Anda di halaman 1dari 56

PEROSES DAN SARAN BERFIKIR ILMIAH

 
DISIUSUNN OLEH:
Krisantus Nedi Kantur
20208300001
PEROSES DAN SARAN BERFIKIR ILMIAH

• Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis adalah masuk akal, dan empiris adalah
dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, selain itu
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan.

.Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang Sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang
menggabungkan induksi dan deduksi. Induksi membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah
adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang harus ditempuh tanpa penguasaan sarana
yang bersifat umum ditarik dari pernyataan- berfikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan
pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus, kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Mempunyai
sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di metode tersendiri yang berbeda dengan metode
dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah
membantu proses metode ilmiah.
 
Pengertian Sarana Berfikir Ilmiah menurut para ahli :
 

1. Menurut Salam (1997:139): Berfikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia untuk
menemukan/mendapatkan ilmu.
2. Menurut Jujun S.Suriasumantri. Berpikir merupakan kegiatan akal untuk
memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang
menggabungkan induksi dan deduksi.
3. Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah 2006:118). Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam
hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.
4. Menurut Eman Sulaeman. Berfikir ilmiah merupakan proses berfikir/pengembangan pikiran yang
tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.

Dapat disimpulkan bahwa berfikir ilmiah merupakan kegiatan otak atau akal manusia untuk
berfikir dengan tepat dan cermat untuk memperoleh pengetahuan yang disertai dengan bukti
dan fakta yang ada.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa,
logika, matematika dan statistika. Bahasa, yaitu alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang
lain. Logika adalah sarana berpikir ilmiah yang mengarahkan manusia untuk berpikir dengan  benar sesuai dengan
kaidah-kaidah berpikir yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.Matematika, yaitu alat
atau cara berfikir sebagai proses untuk pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada perhitungan yang
kebenarannya telah ditentukan sedangkan , Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan
kesimpulan secara induktif  dan secara lebih seksama.a

adapun Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh
proses berfikir ilmiah. Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga
mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedang logika dan statistika mempunyai peranan
penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep-konsep yang berlaku umum .
Hal-hal yang perlu diperhatikan dari sarana berpikir ilmiah adalah:
1. Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu melainkan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode
ilmu.
2. Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik

Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk menelaah ilmu secara
baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang
memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kita sehari-hari.
 
pengetahuan adalah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi tentang kebenaran atau fakta.
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, sebaliknya setiap pengetahuan belum tentu ilmu.

Untuk itu terdapat syarat-syarat yang membedakan ilmu (science), dengan pengetahuan (knowledge), antara
lain :
1. Menurut Prof.Dr.Prajudi Atmosudiro, Adm. Dan Management Umum 1982. Ilmu harus ada obyeknya,
terminologinya, metodologinya, filosofinya dan teorinya yang khas.
2. Menurut Prof.DR.Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial 1985. Ilmu juga harus memiliki objek,
metode, sistematika dan mesti bersifat universal. 

Sumber-sumber pengetahuan manusia dikelompokkan atas:


 Pengalaman.
 Otoritas .
 Cara berfikir deduktif” proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang
keberadaannya telah ditentukan”
 Cara berfikir induktif “suatu  proses berpikir yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk
menurunkan suatu kesimpulan (inferensi)”.
 Berfikir ilmiah (pendekatan ilmiah).
Berdasarkan uraian bahasan “Sarana Berfikir Ilmiah” di atas dapat disimpulkan bahwa:
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa
bahasa, logika, matematika dan statistika.
1. Bahasa, yaitu alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain.
2. Logika adalah sarana berpikir ilmiah yang mengarahkan manusia untuk berpikir dengan  benar
sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
3. Matematika, yaitu alat atau cara berfikir sebagai proses untuk pengambilan kesimpulan yang
didasarkan pada perhitungan yang kebenarannya telah ditentukan.
4. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan secara induktif  dan
secara lebih seksama.

TERIMAKASIH
Sumber:
Bakhtiar, amsal. 2009. Filsafat ilmu. Jakarta: PT. Raja grafindo persada.
 
Ontologi, Epistomologi, Dan
Aksiologi Dalam Filsafat
Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. Aminah Zuhriyah, M. Pd

DI SUSUN OLEH
KEL 2 :
1). AFRA ROSANA (20208300008)
2). NURUL HIKMAH (20208300002)
1
Pengertian Ontologi
Kata Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Ontos” yang berarti
“berada (yang ada)” dan “Logia” yang berarti (pengetahuan) . 
Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata ini dan
bagaimana keadaan yang sebenarnya. Ontologi adalah bagian filsafat yang paling
umum, atau merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu
bab dari filsafat.
Obyek telaah ontologi adalah tidak terikat pada satu perwujudan tertentu,
ontologi membahas yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang
dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.
Hakikat ini tidak dapat dijangkau oleh panca indera karena tak terbentuk berupa,
waktu dan tempat. Dengan mempelajari hakikat kita dapat memperoleh pengetahuan.
Menurut Aristoteles ada empat
dimensi ontologis yang berbeda,
yakni :

1). Menurut berbagai kategori atau cara menanganinya


2). Menurut kebenaran atau kesalahan
3). Sesuai dengan potensinya
About my lessons

Telaah ontologis akan menjawab


pertanyaan-pertanyaan :

a). Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,


Menurut Suriasumantri (1985),
Ontologi membahas tentang apa b). Bagaimana wujud yang hakiki dari
yang ingin kita ketahui, seberapa obyek tersebut
jauh kita ingin tahu, atau, dengan c). Bagaimana hubungan antara obyek tadi
kata lain suatu pengkajian dengan daya tangkap manusia (seperti
mengenai teori tentang ada. berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan.
2. Pengertian
Epistemologi
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan
ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuanyang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya.

Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu


datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan
lainnya,jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai
sesuatu hal. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah
proses yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral
dan keindahan seni.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tidak cukup dengan berpikir secara rasional
ataupun sebaliknya berpikir secara empirik, mempunyai keterbatasan dalam mencapai
kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan
didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara
rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang melengkapi.

Langkah-langkah proses berfikir yang diatur dalam suatu urutan kerangka dasar
prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam 6 langkah sebagai berikut:
a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
c. Penyusunan atau klarifikasi data
d. Perumusan hipotesis
e. Deduksi dari hipotesis
Pengertian
2 Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan
ilmunya.  Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.

Menurut Jujun S.Suriasumantri mengartikan, aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh.

Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti
politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap
insan.
Jadi pengertian dari aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat
yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia
kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan
yang baik pula.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya pada tahap-tahap
tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat,
sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Apa kaitan Aksiologi dengan Filsafat Pendidikan ???

Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-
nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki
akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang.
Kesimpulan…
Pendidikan  merupakan cabang dari filsafat yang bersifat
khusus. Filsafat pendidikan dapat di artikan juga upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi, agar potensi itu
menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
Pendidikan bertujuan menyiapakan pribadi dalam
keseimbanagan dan kesatuan guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan.Objek dalam Filsafat Ilmu Pendidikan dapat di
bedakan menjadi 3 macam yaitu, Ontologi adalah ilmu
pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola
organisasi ilmu pendidikan. Epistimologi adalah ilmu pendidikan
yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu
pendidikan. Dan yang terakhir adalah Aksiologi yaitu ilmu
pendidikan  yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan
teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
TERIMAKASIH...
Daftar Pustaka
• Logika Material Filsafat Materi, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta,
2000.Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. X;
Jakarta: PustakaSinar Harapan, 1990), h. 33.Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam
Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang HakekatIlmu, Cet. XIII; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997.Syafii, Inu Kencana. Pengantar Filsafat, Cet. I;
Bandung: Refika Aditama, 2004..Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013
AhmadTafsirFilsafatUmum,(Bandung,1990).
Al-Ghazali,SetitikCahayaDalamKegelapan,
• .
JujunS.SuriasuantrimFilsafahIlmu,SebuahPengembanganPopulasi PustakaSinar
Harapan,Jakarta1998
• TimDosenFilsafahIlmu,FilsafatIlmu(Yogyakarta,1996)
“PARADIGMA ILMU PENGETAHUAAN”

Mata Kuliah :Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu : Dr. Aminah Zuhriyah, M. Pd

Disusun oleh :
Kelompok 3
INDAH SARI_20208300010
PARADIGMA
.
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam tergantung pada sudut pandang yang
menggunakannya. Jika dari sudut pandang penulis, maka paradigma adalah cara pandang seseorang
mengenai suatu pokok permasalahan yang bersifat fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun
keyakinan dasar yang menuntun seorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Capra (1991)
dalam bukunya Tao of Physics menyatakan bahwa paradigma adalah asumsi dasar yang
membutuhkan bukti pendukung untuk asumsi-asumsi yang ditegakkannya, dalam menggambarkan
dan mewarnai interpretasinya terhadap realita sejarah sains. Sedangkan Kuhn (1962) dalam bukunya
The Structure of Scientific Revolution menyatakan bahwa paradigma adalah gabungan hasil kajian
yang terdiri dari seperangkat konsep, nilai, teknik dll yang digunakan secara bersama dalam suatu
komunitas untuk menentukan keabsahan suatu masalah berserta solusinya.
Paradigma menurut Guba (1990) seperti yang dikutip Denzin &
Lincoln, (1994) didefinisikan sebagai:

