Anda di halaman 1dari 16

3

EPISTEMOLOGI
EPISTEMOLOGI SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU

A. Apa itu Epistemologi


Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang
membicarakan tentang teori ilmu pengetahuan. Cabang ini berusaha menemukan
jawaban atas pertanyaan bagai-mana ada itu berada. Proses ada itu Bari sisi ilmu
pengetahuan tentu mengikuti prinsip-prinsip teoretik yang jelas.
Dalam konsep Kenneth T. Gallagher (Hadi, 1994:13) epistemologi itu
muncul dari rasa kagum. Kekaguman manusia terhadap ada, dinalar dengan
common sense akan memunculkan epistemologi, yang membicarakan masalah
bagaimana ada itu ada. Ada itu tidak serta merta ada. Ada itu melalui sebuah
proses. Proses ada itu yang dipelajari dalam wilayah epistemologi. Epistemologi
adalah cabang filsafat umum yang membicarakan teori pengetahuan. Secara
etimologis, pengetahuan berarti hasil mengetahui, sedangkan pengetahuan
sebagai istilah adalah materi juga atau hanyalah merupakan akibat saja Bari proses
gerakan materi atau kebendaan dengan cara tertentu. Materialisme juga
disejajarkan dengan naturalisme. Naturalisme, yaitu aliran filsafat yang
menganggap alam saja yang ada, di luar alam tidak ada apa-apa. Dari aliran
materialisme itu berkembang teori atom atau atomisme yang menurut teori ini
semua benda itu tersusun dari sejumlah unsur, dan unsur-unsur ini bersifat tetap.
Bagian-bagian terkecil dari unsur-unsur itu disebut atom-atom.
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengendalian-pengendalian, dan
dasar-dasarnya. Epistemologi adalah ilmu yang melacak pengertian mengenai
pengetahuan yang dimiliki mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan
pengenalannya is dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Muhadjir (2000:5)
menyatakan bahwa dalam ilmu pengetahuan selalu akan dicapai yaitu kebenaran
epistemologi. Kebenaran epistemologi tampil dalam kebenaran tesis dan lebih
jauh berupa teori, yang pada gilirannya akan disanggah oleh tesis dan ilmu lain.
Pernyataan ini menandakan bahwa ilmu pengetahuan tidak kekal. Berkat
epistemologi, justru suatu saat akan membongkar dan mendobrak ilmu
pengetahuan yang telah mapan. Mereka mengandalkan begitu saja bahwa
pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, meskipun beberapa di antara mereka
mengharapkan bahwa pengetahuan mengenai struktur kenyataan dapat lebih
dimunculkan dari sumber-sumber tertentu ketimbang sumber-sumber lainnya.
Pada tataran tertentu epistemologi dapat disebut sebagai cabang filsafat
ilmu yang membicarakan bagaimana ilmu itu ada. Ini tergolong filsafat ilmu
pengetahuan. Epistemologi merupakan langkah, proses, dan upaya menengarai
masalah-masalah filsufi yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi
bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi
dan niscaya, dan relasi eksak antara slim (subjek) dan nalum (objek). Atau dengan
kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar,

  1  
sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting
dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi
tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan "kebenaran"
macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Jadi
epistemologi adalah filsafat ilmu yang meneropong bagaimana kebenaran itu
diperoleh.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat
yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolak ukur,
keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Melalui epistemologi manusia akan memahami bagaimana ilmu pengetahuan itu
ada secara ilmiah. Cara memperoleh ilmu pengetahuan yang ilmiah itu yang paling
banyak disentuh epistemologi. Pengetahuan manusia amat luas, namun secara
garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Pengetahuan ilmiah dan (2)
Pengetahuan tidak ilmiah. Pengetahuan nonilmiah adalah hasil serapan indra
terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang tidak perlu dan tidak mungkin diuji
kebenarannya. Pengetahuan nonilmiah tidak dapat dikembangkan menjadi
pengetahuan ilmiah. Misalnya pengetahuan orang tertentu tentang jin atau
makhluk halus di tempat tertentu, keampuhan pusaka, dan lain-lain. Sebaliknya,
pengetahuan ilmiah adalah hasil serapan indra dan pemikiran rasional yang
terbuka terhadap pengujian lebih lanjut menggunakan metode-metode ilmiah.
Misalnya pengetahuan orang tentang manfaat rebusan daun jambu biji untuk
mengurangi gejala diare.
Pemahaman terhadap ilmu pengetahuan ilmiah akan mempermudah
manusia memahami metode penelitian ilmiah. Secara singkat dapat dikatakan
filsafat adalah refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh
pengetahuan yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu
pengetahuan mengumpulkan data empiris atau data fisik melalui observasi atau
eks-perimen, kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang
bersifat universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut
direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-
unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam.
Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat pada fakta, objektif dan ilmiah,
maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di samping
membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya
dibatasi, misalnya psikologi objeknya dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat
objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara
filosofIs atau reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila
ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk menemukan
pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu pembahasan
yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuan datanya mendetail dan akurat tetapi
tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, karena
yang dicari adalah hakikatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.

B. Cakupan Pokok Epistemologi


Dengan memerhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema
dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan.
Masalah ilmu dan pengetahuan biasanya yang menjadi titik tolak pembahasan
ilmiah. Sejak tahun 1960 Edmunf Gertier (Muhadjir, 2011:82-85) mempertanyakan

  2  
bahwa "apakah pembenaran atau justifikasi terhadap yang diyakini itu cukup
disebut sebagai ilmu?". Pertanyaan ini cukup menggelitik bagi siapa saja yang
belajar suatu ilmu, terutama yang sering meneliti. Paling tidak, pertanyaan itu
menjadi pijakan penting bahwa ada keraguan terhadap "keyakinan" jika diterapkan
dalam ilmu. Atas dasar hal ini, maka semua orang mencoba mengkaji ilmu
menggunakan metode tertentu, agar dapat meyakinkan pihak lain. Dasar metode
pengembangan ilmu yang diyakini kebenarannya adalah epistemologi. Oleh
karena epistemologi akan menuntun keruntutan berpikir yang nalar.
Cakupan dan ragam epistemologi dapat dikelompokkan menjadi beberapa
hal, yakni: (a) Epistemologi subjektif, artinya apabila dalam melacak kebenaran suatu
ilmu dilakukan tanpa standar reliable, melainkan didasarkan atas refleksi, refleksi
diri yang masuk ke dalam pemahaman ilmu, biasanya bersifat subjektif, (b)
Epistemologi pragmatik, adalah upaya menemukan yang kekal (kebenaran) dengan
pencermatan realistik, empirik, eksperimental. Dasar dari epistemologi ini adalah
aspek kegunaaan dalam masyarakat; (c) Epistemologi moral, adalah pencarian
keputusan benar atau tidak, atas dasar baik buruk (meta-etik). Pertimbangan
makna semata-mata didasarkan atas keputusan etis tidaknya suatu ilmu bagi
masyarakat; (d) Epistemologi religious, adalah ilmu yang membahas pencarian ke-
benaran dari kitab-kitab dan doktrin.
Tataran epistemologi merupakan cara untuk menemukan sebuah
kebenaran. Kebenaran dipandang tepat apabila mengguna-kan episteme yang
tepat. Dalam hal ini, ada dua poin penting akan dijelaskan:
(1) Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subjek epistemologi adalah ilmu
secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushull. Ilmu
itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan
batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
(a) Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengindraan secara umum
dan mencakup segala hal yang hakiki, rains, teknologi, keterampilan,
kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhuri, hushuli, ilmu
Tuhan, ilmu Para malaikat, dan ilmu manusia.
(b) Ilmu adalah kehadiran (hudhuri) dan segala bentuk penyingkapan.
Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu
hushuli dan ilmu hudhuri.
(c) Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushuli di mana
berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
(d) Ilmu adalah pembenaran (at-tashdig) dan hukum yang meliputi
kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
(e) Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
(f) Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan
kenyataan dan realitas eksternal.
(g) Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.
(h) Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling
bersesuaian di mana tidak berhubungan dengan masa-sejarah dan
geografi.
(i) Imu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki di
mana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
(j) Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat
empirik.

  3  
(2) Sudut pembahasan, yakni apabila subjek epistemologi adalah ilmu dan
makrifat, maka dari sudut mana subjek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat
juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda
bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik
tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu
pembahasan di bidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan
kesesuaian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian
epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan
perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab
hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu
psikologi mengkaji subjek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia
terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang
pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam
tentang perbedaan-perbedaan ilmu.

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan,


pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi
ini, ilmu hushuli dan ilmu hudhuri juga akan menjadi pokok-pokok
pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman
penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subjek dalam
epistemologi. Epistemologi atau teori pengetahuan, yaitu cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pertanyaan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sebagian ciri yang patut mendapat
perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah
munculnya pandangan Baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu
merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu hahwa ilmu pengetahuan
sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti
dengan pandangan bahwa pengetahuan justru harus mencari untung, artinya
dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini.
Ilmu pengetahuan manusia memang luas cakupannya. Banyak ilmu di
sekitar hidup manusia yang pantas dimiliki. Sumber-sumber ilmu pengetahuan
juga tidak terbatas. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan, manusia dapat
menelusuri empat hal, yaitu:
(1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana. Sumber ilmu pengetahuan
mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu
pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan Bari akal (rasio).
Sehingga timbal paham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme.
Aliran empirisme, yaitu paham yang menyusun teorinya berdasarkan pada
empiri atau peng-alaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-
1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun
teorinya berdasarkan rasio. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya Spinoza, Rene
Descartes. Metode yang digunakan aliran empirisme adalah induksi, sedang
rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh
yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.
(2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan. Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita
tangkap dengan pancaindra itu hanya terbatas pada gejala atau fenomena,

  4  
sedang substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan
pancaindra disebut nomenon. Apa yang dapat kita tangkap dengan
pancaindra itu adalah penting, pengetahuan tidak sampai di situ saja tetapi
harus lebih dari sekadar yang dapat ditangkap pancaindra. Yang dapat kita
ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan pancaindra adalah
hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan
waktu adalah di luar jangkauan pancaindra kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide
regulatif: 1) Ide kosmologis, yaitu tentang semcsta alam (kosmos), yang tidak
dapat kita jangkau dengan pancaindra, 2) Ide psikologis, yaitu tentang psiche
atau jiwa manusia, yang tidak dapat kita tangkap dengan pancaindra, yang
dapat kita tangkap dengan pancaindra kita adalah manifestasinya misalnya
perilakunya, emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain, 3) Ide teologis,
yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
(3) Strukturnya. Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran.
Yang ingin kita ketahui adalah objek, di antara kedua hal tersebut seakan-akan
terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat
dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis demarkasi
tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu salah,
karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
(4) Keabsahan. Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa
ilmu pengetahuan itu sah berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu
nilai (axiologi), dan kebenaran itu adalah suatu relasi. Kebenaran adalah
kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada korespondensi, yaitu
persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang diungkapkan
dengan realita.

Ilmu pengetahuan manusia merupakan strategi khusus untuk menemukan sebuah


kebenaran. Kebenaran tersebut menjadi target filsafat ilmu. Kalau direnungkan,
terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu (a) Teori
Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan
kenyataan atau realita, (b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan
yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi antara rumus yang
satu dengan yang lain. (c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar adalah yang
berguna. Pragmatisme adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang berhadapan
dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat.
Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Masalah kebenaran dalam filsafat ilmu akan dibahas pada bab tersendiri.
Namun, untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang
apa, periksa skema berikut ini. Dari gambaran peta keilmuan pada tabel di bawah
ini, tampak jelas bahwa pada dasarnya epistemologi itu ingin meletakkan dasar
keilmuan tentang bagaimana ilmu itu diperoleh. Sisi keilmuan dapat dipeta-
petakan menurut kepentingan dan cara memperolehnya. Masalah epistemologis
yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah
berpengetahuan itu mungkin? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui? Sekilas
masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang
mengingkari pe-ngetahuan atau meragukan pengetahuan.

  5  
Misalnya, bapak kaum sophis, Georgics, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan
berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau
jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat
bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho
salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui
sesuatu menggunakan dua alat, yakni indra dan akal. Indra yang merupakan alat
pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra
penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu
indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana
pengetahuan lewat indra dapat dipercaya? Demikian pula halnya dengan akal.
Manusia sering kali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara
para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar
pasti ada yang salah. Maka akal pun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat
pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan
tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena
kesalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca:
meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan.
Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal sering kali
bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal
itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho
tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin.
Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra
tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karena itu mesti ada
cara agar akal dan indra tidak bersalah. Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih

  6  
efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan
kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay).
Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa
dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr
memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. la termasuk pemikir yang pernah
mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan
bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak
dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya
terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi
dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata
keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberikan hal yang
pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan,
tetapi ia tidak bisa meragukan pikirannya.
Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan
berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan
pengetahuannya adalah "Saya berpikir (baca: ragu-ragu), maka saya ada".
Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama,
namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada,
maka saya ada. Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis
terhadap realita, namun ia pun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat
dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah "Keraguan adalah kendaraan
yang mengantarkan seseorang ke keyakinan".
Keraguan adalah sebuah sangsi. Dari sisi epistemologis, keraguan sangat
diperlukan, agar ilmu pengetahuan itu berkembang. Setiap upaya epistemologi
selalu diawali dengan keraguan, Baru dirumuskan ke dalam permasalahan. Orang
yang kritis, selalu meragukan sesuatu. Misalkan, benarkah bumi itu bulat? Yang
betul bumi itu mengelilingi matahari, atau matahari mengelilingi bumi. Mengapa
kalau bumi itu berputar, penghuni di muka bumi diam saja. Banyak hal yang dapat
dilontarkan demi kemajuan suatu ilmu.

C. Hubungan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


Filsafat dan ilmu pengetahuan selalu ada keterkaitan secara substantif.
Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas,
maka berikutnya akan tergambar pula. Pola relasi (huhungan) antara ilmu dan
filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat
juga perbedaan di antara keduanya. Di zaman Plato, hahkan sampai masa al Kindi,
batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filsuf
pasti menguasai semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang
mengembangkan filsafat pada tingkat praktis, bcrujung pada loncatan ilmu
dibandingkan dengan loncat-an filsafat. Meski ilmu (lari filsalat, tctapi dalam
perkembangan praktis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan
loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut,
perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung oleh kecanggihan teknologi,
tekah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah
lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan
dengan wilayah kajian ilmu. Oleh kaena itu, tidak salah jika kemudian muncul
suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang
relevan dikembangkan oleh manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu

  7  
yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit
"dibumikan". Tetapi masalahnya betulkah demikian?
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisasi dan
tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia
mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen. Keinginan-
keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh
keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung
spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang
telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis
dalam bentuk ilmu yang terteoretisasi. 14 Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada
sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki
pengetahuan yang komprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal
(menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu. Lalu jika demikian, di mana
saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat
ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada
taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikkan kehadiran filsafat, sama artinya
dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan
manusia yang memiliki sifat untuk terus maju. Ilmu dapat dibedakan dengan
filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan
pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan
menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan
esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulanya
ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris
seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatil kontemplatif yang ini juga
dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak darat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi
hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan
eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak
setiap filsuf dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut
filsuf. Meski demikian aktivitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama,
yakni menggunakan aktivitas berpikir filsuf. Berdasarkan cara berpikir seperti itu,
maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir ilmuwan. Hasil
kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun
demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir Bari ilmuwan yang bertugas
mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisis Spencer, dapat dilanjutkan oleh
cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara
kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni
samasama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat
bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh
pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab
atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya
dan akan ke mana akhirnya.
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat
menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya is
juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. "Sombongnya", filsafat yang
sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi

  8  
pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan
oleh ilmu.
Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah
keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang
melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir
tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait
dengan persoaIan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu
sendiri, lahir suatu disiplin filsalat untuk mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa
yang disebut sebagai filsarat pengetahuan, yang kemudian berkembang lagi yang
melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu. Ilmu filsafat dan
filsafat ilmu memiliki perbedaan yang lumayan tajam meskipun keduanya terdiri
alas dua kata yang sama dan perbedaannya hanya kata-kata tersebut saling
berbalik, tetapi tentu keduanya juga berhubungan.
Perlu diingat bahwa filsafat memilah-milah sesuatu dari yang paling dasar
dan juga bisa dari yang paling umum atau luas. Oleh karena itu, bahkan kata per
kata harus dicermati dengan baik. Filsafat ilmu artinya suatu penyelidikan terhadap
objek yang bernama ilmu. Namun, ilmu apa yang diselidiki oleh filsafat? Ilmu apa
pun dapat diselidiki oleh filsafat karena filsafat bersifat tidak terbatas selama otak
dapat memikirkannya. Dengan demikian, kita harus terlebih dahulu mengetahui
apa itu ilmu? Ada ilmu nujum, ilmu fisika, ilmu sosial, ilmu matematika, dan lain-
lain. Ilmu nujum pun kalau mau dijadikan objek filsafat sebenarnya bisa, tetapi di
sini tidak akan dibahas itu. Ilmu yang dibahas di sini adalah sesuatu yang dipercaya
sebagai logika dan biasa dipakai sebagai landasan berpikir bagi orang banyak.
Athur Thomson mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta,
pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang
sangat sederhana. S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized
knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau
kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari
fakta-fakta. Kamus Bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode
tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula.
Kamu ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan
atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir dan bathin.
Poincare menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi
yang tersembunyi (science consist entirely of convertions in the sence of disguised
definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan Poincarc ini,
harus pula diakui memperoleh penolakan dari berbagai ahli. Bahkan ada anggapan
yang menyatakan pikiran Poincare ini merupakan kesalahan besar. Le Ray seolah
menjadi antitesis dari pemikiran Poincare. Le Ray misalnya menyatakan bahwa
"Science consist only of consecrasions and it is solely to this circumstance that is owes
its apparent certainly". Le Ray juga menyatakan bahwa science cannot teach us the
truth, its can serve us only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang
kebenaran, is hanya menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat. Dari beberapa
definisi ilmu di atas, maka, kandungan ilmu berisi tentang; hipotesis, teori, dalil dan
hukum.
Sedangkan menurut Plato dan Aristoteles, Plato membagi pengetahuan
menurut tingkatan-tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik objeknya.
Pembagiannya adalah sebagai berikut: (1) Pengetahuan eikasia (khayalan), (2)

  9  
Pengetahuan fistis, (3) Pengetahuan dianoya (metematik), (4) Pengetahuan neosis
(filsafat). Aristoteles mempunyai pendapat yang berbeda, menurut Aristoteles
pengetahuan harus merupakan kenyataan yang dapat dihindari dan kenyataan
adalah sesuatu yang merangsang budi kita kemudian mengolahnya. Pengetahuan
yang umumnya merupakan kumpulan yang dinamakan rasional knowledge
dipisahkan dalam 3 jenis kumpulan, yaitu: (1) Pengetahuan produksi (seni), (2)
Pengetahuan praktis (etika, ekonomi, politik), (3) Pengetahuan teoretis (fisika,
matematika, dan metafisika).
Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa hakikat ilmu bersifat koherensi
sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak
memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu
putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya satu keseluruhan ide yang
mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling berkaitan secara logis.
Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan
kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. llmu akan
memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum
dimantapkan. OIeh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan
logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir serta tertata rapi. Alat
bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminologi ilmiah.

D. Macam-macam Epistemologi
Akan menjadi jelas bahwa akibat buruk yang menyertai penemuan
Descartes mengenai cogito tidaklah membuat kita tenang. Sementara "cogito"
memberi suatu kepastian yang kokoh, namun hal itu memiskinkan kadar kepastian
ini. Sebab subjek yang dinyatakan Descartes di dalam cogito adalah subjek yang
benar-benar privat, terisolasi. Pada tahap ini, is merasa pasti mengenai eksistensi
dirinya sendiri saja, sebagai pengada berpikir, tidak lebih dan tak ada yang lain.
Dengan sendirinya hal ini tidak memuaskan, dan dia harus membuat jalan tembus
menuju dunia yang berbeda dari dirinya sendiri. Usaha menemukan hal-hal lain
atau dunia harus ditempuh dengan bertolak dari suatu ego yang benar-benar
privat.
Apa yang termaktub di dalam konsepsi Descartes mengenai kehidupan
mental, sebagaimana diperkembangkannya di dalam pemikirannya yang matang,
adalah bahwa data dari kesadaran adalah melulu keadaan subjektif. Ini termuat di
dalam kemampuannya untuk mengonsepsikan semua data pengalaman tanpa
adanya referensi objektifdalam dirinya sendiri. Bahkan seandainya tidak ada apa
pun yang ada kecuali diri saya sendiri, saya masih bisa mempunyai pengalaman
yang persis sama seperti yang saya miliki sekarang. Maka kenyataan bahwa saya
sekarang mempunyai pengalaman-pengalaman ini tidak membuktikan bahwa
pengalaman-pengalaman itu benar-benar ada sebagai sesuatu yang berbeda dari
kesadaran saya sendiri. Akhirnya, karena kesadaran sebagaimana dipahami oleh
Descartes tidak mempunyai referensi objektif langsung kepada sesuatu pun yang
berbeda dari diri saya sendiri, maka bila referensi seperti itu harus ditegaskan,
pastilah merupakan basil dari suatu penalaran tertentu.
Yang kita temukan di sini adalah persoalan subjektivisme. Persoalan ini
sangat penting, sebab hal ini membawa kita kepada pertanyaan: jika semua dari
kesadaran saya pada awalnya mempunyai nilai eksklusif dari suatu keadaan
subjektif dari jiwa individual saya sendiri, bagaimana saya pernah tahu tentang

  10  
kodrat sesuatu yang lain dari diri saya? Atau bahkan bagaimana saya bisa sampai
pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang berbeda dari diri saya sendiri? Persoalan
ini tidak dapat dianggap enteng, sebab dalam salah satu bentuknya sendiri, hal ini
merupakan persoalan yang digulati oleh filsafat modern sejak Descartes. Tetapi
masalahnya bukan saja khusus bagi Descartes, sebab caranya memandang
kesadaran adalah suatu cara yang merangsang setiap budi manusia pada suatu
tingkat tertentu refleksinya. Ini merupakan pandangan kaum `idealis'.
Maka di sini perlu diperkenalkan perbedaan antara kaum realis
epistemologis dan kaum idealis epistemologis. Di sini sengaja akan dirumuskan
secara luas: (a) Realisme epistemologis berpendapat bahwa kesadaran
menghubungkan saya dengan apa yang lain dari diri saya, (b) Idealisme
epistemologis berpendapat bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dalam
suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif murni.
Perlu dicatat di sini bahwa kata `ide', yang merupakan asal dari idealisme
epistemologis, tidak menunjuk secara khusus atau pertama-tama kepada `ide
universal' atau konsep dalam arti ketat. Setiap pengalaman sadar merupakan
sebuah ide, sehingga, melihat, merah, rasa manis, rasa sakit, gembira, berharap,
memilih, dan sebagainya, semuanya adalah ide. Hal-hal itu merupakan data yang
ada bagi subjek sadar, bagi idealis merupakan `peristiwa mental'. Semua peristiwa
mental melulu merupakan perubahan/gerakan dari budi individual, maka bersifat
subjektif. Maka idealisme epistemologis sebagaimana didefinisikan di atas sama
dengan subjektivisme. Dan persoalan bagi subjektivisme adalah sebagai berikut.
Bila setiap tindakan mengetahui berakhir di dalam peristiwa subjektif murni, lain
bagaimana saya dapat menggunakan pengetahuanku sampai kepada eksistensi
dari sesuatu yang berbeda dari diriku sendiri? Dan jika saya tidak dapat
melakukannya, lalu bagaimana saya tahu bahwa hal lain selain diri saya benar-
benar ada?
Jawaban terhadap persoalan ini mungkin bahwa saya tidak dapat tahu.
Inilah jawaban yang diberikan oleh solipsisme, yang berpendapat bahwa diri saya
sendiri sajalah (solus ipse) yang ada atau sekurang-kurangnya saya hanya dapat
yakin bahwa saya ada, sedangkan eksistensi dari benda-benda lain tetap bersifat
problematik. Jelaslah bahwa solipsisme, bahkan melebihi skeptisisme absolut,
tetaplah merupakan suatu ekstrem hipotesis bagi spekulasi daripada merupakan
suatu alternatif. Itulah sebabnya tak seorang filsuf pun yang secara sungguh-
sungguh bisa disebut seorang solipsis. Keanehan solipsisme secara menggelitik
dilukiskan oleh Russell. Russell berceritera mengenai sebuah surat yang
diterimanya dari Nyonya Christine Ladd Franklin, seorang ahli logika. Franklin
mencoba meyakinkan Russell bahwa dia benar-benar seorang solipsis. Tetapi
Franklin sekaligus heran mengapa begitu banyak orang lain tidak juga solipsis!
Persoalan bagi idealis epistemologis atau subjektivis adalah bagaimana,
berdasarkan konsepsinya tentang kesadaran, dia pernah menyadari sesuatu yang
lain dari dirinya sendiri? Rupanya seorang idealis sungguh-sungguh akan
menemukan kesulitan untuk menghindari kesimpulan solipsistik. Apa yang
sesungguhnya terjadi ialah bahwa mereka yang mulai dengan mengambil titik
tolak subjektivis, akhirnya percaya bahwa mereka telah menemukan suatu bentuk
kesadaran yang merupakan kekecualian dari status subjektif murni dan yang juga
mempunyai referensi objektif. Bila mereka tidak melakukan hal itu, mereka akan
terkurung di dalam keadaan jiwa individual mereka sendiri untuk selamanya.

  11  
Untuk menampilkan gambaran utuh mengenai Descartes, kita harus memberinya
suatu eksposisi yang jauh lebih seimbang daripada yang sekarang. Bahwa terdapat
bahaya subjektivis di dalam pendekatannya, telah disadari penuh oleh Descartes.
Dia sendiri berusaha untuk melepaskan diri dari subjektivisme. Untuk itu, Descartes
berusaha menemukan jalan keluar untuk mengatasi jalan buntu subjektivisme.
Dan usaha Descartes ini sangat menarik untuk disimak.
Descartes berpendapat bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai
kebenaran pertama (cogito) ia akan mampu untuk menemukan di dalamnya
jaminan bagi kebenaran, yang dapat digunakan sebagai patokan bagi kepastian
selanjutnya. Mengapa dia tidak mungkin menangkal eksistensinya sendiri? Sebab,
katanya, ia menangkapnya dengan begitu jelas dan disting, sehingga keraguan
menjadi tak berdaya. Tetapi, seandainya masuk akal bahwa suatu kenyataan yang
begitu jelas dan disting mungkin merupakan sesuatu yang salah, kepastiannya
akan tanpa dasar. Namun di dalam penemuan ketidakteragukannya dari hal yang
begitu jelas dan disting juga termuat penemuan bahwa tak sesuatu pun yang
diberikan secara jelas dan disting bisa salah. Maka, kita "dapat menetapkan sebagai
aturan umum bahwa semua hal yang saya tangkap dengan sangat jelas dan
disting adalah benar".
Perlu ditekankan bahwa Descartes di sini hanya memusatkan perhatiannya
kepada apa yang disebutnya "yang tunggal atau simple", yang sama dengan jelas
dari dirinya sendiri, eviden, masuk akal. Apa yang selalu ditekankannya adalah sifat
intuitif dari pengetahuan: apa yang aku lihat, aku lihat. Yang jelas dan disting
adalah sesuatu yang bercahaya berkat sinarnya sendiri. Pendiriannya adalah ini:
kenyataan yang begitu positif dan langsung selalu termuat di dalam ide yang jelas
dan disting, sehingga isinya adalah real; perbedaan antara yang subjektif dan
objektif ditekan, dan budi mencapai apa yang mempunyai nilai pengetahuan tak
bersyarat."
Persoalannya adalah, adakah saya memiliki pengertian lain yang langsung,
positif dan jelas di samping eksistensi diri saya sendiri? Menyebut konsepsi
Descartes mengenai kesadaran sebagai subjek-tivis merupakan penyederhanaan
dan tidak adil terhadap privat tidak dapat bertindak sebagai awal yang
takteragukan di dalam filsafat pengetahuan, karena hal itu tidak dialami tetapi
merupakan abstraksi belaka. Sebaliknya, hanya menekankan berada di dalam
dunia atau "intensionalitas" tidak cukup juga. Intensionalitas kesadaran juga
merupakan abstraksi. Pemahaman ini hanyalah merupakan pemahaman yang
bersifat pucat dan tidak lengkap mengenai kenyataan konkret yang benar-benar
merupakan pengalaman sadar pertama: fakta bahwa saya ada di dalam dialog
dengan masyarakat pribadi (manusia). Di sinilah Brunner mulai: dengan dialog. Diri
yang dinyatakan oleh refleksi adalah sebuah diri yang sudah terlibat di dalam
dialog dengan pribadi lain. Refleksi yang mengungkapkan diri telah menyatakan
"engkau", sebab diri dari pengalaman adalah suatu “saya" di hadapan sebuah
"engkau" dan tidak pernah merupakan hal lain.
Bahkan Descartes sendiri telah menggunakan bahasa, dan dia seharusnya
sudah menyadari bahwa bahasa secara esensial bersifat sosial. Bahasa adalah suatu
kenyataan-batas. Bahasa bukanlah milik dari diri tertentu tetapi berada di bagian
terdepan dari dialog. Ba-hasa adalah gejala dari dialog. Maka hal pertama yang tak
teragukan bukanlah bahwa saya ada tetapi bahwa ada dialog. Secara empiris, saya
menemukan diri di dalam bahasa. Maka, engkau juga telah diberikan kepada saya.

  12  
Dialog memberikan engkau kepadaku sebagai suatu gejala utama. Dialog juga
memberikan kepadaku eksistensi dunia: dialog memuat sapaan dari "aku" kepada
"engkau", tetapi juga memuat "yang lain" dari "aku" dan "engkau" sebagai sasaran
dialog. Maka "yang lain", dunia, ditemukan sebagai "yang ketiga" di dalam dialog
antarpribadi.

E. Tumbangnya Epistemologi
Epistemologi sebagai pilar dasar keilmuan, tidak akan selamanya berdiri
tegak. Ada kalanya, epistemologi tumpul dan diserang oleh cabang keilmuan lain.
Bahkan dengan nada yang sugestif Djojosuroto (2007) menyatakan bahwa akan
atau telah terjadi matinya epistemologi. Mati, tentu sebagai indikasi bahwa
epistemologi tidak berfungsi bagi manusia. Dalam nada yang mirip, Kaelan (2007)
dan Sugiharto (1996:67) juga membuat pernyataan tentang tumbangnya
epistemologi. Saya memahami keduanya sama-sama hendak merunut kritik
epistemologi, agar mau mawas diri.
Konon, kematian atau tumbangnya epistemologi dapat dipahami lewat
aktivitas akal budi manusia. Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis
berhenti bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya
menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang
bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal
itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka
pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan
jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. la tak bisa menembus
belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang
melupakan apakah.
Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil,
mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang
jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara
moral. la adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini
sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya is adalah persoalan
epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan
yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan
pilihan satu-satunya. Ivta bisa merajut fiksi baru untuk mendongkelnya.
Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai
pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum Sofis, gagasan yang mendapatkan
pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya sendiri akan bertanya,
apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang tak berpuisi?
Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan anti transenden?
Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan
jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi
panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah.
Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari
gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan
nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu
metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang
kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang
legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar
puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak

  13  
berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan
Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar
mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin
karena dorongan naluri akan yang lain.
Naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman
yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda
tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan
supaya manusia hidup tanpa kejutan dan sentakkan. Semua tanda tanya harus
dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung
padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup
dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana
manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup
komunitarian yang pekat.
Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmos akan
mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan
ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti
jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun
harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib.
Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah
rasional dan yang rasional adalah nyata, menuntut Hegel. Alam bekerja
berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar yang
patuh.
Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain
lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan
pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru
relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi
ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya, yaitu lingkungan yang
memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Karl Raimund Popper, filsuf rains termasyhur, menolak bentuk
komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigms yang digagas
rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah
komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi
nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. la
mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sehagai pembeda sains dan
nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari
kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu
fakta yang bertolak belakang.
Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi
karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara
kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. la hanya bisa
dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah
teori yang paling dekat menghampiri kebenaran.
Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dipungkiri. Berkat
falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat
dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik.
Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan
gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper.
Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah

  14  
pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas
nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam
gramatikanya sendiri-sendiri.
Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. la mengajak kita
untuk radar bahwa nalar adalah majemuk. la tidak tunggal, namun seperti digagas
Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing
komunitas. Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis
bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang
berdiri diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada
objektivitas, universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang
bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alur sejarah. Mengatakan
pengetahuan sebagai produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa
pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. la berubah dan bercabang
bersama sejarah.
Pergeseran dari objektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan
politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertang-gungjawabkan dari
kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang
baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah
sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan
gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah
gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki
kesatuan konsepsi tentang hidup bersama.
Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. la adalah
prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah
konsensus. la tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri, melainkan
prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis?
Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan
memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural
itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini
kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang memuat
masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa
adanya.
Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya
diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak
mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri.
Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru
untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi
pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada
para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka
dari sistem-sistem pemikiran kontemporer.
Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak
atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang
digambarkan Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda
tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat
kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan,
yang transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara
misterius, habis perkara.

  15  
Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar
berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang
transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar
manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal
horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya
senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika Baru. Pencarian yang
menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui yang benar
dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus senantiasa
penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.
Dengan nada puistis, Djojosuroto (2007:221) memunculkan kata hening.
Kata ini menyedot perhatian bagi orang yang gemar melacak keheningan lewat
konsentrasi. Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/selintas suara
bergumam, “segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/bahkan
melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens
itu mengingatkan kita untuk selalu eling Ian waspada, ingat dan sadar, pada
segurat keheningan yang senantiasa membayangi cakrawala pengetahuan.
Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita memainkan nalar secara
puitis.
Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang
hening" dan "yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah
lama redup dalam sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan
tak lagi mencukupi untuk membuat puisi baru. Yang berlaku sematamata daur
ulang gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan
membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak.
Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar mengajukan
pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang hilang.
Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam
semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar
akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan,
senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang
tertimbun sejarah. Para sahabat yang melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah
Tak Berjejak Para Penyair, yang tabu bagaimana memainkan nalar secara puitis.
Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum
ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan
yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".
Tampaknya, gagasan tumbangnya epistemologi di atas, hanya hendak
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu suatu saat akan goyah. Ilmu
pengetahuan tidak pernah mutlak, biarpun telah melalui penelitian mendalam.
Ada kalanya ilmu pengetahuan digoyahkan oleh tindakan metafisik yang
menggunakan konsentrasi batin (hening). Suatu saat, epistemologi juga merasa
gerah dengan hadirnya estetika para penyair, yang diam-diam juga melumpuhkan
ilmu pengetahuan. Penyair yang gemar melahirkan dunia mungkin, kadang-
kadang melebihi kehebatan para pemikir. Penyair adalah pemikir jenius tentang
ilmu pengetahuan yang tak dipikirkan orang lain. (Endraswara, Suwardi., 2017).

  16  

Anda mungkin juga menyukai