Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH IDI

“ INTEGRASI ILMU DALAM KONSEP BERPIKIR”

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Integrasi adalah konsep yang menegaskan bahwa integrasi keilmuan yang
disasar bukanlah model melting-pot integration, di mana integrasi hanya difahami
hanya dari perspektif ruang tanpa subtansi. Integrasi yang dimaksud adalah model
penyatuan yang antara satu dengan lainnya memiliki keterkaitan yang kuat
sehingga tampil dalam satu kesatuan yang utuh. Hal ini perlu karena
perkembangan ilmu pengetahuan yang dipelopori Barat sejak lima ratus tahun
terakhir, dengan semangat modernisme dan sekulerisme telah menimbulkan
pengkotak-kotakan (comparmentalization) ilmu dan mereduksi ilmu pada bagian
tertentu saja. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya proses dehumanisasi dan
pendangkalan iman manusia.
Untuk menyatukan ilmu pengetahuan, harus berangkat dari pemahaman yang
benar tentang sebab terjadinya dikotomi ilmu dibarat dan bagaimana paradigma
yang diberikan Islam tentang ilmu pengetahuan.
Pendidikan yang berlangsung dizaman modern ini lebih menekankan pada
pengembangan disiplin ilmu dengan spesialisasi secara ketat, sehingga integrasi
dan interkoneksi antar disiplin keilmuan menjadi hilang dan melahirkan dikotomi
ilmu-ilmu agama di satu pihak dan kelompok ilmu-ilmu umum dipihak lain.
Dikotomi ini menyebabkan terbentuknya perbedaan sikap di kalangan
masyarakat.
Dikotomi ini menyebabkan terbentuknya perbedaan sikap dikalangan
masyarakat. Ilmu agama disikapi dan diperlakukan sebagai ilmu Allah yang
bersifat sakral dan wajib untuk dipelajari namun kurang integratif dengan ilmu –
ilmu kealaman atau bisa dibilang adanya jarak pemisah antara ayat-ayat kauliyah
dan ayat-ayat kauniyah. Padahal keduanya saling berhubungan erat. Hal ini
berakibat pada pendangkalan ilmu-ilmu umum, karena ilmu umum dipelajari
secara terpisah dengan ilmu agama. Ilmu agama menjadi tidak menarik karena
2
terlepas dari kehidupan nyata, sementara ilmu umum berkembang tanpa sentuhan
etika dan spiritualitas agama, sehingga disamping kehilangan makna juga bersifat
detruktif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dan metode berpikir?
2. Bagaimana ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu?
3. Bagimana integrasi tauhid dalam konsep berpikir yang sistematis dan
komprehensif?

