Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT ILMU

“JENIS-JENIS PENGETAHUAN, TEORI-TEORI KEBENARAN,


KESALAHAN DAN KEKELIRUAN”
Dosen Pengapun : Wisnu Arditya S.H.., M.kn

Disusun oleh
Sandika Yudatama
( Nim : 10214259 )

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI HUKUM UNIVERSITAS 17


AGUSTUS 1945 BANYUWANGI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Filsafat
Ilmu” ini dengan baik tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas akhir ujian
tengah semester dalam mata kuliah filsafat logika, pada perkuliahan Fakultas Hukum.
Saya menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dosen milenial kami
Bapak Wisnu Ardytia,S.H.,m.kn yang telah memberikan ilmu serta arahan kepada kami
sehingga karya ilmiah ini bisa terselesaikan dengan baik. Kami menyadari bahwa dalam
peulisan makalah ini tidaklah sempurna.
Saya mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya karya ilmiah
lain yang lebih baik di masa yang akan datang. Akhir kata, kami berharap agar karya ilmiah ini
dapat memberikan banyak manfaat.

Banyuwangi, 6 November 2022

Sandika yudatama
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang sejarah pencarian pertanyaan mengenai “Apakah pengetahuan itu?”
sudah dimulai. Pertanyaan ini membuat banyak ahli filsafat mencari arti dari
pengetahuan ini sendiri. Pengetahuan menurut bahasa Yunani berasal dari kata
episteme, yang mempunyai arti kepercayaan yang absolut yang pertama kali di
cetuskan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Meno, Phaedo and Theaetetus.
Menurut Notoatmodjo pengetahuan merupakan hasil dari mengetahui yang didapatkan
setelah melakukan pengendireaan terhadap objek tertentu. John Dewey berpendapat
jika pengetahuan merupakan perkembangan pandangan instrumentalis pragmatis,
dimana kecerdasan dilihat sebgai penyesuaian yang sensitif dan fleksibel dan
sedangkan menurut Tafsir pengetahuan adalah keadaan tahu, semua yang diketahui.
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh
untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus
dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk
pada hukum- hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Plato pernah berkata:
“Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan
Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi
bisa saja berbentuk kekeliruan (keburukan).
Kekeliruan dan kesalahan seringkali umum disamakan artinya. Perbedaan ini
akan jelas jika kedua kata ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Kesalahan, dalam
bahasa Inggrisnya diterjemahkan dengan falsity, menurut bahasa latinnya falsitas;
kesalahan adalah status atau kualitas di dalam hubungannya antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui (Pranarka, 1987). Dengan kata lain,
kesalahan sering juga diartikan sebagai kesesatan berpikir. Kesalahan adalah hasil dari
tindakan keliru.
B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan latar
belakang diatas yakni sebagai berikut:

1. Apakah jenis-jenis pengetahuan ?

2. Apakah teori-teori kebenaran?

3. Apakah teori-teori kesalahan dan kekeliruan?

C. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui jenis-jenis pengetahuan.

2. Mengetahui teori-teori kebenaran.

3. Mengetahui teori-teori kesalahan dan kekeliruan.


PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Pengetahuan
1) Pengetahuan Wahyu
Pengetahuan yang berasal dari atau diberikan Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan bersifat benar selamanya karena berasal dari Tuhan. Tujuannya
agar kebenaran yang berasal dari Tuhan ini dapat diketahui oleh semua
manusia. Contoh:
 Al-Qur’an untuk umat muslim
 Kitab Kejadian untuk umat nasrani
 Bhagui avad-Gita dan Upanishad untuk kaum Hindu

2) Pengetahuan Intuitif
Pengetahuan yang meruapakan hasil dari sebuah pengetahuan yang bersifat
pribadi. Kneller berpendapat bahwa intuisi merupakan pengetahuan yang
diakui dan diterima sebagai pengalaman pribadi atau berdasar pada
kekuatan visi imajinatid seseorang yang mengusulkannya. Pengetahuan
intuitif bersumber pada naluri/hati seseorang (Kartanegara, 2005). Menurut
Coplestone (1953), Pengetahuan intuitif disebabkan oleh pengertian langsung
terhadap kehadiran benda-benda.

Kebenaran intuitif sulit dikembangkan karena validitasnya yang sangat


pribadi, memiliki watak yang tidak komunikatif, khusus untuk diri sendiri,
subjektif, tidak terlukiskan, sehingga sulit untuk mengetahui apakah seseorang
memilikinya atau tidak. Kebenaran tersebut tidak akan dapat diuji dengan
observasi, perhitungan atau eksperimen karena kebenaran intuitif tidak
berhipotesis (Kneller, 1971).

Contoh:

 Hasil karya seni (tulisan)


 Autobiografi
 Menangis dan terharu
3) Pengetahuan Rasional
Secara etimologis menurut Bagus (2002), rasionalisme berasal dari kata
bahasa Inggris rationalims, dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar dari
bahasa Latin ratio yang berarti “akal”, Lacey (2000) menambahkan bahwa
berdasarkan akar katanya rasionalisme adalah sebuah pandangan yang
berpegang bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Pengetahuan rasional diperoleh dengan cara bekerjanya akal tanpa dibarengi
dengan observasi terhadap kenyataan (aktual).
Sifat pengetahuan rasional:
 Dasar pengetahuan rasional berdasarkan pengalaman inderawi
 Berisifat valid secara universal
 Tidak memperhatikan perasaan subjek
4) Pengetahuan Empiris
Empirisme secara etimologis menurut Bagus (2002) berasal dari kata bahasa
Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa
Yunani (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman
dalam”,“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut Lacey
(2000) berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Pengetahuan empiris merupakan jenis pengetahuan yang sesuai dengan bukti-
bukti inderawi (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan
pengecapan) sehingga membentuk pengetahuan mengenai dunia di sekitar
kita.

5) Pengetahuan Otoritatif
Pengetahuan yang diakui kebenarannya berdasarkan jaminan otoritas orang
yang menguasai bidangnya. Kneller (1971) berpendapat bahwa pengetahuan
otoritatid merupakan pengetahuan yang sudah terbentuk dan diterima secara
luas berdasarkan otoritas seseorang di dalam bidang masing-masing.
Contoh:
Fakta-fakta atau pengetahuan yang sudah tersedia di buku
B. Teori-Teori kebenaran

Pengetahuan yang ingin diperolah manusia adalah pengetahuan yang banar. Akan
tetapi apakah kriteria suatu pengetahuan dikatakan sebagai benar ? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, para ahli menyusun teori-teori kebenaran pengetahuan.

Sebenarnya kebenaran yang diterima oleh manusia tidak ada yang bersifat mutlak,
juga tidak ada yang tunggal. Oleh karena itu didalam epistimologi dikenal ada beberapa
teori kebenaran. J. Sudarminta (2002) mengatakan bahwa secara klasik biasa dibedakan
adanya tiga teori kebanaran, yaitu: (1) teori kebenaran korespondensi atau kesesuaian;
(2) teori kebenaran koherensi atau teori keteguhan; (3) teori kebenaran pragmatic atau
teori kesuksesan praktik. Disamping tiga teori kebanaran yang telah disebutkan diatas
dapat juga ditambahakan dengan teori kebanaran performative dan teori kebenaran
consensus. (Rohman, dkk, 2014: 23).

1. Teori Korespondensi

Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-


pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta yang ada.
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau keputusan)
adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori
ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.

Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas
oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita
obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi
yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran
mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan
tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi


suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan
“matahari terbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan
Tersebut bersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit
dari timur dan tenggelam di ufuk barat.

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai


hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan
sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu
salah (Jujun, 1990:237).

2. Teori Koherensi atau Konsistensi

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria
koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar
jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima
kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.

Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi
antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang
konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan
untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya
interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.

Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh
Tuhan” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh Tuhan” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-
tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut .
3. Teori Pragmatik

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah


makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori
ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah
berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat
Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James, John Dewey, George
Hobart Mead dan C.I.Lewis.

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya
suatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi
manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga
dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan
segala aspek permasalahan

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang
diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian
kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui
adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

4. Teori Performatif

Teori kebenaran performatif adalah teori yang menegaskan bahwa suatu pernyataan
atau ajaran itu benar apabila apa yang dinyatakan itu sungguh-sungguh terjadi ketika
pernyataan atau ajaran itu dilakukan (performed). Misalnya: seorang Rektor
menyatakan: “Dengan ini saya melantik saudara menjadi Dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan”, maka pernyataan itu dikatakan benar apabila memang rektor itu
mengerjakan sebagaimana yang diucapkan. Akan tetapi pernyataan itu akan tidak benar,
jika diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
pernyataan itu.

5. Teori Konsensus

Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya
paradigma. Sebagai
komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi
determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok
menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman
individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi
esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang
diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai
kemampuan relatif suatu paradigm dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana
yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai
masalah secara tuntas.

C. Teori-Teori Kesalahan dan Kekeliruan

Manusia dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan yang benar sering


melakukan kesalahan dan kekeliruan, baik secara sengaja maupun tidak. Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah apakah pengertian kesalahan dan kekeliruan? Apakah
keliru itu pengertiannya sama dengan salah? Mengapa manusia dapat membuat
kesalahan atau kekeliruan? Hikmah apa yang dapat diambil dengan adanya kesalahan
dan kekeliruan yan dibuat manusia? Uraian berikut ini akan menjawab berbagai
pertanyaan tersebut.

Sedangakan kekeliruan dalam bahasa Inggrisnya adalah error, dan bahasa


latinnya juga error. Istilah ini menunjuk kepada actus, kepada kegiatan, aktivitas
“mengetahui” yang diungkapkannya adalah pernyataan cognitif intelektual manusia.
Jadi kekeliruan terjadi dengan dibuatnya pernyataan yang di dalamnya terkandung
kesalahan (Pranarka, 1987: 28). Kekeliruan adalah menerima sebagai benar apa
senyatanya salah, atau menyangkal apa yang senyatanya benar (J.Sudarminta,
2002:20).

Akan tetapi kesalahan jika ditinjau dari aspek subjek atau aspek objeknya,
keduanya mempunyai sifat relative, sama-sama dapat berubah, sama-sama dapat
menjadi lebih atau kurang. Hubungan antara kebenaran dan kesalahan sifatnya tidak
lagi kontradiktif, tetapi contrary (berlawanan), dalam istilah Jawa disebut dengan
istilah nunggal-misah. Sebagaimana pembahasan tentang kebenaran, maka problem
kesalahan ini akan membawa implikasi pada berbagai aliran yang masing-masing
berusaha untuk memutlakan pada aspek tinjauannya sendiri-sendiri, yang pada
akhirnya akan membawa pada aliran Dogmatisme dan Skeptisisme.
Kesalahan dapat terungkap di dalam dua jenis pernyataan cognitif intelektual.
Kesalahan yang dinyatakan dengan pernyataan positif; misalnya: orang mengatakan
bahwa dua kali dua sama dengan enam, atau Joko membeli obat di ladang. Kesalahan
dapat dinyatakan juga dengan kalimat atau pernyataan negatif. Misalanya: orang
mengatakan 2 x 2 tidak sama dengan 4, Bantul tidak berada di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Walaupun keduanya mengandung kesalahan, tetapi kesalahan dengan
pernyataan positif dan negatif tadi nuansanya berlainan. Rumus negatif sifatnya
tegas, penolakan terhadap hal yang benar terungkap secara tegas. Sedangkan rumus
positif sifatnya tidak tegas, sehingga batas antara benar dan salah menjadi kabur.
Dengan kata lain kesalahan yang dirumuskan dengan pernyataan positif ini dapat
menjadi kurang atau lebih (Pranarka, 1987:20).

Faktor-faktor yang dapat memungkinkan terjadinya kekeliruan dapat


disebutkan misalnya: kompleksitas dan atau kekaburan perkara yang menjadi
persoalan. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan,
misalnya: (1) sikap terburu-buru dan kurang perhatian dalam salah satu tahap bahkan
seluruh proses mengetahui, (2) sikap terlalu salah yang keterlaluan, atau sebaliknya
sikap terlalu gegabah dalam melangkah, (3) kerancuan dan kebingungan akibat
emosi, nafsu, perasaan yang entah mengganggu konsentrasi atau membuat kurang
terbuka terhadap bukti-bukti yang tersedia, (4) prasangka dan bias-bias, baik secara
individual maupun social, (5) keliru dalam penalaran atau tidak mematuhi kaidah-
kaidah logika (J.Sudarminta, 2002).

Secara khusus Pranarka (1987) mengatakan bahwa kekeliruan dapat terjadi


dalam proses mengetahui yang dibedakan menjadi enam tataran pengetahuan, yaitu
nesciense (tidak ada pengetahuan), ignorance (ketidaktahuan), doubt (keragu-
raguan), suspicion (kecurigaan), opinion (pendapat), terakhir certitude (kepastian).
Kekeliruan dapat terjadi ketika seseorang yang masih dalam tataran menduga-duga,
namun pendapatnya sudah dianggap suatu kepastian. Kekeliruan terjadi ketika
pengetahuan manusia pada tataran ragu=rahu dan pendapatnya pada hakikatnya
belum terjadi suatu kepastian intelektual. Memang kesalahan yang dibuat manusia
tidak seluruhnya ada pada tataran proses intelektual di atas, tetapi juga dapat
disebabkan oleh faktor volitif (kemauan manusia sendiri).
Francis Bacon dalam Harold H.Titus (1984) mengatakan bahwa terdapat
kesalahan-kesalahan berpikir yang terdapat dalam “Idols of the Mind”. Pertama,
berhala-berhala suku, yaitu kecenderungan menerima bukti-bukti dan kejadian-
kejadian yang menguntungkan pihak atau kelompok kita (suku atau bangsa). Kedua,
berhala-berhala, yaitu kecenderungan memandang diri sendiri sebagai pusat dunia
dan menekankan pendapat diri yang terbatas. Ketiga, berhala-berhala pasar yaitu
keterpengaruhan seseorang terhadap kata-kata atau nama-nama yang dikenal dala
percakapan sehari- hari. Keempat, berhala-berhala panggung, yaitu kesesatan yang
timbul karena sikap yang berpegang pada kepercayaan, atau keyakinan. Tingkah
laku, cara-cara, dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, artinya
kesemuanya itu membawa seseorang pada dunia khayal.

Hambatan-hambatan terhadap pemikiran yang jernih (benar) dapat


dikemukakan dengan bahasa lain, yaitu karena adanya purbasangka, propaganda,
otoriterianisme.

Purbasangka adalah suatu pertimbangan yang terburu-buru, suatu kadar


pemikiran yang salah yang menganggap sepi atau memperkecil bukti, atau menilai
bagian-bagian lain dari bukti secara berlebihan. Hal ini muncul karena emosi dan
cenderung untuk memenuhi kenikmatan, kebanggan, dan kepentingan pribadi.

Propaganda adalah informasi yang diwarnai dan dimanipulasi oleh


kepentingan sumber informasi. Sang propagandis pertama berusaha untuk
membangkitkan emosi, keinginan. Kemudian memberi sugesti yang tampak sebagai
jalan yang memuaskan untuk mengekspresikan emosi dan keinginan tersebut.
Padahal tidak ada hubungannya sama sekali antara wanita cantic dengan keinginan
membeli mobil sebagimana yang terdapat dalam iklan-iklan mobil.

Otoriterianisme adalah mengikuti secara buta atau tanpa kritik terhadap


kekuasaan, baik yang ada dalam tradisi, adat, keluarga, institusi agama, negara atau
media massa. Kelemahan otoriterianisme adalah: Pertama, menghambat kemajuan
dan mengesampingkan pemikiran dan penyelidikan lebih jauh. Kedua, jika terjadi
konflik di antara penguasa, maka terjadi kebingungan. Ketiga, terjadi sesat pikir
karena prestise penguasa. Keempat, sesat pikir karena suatu keyakinan telah lama
dan meluas diterima public, sehingga akan kesulitan membuktikan kesalahan-
kesalahan lama.
Upaya-upaya yang ditempuh agar kesalahan itu diperkecil atau untuk
mencapai kebenaran secara sadar, terencan, teratur, dan sistematik, maka seseorang
harus melakukan askese, dengan disiplin, dengan latihan, dengan laku dan
pengendalian diri (Pranarka, 1987). Dengan demikian manusia dapat sampai pada
kebeningan pikiran. Menyadari kesalahan dapat merupakan langkah yang tepat untuk
menuju kebenaran. Orang harus belajar dari pengalaman keliru pada masa lalu dan
jangan sampai jatuh kembali pada kesalahan yang sama.

KESIMPULAN

Sampai saat ini telah banyak para ahli dan filsuf yang mencoba untuk
mendefinisikan pengertian dari pengetahuan. Maka dari itu berdasarkan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa secara umum pengetahuan merupakan perkembangan
sebuah pengalaman nyata yang didapatkan melalui pencaindera. Pada dasarnya
pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu manusia itu sendiri. Dalam kenyataannya
kini, kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1)
yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat
dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam
perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden,
koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada
saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran. Kekeliruan dan kesalahan dapat diartikan sebagai terjadinya
diformitas di dalam pengetahuan. Diformitas dalam arti diformitas positif, yaitu apa
yang ada di dalam subjek betul-betul tidak ada didalam objek. Kesalahan jika ditinjau
secara formal terjadi karena tidak ada konformitas (tidak ada kesesuaian antara subjek
yang mengetahui dan objek yng diketahui). Jadi hubungannya bersifat contradictory
(bertentangan).
Daftar Pustaka

Dyanningrat, R. D. A. (2018). Perancangan Buku Nilai Sejarah Dan Filosofi Mataram


Islam Pada Gerobak Sapi (Doctoral dissertation, PPS ISI Yogyakarta).

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu : Sebuah Rekonstruksi Holistik.


Bandung. Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka.

Rukiyati, D. Zuchdi. 2016. Filsafat Ilmu : Universitas Negeri Yogyakarta.


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai