Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu cabang fundamental filsafat adalah epistemologi. Secara spesifik,


epistemologi berhubungan dengan karakter, sumber, batasan, dan validitas
pengetahuan. Dari sudut pandang epistemologi, Dalam bidang sains, sejarah, maupun
fenomena kehidupan sehari-hari akan kecil nilainya jika kita tidak mampu mendukung
pengetahuan kita secara argumentatif. Tidak hanya itu, semua konsep-konsep tentang
kehidupan manusia, teori-teori tentang alam semesta, bahkan penegasan tentang
kejadian sehari-hari, membutuhkan semacam pembenaran rasional (justification).
Dengan demikian, peranyaan-pertanyaan epistemologis mendasari seluruh penjelajahan
filosofis lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa konsep dasar Epistemologi, Filsafat ilmu, dan Logika ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Konsep Dasar Epistemologi

Epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelediki asal mula, susunan, metode-
metode dan sahnya pengetahuan.1 Epistemologi didalmnya membicarakan tentang
sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. 2 Pertanyaan
mendasar yang dikajinya ialah :

Apakah mengetahui itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita?
Bagaimanakah cara kita mengetahui bila kita mengetahui pengetahuan? Bagaimankah
cara kita membedakan antara pengetahuan dengan pendapat? Apakah yang merupakan
bentuk pengetahuan itu? Corak-corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah
cara kita memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah
kesalahan itu?

Bila kita perhatikan, maka tampak pertanyaan-pertanyaan ini terbagi dalam dua
kelompok yang bersifat umum. Kelompok pertanyaan pertama adalah pertanyaan
mengacu kepada sumber pengetahuan kita. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dinamakan
pertanyaan-pertanyaan epistemologi kefilsafatan, dan erat hubungannya dengan ilmu
jiwa. Pertanyaan-pertanyaan yang lain, kedua, merupakan masalah-masalah semantik,

1 Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 74.
2 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 23.

2
yakni menyangkut hubungan antara pengetahuan kita dengan objek pengetahuan
tersebut.

Perhatikanlah bahwa pertanyaan-pertanyaan itu tidak lebih atau tidak kurang


umumnya daripada pertanyaan-pertanyaan metafisika. Bahkan, dalam arti tertentu sama
derajatnya. Bahwasanya epistemologi erat hubungannya dengan kosmologi, sudahlah
jelas. Bagaimana cara kita mengetahui kenyataan dapat menentukan apa yang kita
ketahui. Dilain pihak jika kita tidak berhati-hati, dapat terjadi kita akan menyimpilkan
dari bagaimana cara kita mengetahui, bukan hanya apa yang akan kita ketahui,
melainkan juga menyimpulkan apakan kenyataan itu. Inilah kesalahan yang sering
dilakukan oleh mereka yang menunjukkan bahwa satu-satunya hal yang kita ketahui
ialah ide-ide, dan bahwa karenanya kenyataan itu tentu terdiri dari ide-ide.3

Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan


bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita
mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-
hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya baru dapat menganggap
mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan
epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh
pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bawa apa yang kita punyai
hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat
menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian
yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.4

Pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan


filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai
cara dengan menggunakan berbagai alat. Ada beberapa aliran yang berbicara tentang
ini, yakni:

1) Empirisisme

3
Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 74.

4 Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 131.

3
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang
dimaksud ialah pengalaman inderawi. Contohnya seperti, manusia tahu es dingin
karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.

2) Rasionalisme

Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benardiperoleh dan diukur dengan akal. Manusia,
menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek.

3) Positivisme

Tokoh aliran ini adalah August Compte (1798-1857). Ia penganut empririsme. Ia


berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi
harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliriuan
indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran
yang jelas. Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah satu aliran yang khas berdiri
sendiri. Ia hanya menyempurnakan emperirisme dan rasionalisme yang bekerjasama.

4) Intuisionisme

Henri Bergson (1859-1941) ada;ah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak hanya
indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek
yang selalu berubah, tidak tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat
memahami suatu objek bila is mengonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi dalam hal
seperti itu manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak juga dapat memahami
sifat-sifat yang tetap pada objek. Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari
objek, kemudian bagian-bagian itu digabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan
pengetahuan menyeluruh tentang objek itu.5

Secara khusus George Edward Moore dan Russell telah merangkul keistimewaan
epistemologi dari “data indrawi” (sense data), yaitu sesuatu yang didefinisikan dengan

5 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 24-27.

4
sebagai sejenis “hal yang teragukan yang bersifat netral”6 Pandangan ini elah ada pada
epistemologi empirisme radikal dan epistemologi realisme.7

2. Filsafat Ilmu

Filasafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan, baik secara subtansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.8 Tepatlah jika dikatakan bahwa
bukannya kefilsafatan yang berbahaya, melainkan yang berbahaya ialah filsafat yang
mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu dengan suatu cara yang berada, diluar
tujuan dan metode ilmu.9

Adapun penertian lain filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan
ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya dengan cara penyelidikan lanjutan. Karena,
apabila penyelenggara barbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek
serta masalah-masalah yang berjenis khusus dari masing-masing ilmu itu sendiri, maka
orang pun dapat melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah
tersebut. Dengan mengalihkan perhatian dari obyek-obyek yang sebenarnya dari
penyelidikan ilmiah kepada proses penyelidikannya sendiri, maka munculah suatu
matra baru. Segi-segi yang menonjol serta latar belakang segenap kegiatan menjadi
tampak. Berangkat dari sini, menjadi jelas pula saling hubungan antara obyek-obyek
dengan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan
tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan dengan ilmiah dengan pengolahan
bahan-bahan secara ilmiah. Dan memang filsafat ilmu merupakan suatu bentuk
pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan.10

6
P. Hardono Hadi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisius, 1994), cet. Ke-1, 70-71.
7
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa ,( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), 95.
8
Amsal Bakhtiar , Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 11.
9
Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 103.

10Beerling Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2003), 1.

5
3. Logika

Secara etimologis, logika adalah istilah yang dibentuk dari kata logikos yang
berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti: sesuatu yang diutarakan, suatu
pertimbangan akal (fikiran), kata, atau ungkapan lewat bahasa. Kata logikos berarti
mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu pertimbangan akal, mengenai kata,
mengenai percakapan atau yang berkenaan dengan ungkapan lewat bahasa. Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa logika adalah suatu pertimbangan akal atau
pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika
disebut logike episteme atau dalam bahasa latin disebut logica scientia yang berarti
ilmu logika, namun sekarang lazim disebut dengan logika saja.

Definisi umumnya logika adalah cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal
pada penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu.
Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan
“jembatan penghubung” antara filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika
didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya
bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu
kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan
runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti dituntut
kebenaran bentuk sesuai dengan isi.

Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang


dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk
himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan.
Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya
menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika
diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula
penalaran tersebut.11

11
Pengertian epistemologi dan logika, http://bebexculun.blogspot.com/2012/01/pengertian-epistemologi-
dan-logika.html, 20/10/18.

6
Pendapat lain, logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus.
Ilmu pengetahuan ini menguraikan tentang aturan-aturan serta cara-cara untuk
mencapai kesimpulan, setelah didahului oleh suatu perangkat prenis. Logika dibagi
dalam dua cabang pokok, yaitu logika deduktif dan logika induktif.

1) Logika Deduktif

Didalamnya membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila


lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini
diantara suatu kelompok barang sesuatu. Gunanya yakni memenuhi maksud kita
dengan dapat membatasi diri pada usaha menerangkan secara singkat bagian logika
yang terkenal sebagai logika Aristoteles.

2) Logika Induktif

Didalamnya membicarakan tentang penarikan kesimpulan bukan dari


pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan dari pernyataan-pernyataan yang
khusus.12

Pendekatan yang radikal semacam ini membatasi jumlah masalah filsafat yang
banyak itu menjadi meliputi lapangan-lapangan tertentu dari empistemologi dan logika.
Sebagai konsekuensinya, penganut neo-positivisme sepaham untuk menolak gagasan
bahwa filsafat dapat mempersoalkan tentang kenyataan sebagai keseluruhan, atau
bahkan menolak usaha filsafat untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang
kenyataan. Penolakan ini dilakukan dengan dua cara :

1) Dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman


inderawi.

2) Dengan menganalisa bahasa, dan berusaha menunjukkan betapa kita dapat


terpedaya oleh struktur bahasa.

12 Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 27-31.

7
Hal ini didasarkan atas apa yang dinamakan “Veriflabillity theory of meaning” yang
mengatakan bahwa suatu kalimat betul-betul mengandung makna dari seseorang
tertentu jika, dan hanya jika, ialah mengetahui bagaimana caranya melakukan verifikasi
terhadap preposisi yang hendak mengatakan oleh kalimat itu. Artinya, jika ia
mengetahui pengamatan apakah yang akan menyebabkan ia dengan syarat-syarat
tertentu menerima preposisi tersebut sebagai preposisi yang benar, atau menolaknya
sebagai preposisi yang sesat.13

13 Alfred J. Ayer, Languange, Truth and Logic (New York: Oxford University Pres, 1936), 20.

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan


filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui
berbagai cara dengan menggunakan berbagai alat. Dan dapat diungkapkan malalui
ungkapan secara logika, yang didalam ungkapan tersebut terdapat filsafat ilmu.

9
DAFTAR PUSTAKA

Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 74.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 23.

Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 74.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 24-27.

P. Hardono Hadi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisius, 1994),


cet. Ke-1, 70-71.

Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa ,( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), 95.

Amsal Bakhtiar , Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 11.

Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004),


103.

10
Pengertian epistemologi dan logika,
http://bebexculun.blogspot.com/2012/01/pengertian-epistemologi-dan-logika.html,
20/10/18.

Louis O. Kattshof , Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 27-
31.

Alfred J. Ayer, Languange, Truth and Logic (New York: Oxford University Pres,
1936), 20.

11

Anda mungkin juga menyukai