3
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Konsep dan Metode Berpikir
1. Konsep berpikir dalam Al – Qur’an
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan
konsep (Bochenski) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep
ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian
informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-
pengertian. Berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru
dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek
atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan
pemecahan masalah.
Manusia lahir ke dunia dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Tapi
manusia dibekali dengan perantara (wasilah) untuk mencari ilmu dan ma’rifah
yaitu dengan akal (‘aql), pendengaran (sam’), dan penglihatan (bashar).
Semua perantara tersebut diberikan kepada manusia dengan tujuan untuk
mengetahui kebenaran (haqq) dan menjadikannya dalil atas argumennya
dalam berpikir. Adapun kebenaran yang dipahami dapat berfungsi sebagai alat
untuk mengontrol diri supaya tidak terjerumus dalam kesesatan (bathil). Dan
untuk mengetahui kebenarankebenaran tersebut diperlukan cara berpikir yang
benar pula (tafakkur). Apabila cara berpikirnya salah maka objek dan hasil
yang dipahaminya pun akan menjadi salah. Maka berikut ini akan dibahas
mengenai konsep berpikir dalam al-Qur’an sebagai aktifitas yang mampu
mengantarkan manusia kepada keimanan dan kesesatan.
a. Al-Tadhakkur
Tadhakkur merupakan bentuk derivasi dari kata dasar dhakara yang berarti
mengingat. Ibn Manzur berpendapat bahwa Tadhakkur adalah upaya untuk
menjaga sesuatu yang pernah ia ingat atau pahami. (Ibn Mandzur, 1119:
1507). Sedangkan dhikr berarti segala yang terucap oleh lisan. Adapun Ar-
4
Raghib al-Asfahany membagi makna dhikr menjadi dua yaitu Dhikr bi Al-
Qalb (berpikir dengan hati) dan Dhikr bi Al-Lisan (mengingat dengan lisan).
(al-Ashfahani, t.th: 237). Lebih lanjut ia menekankan bahwa masing-masing
mengandung makna sebagai proses mengingat kembali tentang apa yang
telah terlupa dan mengingat untuk memahami hal yang baru atau ilmu yang
baru bagi orang yang berpikir.
b. Al-Tafakkur
Istilah al-tafakkur berasal dari kata fakara yang berarti kekuatan atau daya
yang mengantarkan kepada ilmu. (al-Ashfahani, t.th: 496). Dengan kata lain
bahwa tafakkur adalah proses menggunakan daya akal (‘aql) untuk
menemukan ilmu pengetahuan. Istilah fikr memiliki beberapa makna yang
berdekatan. Di antaranya ialah al-tafakkur, al-tadhakkur, al-tadabbur, nadzar,
ta’ammul, i’tibar, dan istibshar (Al-Hajjaji, 1988: 262). Ibn al-Qayyim
mengatakan bahwa tafakkur adalah proses memahami kebenaran suatu
perintah antara yang baik (al-khair) dan yang buruk (al-sharr) untuk
mengambil manfaat dari yang baik-baik serta bahaya dari suatu keburukan
(Al-Hajjaji, 1988: 270).
c. Al-Tadabbur
Tadabbur merupakan istilah yang datang dari bahasa Arab. Istilah tadabbur
merupakan bentuk derivasi dari kata dasar dabara yang artinya melihat apa
yang terjadi di balik suatu masalah. Selain itu, kata tersebut juga memiliki
makna leksikal “menyuruh (al-amr), memerintah (walla)”. Dari kata dasar
dabara juga menurunkan istilah lain yaitu altadbir yang berarti memikirkan
(al-tafkir) apa yang ada di balik sesuatu. Selain itu didapatkan juga istilah al-
tadbir yang artinya membebaskan budak dari keterbelakangan atau
terbebasnya seorang budak dari perbudakan setelah kematian tuannya
(Mandzur, 1119: 1321).
2. Metode berpikir

5
Metode berpikir adalah cara yang ditempuh akal dalam usaha
menghasilkan pemikiran. sebelum membahas macam-macam metode
berpikir perlu dibedakan antara metode berpikir dengan cara/ teknik
berpikir. metode berpikir adalah satu cara yang ditempuh akal dalam
berpikir. jumlahnya satu, tetap, tidak pernah berubah dan
tidak bervariasi.cara berpikir adalah cara yang dituntut dalam pengkajian
suatu objek baik material maupun non material. cara berpikir juga meliputi
sarana untuk mencapai sesuatu. cara berpikir bisa bermacam-macam,
berbeda-beda, berubah-ubah dan jumlahnya bisa banyak.
Metode berpikir umumnya ada tiga:
1. metode rasional
2. metode ilmiah.
3. logika.

B.  Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu


Kata Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi menurut bahasa berasal dari
bahasa Yunani. Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada
(yang ada)”. Kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani artinya knowledge
yaitu pengetahuan. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu logia artinya
pengetahuan dan episteme artinya tentang pengetahuan. Jadi pengertian
etimologi tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa epistemologi merupakan
pengetahuan tentang pengetahuan. Dan kata Aksiologi berasal dari kata “Axios”
yang berarti “bermanfaat”. Ketiga kata tersebut ditambah dengan kata “logos”
berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori”.
Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata
ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Epistemologi adalah ilmu yang
membahas secara mendalam segenap proses penyusunan pengetahuan yang
benar. Sedangkan Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.

6
Dengan demikian Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang meneliti segala
sesuatu yang ada. Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang teori,
sedangkan Aksiologi adalah kajian tentang nilai ilmu pengetahuan.

1. Ontologi
Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan
bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan
tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala
realitas dalam semua bentuknya.
Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang
bersifat empiris. Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan
yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak
dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan
empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi
pada dunia empiris.

2. Epistemologi
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan
ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya.
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu
datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan
lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu
mengenai sesuatu hal.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses
apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral

7
dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan
seni dan kebaikan moral.

3. Aksiologi
Sampailah pembahasan kita kepada sebuah pertanyaan: Apakah
kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak
mengubah dunia dalam memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan,
kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu
selalu demikian: ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia.
Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai
sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga
berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom
yang menimbulkan malapetaka.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa
pengetahuan itu digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah
dengan moral etika? Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral?
Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?
Demikian pula aksiologi pengembangan seni dengan kaidah moral,
sehingga ketika seni tari dangdut Inul Dartista memperlihatkan goyangnya di
atas panggung yang ditonton khalayak ramai, sejumlah ulama dan seniman
menjadi berang.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan
nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat
mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara
licik ilmuan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu bangsa, dan
penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bancana bagi terancamnya
perdaban perkawinan.

C.    Integrasi Tauhid dalam Konsep Berpikir yang Sistematis dan Komprehensif

8
Sebelum mendalami kajian tauhid sebagai prinsip ilmu pengetahuan,
disini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai makna tauhid pertama dan ilmu
pengetahuan kedua. Pertama, definisi tauhid secara bahasa arab merupakan
bentuk masdar dari fi’il Wah}h}ada-yuwah}h}idu (dengan huruf “h}a” di
tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin mengatakan makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai
satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya. Sementara
Ibn Taimiyah mendeskripsikan tauhid sebagai doktrin yang terikat dalam
pengertian tawh}īd fī al-‘ilm wa alqawl wa tawh}īd fī al-‘ibādāt. Demikian juga
halnya dengan konsep klasifikasi tauhid yang dilakukan oleh Muhammad
‘Abduh yang cenderung mengacu kepada konsep ontologi tauhid yang melekat
pada diri Tuhan semata dengan formulasi Tauh}īd Rubūbiyah wa Tauh}īd al-
Asmā’ wa al-S}ifāt. Namun kedua konsep tersebut tidak membumi kepada
bahasan yang implementatif dalam tataran dimensi kehidupan manusia
sebagaimana yang dikaji oleh al-Faruqi, tauhid menurutnya adalah pandangan
umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia
yang mencakup prinsip dualitas, ideasionalitas, teologi, kemampuan manusia
dalam pengolaham alam dan tanggung jawab penilaian.
Kedua adalah definisi ilmu, apakah ilmu? Ketika dihadapkan pada
pertanyaan ini, kebanyakan orang terusik, enggan menjawab bahkan tidak
peduli. Selama berabad abad Ulama telah terus menerus membahas ilmu secara
intensif dan ekstentif. Beragam definisi ilmu telah dikemukakan oleh para
teolog dan fuqaha, filusuf dan para ahli bahasa. Dalam karya Kamus Istilah
Qur’an al-Raghib al-Isfahani mendefinisikan ilmu sebagai “persepsi suatu hal
dalam hakikatnya”. Didukung juga oleh “Hujja>t-al-Isla>m” Imam al-Ghazali
mengatakan ilmu sebagai “pengenalan sesuatu atas dirinya”. Ada juga yang
dikemukakan oleh seorang ahli logika Athir al-Din al-Abhari, baginya ilmu
adalah menghampirnya “gambar” suatu benda dalam pikiran.
Iman sebagai landasan ilmu pengetahuan
9
Mengapa iman dijadikan landasan ilmu pengetahuan? karena iman
mengandung pernyataan syahadah yang mencakup kebenaran tauhid, dan
adapun kaitannya dengan ilmu sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an
bagaimana tingginya derajat orang-orang berilmu sehingga disejajarkan
kedudukan mereka dengan malaikat, karena dengan ilmunya, mereka
mampu memahami “tidak ada Tuhan selain Allah”.
Al-Faruqi menyimpulkan bahwa iman bukanlah sematamata suatu
kategori etika, karena sesungguhnya iman merupakan kategori kognitif yang
memiliki hubungan dengan pengetahuan dengan kebenaran dan prosisi-
prosisinya. Dan karena sifat dari kandungan proposisionalnya sama dengan
sifat dari prinsip pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika dan
estetika, maka dengan sendirinya dalam diri subyek ia bertindak sebagai
cahaya yang menyinari sesuatu.29 Seperti yang dipaparkan oleh al-Ghazali,
iman adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam
perspektif yang sesuai dan perlu bagi pemahaman yang benar atas mereka.
Maka tauhid dalam perspektif epistemologi al-Faruqi memiliki
kelebihan bahwa konsep tersebut menolak sikap skeptisisme yang telah
menjadi prinsip dominan dikalangan terpelajar dan menjalar dikalangan
orang awam. Bahkan melahirkan emperisme yang memunculkan
magisterium dalam kewenangan mengajarkan kebenaran. Dalam hal mana
kebenaran yang dicari melalui jalan empiris dengan konfirmasi ultimate-nya
lewat pengamatan inderawi dapat dipatahkan oleh sebuah keyakinan.
Tauhid harus dijadikan dalam bentuk keyakinan (faith) yang dapat menepis
semua keraguan dalam kehidupan ini.
Dimensi Tauhid dalam Membetuk Esensi Peradaban Manusia Berilmu
Selain mengetahui landasan dan sumber ilmu, perlu juga memahami
dimensi dan prisnsip-prinsip Tauhid. Karena sifat dari pernyataan tauhid
mengakui akan kebenaran sebagaimana pernyataan syahadah, Lā ilāha illā
Alla>h, tidak ada Tuhan selain Allah.42 Dalam rangka membangun peradaban
10
manusia berilmu yang beresensi tauhid, al-Faruqi menekankan dua dimensi
penting dalam tauhid, yaitu dimensi metodelogis dan dimensi kontentual.
Pertama, dimensi metodelogis yang meliputi tiga prinsip utama, yakni
unitas, rasionalisme dan toleransi. Ketiga prinsip inilah yang menentukan
bentuk peradaban Islam. Prinsip Unitas (Kesatuan), bahwa suatu peradaban
akan terbangun jika segenap unsur-unsur peradaban tersebut disatukan,
diintegrasikan dan diseleraskan menjadi bangunan yang utuh. Sebaliknya jika
unsur-unsur tersebut tidak menyatu, maka yang terbentuk adalah campuran
unsur yang tidak teratur. Sehingga kesatuan merupakan hal yang mendasar
dalam pembentukan peradaban.
Kedua, dimensi kontentual (isi), bahwa tauhid sebagai esensi peradaban
Islam mendasari isi peradaban Islam itu sendiri, dalam kaitan ini tauhid
memiliki fungsi sebagai prinsip utama dalam epistemologi, di antaranya adalah;
Pertama, Tauhid Sebagai Prinsip Pertama Metafisika. Bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah berarti berpendapat bahwa Dia Pencipta Yang mewujudkan
segalanya. Dialah sebab utama setiap kejadian, dan tujuan akhir segala yang
ada, bahwa Dialah yang Pertama dan Terakhir. Bersaksi dengan kebebasan dan
keyakinan secara sadar memahami isinya, berarti menyadari bahwa segala di
sekitar kita, baik benda atau kejadian, semua yang terjadi di bidang alam, sosial
atau psikis adalah tindakan Tuhan, pelaksanaan dari satu atau lebih tujuan-Nya.
Ketika tercipta realisasi seperti itu menjadi hakikat kedua manusia yang tak
dapat dipisahkan darinya selama terjaga. Sehingga manusia mengikuti inisiatif
Tuhan dalam alam yang berarti melaksanakan ilmu alam. Mengamati inisiatif
Ilahiah dalam diri seseorang atau dalam masyarakat berarti mempelajari ilmu
kemanusiaan dan ilmuilmu sosial. Kedua, Tauhid Sebagai Prinsip Pertama
Etika. Tauhid menegaskan bahwa Tuhan Maha Esa menciptakan manusia dalam
bentuk terbaik utuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya.50 Tauhid juga
menegaskan bahwa tujuan ini termasuk kekhalifahan manusia di muka bumi
dengan membebaninya (takli>f) tanpa batasan karena kewajibannya mencakup
11
seluruh alam semesta. Berkat ini, manusia mengemban kosmis dibawah
naungan Ilahiah yang mendorong kepada moral. Hal tersebutlah yang
membedakan antara humanisme Islam dengan humanisme yang lainnya, seperti
peradaban Yunani yang mengembangkan humanisme dengan berlandaskan
pada naturalisme yang berlebihan sehingga mereka menedawakan manusia
bahkan tidak tersinggung ketika dewadewanya digambarkan sebagai penipu
bahkan pezina.

12
BAB III
KESIMPULAN

Berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski) di dalam diri


seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan
hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang
yang berupa pengertian-pengertia.
Metode berpikir adalah cara yang ditempuh akal dalam usaha menghasilkan
pemikiran.
Kata Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa
Yunani. Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada (yang ada)”.
Kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani artinya knowledge yaitu pengetahuan.
Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu logia artinya pengetahuan dan episteme
artinya tentang pengetahuan. Jadi pengertian etimologi tersebut, maka dapatlah
dikatakan bahwa epistemologi merupakan pengetahuan tentang pengetahuan. Dan
kata Aksiologi berasal dari kata “Axios” yang berarti “bermanfaat”. Ketiga kata
tersebut ditambah dengan kata “logos” berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori”.

13
DAFTAR PUSTAKA

Qamar. Mujamil. t.th. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Tafsir. Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Tafsir. Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahauan. Cet-4. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suriasumantri. Jujun S. 1997. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu, Cet. XIII; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

14

Anda mungkin juga menyukai