“a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that
defines, for its holder the nature of the world…”

Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan atau kepercayaan yang mendasari
seseorang dalam melakukan segala tindakan. Selanjutnya Paradigma oleh Bhaskar (1989) diartikan
sebagai: “... a) a set of assumptions, b) belief concerning and c) accepted assume to be true” atau
dapat diterjemahkan sebagai seperangkat asumsi yang dianggap benar apabila melakukan suatu
pengamatan supaya dapat dipahami dan dipercaya dan asumsi tersebut dapat diterima. Dengan kata
lain bahwa paradigma adalah sebuah bingkai yang hanya perlu diamati tanpa dibuktikan karena
masyarakat para pendukungnya telah mempercayainya. Hanya tinggal kita saja yang perlu untuk
mencermati dari berbagai macam paradigma yang ada.
PERGESERAN PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN

Padangan tentang paradigma ilmu pengetahuan nampak akan selalu berubah antar waktu. Suatu kelahiran
paradigma yang baru tidak akan pernah terlepas dari paradigma sebelumnya. Atau mungkin paradigma yang
muncul setelah paradigma sebelumnya sebagai paradigma yang selalu berusaha untuk memperbaiki
kekurangan-kekurang yang ada pada paradigma sebelumnya. Pergeseran paradigma akan selalu muncul untuk
mendapatkan realitas yang sebenarnya sesuai dengan masa atau waktu yang selalu berganti sesuai dengan
jaman dan peradaban yang ada di muka bumi ini. Contoh paradigma apakah paradigma positivis lebih baik
atau buruk dari paradigma yang lainnya, menurut penulis tergantung pada para penganutnya yang bisa
memahami dan mengerti paradigma tersebut.
Kuhn (1962) menyatakan bahwa pergeseran paradigma ilmu pengetahuan akan menimbulkan suatu kekerasan
dan dapat memicu adanya suatu revolusi. Hal ini disebabkan penganut paradigma tersebut berusaha untuk
menggoyang paradigma sebelumnya agar mereka berada dalam paradigma yang baru. Penganut paradigma
yang baru pada masa itu berusaha untuk memusnahkan dan mengantikan paradigma sebelumnya dengan
jalan mengungkap realitas yang ada dengan menjelaskan segala bentuk kelemahan pada paradigma
sebelumnya. Untuk itu, Mulyana (2003) menyebut 2 faktor yang mendorong terjadinya pergeseran paradigma
yaitu:
“ …1)gugatan para ilmuwan perihal daya eksploratori pendekatan kuantitatif-positivistik terhadap objek kajian
dan 2) laju perubahan social yang begitu cepat memerlukan pendekatan dan model studi yang lebih
kontekstual dan handal”.
Pergeseran paradigma tersebut akan munculkan penganut-penganut yang mempercayai dan meyakini masing-
masing paradigma yang ada. Oleh sebab itu, adanya pergeseran paradigma menciptakan suatu pengembangan
dalam paradigma ilmu pengetahuan.
PERKEMBANGAN PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN
Setelah kita paham mengenai definisi dari ‘paradigma”, maka yang menjadi pertanyaan saat ini adalah
bagaimana seorang dapat menggembangkan suatu paradigma ilmu. Burrel & Morgan (1979) mengembangkan
aspek paradigma tersebut dalam asumsi meta teoritikal yang mendasari kerangka referensi, model teori dan
modus operandi dari ilmuwan yang berada dalam paradigma tersebut. Semua definisi dari keempat paradigma
tersebut tidak mengindikasikan kesamaan pandangan seutuhnya karena dalam setiap paradigma pasti terdapat
ilmuwan yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kesamaan yang bisa ditunjukkan hanya dalam
konteks dasar dan asumsi, hal inilah yang membedakan antara satu paradigma dengan paradigma yang
lainnya. Sehingga Burrell & Morgan (1979) membagi paradigma tersebut sebagai a) paradigma fungsionalis
( The functionalist paradigm), b) paradigma interpretif (The Intrepretive Paradigm), c) paradigma radikal
structuralis (The Radical Structuralist Paradigm) dan d) paradigma radikal humanis (The Radical Humanist
Paradigm).
Sedangkan Chua (1986) membagi paradigma dalam ilmu social menjadi 3 paradigma yaitu a) The Functionalist
(Mainstream) Paradigm, b) The Interpretive Paradigma dan c) The Critical Paradigm. Menurut Chua,
pernyataan yang diungkapkan oleh Burrell & Morgan untuk paradigma radikal humanis dengan paradigma
radikal strukturalis dapat digabungkan menjadi satu paradigma yaitu paradigma kritis (The Critical Paradigm).
Sarantakos (1993) dalam Triyuwono (2006) membagi paradigma yang hampir sama dengan Chua (1986) yaitu
1) The Functionalist (Positivist) Paradigm, 2) The Interpretive Paradigm, 3) The Critical Paradigma.
Eichelberger (1989) dalam Miarso (2005) selanjutnya membedakan tiga paradigma filsafat yang melandasi
metodologi pengetahuan, yaitu: positivistik, fenomenologik, dan hermeneutik. Sedangkan Bhaskar (1989)
mengelompokkan paradigma dalam 3 kelompok yang didasarkan pada pengaruh individu dan masyarakat.
Pengelompokkan tersebut meliputi paradigma positivisme (Emile Durkheim), paradigma conventionalisme
(Max Weber), paradigma realisme (Karl Marx). Sedangkan Guba (1990) seperti yang dikutip oleh Salim (2006)
membagi paradigma menjadi empat kelompok yaitu positivism, post-positivism, critical theory dan
konstruktivisme.
Kesimpulan
Jika dilihat dari keterkaitan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain maka semua paradigma
tersebut pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan, di mana paradigma yang lahir kemudian sebagai
paradigma yang berusaha untuk menutup kelemahan-kelemahan yang ada pada paradigma sebelumnya.
Paradigma yang muncul atau lahir kemudian dapat dikatakan sebagai paradigma yang mewakili masa atau
waktu tersebut sehingga ada kemungkinan pada masa yang akan datang muncul paradigma yang lebih baru
yang dapat mengcover semua kelemahan-kelemahan pada paradigma sebelumnya. Jadi setiap paradigma
mempunyai masa atau zamannya sendiri dengan penganutnya.

Dengan keterkaitan antara satu paradigma dengan paradigma lainnya karena paradigma satu tidak untuk
menggantikan paradigma lainnya, maka kita harus dapat menyikapinya dengan bijak dan kita harus menyadari
semua paradigma alternative (interpretif, kritis dan postmodern) lahir karena adanya keinginan untuk
menyempurnakan paradigma sebelumnya. Hal ini dapat kita buktikan, jika kita melihat sebagian substansi yang
ada pada paradigma sebelumnya juga berada dalam paradigma yang lahir kemudian. Seperti yang telah penulis
ungkapkan bahwa semua paradigma berusaha menutup kekurangan pada paradigma sebelumnya, tapi juga
bukan berarti harus mengubur kelebihkelebihan pada paradigma sebelumnya.
Dari uraian di atas, maka simpulan yang bisa diambil dari pergeseran paradigma ilmu pengetahuan
memunculkan suatu fakta bahwa adanya sejumlah paradigma yang lahir sebagai paradigma alternative
(interpretif, kritis dan postmodern) untuk mencari kebenaran realitas yang memberi sejumlah implikasi baik
secara konseptual, praktis dan implikasi kebijaksanaan. Paradigma alternative yang penulis sebutkan adalah
cara pandang atau asumsi dasar yang menolak pemikiran bahwa hanya terdapat satu pendekatan keilmuan
yang dapat mengungkap realitas sebagai suatu kebenaran.

Dengan adanya paradigma alternative ini, penulis berharap dapat membuka pandangan yang lebih luas
mengenai keberadaan ilmu pengetahuan dengan berbagai alternative pendekatan sehingga peneliti dapat
menyadari posisi paradigma yang dianut, dan bagaimana cara mempertahankannya serta cara memahaminya
dalam hubungannya dengan paradigma ilmu yang lainnya. Harapan lainnya adalah dengan adanya paradigma
alternative diharapkan dapat menghindarkan adanya suatu pandangan atau keyakinan bahwa satu paradigma
adalah mencukupi dan tepat untuk mengatasi semua masalah yang ada di muka bumi ini.

