dari maujud, dzat, nama dan sifat-Nya.

B. Kerjasama Ilmu, Filsafat dan Teologi


1. Definisi

Pada tahun tujuh puluhan, sejarah filsafat Barat terbagi dalam kurunkurun waktu yang
kurang lebih jelas dari zaman Yunani kuno hingga perkembangan filsafat kontemporer. Namun
sejak berkembang apa yang disebut posmodernisme, perspektif historis seperti itu mulai
digugat. Kedudukan posmodernisme sendiri tidak jelas. Perspektif historis yang lurus dan
kontinu disangkal dan digantikan dengan cara berpikir pluralis yang bebas.

2. Filsafat dan Teologi

Dalam tradist kristiani, filsafat sangat erat dikeaitkan dengan teologi Sebab "credo ut
intelligam" dan fides quaerens intellectum" nsafut melayani pemahaman iman. Namun, tradisi
memperlihatkan juga bagaimana terutama filsafat humanis dan ilmu-ilmu modern yang empiris-
rastonal menantang pemahaman dan penghayatan iman.

Hubungan filsafat Yunani dengan teologi kristiani merupakan hal yang telah lama
menjadi kepentingan Gereja. Sejak runtuhnya Hellenis- me, filsafat Yunani diselamatkan dan
direngkuh dalam Gereja dan tumbuh berdampingan dengan teologi kristiani. Eratnya hubungan
menandai masa jaya kristianisme pada Abad Pertengahan. Hingga kini, sisa sisa kejayaan itu
masih dilestarikan dalam tradisi kristiani, terutama dalam Gereja Katolik, khususnya dalam
pendidikan klerus, calon imam, para intelektual atau kaumelite. Juga pandangan yang
ditanamkan dengan sangat mendalam oleh alam pikiran abad pertengahan mengenai
kedudukan filsafat sebagai abdi teologi (ancilla theologiae) masih tetap dominan dan belum
banyak berubah.

a. Philosophia Est Ancilla Theologiae


Pertama-tama, pada abad pertengahan, belum dikenal diversifikasi yang sungguh-sungguh di
antara ilmu-ilmu. Pengetahuan alam sudah diperkenalkan oleh Aristoteles, namun ilmu-ilmu
empiris belum memperlihatkan perkembangan yang berarti. Pengetahuan manusia lebih
banyak bersifat visioner dan normatif yang memberi tuntunan bagaimana berkehidupan yang
baik. Metafisika memberi gambaran mengenai dunia, kosmos, dan manusia pelan-pelan
digantikan oleh berbagai macam cabang filsafat yang lebih terperinci. Namun, pengetahuan-
pengetahuan yang konkret biasanya bersifat keterampilan, untuk menjalankan pekerjaan.
Artes liberales misalnya yaitu pengetahuan bebas dan membebaskan, yang lazim
dipelajari di sekolah-sekolah (elite), adalah ilmu-ilmu (grammatica, dialectica, dan rhetorica)
yang memberikan kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar, serta perhitungan-
perhitungan dasar dan pengetahuan alam (arithmetica, geometria, musica, dan astronomia)
untuk memecahkan soal.

Ketika pada tahun 529, Akademi Plato di Athona ditutup oleh Kaisar Yustinianus (tanda
berakhirnya Hellenisme, para filsuf Yunani mening galkan Eropa, sebagian lari ke Damaskus,
sebagian lagi ke Aleksandrisa situ, banyak karya filsafat Yunani klasik disalin dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Banyak di antara para filsuf menjadi Kristen dan memperkembangkan
filsafat dalam kerangka pengajaran dan ajaran kristiani. Dalam arti ini, filsafat Yunani
berlangsung terus dalam pemi kiran kristiani. Pandangan-pandangan Plato dan Neoplatonisme
diadopsi dan disesuaikan dengan kepentingan refleksi dalam Gereja. Dalam teologi, terdapat
semacam devosi dan rasa hormat yang mendalam ter hadap pemikiran filsafat, namun jerih
payah pemikiran akhirnya dituju kan untuk memperjelas iman dan untuk meneguhkan teologi
supaya wahyu Allah sampai pada manusia.

3. Ilmu Pengetahuan Modern

Pada abad keenam belas, lahirlah ilmu-ilmu modern terutama ilmu- ilmu alam yang
memisahkan diri dari model pengetahuan klasik me- tafisik, dan memperlihatkan sifat-sifat yang
sangat berbeda dari penge- tahuan filosofis maupun teologis. Ilmu-ilmu alam tidak bicara
mengenai Allah dan malaikat atau mengenai hal-hal yang menyangkut transen densi atau
eskatologi. Ilmu-ilmu itu meneliti alam duniawi yang dapat disentuh dan dirasakan dengan
mengemukakan bukti-bukti objektif materiil yang diuji dalam eksperimen di laboratorium, atau
dengan me ngemukakan evidensi yang bisa disaksikan langsung dari peristiwa alam. Pelan-pelan
tetapi pasti pengetahuan tidak lagi disebut disciplina yang bernuansa normatif dan praktis
dalam kehidupan, melainkan scien tia yang objektif, netral, dan rasional.

Sekarang kita sadar bahwa ilmu-ilmu alam ini sebenarnya tidak pernah melawan
pengetahuan suci yang diteguhkan oleh dan dalam teologi, namun kategori kebenaran yang
dicanangkan memang berlain an. lmu-ilmu alam, sciences, dalam pemahaman para ilmuwan
peng anut bukanlah pengetahuan visioner atau normatif. Ilmu-ilmu ini bercita-cita untuk
memaparkan data netral mengenai alam semesta, apa adanya, menurut cara pandang yang
dipandang objektif dan materiil, dibantu oleh peralatan makin canggih dan perkakas ilmiah.
4. Filsafat, Humanisme dan Humanities

Filsafat berkembang menjauh dari teologi juga karena mengikuti arah pemikiran
humanisme. Humanisme yang berpengaruh dalam fils:a fat berawal dari budaya lahirnya
kembali re-naissance) kebudayaan Yunani dan Romawi kuno dalam peradaban Eropa abad
kelima belas dan keenam belas, Memang, humanisme sebagai budaya untuk memanusiakan
manusia tidak terbatas pada budaya renaisans, juga tidak secara khusus terdapat dalam budaya
Roma atau Yunani. Dalam budaya Repu blik Roma kuno, isu “kemanusiaan”.

Ketuhanan bukan lagi pokok perhatian atau dasar pemikiran filsa fat. Meskipun ada
filsuf yang tetap setia memasukkan isu ketuhanan dalam pemikirannya, namun in practico isu
ketuhanun adalah fakultatif, relatif. Agama adalah sikap masing-masing orang, bukan lagi
urusan publik atau isu sosial yang mesti diperhatikan bersama. “Humanisme” menjadi label
yang diperebutkan banyak pihak; ada humanisme ateis, humanisme Marxis, humanisme
eksistensialis, humanisme religius, dan humanisme sckuler; dalam semuanya, kehidupan
manusia nyata men jadi pokok perhatian.

5. Sketsa Perjalanan Teologi

Mulai pada akhir Abad Pertengahan, filsafat dan teologi berjalan sendiri-sendiri. Teologi
menentang gaya pikir ilmu modern dan menolak hasil penemuannya, sementara filsafat
sekurangkurangnya untuk beberapa waktu-justru mengacu pada cara kerja ilmu baru. Akhirnya,
ternyata juga bahwa cara kerja ilmu baru tidak cocok untuk pengetahuan visioner seperti
teologi dan filsafat sebab cakupan filsafat lebih luas dari ilmu-ilmu alam. Seharusnya filsafatlah
yang memberi dasar-dasar pem benaran ilmu, bukan sebaliknya. Kesadaran ini mengantarkan
filsafat pada perkembangan baru, mula-mula dalam bentuk filsafat-filsafat ilmu (yang dirintis
oleh Kant). Pada abad kedua puluh, filsafat berkembang dalam filsafat bahasa dan
hermeneutika. Di zaman mutakhir ini, filsafat pun surut dariotoritasnya untuk membenarkan
atau menyalahkan, me ngukuhkan atau memberi dasar, dan mencukupkan diri dengan menaf
sir dan menerangkan apa saja yang pernah menjadi ungkapan manusia.

Demikian pula teologi Abad Pertengahan berlangsung dalam suatu kesatuan


kepercayaan dan nilai nilai: Anselmus dari Canterbury (tl109) dan Abelardus (t1124), Thomas
dari Aquino dan Bonaventura, Duns Scotus (1308) dan William dari Ockham menggunakan
metode berteologi yang berbeda-beda; mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda
(bahkan berlawanan); namun mereka berteologi dalam model penafsiran fundamental yang
sama. Paradigma reformatoris membedakan teologi Martin Luther (t1546), Huldrych Zwingli
(t1531), dan Jean Calvin (+1564) melawan model penafsiran teologi Katolik Roma; dan model
penafsiran Katolik Roma pada gilirannya berbeda dari paradigma penaf siran iman dalam Gereja
Ortodoks. Di bawah pengaruh filsafat rasional isme dan empirisme dan perkembangan ilmu-
ilmu, teologi reformatoris (biarpun terpecah-pecah dalam berbagai aliran) dikembangkan dalam
suatu arus pemikiran yang sama oleh tokoh-tokoh seperti Herman Remarus ( t1768 ) , Johann
Semler ( # 1791 ) , Friedrich Schleiermacher (1834), Ferdinand Baur (1860), Albrecht Ritschl
(+1889), Adolf Harnack (1939), dan Ernst Troeltsch (1923).

C. Virtue Theory
Aristotle (384–322 BC) was a scholar in disciplines such as ethics, metaphysics, biology
and botany, amongst others. It is fitting, therefore, that his moral philosophy is based around
assessing the broad characters of human beings rather than assessing singular acts in isolation.
Indeed, this is what separates Aristotelian Virtue Ethics from both Utilitarianism and Kantian
Ethics.

1. Explanation

According to Aristotle, virtues are character dispositions or personality traits. This focus
on our dispositions and our character, rather than our actions in isolation, is what earns
Aristotelian Virtue Ethics the label of being an agent-centred moral theory rather than an act-
centred moral theory.

Aristotelian Virtue Ethics is an agent-centred theory in virtue of a primary focus on


people and their characters rather than singular actions. For Aristotle, morality has more to do
with the question “how should I be?” rather than “what should I do?”

Aristotle refers to virtues as character traits or psychological dispositions. Virtues are


those particular dispositions that are appropriately related to the situation and, to link back to
our function, encourage actions that are in accordance with reason. Again, a more concrete
example will make clear how Aristotle identifies virtues in practice.

1. Analysis the Theory of Virtue : Nicomachean Ethics books I to IV

The Nicomachean Ethics advances an understanding of ethics known as virtue ethics because of
its heavy reliance on the concept of virtue. The word we translate as virtue is aretê, and it could
equally be translated as “excellence.” Something has aretê if it performs its function well.
Moral virtue is simply a matter of performing well in the function of being human. For
the Greeks, the motivation for being good is not based in a divine legislator or a set of moral
dos and don’ts but rather in the same kind of striving after excellence that might make an
athlete train hard. The Greek word ethos, from which we derive the word ethics, literally means
“character,” and Aristotle’s goal is to describe what qualities constitute an excellent character.

2. Eudaimonia

Aristotle calls happiness an “activity,” which distinguishes his conception of happiness


both from our modern conception of happiness and from virtue, which Aristotle calls a
“disposition.” We tend to think of happiness as an emotional state and hence as something
we are, rather than as something we do. The Greek word generally translated as “happiness”
is eudaimonia, and it can equally be rendered as “success” or “flourishing.” People who
are eudaimon are not in a particular emotional state so much as they are living successfully.
While happiness is the activity of living well, virtue represents the potential to live well.
Excelling in all the moral virtues is fine and good, but it doesn’t ensure our happiness unless we
exercise those virtues. Courageous people who never test their courage by facing down fear
have virtue, but they are not happy. Aristotle illustrates this distinction between happiness and
virtue by saying that the best athletes

only win at the Olympic Games if they compete. A virtuous person who does not exercise virtue
is like an athlete who sits on the sideline and watches. Aristotle has a proactive conception of
the good life: happiness waits only for those who go out and seize it.

D. Aristotle’s Ethical NaturalismOn Technical Mediation

Technical mediation has become a key concept in contemporary philosophy of technology,


for example in What Things Do by Verbeek (2005). Technical mediation denotes for Verbeek
that human existence is always intertwined with technology. ‘How the world appears to
humans’ and ‘how humans act in the world’ (perception of the world and action in the world) is
always to smaller or larger degree being constituted and transformed by technologies.
Verbeek’s practice oriented philosophy of technical mediation was framed in discussion with
the rather hostile critiques of technology by scholars such as Heidegger (1977), Jaspers (1931)
and Ellul (1964). Their critiques search for the essence of technology, beyond merely
investigating the adventures with concrete technologies.
Verbeek rejects this approach, that he terms transcendentalist, or backward looking. In
a backward looking approach phenomena and events are investigated by revealing the
conditions behind the diversity of phenomena of the sensible world. As a result of this method,
according to Verbeek, too often new technological phenomena are identified with the
conditions already revealed. A new technology and its effects on humans then appears too
easily as another confirmation of the theory about the essence of technology. This approach is
blind towards effects that differ from the assumed essence of technology. The result often was
a biased (univocal and too exclusively negative) view of concrete technologies.

1. Philosophy
The straight lines of philosophy are of no use when it is the crooked labyrinth of
machinery and machinations, of artifacts and daedalia. We have to explore. To cut a hole at the
apex of the shell and weave my thread, I need to define, in opposition to Heidegger, what
mediation means in the realm of techniques.

For Heidegger, a technology is never an instrument, a mere tool. That mean that we
have ourselves become instruments for no other and then instrumentality itself. Man-no
Woman in Heidegger- is possessed by technology, and it is a complete illusion to believe that
we can master it. We are, on the contrary, framed by this Gutell.

The key to this sort of naturalism is the notion of teleology. It is assumed that every species of
living being has a characteristic, objectively observable mode of life, and the function of their
psychological and physical faculties is the unimpeded expression of this mode of life. Aristotle
believes that we have both rational and irrational psychological faculties and he defines
psychological health in terms of the unimpaired functioning of the rational faculty and the
perfect obedience of the irrational faculty to the rational faculty. Of the rational faculties, one is
practical and another is theoretical. The excellence or virtue of the practical rational faculty is
called practical wisdom. The excellence or virtue of the irrational faculty in obeying the
commands of the practical rational faculty is called virtue of character.

2. Sociology

Stanley Kubrick, in 2001: A Space Odyssey. Offers us a modern myth as powerful as that
Daedalus. Unidentified extraterrestrial minds have sent to the primeval earth a huge black box,
a monolith, which a band of screaming monkeys now cautiously has been explore. The film does
not indicate what the properties of the box are (apart from blackness as opaque as the
genealogy of techniques I am trying to fathom here), but the box has a mysterious effect on the
apes.
The Promethean ape, thrilled by this invention and sudden change in the fortunes of
war, launches the bone into the sky; the bone whirls around, then-again, suddenly-becomes a
vast futuristic station, slowly turning on itself in thee depth of space. From tools to high
technology, millions of years are summarized in one beautiful cue. It designates,

first, a subprogram, it means that we have to deviate for a moment from the main
task and that we will eventually resume our normal course of action, which is the only
focus worth our attention. Second, technical designates the subordinate role of people, skills,
or objects that occupy this secondary function of being present, indispensable, but invisible. It
thus indicates a specialized and highly circumscribed task, clearly subordinate in a hire archly.
Third, the adjective designates a hitch, a snag a catch, a hiccup in the smooth functioning of the
subprograms, as when we say that "there is a technical problem to solve first."

The fourth meaning carries with it the same uncertainty about what is an end and what
is a means. Daedalus the perverse, and Hephaiscos the limp- ing god, are good illustrations of
the meaning of technical. So the adjective technical has a useful meaning that maps in the
language the three first types of translation chat I defined above. Technical skill is not a thing
we can study directly. We can only observe its dispersal among various types of acrants. For
instance, one could automate noc only the uptake of liquid but its release, and there exist
now in biological laboracories many pipetting robots. When we talk about something
technical, we calk about displacement, conflicts, re- placement, unskilling, deskilling, and
reskilling; never about a mere "thing." Technical skill is nor uniquely possessed by humans
and reluccancly granced co nonhumans. Skills emerge in the zone of transaction, chey are
properties of the assembly that circu- late or are rediscribuced among human and nonhuman
technicians, enabling and au thorizing chem co act.

Critical theory is unable to explain why artifacts enter the stream of our relations, why
we so constantly recruit and socialize nonhumans. It is not to mirror, inscribe, or hide social
relations, but to remake them through fresh and unexpected sources of power. Society is not
stable enough to inscribe itself in anything.
Society is not stable enough to inscribe itself in anything.

3. Genealogy
Technical mediation-which we are now prepared to summarize: Technical action is a
form of delegation that allows us to mobilize, during interactions, moves made elsewhere,
earlier, by other acrants. It is the presence of the past and distant, the presence of nonhuman
characters, that frees us, precisely, from interactions (what we manage to do, right away, with
our humble social skills).
The traditional definition of technique as the imposition of a form consciously planned
into shapeless matter should be replaced by a view of technique-a more accurate view-as the
socialization of nonhumans.
If anything, the modern collective is that in which the relations of human and
nonhuman are so intimate, the transactions so many, the mediations so convoluted, that there
is no plausible sense in which artifact. Corporate body and subject can be distinguished. In
order to take account of this symmetry between humans and nonhumans, on the one hand,
and this continuity between traditional and modern collectives, on the other, social theory must
be somewhat modified. It is a commonplace, in critical theory, to say that techniques are social
because they have been socially constructed. But this pronouncement is vacuous if the
meanings of mediation and social are not made precise.

4. Political Ecology (Level 11)

Lawyers,activists,ecologists,businessman,political philosophers are now seriously


talking,in the context of our ecological crisis,of granting to nonhumans some sort of rights and
even standing in court. Not so many years sgo,contemplating the sky meant thinking of
matter,or of nature. These days,we look up at a sociopolitical imbroglio,since the depletion of
the ozone layer brings together a scientific controversy, a political dispute between North and
South,and immense strategic changes in industry.

5. Technologies (Level 10)


Definition of technologies is itself due to the crossover between a previous definition of society
and a particular version of what a nonhuman can be.

6. The network of power (Level 9)


Organizations, however, are not purely social, because they themselves recapitulate
nine prior crossovers of humans and nonhumans. The extension of networks of power in the
electrical industry, in telecommunication, in transportation, is impossible to imagine without a
massive mobilization of material entities. Hughes's book is exemplary for students of
technology because of it shows how a technical invention (electrical lighting) led to the
establishment (by Edison) of a corporation of unprecedented scale, its scope directly related to
the physical properties of electrical networks
7. Industry ( Level 8 )
Nonhumans have this capacity when part of the assembly of actants that we call a
machine: an automaton endowed with autonomy of some sort and submitted to regular laws
that can be measured which instruments and accounting procedures. the modernist project
consist in creating that peculiar hybrid: a fabricated nonhuman that has nothing of the
character of society and politics yeT builds the body politic all the more effectively because it
seems completely estranged from humanity. Antropologi is the modern world that we can
overlook the strange and hybrid quality of matter as it is seized on and implemented by
industry.the eighth meaning of the word sociotechnical, though it seems to designate an
unproblematic industry,, dominating mAtter through machinery', is the strangest sociotechnical
imbroglio. matter is not a given, but a recent historical creation.

8. The Megamachine (Level 7)


Genealogy through earlier and more primitive meanings of the term sociotechnical. Mr.
ford's hypothesis is debatable, to say the least. when our context of discussion is the history of
technology; but the hypothesis makes excellent sense in the context of my genealogy. Before it
is possible to delegate action to nonhumans, and possible to relâte nonhumâns to one another
in an automaton, it must first be possible to nest a ranÉïe of subprograms for action into one
another without losing track of them. Management, Mumford would say, precedes the
expansion of the material techniques.

9. Internalized Ecology (Level 6)


The mega machine seems pure and even final form, comprised entirely)' of social
relations; but, as we reach layer six and examine what underlies the mega machine, we lind the
most extraordinary extension of social relations to nonhumans: agriculture and the
domestication of animals. The intense social-ration, re-education, and reconfiguration of plants
and animal that they change shape, function, and often genetic makeup is what I mean by the
term internalized ecology. In order to enroll animals, plants, proteins in the emerging collective,
one must first, endow them with the social characteristics necessary for their integration. This is
a shift of characteristics results in a the man-made landscape for society (villages and cities) that
completely alters what was until then meant by social and material life.

10. Society ( Level 5 )


In the Durkheimian interpretation, a society is in indeed: it precedes individual action,
lasts very much longer than any interaction does, dominates our lives that in which we are
born, live, and die. It is externalized, reached, more real than ourselves, hence the origin of all
religion and sacred ritual, which, for Durkheim. 2rre nothing but to-re return, through
{iguracion and myth, of what is transcendent to individual interactions.

11. Techniques ( Level 4 )


Techniques, we learn from archaeologists' are articulated subprograms for actions that subsist
(in time) and extend (in space). Techniques imply not society (that late-developing hybrid) but a
semi social organization that brings together nonhumans from very different seasons, places,
and materials. A bow and arrow, a javelin, a hammer, a net, an article of clothing are composed
of Parts and pieces that require recombination in sequences of time and space that bear no
relation to their natural settings.

12. Social Complication ( Level 3 )


At this stage there is no society, no overarching framework, no dispatcher of roles and
functions; merely interactions among prehumans. Nonhumans stabilize social negoriations.
Nonhumans are ar once pliable and durable; hey can be shaped very quickly but, once shaped,
lasr far longer than the interactions that fabricated them. Social interactions are extremely
labile and transitory.

13. The Basic Level Tool Kit ( Level 2 )


The tools themselves, wherever they came from, is our only witnesses for hundreds of
thousands of years. Many archaeologists proceed on the assumption that the basic tool kit (as I
call it) and techniques are directly related by an evolution of tools into composite tools.Many
social theorists presume there to be, from social the complication to society, mega machines,
networks. Finally, there is nor a ser of parallel histories, the history of infrastruccure and the
history of the superstructure, but only one sociotechnical hisrory.

14. Social Complexity (Level 1)


This is the level of Clairborne, Niva, and Crook, the Machiavellian primates. Here they
engage in Garfinkelian interactions to repair a constantly decaying social order. They
manipulate each another to survive in groups, each group offense-civics in a state of constant
mutual interference.Convincible the impossibility ofan artifact that does not incorporate social
relations, and makes con-ceivable the impossibility of defining social structures without
accounting for the large role of nonhumans in them. Second, and more importantly, the
genealogy demonstrates that it is false to claim,as so many do, that once we abandon the
dichotomy between society and techniques,we are laced with a seamless web of factors in
which all is included in all.
E. Concept Of Eric Margolis and Stephen Lawrence
1. Concept

As a result, all of science, literature, and the arts - as well as everyday thought can be seen
to stem from the astounding expressive power of the human conceptual system. Given the
foundational role that concepts have for understanding the nature of cognition, it's not possible
to provide a theory of concepts without taking sides on a number of fundamental questions
about the mind. In order to keep the discussion, focused and manageable it will be necessary to
make certain assumptions about matters that remain controversial both within the philosophy
of mind in general and within the theory of concepts in particular.

a. Classical Theory

Appreciating the motivations for the Classical Theory and its pitfalls is essential to
understanding work on the nature of concepts. Concepts are complex mental representations
whose structure generally encodes a specification of necessary and sufficient conditions for
their own application. Example, the concept of bachelor. The idea is that bachelor is actually a
complex mental representation whose constituents are unmarrted and man.

The Classical Theory offers an elegantly unified account of reference determination,


categorization, and learning.

As attractive as it may be, the Classical Theory has few adherents today:

 There are few, if any, viable cases where a concept can be said to have been defined. In
fact, the failures of this research program are notorious.
 Because of its commitment to definitions, it is also committed to a form of the analytic
or synthetic distinction -a distinction which, in the wake of Quine's famous critique, is
thought by many philosophers to be deeply problematic.
 Classical Theory just is a form of the description theory, only it holds at the level of
concept not words.
 Definitions are very hard to come by.
 They don't have any psychological effects.
 Can’t explain any of the most significant psychological facts that are known about
concepts.
 Not equipped to explain how the reference of a concept is determined.

Philosophical investigations; ordinary concepts don't seem to be any more definable than
philosophical ones. While definitions are indeed hard to come by, this doesn't necessarily mean
that there aren't any. Perhaps definitions are tacit and so not easily accessible to inuospection
(see, e.g., Rey 1993; Peacocke 1998). However, that if a concept has a definition; this definition
will strongly constrain theoretical developments in science and place a priori limits on what we
are capable of discovering about the world. A definition may appear to capture the structure of
a concept, but the appearance may only be an illusion which later discoveries help us to see
beyond. The philosophical considerations weighing against the Classical Theory are impressive.

b. Prototype Theory

Gave up on the idea that a concept's internal structure provides a definition of the
conceptual Instead, the Prototype Theory adopted a probabilistic treatment of conceptual
structure. According to the Prototype Theory, most lexical concepts are complex mental
representations whose structure encodes not defining necessary and sufficient conditions, but,
rather, conditions that items in their extension tend to have.

According to the Prototype Theory concepts, by and large, lack definitional structure; they
have prototype structure instead. The way the theory is generally understood, it takes
categorization to be a feature-matching process where an exemplar or individual is compared
to a target category for how similar they are. Prototype Theory has tremendous psychological
advantages. Typicality effects are a variety of psychological phenomena connected to the fact
that people willingly rate subcategories for how typical or representative they are for a given
category. Typicality effects are a variety of psychological phenomena connected to the fact that
people willingly rate subcategories for how typical or representative they are for a given
category.

Advantages of the prototype theory are that it doesn't require that concepts have definitions.

a. Problem of the Prototype Theory


 Subject to the problems of ignorance and error. People can possess a concept
and yet have erroneous information about the items in its extension or lack a
sufficient amount of correct information to pick them out uniquely.
 Many concepts simply lack prototypes.
 The third problem is that prototypes don't appear to compose in accordance
with the principles of a compositional semantics (see Fodor 1998; Fodor and
Irpore 1996).

The problem that prototypes are not suited to determining reference. They could maintain,
instead, that a concept's prototype is a crucial part of its structure, but that there is more to a
concept than its prototype.

c. Dual Theory (Theory Theory)


A concept has two types of structure , one type constitutes the concept’s “core" and the
second its "identification procedure" (Osherson and Smith l98l; Smith et al. 1984; Landau L982).

Prototypes are supposed to be confined to identification procedures. They account for quick
categorization processes as well as all of the typicality effects. On the other hand, cores are
supposed to have some other type of structure that accounts for reference determination and
is responsible for our most considered categorization judgments - the default view being that
cores exhibit classical structure.

2. Theory were combined with prototype theory

The resulting version of the Dual Theory would seem to have considerable promise. Cores with
theory structure would seem to be a vast improvement on cores with classical structure. The
first problem is one that has already cropped up, so it shouldn't be much of a surprise (the
problem of reference determination); the other problem is new (the problem of stability). The
alternative suggestion is that people need only have similar concepts.

a. Eric Lormand (1996) Lormand claims that even a completely holistic theory of
content needn't have any difficulties with stability in other words, stability isn't
supposed to be a problem even for a theory that claims that any change in the
total belief system changes the content of every single belief. The trick to
establishing stability, Lormand claims, is the idea that a given symbol has
multiple meanings.
b. Paul Churchiand (1998) State-space semantics is a theory of content for neural
networks where content i, srrpposed to be holistic. To a first approximation, the
content of an activation vector - i.e ., a paftern of activation across an assembly
of nodes in such a network - is supposed to be determined by its position within
the larger structure of the network.
c. Churchland (1984). Imagine a connectionist network with a series of input
nodes, output nodes, and an intermediary set of so-called hidden nodes. Taking
the hidden nodes as specifying contentful dimensions, we can contact a
semantic space of as many dimensions as there are hidden nodes, where points
within the space correspond to patterns of activation across the hidden nodes.

F. Philosophy Jagged Worldviews


1. History

Australian Aborigines migrated from somewhere in Southeast Asia. Approximately


40,000 years ago. Then, all of the continents had been occupied, and Tasmania became an
island when the sea levels rose, thus, isolating the Aboriginals from the mainland. The
Europeans then settled in 1780, it has been said that the colonization was driven by the need to
overcome the overcrowding prison issues in the Europe. The colonization created a new
dominant society. By the time when Europe first had a contact with the Aboriginals, it is
estimated that between 315,000 to 750,000 people lived in Australia in diverse groups, but,
then in the early 1900s, it was commonly believed that the Aboriginals were leading towards
extinction due to an outbreak of smallpox.

2. Aboriginal Philosophy
Aboriginal society has operated on a core set of values, beliefs and customs that are
complex, in which it forms the basis for religious practice and ways of being and doing. This
philosophy constitutes a set of "truths" for people, so the people will have a parameter or
something to hold on to in matters of knowledge, reality, and cultural practice.

Human culture is learned, shared and complex, it is continually adapting beliefs,


values, attitudes, language, patterns of thought and communication, religion and knowledge
as well as tools and technology. Adaptation is a human way to respond to changes in the
environments in which they live. Aboriginal society has never been static because everything is
in constant motion, but it has been essentially non-materialist and extremely conservative of
the environment. Constant motion, as manifested in repetitive patterns, emphasizes on
process, as opposed to product.

3. The concept of the Dreaming


Aboriginal religious philosophy is called by the term “The Dreaming”. It is the period
in which life was created according to Aboriginal culture. It explains how life was created,
about the stories and beliefs behind life’s creation. In this concept, all living things were
either the ancestors themselves, or were made by the ancestors.

This concept has connected Aboriginal people inextricably to the land and all of creation which
made it also has a role as the Aboriginals’ guide of living, it commands the rules of being in
Aboriginal culture, and it contains a set of obligations and cultural practices that ensured the
conservation of the natural world.

4. Values and Customs


The value strength speaks to the idea of sustaining balance. If a person is balanced,
then they are in a position to fulfill their individual responsibilities. The value strength also
brings out other values such as independence and respect. Independence means being
generalist, which means knowing a little bit about everything. Independence manifest itself in
not asking any help when in trouble because they do not want to disturb other people. And
respect manifests itself in the ethic of noninterference. Noninterference is to respect for others
wholeness, totality, and knowledge.

Kindness is a value that revolves around notions of love, easy-goingness, praise, and
gratefulness. If love and good feelings pervade the group, then balance, harmony, and beauty
result. If individuals are appropriately and immediately given recognition for upholding
strength, honesty, and kindness, then the good of the group will continue to be the goal of all
members of society.Understanding the four petals of the flower which is strength, sharing,
honesty, and kindness that interrelated demonstrates why collective decision making was and is
such an important Aboriginal custom.

5. Eurocentric Values
In contrast to Aboriginal value systems, one can summarize the value systems of
Western. Europeans as being linear and singular, static, and objective.

 The linearity manifests itself in terms of a social organization that is hierarchical in


terms of both structure and power.
 Singularity manifests itself in the thinking processes of Western Europeans in concepts
such as one true god, one true answer, and one right way.
 The static way of thinking is probably best exemplified by the experimental approach in
science, in which an observation is attempted in isolation and in artificial environment.
 Objectivity is a process that has its base in physical observation and measurement. Even
though observation and measurement are both necessary to science, measurement is
stressed and emphasized. If something is not measurable, then it is not scientific.
Every society has many deep-rooted and implicit assumptions about what life and reality are all
about. These assumptions are the guidelines for interpreting laws, rules, customs, and actions.
Those assumptions make them hard to appreciate an alternative way of thinking and behaving.

6. Aboriginal and Eurocentric Contrasted


Aboriginal cultures attempt to mould their members into ideal personalities.The ideal
personality is one that shows strength both physically and spiritually.

 A person who generous and shows kindness to all


 A person who puts the group’s needs ahead of individual wants and desires
 A person who as generalist, knows all the survival skills and has wisdom
 A person who steeped in spiritual and ritual knowledge
 A person who in view of all these expectations
 A person who attempts to suppress inner feelings, anger, and disagreement with the
group
 A person who expected to display bravery, hardiness, and strength against enemies and
outsiders
 A person who adaptable and takes the world as it comes, without complaint
In Aboriginal societies, diversity is the norm, so deviation from acceptable behavior is
minimized.

7. Jagged Worldviews
Colonization made Aboriginal people's worldviews shatter. By force, terror, and
educational policy, it attempted to destroy Aboriginal's worldview - but failed. Instead,
colonization left a legacy of jagged worldviews among Indigenous people. They no longer had
an Aboriginal world view, nor did they adopt a Eurocentric worldview, they decide their own
worldview.
2.

A. Hubungan Tiap Sumber Bacaan

Disini disimpulkan bahwa pada sumber bacaan buku filsafat dan makalah setiap
kelompok memiliki hubungan yang sejalan di mana objek kajian utamanya adalah filsafat.
Filsafat sebagai induk dari segala ilmu mempunyai peranan yang mendasar dalam
pengembangan tiap sub ilmu yang ada. Dalam sumber bacaan buku filsafat menerangkan
bahwa filsafat ilmu memiliki masing-masing objek kajian yang berbeda-beda. Telah diketahui
sebelumnya bahwa filsafat ilmu dan filsafat tidak dapat dipisahkan. Sebagai sebuah disiplin
ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus
yaitu ilmu pengerahuan yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu. Dan bertujuan sebagai
sebuah penilaian terhadap segala pandangan yang berdasarkan pada proses pemikiran
ilmiah. Materi yang diberikan pada makalah tiap kelompok memiliki hubungan yang sejalan.
Kedua material menjelaskan bahwa filsafat bukan hanya membahas mengenai sosial, sains
dan budaya melainkan filsafat dapat mencapai segala aspek kajian teori. Maka dari itu
filsafat terkenal dengan sebutan mother of all knowledge.

B. Hubungan materi II
Tidak terdapat hubungan antara buku Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar dengan materi
pada buku filsafat dan makalah tiap kelompok. Meskipun budaya termasuk ke dalam filsafat
ilmu, tetapi tidak ditemukan persamaan antar objek kajiannya. Pada buku filsafat, dijelaskan
secara detail mulai dari sejarah filsafat sampai cabang-cabang ilmunya yang memperlihatkan
bahwa kajian filsafat sangatlah luas. Begitu juga dengan makalah tiap kelompok yang telah di
diskusikan. Pada makalah tiap kelompok, materi yang dibahasa merupakan cabang-cabang
dari filsafat ilmu.
3.

Simpulan Keseluruhan Materi

Tiap Pertemuan Sejak pertemuan pertama kelas filsafat klasik, dapat penulis simpulkan
bahwa filsafat adalah ilmu yang banyak bertanya. Dalam kajian ilmu ini pemikiranlah yang
berperan sangat penting. Agar bisa menemukan kebenaran yang hakiki, butuh proses pemikiran
yang tidak mudah. Bisa dibilang seorang yang berkecimpung dan mempelajari ilmu ini harus
mempunyai keselarasan terhadap manusia, tuhan, dan ciptaannya yang lain karena filsafat tidak
hanya berfokus pada satu bidang ilmu. Melainkan filsafat dapat mencapai segala cabang ilmu
pengetahuan. Filsafat juga membahas etika. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki
fitrah yang harus dijunjung tinggi dimana fitrah berarti kondisi penciptaann manusia yang
mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran.

Timbulnya perasaan kagum terhadap alam, manusia mulai meletakkan dasar penemuan
pertama, bagaimana semua itu tercipta? Pertanyaan ini menimbulkan permulaan terbentuknya
suatu kepercayaan pada zaman kuno yang disebut animisme. Manusia yang pada dasarnya
tidak Awesome Surprise Coverage Trials Research Nature Things Events Truth Science Animisme
Dinamisme Sistem kepercayaan Agama pernah puas dengan hal yang telah dicapai lalu
melakukan penelitian lanjutan pada bendabenda mengagumkan yang diciptakan oleh manusia.
Keterkaguman ini menimbulkan adanya kepercayaan dinamisme. Agama yang timbul saat ini
mengalami proses panjang yang disebabkan oleh penalaran manusia. Cogito Ergo Sum, Aku
berpikir maka Aku ada. filsafat senantiasa mengajak manusia untuk terus berfikir dan
menemukan hal-hal baru sehingga dapat menjadi pedoman bagi ilmu pengetahuan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai