Disusun oleh
Sandika Yudatama
( Nim : 10214259 )
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Filsafat
Ilmu” ini dengan baik tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas akhir ujian
tengah semester dalam mata kuliah filsafat logika, pada perkuliahan Fakultas Hukum.
Saya menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dosen milenial kami
Bapak Wisnu Ardytia,S.H.,m.kn yang telah memberikan ilmu serta arahan kepada kami
sehingga karya ilmiah ini bisa terselesaikan dengan baik. Kami menyadari bahwa dalam
peulisan makalah ini tidaklah sempurna.
Saya mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya karya ilmiah
lain yang lebih baik di masa yang akan datang. Akhir kata, kami berharap agar karya ilmiah ini
dapat memberikan banyak manfaat.
Sandika yudatama
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang sejarah pencarian pertanyaan mengenai “Apakah pengetahuan itu?”
sudah dimulai. Pertanyaan ini membuat banyak ahli filsafat mencari arti dari
pengetahuan ini sendiri. Pengetahuan menurut bahasa Yunani berasal dari kata
episteme, yang mempunyai arti kepercayaan yang absolut yang pertama kali di
cetuskan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Meno, Phaedo and Theaetetus.
Menurut Notoatmodjo pengetahuan merupakan hasil dari mengetahui yang didapatkan
setelah melakukan pengendireaan terhadap objek tertentu. John Dewey berpendapat
jika pengetahuan merupakan perkembangan pandangan instrumentalis pragmatis,
dimana kecerdasan dilihat sebgai penyesuaian yang sensitif dan fleksibel dan
sedangkan menurut Tafsir pengetahuan adalah keadaan tahu, semua yang diketahui.
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh
untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus
dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk
pada hukum- hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Plato pernah berkata:
“Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan
Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi
bisa saja berbentuk kekeliruan (keburukan).
Kekeliruan dan kesalahan seringkali umum disamakan artinya. Perbedaan ini
akan jelas jika kedua kata ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Kesalahan, dalam
bahasa Inggrisnya diterjemahkan dengan falsity, menurut bahasa latinnya falsitas;
kesalahan adalah status atau kualitas di dalam hubungannya antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui (Pranarka, 1987). Dengan kata lain,
kesalahan sering juga diartikan sebagai kesesatan berpikir. Kesalahan adalah hasil dari
tindakan keliru.
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan latar
belakang diatas yakni sebagai berikut:
C. Tujuan
A. Jenis-Jenis Pengetahuan
1) Pengetahuan Wahyu
Pengetahuan yang berasal dari atau diberikan Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan bersifat benar selamanya karena berasal dari Tuhan. Tujuannya
agar kebenaran yang berasal dari Tuhan ini dapat diketahui oleh semua
manusia. Contoh:
Al-Qur’an untuk umat muslim
Kitab Kejadian untuk umat nasrani
Bhagui avad-Gita dan Upanishad untuk kaum Hindu
2) Pengetahuan Intuitif
Pengetahuan yang meruapakan hasil dari sebuah pengetahuan yang bersifat
pribadi. Kneller berpendapat bahwa intuisi merupakan pengetahuan yang
diakui dan diterima sebagai pengalaman pribadi atau berdasar pada
kekuatan visi imajinatid seseorang yang mengusulkannya. Pengetahuan
intuitif bersumber pada naluri/hati seseorang (Kartanegara, 2005). Menurut
Coplestone (1953), Pengetahuan intuitif disebabkan oleh pengertian langsung
terhadap kehadiran benda-benda.
Contoh:
5) Pengetahuan Otoritatif
Pengetahuan yang diakui kebenarannya berdasarkan jaminan otoritas orang
yang menguasai bidangnya. Kneller (1971) berpendapat bahwa pengetahuan
otoritatid merupakan pengetahuan yang sudah terbentuk dan diterima secara
luas berdasarkan otoritas seseorang di dalam bidang masing-masing.
Contoh:
Fakta-fakta atau pengetahuan yang sudah tersedia di buku
B. Teori-Teori kebenaran
Pengetahuan yang ingin diperolah manusia adalah pengetahuan yang banar. Akan
tetapi apakah kriteria suatu pengetahuan dikatakan sebagai benar ? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, para ahli menyusun teori-teori kebenaran pengetahuan.
Sebenarnya kebenaran yang diterima oleh manusia tidak ada yang bersifat mutlak,
juga tidak ada yang tunggal. Oleh karena itu didalam epistimologi dikenal ada beberapa
teori kebenaran. J. Sudarminta (2002) mengatakan bahwa secara klasik biasa dibedakan
adanya tiga teori kebanaran, yaitu: (1) teori kebenaran korespondensi atau kesesuaian;
(2) teori kebenaran koherensi atau teori keteguhan; (3) teori kebenaran pragmatic atau
teori kesuksesan praktik. Disamping tiga teori kebanaran yang telah disebutkan diatas
dapat juga ditambahakan dengan teori kebanaran performative dan teori kebenaran
consensus. (Rohman, dkk, 2014: 23).
1. Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas
oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita
obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi
yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran
mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan
tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria
koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar
jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima
kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi
antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang
konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan
untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya
interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh
Tuhan” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh Tuhan” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-
tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut .
3. Teori Pragmatik
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya
suatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi
manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga
dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan
segala aspek permasalahan
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang
diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian
kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui
adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
4. Teori Performatif
Teori kebenaran performatif adalah teori yang menegaskan bahwa suatu pernyataan
atau ajaran itu benar apabila apa yang dinyatakan itu sungguh-sungguh terjadi ketika
pernyataan atau ajaran itu dilakukan (performed). Misalnya: seorang Rektor
menyatakan: “Dengan ini saya melantik saudara menjadi Dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan”, maka pernyataan itu dikatakan benar apabila memang rektor itu
mengerjakan sebagaimana yang diucapkan. Akan tetapi pernyataan itu akan tidak benar,
jika diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
pernyataan itu.
5. Teori Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya
paradigma. Sebagai
komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi
determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok
menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman
individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi
esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang
diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai
kemampuan relatif suatu paradigm dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana
yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai
masalah secara tuntas.
Akan tetapi kesalahan jika ditinjau dari aspek subjek atau aspek objeknya,
keduanya mempunyai sifat relative, sama-sama dapat berubah, sama-sama dapat
menjadi lebih atau kurang. Hubungan antara kebenaran dan kesalahan sifatnya tidak
lagi kontradiktif, tetapi contrary (berlawanan), dalam istilah Jawa disebut dengan
istilah nunggal-misah. Sebagaimana pembahasan tentang kebenaran, maka problem
kesalahan ini akan membawa implikasi pada berbagai aliran yang masing-masing
berusaha untuk memutlakan pada aspek tinjauannya sendiri-sendiri, yang pada
akhirnya akan membawa pada aliran Dogmatisme dan Skeptisisme.
Kesalahan dapat terungkap di dalam dua jenis pernyataan cognitif intelektual.
Kesalahan yang dinyatakan dengan pernyataan positif; misalnya: orang mengatakan
bahwa dua kali dua sama dengan enam, atau Joko membeli obat di ladang. Kesalahan
dapat dinyatakan juga dengan kalimat atau pernyataan negatif. Misalanya: orang
mengatakan 2 x 2 tidak sama dengan 4, Bantul tidak berada di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Walaupun keduanya mengandung kesalahan, tetapi kesalahan dengan
pernyataan positif dan negatif tadi nuansanya berlainan. Rumus negatif sifatnya
tegas, penolakan terhadap hal yang benar terungkap secara tegas. Sedangkan rumus
positif sifatnya tidak tegas, sehingga batas antara benar dan salah menjadi kabur.
Dengan kata lain kesalahan yang dirumuskan dengan pernyataan positif ini dapat
menjadi kurang atau lebih (Pranarka, 1987:20).
KESIMPULAN
Sampai saat ini telah banyak para ahli dan filsuf yang mencoba untuk
mendefinisikan pengertian dari pengetahuan. Maka dari itu berdasarkan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa secara umum pengetahuan merupakan perkembangan
sebuah pengalaman nyata yang didapatkan melalui pencaindera. Pada dasarnya
pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu manusia itu sendiri. Dalam kenyataannya
kini, kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1)
yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat
dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam
perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden,
koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada
saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran. Kekeliruan dan kesalahan dapat diartikan sebagai terjadinya
diformitas di dalam pengetahuan. Diformitas dalam arti diformitas positif, yaitu apa
yang ada di dalam subjek betul-betul tidak ada didalam objek. Kesalahan jika ditinjau
secara formal terjadi karena tidak ada konformitas (tidak ada kesesuaian antara subjek
yang mengetahui dan objek yng diketahui). Jadi hubungannya bersifat contradictory
(bertentangan).
Daftar Pustaka