Sisi sosial yang ditampilkan oleh paradigma altenatif adalah dapat memunculkan suatu sikap yang lebih toleran
terhadap berbagai pandangan yang ada khususnya bagi para peneliti dan akademisi sehingga dapat
mengurangi kecenderungan berpandangan bahwa realitas adalah suatu dogma atau konsep, karena
pandangan yang monoistik pada suatu pendekatan akan mengurangi kemungkinan untuk ilmu pengetahuan
yang secara nyata dapat diperoleh dengan berbagai cara.
DAFTAR PUSTAKA
Burrell, G & G. Morgan. 1979. Sociological Paradigma and Organizational Analysis, Element of the Sociology of
Corporate Life. London. Heinemann
Bhaskar, R. 1989. The Possibility of Naturalisme. New York: Harveste Wheatsheaf
Capra, F. 1991. Tao of Physics, London: Flamingo.
Chua, W. F. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting Review LXI.
Covey, S. R. 1993.The Seven Habits of Highly Efective People. New York: Simon & Schuster
Denzin, N. K. 2000, Handbook of Qualitative Research. California: Sage Public.
Guba,E. 1990. The Paradigma Dialog. London: Sage
Griffin, D. R. 2005. Visi-visi Postmodern: Spiritual dan Masyarakat, Yogyakarta, Kanisius.
Hardiman, F. B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan
Problem Modernitas, Yogyakarta, Kanisius
Indriantoro, N.1999. Aliran-Aliran Pemikiran Alternatif dalam Akuntansi, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia,
Vol. 14 No. 3 Kerlinger, F.N. 1973. Foundations of Behavioral Research. 2nd Edition. Holt, Rinehart and Winston.
Kuhn, T.S. 1962, The Structure of Scientific Revolution. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Edisi
Terjemahan. Rosda Karya. Bandung Mulyana, D. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Rosda Karya. Bandung
TERIMA KASIH
Kedudukan dan Pendekatan
Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Dr. Aminah Zuhriyah, M.Pd

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4

R A D E N M O H A M M A D L U LU K H E R D I AWA N ( 2 0 2 0 8 3 0 0 0 1 2 )
Kedudukan Filsafat Ilmu
Filsafat adalah induk dari ilmu pengetahuan (mater scientiarium) yang melahirkan banyak ilmu
pengetahuan yang membahas sesuai dengan apa yang telah dikaji dan diteliti didalamnya. Dalam
hal metode dan objek studinya, Filsafat berbeda dengan Ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan
menyelidiki masalah dari satu bidang khusus saja, dengan selalu menggunakan metode observasi
dan eksperimen dari fakta-fakta yang dapat diamati. Sementara filsafat  berpikir sampai di
belakang dengan fakta-fakta yang sangat nampak.

Dalam ilmu pengetahuan, filsafat mempunyai kedudukan sentral, asal, atau pokok. Karena filsafat
lah yang mula-mula merupakan satu-satunya usaha manusia dibidang kerohanian untuk
mencapai kebenaran atau pengetahuan. Memang lambat laun beberapa ilmu-ilmu pengetahuan
itu akan melepaskan diri dari filsafat akan tetapi tidaklah berarti ilmu itu sama sekali tidak
membutuhkan bantuan dari filsafat. Filsafat akan memberikan alternatif mana yang paling baik
untuk dijadikan pegangan manusia.
Peran filsafat sangat penting artinya bagi perkembangan dan penyempurnaan ilmu pengetahuan.
Meletakkan kerangka dasar orientasi dan visi penyelidikan ilmiah, dan menyediakan landasan-
landasan ontologisme, epistemologis, dan aksiologis ilmu pada umumnya. Filsafat ilmu melakukan
kritik terhadap asumsi dan postulat ilmiah serta analisis-kritis tentang istilah-istilah teknis yang
berlaku dalam dunia keilmuan. Filsafat ilmu juga menjadi pengkritik yang sangat konstruktif
terhadap sistem kerja dan susunan ilmu.

Pada dasarnya filsafat  bertugas memberi landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai
konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori
ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dan disiplin
ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif. Selanjutnya secara teknis
dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan
pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.
Pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat
merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat
sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Pendekatan Filsafat Ilmu
1. Pendekatan Proses
Menurut pendapat George J.Mouly, perkembangan ilmu pengetahuan berawal dari animisme.
Menurutnya ada 3 tahapan dalam perkembangan itu, yakni animisme ke tahap ilmu empiris, dan
ilmu teoretis. Selanjutnya George J.mouly menjelaskan proses perkembangan pada tahap-tahap
dimaksud sebagai berikut.

a. Animisme
Tugas manusia pada dasarnya adalah mengerti segenap gejala yang ditemuinya dalam kehidupan
untuk mampu menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkannya. Di masyarakat primitif
masalah-masalah ini dihubungan dengan hal-hal yang bersifat gaib. Gejala alam dianggap sebagai
perbuatan makhluk halus. Dimitoskan makhluk-makhluk halus masih memiliki peranan penting
dalam kehidupan manusia primitif. Pada tahap ini ilmu pengetahuan masih dihubungkan dengan
unsur-unsur mitos.
Selanjutnya dikemukakan George J.Mouly, gejala dan fenomena alam seperti petir ataupun banjir
dihubungkan dengan perbuatan dewa-dewa. Dalam masyarakat primitif para dewa ini tampaknya
memainkan peranan yang penting dalam kehidupan. Sampai-sampai, bangsa Indian misalnya,
menghubungkan sakit, kelaparan, dan berbagai bencana dengan makhluk-makhluk halus yang
sedang berang. Keadaan yang bersifat gaib atau fase animistis ini belum sepenuhnya berlalu,
bahkan pada beberapa golongan yang beradab. Cerita rakyat bangsa Irlandia. Bahkan di negara
maju seperti Amerika Serikat, kepercayaan gaib akan kucing hitam, tangga, jum’at ke-13 dan
mengguna-guna lewat boneka, masih dijumpai.
b. Ilmu Empiris
Dalam fase berikutnya, gejala alam tidak lagi di hubungkan dengan alam gaib. Menurut George
J.Mouly, lambat laun manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan sebab-
musababnya. Dan fase ini merupakan suatu langkah yang paling penting dalam menandai
permulaan ilmu pengetahuan sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah.
Dalam prosesnya langkah-langkah ini dilakukan melalui observasi yang lebih sistematis dan kritis,
pengujian hipotesis secara sistematis dan teliti di bawah kontrol. Ilmu pengetahuan pada tingkat
empiris ini adalah untuk mengungkapkan mengapa berbagai gejala bisa terjadi. Proses dimaksud
tersusun secara sistematis melalui:
1) Pengalaman
Titik tolak ilmu pengetahuan pada tahap paling permulaan adalah pengalaman. Melalui
pengalaman dalam mengobservasi berbagai gejala seperti hujan angin, badai salju, gerhana atau
gejala alam lainnya. Jadi ilmu pengetahuan dimulai dengan observasi, dan ditambah dengan
berbagai observasi lanjutannya. Akhirnya akan disusun prinsip-prinsip dasar yang menerangkan
tentang terjadi atau tidak terjadinya serangkaian pengalaman. Tujuan ilmu pengetahuan adalah
untuk memperoleh dan mensistematiskan pengetahuan tentang gejala yang kita alami. Dijelaskan
oleh George J.Mouly pula, bahwa pengalaman yang dikumpulkan secara individual tidaklah cukup.
Selain terpisah-pisah, pengalaman yang demikian itu masih belum memiliki arti dalam prinsip
keilmuan.
2) Klasifikasi
Prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang fungsional adalah
klasifikasi. Klasifikasi merupakan dasar fungsional, suatu prosedur pokok dalam penelitian sebagai
cara yang sederhana dan cermat dalam memahami sejumlah besar data. Dengan klasifikasi ini
akan terbentuk kelompok data dalam kelas-kelas khusus yang lebih spesifik. Dalam dunia binatang
misalnya ada kelas binatang menyusui (mamalia), kelas binatang beruas-ruas (antropoda), dan
sebagainya.

3) Kuantifikasi
Kuantifikasi dapat memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi dalam ilmu yang lebih
matang. Selain itu dengan kuantifikasi data yang terkumpul dapat dijelaskan melalui satuan-
satuan lambang yang lebih konkret.
4) Penemuan hubungan-hubungan
Pada tingkat yang lebih maju, ilmu empiris berusaha untuk mengemukakan hukum alam dalam
bentuk persamaan angka-angka yang menghubungkan aspek kualitatif dari variabel yang satu
dengan aspek kuantitatif variabel lain. Dalam kenyataan, memang ditemukan bahwa berbagai
gejala muncul secara bersamaan. Hubungan seperti ini sering tidak mantap dan tidak langsung.
Hubungan antara ukuran fisik dari kelompok anak dengan kemampuan membaca mereka adalah
hubungan palsu. Misalnya ukuran fisik berkaitan dengan umur. Lalu tingkat usia dihubungkan
dengan kematangan mental. Dari kematangan mental ini baru dihubungkan dengan kemampuan
membaca. Jadi dalam proses penemuan hubungan-hubungan ini perlu dilakukan semacam seleksi
yang tepat.
5) Perkiraan Kebenaran
George J.Mouly mengemukakan beberapa contoh mengenai proses perkiraan kebenaran ini.
Umpamanya, setiap tahun ditemukan berbagai varietas gandum dan padi-padian lainnya yang
lebih baik. Apakah hasil ini ada hubungannya dengan gejala alam atau tidak. Bila hubungan ini
bersifat signifikan, maka kebenaran akhir akan dicapai. Dalam bidang kedokteran dikenal dengan
“shot gun approach”. Pasien diberikan obat yang berkhasiat umum, umpamanya pinisilin. Namun
bila ternyata tidak sembuh, maka berarti tidak ditemukan faktor penyembuh pada obat dimaksud.
Dengan demikian, jenis obat tersebut tidak dapat digunakan dalam kasus yang sama.
Maka dalam kasus ini, pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan obat satu per
satu. Alternatif lain adalah mencoba kombinasi dari berbagai obat dalam sejumlah kasus pada
rangkaian percobaan yang diteliti. Dengan demikian, bisa diperoleh nilai keilmuan yang
semaksimal mungkin, jelas George J.Mouly selanjutnya. Dengan demikian, dalam tahap-tahap
menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan, prosesnya cukup panjang. Kebenaran yang
dicapai tidak sekali jadi, dan bukan berdasarkan perkiraan semata. Kebenaran demi kebenaran
harus diproses secara berulang-ulang, hingga ditemukan kebenaran yang diuji secara empiris.
c. Ilmu Teoretis
Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah ilmu teoretis, di mana hubungan dan gejala yang
ditemukan dalam ilmu empiris diterangkan dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang
sebab-musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol
kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat dicapai. Ilmu teoretis dapat memperpendek proses
untuk sampai pada pemecahan masalah dan ilmu teoretis merupakan susunan kerangka teori.

Menurut George J.Mouly ada disiplin ilmu yang hampir seluruhnya merupakan ilmu pengetahuan
yang empiris, seperti pendidikan. Kegagalan untuk menyusun kerangka teoretis hingga dapat
disintesiskan dengan penemuan bersifat empiris. Ilmu-ilmu sosial umumnya masih
menitikberatkan pada aspek empiris dan melalaikan aspek teoretis. Akhir-akhir ini timbul
kesadaran, bahwa empirisme merupakan tahap keilmuan yang belum lengkap dan memerlukan
orientasi yang lebih besar terhadap teori.
2. Pendekatan Kultural
Pendekatan kultural didasarkan pada adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam kultur
masyarakat di rentang masa tertentu. Perubahan-perubahan besar lazimnya ditimbulkan oleh
lahirnya suatu kesadaran baru dalam sebuah masyarakat, hingga menimbulkan kultur yang
berbeda dari yang sebelumnya.

3. Pendekatan Kreatifitas
Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, Conny R. Semiawan
menggambarkan perkembangan dimaksud dalam hubungan dengan babakan sejarah kehidupan
manusia itu sendiri. Tekanan utamanya adalah pada dimensi kreatif, yang disebutnya sebagai
peranan ciri kreatifitas manusia.
4. Pendekatan Peradaban
Jerome R.Ravertz memuat tahapan perkembangan ilmu pengetahuan dalam hubungannya
dengan peradaban. Menurutnya, ilmu pengetahuan tertanam di masa lampau dan dibanyak
peradaban manusia. Jerome R.Ravertz membagi perkembangan dimaksud kedalam lima tahapan,
yakni :

a. Ilmu Pengetahuan Dalam Peradaban Zaman Kuno dan Abad Tengah


Kelahiran ilmu pengetahuan dalam peradaban yunani bersumber dari pemikiran para filsuf.
Mereka itu adalah Thales, Empedokles, Parmindes, Aeschylus, Perikles, Anaxagoras, socrates,
Aristophanes, Plato, Aristoteles, Euklindes, Archimedes, Appolonius, dan Alexander Agung. Masa
perkembangan ilmu pengetahuan di zaman ini berlangsung selama hampir seabad, yakni sejak
akhir abad ke-6 sampai abad ke-5 SM.
Adapun karya-karya yang dihasilkan antara lain dalam bidang matematika, kedokteran, astronomi,
musik, fisika, fisiologi, biologi, geometri. Dari sekian banyak bidang keilmuan ini dijumpai ada dua
yang mendekati kematangan. Pertama, ilmu kedokteran yang sudah didasarkan pada praktik
melalui penerapan metode yang berdisiplin dalam menarik kesimpulan. Kedua, geometri yang
disusun secara khusus dan mendekati masalah-masalah struktur logis, dan masalah-masalah
definisi.

b. Ilmu Dalam Peradaban-peradaban Lain


Jerome R.Ravertz sengaja menyingkat bahasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan
peradaban-peradaban lain. Tiga peradaban yang disebutnya sebagai peradaban besar, yakni
peradaban Islam, India, serta peradaban Cina dan Jepang. Ketiga peradaban ini menurut Jerome
R.Ravertz kontribusinya terhadap ilmu sebagaimana dipahami sekarang ini sangat sedikit. Namun
di antara keempat peradaban yang dimaksud, menurut Jerome R.Ravertz kebudayaan islam yang
paling relevan bagi ilmu Eropa.
c. Penciptaan Ilmu Eropa
Ilmu adalah ciptaan bangsa Eropa, jelas Jerome R.Ravertz. Penciptaan ilmu pengetahuan di Eropa
melalui dua fase. Pertama, perkembangan teknis abad ke-16. Kedua revolusi filosofis abad ke-17.
Menurut Jerome R.Ravertz sejak revolusi filosofis itu pula munculnya gagasan ilmu pengetahuan
Eropa yang berlaku hingga saat ini. Sayangnya tidak dijelaskan secara tegas, apa yang
dimaksudkan Jerome R.Ravertz dengan “ilmu”, sehingga muncul klaim seperti ini terkesan terlalu
mengagungkan secara sepihak. Menempatkan Eropa sama sekali terputus dari kontak dengan
peradaban luar, sebagaimana yang pernah dikemukakan sebelumnya.
d. Ilmu Zaman Revolusi
Revolusi industri yang terjadi menjelang abad ke-18 telah mentransformasikan Eropa dari
masyarakat agraris menjadi masyarakat industri dan gaya ilmu di zaman revolusi ialah sistematis.
Dalam penerapannya, metode-metode yang digunakan berupa rasionalisasi. Hasilnya berupa
sistem pengukuran yang runut didasarkan pada satuan-satuan alamiah dan desimal (Jerome
R.Ravertz:55-56). Jean Paul Marat menegaskan “ilmu untuk khalayak”, yang terbuka bagi para
pengrajin yang terdidik secara otodidak dan didasarkan pada kimia praktis dan sejarah alamiah.
e. Ilmu Pengetahuan Awal Abad
Perkembangan ilmu pengetahuan di awal abad ke-20 ditandai oleh tendesi kecenderungan posisi
ilmu pengetahuan menguat. Ilmu pengetahuan bersifat profesional dalam organisasi sosialnya,
reduksionis dalam gaya dan positif dalam jiwanya. Pada dasarnya ilmu pengetahuan dipandang
sebagai hasil karya penelitian murni pengajaran dipandang kurang murni. Disini Jerome R.Ravertz
melihat ada semacam perubahan penting kajian-kajian keilmuan yang bersifat eksperimental. Jadi
ini semacam pergeseran dari periode sebelumnya, yakni ilmu-ilmu murni ke ilmu pengetahuan
terapan.
5. Pendekatan Sejarah dan Kebudayaan
Marshall Goodwin Simm Hogdson menggunakan pendekatan sejarah dan kebudayaan, melalui
pendekatan ini, Marshall Goodwin Simm Hogdson menarik tentang masa yang disebutnya
kronologi sejarah dunia. Rentang kurun waktu kesejarahan yang di kemukakan Marshall Goodwin
Simm Hogdson cukup panjang. Marshall Goodwin Simm Hogdson mengawali sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan dari sekitar 10.000 SM.  Namun secara lebih konkret, ia
menekankan pada periode tahun 7.000 SM. Menurutnya, di periode itu telah terbentuk
komunitas tani awal. Selanjutnya di kemukakan oleh Marshall Goodwin Simm Hogdson, bahwa
oikoumene (pojok dunia yang berpenghuni) Aero Erasia adalah panggung dimana sejarah madani,
termasuk sejarah peradaban Islam dimainkan, dan panggung ini dipasang pada umumnya dalam
konteks-konteks hubungan kompleks-kompleks kultural besar regional.
Kesimpulan
Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap
kegiatan ilmiah.  Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan
metode keilmuan. Sebab kecenderungan kita menerapkan suatu metode ilmiah tanpa
memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan disini adalah
menerapkan metode ilmiah yang sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan bukan sebaliknya.

Pendekatan filsafat ilmu ada 5 antara lain: Pendekatan proses, Pendekatan kultural, Pendekatan
kreativitas, Pendekatan peradaban, dan Pendekatan sosial kebudayaan. Fungsi filsafat ilmu yaitu,
Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada, Mempertahankan, menunjang,
dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya, memberikan pengertian
tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia, menjadi sumber inspirasi dan
pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik,
hukum dsb.
Daftar Pustaka
• Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. (2010). Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset
• Susanto, A. (2011). Filsafat Ilmu; Suatu Kajian dalam Demensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologi. Jakarta: Bumi Aksara
• Suriasumantri S, Jujun. (2005). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai