Anda di halaman 1dari 8

RASIONALISME (DEDUKTIF) DAN EMPIRISME (INDUKTIF)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“FILSAFAT ILMU”

Dosen pengampu:

“Prof. Dr. H. Syamsul Huda,, M.Ag”

Oleh:
AHMAD ZIDAN AKBAR REZA
NIM.22201186

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

TAHUN 2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia mempunyai kecenderungan alami untuk mengamati dan
memahami dunia di sekelilingnya, dan hal inilah yang menjadi pendorong
utama berkembangnya pemahaman manusia di berbagai bidang. 1 Rasa ingin
tahu yang kuat berperan penting dalam memaksimalkan potensi pertumbuhan
manusia. Proses pemahaman sebagai sumber pengetahuan dan pemahaman
menggunakan dua aliran pemikiran utama, yaitu rasionalitas dan empirisme.
Rasionalisme adalah ideologi yang didasarkan pada kemampuan pikiran
manusia untuk memahami dan mengeksplorasi konsep dan gagasan abstrak.
Melalui pemikiran rasional, seseorang dapat memahami secara mendalam
berbagai aspek kehidupan. Demikian pula, empirisme mengedepankan
observasi sebagai sumber utama pengetahuan.2 Kedua divisi ini memainkan
peran penting dalam memajukan pemahaman kita tentang manusia. Mereka
menjadi lebih komprehensif, dan pikiran manusia serta pengalaman nyata
secara aktif berinteraksi untuk mengembangkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang dunia di sekitar kita. Memajukan pengetahuan manusia ke
tingkat yang lebih tinggi memerlukan kombinasi pemikiran rasional dan
observasi empiris.3 Oleh karena itu, pada makalah ini penulis tertarik untuk
mengkaji secara library research mengenai konsep rasionalisme dan empirisme.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi rasionalisme (deduktif)?
2. Bagaimana definisi empirisme (induktif)?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami definisi rasionalisme (deduktif).
2. Untuk memahami definisi empirisme (induktif).

1
D. Darsini, F. Fahrurrozi, and E. A Cahyono, “Pengetahuan; Artikel Review.,” Jurnal
Keperawatan 12, no. 1 (2019).
2
M. Misbah, “Knowledge and How to Get It (Pengetahuan Dan Cara Memperolehnya),” Jurnal
Pendidikan dan Ilmu Sosial 1, no. 1 (2022).
3
Rudi Kuswandi and Ofianto, “Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Konsep Rasionalisme
Empirisme : Perspektif Historis Dan Epistemologis,” Jurnal Pendidikan Tambusai 7, no. 3 (2023).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Rasionalisme (Deduktif)


Secara bahasa, rasionalisme berasal dari kata "rasional" yang memiliki
akar kata dari bahasa Latin "rationalis". Kata "rationalis" sendiri berasal dari
kata dasar "ratio" yang berarti "rasio" atau "pemikiran yang rasional". Dengan
demikian, rasionalisme mengacu pada pendekatan atau pandangan yang
menekankan pentingnya pemikiran yang rasional, akal budi, dan logika dalam
memperoleh pengetahuan dan memahami dunia. Rasionalisme menekankan
bahwa pemikiran yang rasional adalah kunci untuk mencapai pemahaman yang
benar dan valid tentang realitas.4
Paham rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan
manusia adalah rasio atau berpikir. Jadi dalam proses perkembangan ilmu
pengetahuan yang dimiliki manusia harus dimulai dari rasio. Dalam pandangan
rasionalisme, manusia mustahil dapat memperoleh pengetahuan tanpa berpikir.
Oleh karena itu, berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan,
manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin
banyak manusia berpikir maka semakin banyak pengetahuan pula yang
didapat. Berdasarkan pengetahuan pula, manusia bertindak dan menentukan
perilakunya sehingga memungkinkan adanya perbedaan perilaku, perbuatan,
dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pemahaman masing-masing.5
Muhmidayeli6 menyebutkan “Kualitas rasio manusia ini bergantung pada
penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio ke arah yang
memadai untuk menelaah beberapa permasalahan kehidupan menuju
penyempurnaan dan kemajuan”. Dalam hal ini penulis memahami yang
dimaksud penyediaan kondisi adalah menciptakan sebuah energi positif yang
memungkinkan manusia mendapat rangsangan untuk berpikir dan menelaah
berbagai masalah yang akan dihadapi ketika menuju penyempurnaan dan
kemajuan.
4
Aktobi Ghozali, Argumentasi Rasionalitas Mukjizat Dalam Pendekatan Tafsir Falsafi (Jakarta,
2022).
5
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: IPB Press Printing, 2016), 17.
6
Prof. Dr. Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung: Refika Aditama, 2017).
Rasionalisme juga disebut sebagai pola pikir atau penalaran deduktif.
Penalaran deduktif memberikan pengetahuan ilmiah bersifat rasional (kritis,
logis, sistematis) dan konsisten dengan pengetahuan yang sebelumnya
dihasilkan dan dikumpulkan sebagai kumpulan pengetahuan ilmiah.
Penemuan-penemuan ilmiah dirangkai selangkah demi selangkah dengan cara
membangun argumen secara sistematis dan kumulatif terhadap sesuatu yang
baru berdasarkan penemuan-penemuan yang sudah ada. Ilmu pengetahuan
diharapkan menjadi suatu kumpulan pengetahuan yang terstruktur dan
terorganisir dengan baik (body of knowledge). Penjelasan rasional ini
menggunakan kriteria konsistensi kebenaran yang didasarkan pada konsistensi
dan koherensi antara pengetahuan yang ada dengan kebenaran yang
diterimanya.7
Cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum ditarik sebuah
kesimpulan yang bersifat khusus. Penalaran Deduktif biasanya menggunakan
pola penalaran yang disebut silogisme. Silogisme terdiri dari dua premis dan
satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogisme ini dapat dibedakan
menjadi premis mayor dan premis minor. Oleh karena itu, ketepatan
kesimpulan yang diambil dari penalaran deduktif bergantung pada kebenaran
premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan kesimpulan.
Penggunaan logika deduktif dapat dilihat pada contoh sebagai berikut. Semua
orang pasti akan mati (premis mayor), Abdullah adalah manusia (premis
sekunder), dengan kata lain Abdullah pasti mati (kesimpulan).8
Kesimpulan yang diambil dari penalaran deduktif sebenarnya (bahkan
seluruhnya) merupakan hasil berpikir (logika) atau rasio, dan pada umumnya
orang akan merasa tidak puas dengan hasil pemikirannya sendiri, apalagi hasil
pemikiran orang lain. Oleh karena itu, kesimpulan deduktif (deduksi) dianggap
sebagai kesimpulan tentatif (sementara) atau dugaan (hipotesis). Untuk
menjamin kebenarannya, perlu dilakukan pengujian (verifikasi), yaitu
perbandingan dan/atau penyesuaian terhadap situasi empiris dengan
menggunakan proses penalaran induktif. Oleh karena itu, dalam ilmu
pengetahuan modern saat ini, kita sering mendengar pepatah bahwa ilmuwan
7
Drs. Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016), 155-156.
8
Dr. Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu (Jakarta Timur: Prenada Media Grup, 2020), 153.
progresif “selalu bolak-balik antara kutub deduktif dan induktif” dalam
diskusinya.9
B. Definisi Empirisme (Induktif)
Secara epistemologis, istilah empirisme berasal dari bahasa Yunani
“emperia” yang berarti pengalaman. Tokohnya antara lain Thomas Hobbes,
John Locke, Berkeley, dan khususnya David Hume. Berbeda dengan
rasionalisme yang menempatkan akal sebagai sumber pengetahuan, empirisme
memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, baik pengalaman
eksternal maupun internal. Thomas Hobbes melihat pengalaman indra sebagai
awal dari segala pengetahuan. Kognisi intelektual tidak lebih dari suatu jenis
perhitungan (kalkulus), yaitu menggabungkan data sensorik yang sama dengan
cara yang berbeda. Dunia dan materi adalah objek pengetahuan, sistem
material, dan mewakili proses yang berlangsung tanpa batas berdasarkan
hukum mekanika. Berdasarkan pandangan tersebut, ajaran Hobbes merupakan
sistem materialis pertama dalam sejarah filsafat modern.10
Prinsip dan metode empirisme pertama kali digunakan oleh John Locke.
Penerapan ini berkaitan dengan masalah pengetahuan dan kesadaran. Langkah
utamanya adalah Locke mencoba memadukan teori empiris yang diajarkan
Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalis Descartes. Kombinasi ini justru
menguntungkan empirisme. Ia mempunyai pendapat yang bertentangan dengan
teori rasionalis tentang ide dan prinsip dasar yang dianggap sebagai bawaan
manusia. Menurutnya, semua pengetahuan berasal dari pengalaman dan tidak
lebih, dan akal manusia bertindak pasif terhadap isi pengetahuan yang
diperoleh. Akal tidak dapat memperoleh pengetahuan dengan sendirinya. Akal
hanyalah sebuah papan tulis kosong, menerima segala sesuatu yang berasal
dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan indrawi dan
pengetahuan intelektual, dan satu-satunya objek pengetahuan adalah gagasan
yang muncul dari pengalaman eksternal dan internal. Pengalaman eksternal
mengacu pada apa yang ada di luar diri kita. Sebaliknya, kekalahan batin
berkaitan dengan apa yang ada dalam diri manusia/diri spiritual.11
9
Paham Ginting and Syafrizal Helmi Situmorang, Filsafat Ilmu Dan Metode Riset (Medan: USU
Press, 2008), 43.
10
Suaedi, 8.
11
Ibid.
Dengan kata lain, empirisme mengubah pengalaman indrawi menjadi
sumber pengetahuan. Apa yang tidak dirasakan melalui indera bukanlah
pengetahuan yang sebenarnya. Namun indera dengan beberapa kelemahannya
menjadi bahan kritik bagi penganut rasionalisme, beberapa kelemahan tersebut
diantaranya Pertama, keterbatasan indra, seperti kasus semakin jauh objek,
semakin kecil ia penampakannya. Kasus tersebur tidak menunjukkan bahwa
objek tersebut mengecil atau kecil. Kedua, indra menipu. Penipuan indra
terdapat pada orang yang sakit. Misalnya, penderita malaria merasakan gula
yang manis, terasa pahit, dan udara yang panas dirasakan dingin. Ketiga, objek
yang menipu, seperti pada ilusi dan fatamorgana. Keempat, objek dan indra
yang menipu Penglihatan kita kepada kerbau atau gajah. Jika kita memandang
keduanya dan depan. yang kita lihat adalah kepalanya, sedangkan ekornya
tidak kelihatan dan kedua binatang itu tidak bisa menunjukkan seluruh
tubuhnya.12
Meskipun rasionalisme mengkritik emprisme dengan pengalaman
indranya. rasionalisme dengan akalnya pun tak lepas dari kritik. Kelemahan
yang terdapat pada akal. Akal tidak dapat mengetahui secara menyeluruh
(universal) objek yang dihadapinya. Pengetahuan akal adalah pengetahuan
parsial karena akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia memikirkannya
dan akal hanya memahami bagian-bagian tertentu dari objek tersebut.13
Rasionalisme dan Empirisme sejatinya merupakan dua pola pikir yang
harus diterapkan ketika ilmuwan menggali sebuah ilmu pengetahuan. Dalam
melakukan penelitian, peneliti menggunakan metode ilmiah yang menjadikan
kedua hal ini tentu harus ada di dalamnya. Keseimbangan keduanya, akan
memunculkan teori baru ataupun penguatan terhadap teori yang sudah ada
dengan diwujudkan pada pengalaman peneliti dalam melakukan observasi
terhadap objek penelitian.
Dalam praktiknya, empirisme juga disebut sebagai berpikir induktif.
Berpikir induktif merupakan metode berpikir yang didasarkan pada konsistensi
dengan kebenaran yang terkorespondensi. Teori korespondensi berpendapat
bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika isinya cocok (sesuai dengan)
12
Ibid, 9.
13
Ibid.
pokok bahasan yang dibicarakan dalam pernyataan tersebut. Suatu pernyataan
dikatakan benar jika terdapat fakta empiris yang mendukungnya. Karena
permasalahan yang dihadapi adalah nyata, maka ilmu pengetahuan mencari
jawabannya di dunia nyata, yang juga didasarkan pada pengalaman (empiris).
Apa pun teorinya, ilmu dimulai dan diakhiri dengan fakta. Betapapun
meyakinkannya suatu penjelasan, ia harus didukung oleh fakta empiris sebelum
dapat dinyatakan benar. Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan
pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah.
Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan
kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu dapat memperoleh pengetahuan yang
sesuai dengan fakta.14
Penalaran induktif menghasilkan sifat-sifat logis dari pengetahuan dan
konsistensi dengan pengetahuan yang dikumpulkan sebelumnya. Namun, hal
tersebut bersifat sementara sampai kebenaran rasionalnya diuji. Penjelasan
sementara ini disebut hipotesis, jawaban sementara terhadap permasalahan
yang ada. Hipotesis dikembangkan secara deduktif dengan mengadopsi premis-
premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui. Pengaturan seperti ini
memungkinkan pengembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan secara
konsisten dan menghasilkan efek kumulatif terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, proses induktif berperan dalam tahap verifikasi
atau pengujian hipotesis, yaitu mengonfrontasi hipotesis berdasarkan fakta
empiris untuk menentukan apakah hipotesis tersebut didukung oleh fakta
empiris atau tidak. Bukti ini sebenarnya menentukan suatu teori ilmiah apakah
pernyataan yang dikandungnya benar secara ilmiah.15

14
Burhanuddin, Filsafat Ilmu, 128-129.
15
Drs. Yoshephus Sudiantara, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Pertama. (Semarang: Universitas
Katolik Soegijapranata, 2020), 59-63.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Rasionalisme dan empirisme merupakan objek kajian bidang filsafat ilmu
yang perlu untuk dipelajari. Sesuai dengan istilahnya, rasionalisme merupakan
pandangan filsafat yang mengutamakan rasio atau berpikir dalam menggali
ilmu pengetahuan. Rasionalisme juga disebut sebagai penalaran deduktif, yaitu
pola pikir yang memberikan pengetahuan ilmiah bersifat rasional dan konsisten
dengan pengetahuan yang telah ada. Penalaran ini menggunakan pola yang
disebut silogisme yang biasanya tediri dari dua premis dan kesimpulan.
Walaupun begitu, penalaran ini masih bersifat sementara, sehingga diperlukan
penalaran induktif untuk memperkuat bukti teori yang sudah disimpulkan
secara rasional.
Sedangkan empirisme merupakan pandangan filsafat yang memilih
pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pandangan ini berbeda dengan
rasionalisme, dimana empirisme mengolah pengalaman inderawi menjadi
sebuah ilmu, sehingga bertentangan dengan rasionalis yang mengedepankan
akal. Meskipun keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing,
dalam menggali ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan harus membuktikan
penelitiannya dengan menggunakan dua pola pikir ini. Teori yang diwujudkan
sebagai hasil pengolahan akal harus dibuktikan secara pengalaman, sehingga
antara keduanya tidak bersinggungan dan dapat memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia.

Anda mungkin juga menyukai