Anda di halaman 1dari 9

6

METAFISIKA
FILSAFAT ILMU DAN METAFISIKA

A. Pengertian Metafisika
Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat.
Konsepsi metafisika berasal dari bahasa Inggris: metaphysics, Latin: metaphysica
dari Yunani metaphysica (sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan
physikos (menyangkut alam) atau physis (alam). Metafisika berasal dari kata meta
(di balik, tersembunyi) dan fisika (dunia yang tampak). Metafisika adalah bagian
filsafat ilmu yang mempelajari di balik realitas. Salah satu buku filsafat
menyebutkan bahwa metafisika berarti "dibalik yang ada". Terlepas dari
perdebatan mengenai istilah metafisika dan keengganan orang akan metafisika,
kedudukan metafisika dalam filsafat, kuat. Metafisika sudah merupakan sebuah
cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Setiap telaah filosofis terdapat
unsur metafisik.
Metafisika merupakan bagian falsafah tentang hakikat yang ada di balik
fisika (yang tampak). Hakikat tersebut biasanya bersifat abstrak dan di luar
jangkauan pengalaman manusia biasa. Manusia yang kurang memiliki bekal
menghayati metarealitas, akan menemui jalan buntu. Tegasnya tentang realitas
kehidupan di alam ini sungguh ajaib, tidak terduga, dan hanyak mengundang
pertanyaan. Realitas dan di balik realitas dapat diraba dengan mempertanyakan
yang ada (being), alam ini wujud atau tidak? Siapakah kita? Apakah peranan kita
dalam kehidupan ini? Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian
tentang sesuatu yang bersifat rohani dan yang tidak dapat diterangkan dengan
kaidah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain.
Metafisika adalah cabang filsafat umum yang bertugas mencari jawaban
tentang yang "ada", yaitu filsafat yang memburu hakikat sesuatu yang ada, atau
menyelidiki prinsip-prinsip utama. Yang dimaksud dengan "yang ada" atau "being"
ialah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Adapun mengenai yang ada itu
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) Ada dalam objektif atau ada dalam
kenyataan, artinya dapat diketahui dengan panca indra manusia; (2) Ada dalam
angan-angan atau ada dalam pikiran; dan (3) Ada dalam kemungkinan. Ketiga
proses ada itu selalu mewarnai hidup manusia dalam segala hal. Hidup manusia
dikelilingi suasana ketiga hal itu, sehingga mewujudkan ada yang sesungguhnya.
Dalam perkembangannya, cabang metafisika yang membicarakan hakikat
sesuatu yang ada, maka penyelidikannya menjadi lebih khusus, sehingga timbul
subcabang metafisika, yaitu ontologi, kosmologi, dan anthropologi. Untuk
mendeskripkan secara lebih jelas posisi dan kedudukan metafisika, dapat
dikemukakan bahwa Ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia melewati 3 jenis
tahapan abstraksi, yaitu fisika, matematika, dan teologi. Abstraksi pertama —yaitu
fisika, menggariskan bahwa manusia berpikir ketika mengamati secara indrawi.
Dengan berpikir, akal dan budi kita "melepaskan diri" dari pengamatan indrawi
segi-segi tertentu, yaitu "materi yang dapat dirasakan". Dari hal-hal yang partikular
dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi

  1  
dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang "abstrak" itu,
menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut "fisika" (" physos"= alam).
Abstraksi kedua — yakni matematis. Ini terjadi ketika manusia dapat
melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan
dari materi hanya segi yang dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan
oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut "matesis" ("matematika" —
mathesis= pengetahuan, ilmu). Absoaksi ketiga - teologi atau "filsafat pertama". De-
ngan meng-"abstrahere dari semua materi dan berpikir tentang seluruh kenyataan,
tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, bersifat teleologi, asas
pertama dalam pendapatkan hakikat realitas dan sebagainya. Di sini Aras fisika dan
aras matematika jelas telah ditinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan
ilmu pengetahuan yang disebut teologi atau "filsafat pertama". Akan tetapi karena
ilmu pengetahuan ini "datang sesudah" fisika, maka dalam tradisi selanjutnya
disebut metafisika.
Sejajar dengan konsep tersebut wilayah filsafat dibagi dalam tiga tingkatan.
First order criteriology meliputi: metafisika, epistemologi, aksiologi, dan logika.
Second order criteriology meliputi: etika, filsafat ilmu, filsafat bahasa, filsafat pikiran.
Third order criteriology meliputi: filsafat hokum, filsafat pendidikan, filsafat sejarah,
dan lain-lain. Metafisika secara tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan
tentang pengada (being). Di sini metafisika merupakan upaya untuk menjawab
problem tentang realitas yang lebih umum, komprehensif, atau lebih fundamental
daripada ilmu dengan cara merumuskan fakta yang paling umum dan luas tentang
dunia termasuk penyebutan kategori yang paling dasar dan hubungan di antara
kategori tersebut.
Metafisika sebagai ilmu mempunyai objeknya tersendiri. Hal ini
membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Objek telaahan metafisik
berbeda dari ilmu alam, matematika atau ilmu kedokteran. Metafisika berbeda pula
dari cabang filsafat lain, seperti filsafat alam, epistemologi, etika dan filsafat
ketuhanan. Arti dasar istilah ini ialah "yang mengikuti fisika" atau "yang datang
setelah fisika" (ta meta ta physica). Nama ini didasarkan pada pembagian karya
Aristoteles yang dibuat oleh Andronikos dari Rodi (Abad I sebelum Masehi).
Nama metafisika yang diberikan pada karya Aristoteles dapat dilihat dari
beberapa segi: (a) Metafisika sebagai etiket bibliografis atas karya Aristoteles, (b)
Metafisika dan segi pedagonis, dalam tanggapan ini, metafisika adalah ilmu yang
sulit dan wajar bila diajarkan sesudah fisika (tentu saja fisika dalam arti yang
diberikan oleh Aristoteles), (c) Metafisika dalam artian filosofis. Pada abad
pertengahan, istilah metafisika mempunyai arti filosofis. Metafisika oleh para filsuf
Skolastik diberi arti filosofis dengan mengatakan bahwa metafisika ialah ilmu
tentang yang ada, karena muncul sesudah dan melebihi yang fisika (post physicam
et supra physicam). Istilah sesudah tidak boleh diartikan secara temporal. Istilah
sesudah yang dimaksudkan di sini ialah bahwa objek metafisika sendiri berada
pada abstraksi ketiga. Metafisika sebagai abstraksi datang sesudah fisika dan
matematika. Kata melebihi tidak menunjukkan unsur spasial, ruang. Kata melebihi
(supra) berarti metafisika melebihi abstraksi yang lain, menempati posisi tertinggi
dari semua kegiatan abstraksi, karena menempati jenjang abstraksi paling akhir.
Keberatan terhadap pandangan ini ialah bahwa metafisika sama saja
dengan pengetahuan yang bersifat metaempiris, yakni semua studi mengenai
"sesuatu" (ada) yang mengatasi fenomen atau mengatasi realistis fisik yang

  2  
tampak. Demikianlah sedikit penjelasan dari pengertian metafisika. Metafisika
adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai
penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada. Sebenarnya disiplin
filsafat metafisika telah di mulai semenjak zaman Yunani kuno. Mulai dari filsuf-
filsuf alam sampai Aristoteles (284-322SM). Aristoteles sendiri tidak pernah
memakai istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu yang mengkaji hal-hal
yang sifatnya di luar fisika sebagai filsafat pertama (prote philosophic) untuk
membedakannya dengan filsafat kedua, yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang
bersifat fisika.
Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physica yang artinya "yang
datang setelah fisika" Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang
terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa
untuk mempelajarinya menghabiskan beribu-ribu ton beras), bermetafisika
membutuhkan energi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak
semua orang berminat menekuninya. Hubungannya dengan teori komunikasi,
metafisika berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: (1) Sifat manusia dan
hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam
semesta; (2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penvebab, dan aturan; (3)
Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku
manusia.
Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip
pendapat Suriasumantri (1983) dalam bukunya "Filsafat Ilmu" mengatakan bahwa
metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran,
dan hakikat kaftan zat de-ngan pikiran. Objek metafisika menurut Aristoteles, ada
dua, yakni: Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam
bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam
arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh pancaindra.
Metafisika disebut juga Ontologi.
Ada sebagai yang Illahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung
pada yang lain, yakni Tuhan (Illahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindra). Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat,
metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that
investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge).
Metafisika adalah sebuah kekuatan yang terletak pada kekuatan mental,
akal pikiran, hati, jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang mana jika manusia
bisa membangkitkan kinerja semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki
kekuatan yang sangat dahsyat. Dalam istilah spiritual lebih dikenal sebagai ilmu
gaib (yang kekuatannya bisa dari unsur luar, yakni jin atau qorin l sedulur papat) dan
istilah bagi mereka yang berkecimpung di dunia pencak silat dan olah pernapasan,
metafisik disebut sebagai tenaga dalam, yakni sebuah inti energi yang terletak
pada kekuatan napas dan pikiran (visualisasi). Jadi pada dasarnya metafisik, tenaga
dalam serta ilmu gaib merupakan satu rangkaian, yang intinya mengaktifkan
kekuatan/energi yang berasal dari kekuatan nonsains. Pada titik inilah metafisika
sering melampaui batas sains, sampai ke wilayah gaib yang misterius.

B. Metafisika dan Pengalaman Hidup


Metafisika lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidup. Trah
(keturunan) juga sering memberi bobot pemikiran metafisik. Orang tua saya waktu

  3  
kecil selalu menyatakan bahwa buku (primbon), selalu dikafani, dikutuki kemenyan,
dan tidak boleh dibaca anak kecil. Dia mengatakan dengan nada sakral, yaitu
"durung mangsane". Konteks waktu semacam ini, memuat implikasi mendalam
bahwa primbon pun memiliki fenomena metafisika. Primbon adalah bagian hidup
manusia yang hanya dilandasi oleh pengalaman metafisik. Pengalaman metafisik
dalam primbon sesungguhnya bukanlah pengalaman biasa saja. Pengalaman
hidup yang serba mistis, akan mendorong orang berpikir metafisik. Pengalaman
tersebut sudah barang tentu, menjadi sebuah pemikiran dibalik realitas.
Pengalaman teman saya bernama Dayat, pernah menyatakan di hotel Puri
Dewabrata, kamar 201 Jimbaran Bali, bahwa ketika istrinya akan melahirkan selalu
mimpi diberi ayam. Pada saat diberi ayam jago, ternyata anaknya laki-laki. Ketika
mimpi diberi ayam jago tetapi korepen (sakit), ternyata anaknya cacat. Bahkan pada
waktu mendaftar sebagai pegawai negeri, sebelumnya bermimpi terbang, ternyata
dapat diterima. Begitulah sebuah pengalaman metafisik, yang menghendaki
pemahaman secara spiritual pula.
Filsafat termasuk metafisika, merupakan ilmu yang menentang arus, dalam
arti cara kerjanya lumayan berbeda dari cara kerja ilmu pengetahuan lainnya.
Filsafat terkadang membuat orang berkerut kening dan bahkan muak lantaran
istilah yang aneh-aneh dan untuk memahaminya diperlukan ketekunan filosofis
yang memakan waktu tidak cukup berjam-jam, tetapi bertahun-tahun. Kendati
demikian, dengan filsafat (metafisika) orang dapat menunjukkan bahwa manusia
tidak hanya sekadar makhluk yang bisa makan, menikmati keenakan dunia dan
alam semesta. Filsalat bertugas tidak lain menggemakan kenyataan. Dengan
berfilsafat, manusia menggemakan lagi nada metafisik kenyataan yang sudah
pudar oleh hingar-bingarnya perjuangan memenuhi kebutuhan fisik belaka.
Filsafat terus dan tak bosan-bosannya menggemakan suara kebenaran dan
kebaikan, yang hampir sirna oleh pertarungan kepentingan sesaat dan usaha
manipulasi yang sering tak terkendali.
Sebagai manusia yang dari kodratnya, berakal budi, kita semua
berkemampuan filosofis. Dengan akalnya, manusia mencari rumusan baru tentang
kenyataan fisik dan metafisik. Dalam perumusan sudah tersirat tanda bahwa
manusia tidak terikat oleh apa yang kini dipegangnya, karena perumusan
merupakan kegiatan abstraksi dari kenyataan. Abstraksi, pada gilirannya,
merupakan petunjuk adanya kemampuan transedental dalam diri manusia. Ia mau
menempatkan seluruh kekiniannya itu dalam konteks yang lebih luas dan
mendasar berupa prinsip hidup. Filsafat, dalam kedudukannya sebagai salah satu
ilmu, bertugas mengeksplisitkan prinsip hidup yang sedikit banyak masih implisit
adanya dalam diri setiap orang. Filsafat ingin mengangkat ke permukaan
kebijaksanaan hidup yang lebih sering didominasi oleh keputusan kepentingan
tertentu. Metafisika akan menemukan jawaban dari ketidakpastian hidup, menjadi
mungkin ada.
Filsafat (metafisika) tidak pernah berangkat dari dunia awang-awang atau
khayalan. Titik tolaknya selalu pengalaman nyata indrawi. Pengalaman itu
disistematisasi. Kemudian berdasarkan peng-alaman itu, dibangun refleksi yang
spesifik. Kalau tidak berdasarkan pengalaman, refleksi akan mengambang tanpa
makna dan isi, sehingga sia-sia. Filsafat mengangkat pengalaman hidup untuk
mencari prinsip-prinsip dasar. Metafisika berangkat dari yang kita alami sampai
kepada prinsip-prinsip dasar. Dengan demikian diharapkan bahwa kita sampai

  4  
pada Sang Illahi yang disebut Allah oleh orang yang beragama. Selain itu, dengan
menyadari keterbatasan Jaya pikir manusia, metafisika mengajarkan kepada kita
kebijaksanaan hidup. Hidup perlu ditangkap dalam keseluruhannya, tetapi tidak
berarti kita memahami kehidupan itu secara tuntas.
Dari segi bahasa, bahasa metafisika bersifat integratif dan indikatif. Dengan
metafisika kita berusaha menyatakan semua pengalaman kita dengan mengangkat
dasarnya yang paling dalam. Tetapi sekaligus, bahasa metafisika tetap terbatas,
hanya menunjuk pada keseluruhan dan pada yang paling dasar dari pengalaman
langsung. Pengalaman langsung tetap kaya sehingga dalam metafisika dan
teologi, mengabdi pada kehidupan yang kita alami secara langsung. Metafisika
tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri, tetapi sebagai salah satu jalan
memperkaya kehidupan dengan jalan merefleksikan dan mengangkatnya ke
permukaan.
Metafisika berarti hal-hal sesudah hal-hal psis. Metafisika merupakan
pengetahuan yang semata-mata berkaitan dengan Tuhan dan fenomena yang
terpisah dari alam. Di dalam metafisika-nya Aristoteles membahas penggerak
utama. Gerak utama di jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun
penghabisan. Karena setiap sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang
lain perlulah menerima satu penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu,
tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Penggerak ini sama sekali lepas dari materi,
karena segalanya yang mempunyai meteri mempunyai potensi untuk bergerak.
Allah sebagai penggerak pertama tidak mempunyai potensi apa pun juga dan
Allah harus dianggap sebagai aktor murni. Allah bersifat immaterial atau tak
badani, Ia harus disamakan dengan kesadaran atau pemikirannya. Karena itu
aktivitas-Nya tidak lain adalah berpikir saja dan Allah merupakan pemikiran yang
memandang pemikirannya. Allah sebagai penyebab final dari gerak jagat raya ini;
segala sesuatu pengejar penggerak yang sempurna dan Ia menggerakkan karena
dicintai. Ajaran lain dari Aristoteles adalah tentang filsafat praktis, yaitu etika dan
politika.
Dalam filsafat, Aristoteles disebut sebagai tokoh mazhab peripatis
(peripatos, berjalan-jalan) yang menyadarkan diri pada deduksi untuk
memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan gurunya, Plato merupakan tokoh mahzab
illuminasionis yang juga mengandalkan jalan hati, asketisme dan penyucian jiwa
dalam menyingkap realitas dari berbagai sumber. Adapun Descartes, dalam
karyanya Discourse on Method, setelah mengkritik pendidikan yang masih
didominasi oleh Scholasticism pada masa itu, ia memperkenalkan metode baru.
Yang menurutnya harus menjadi dasar bagi seluruh pendidikan dan riset sains
serta filsafat. Hukum-hukum tersebut adalah: "Untuk tidak menerima suatu pun
sebagai benar jika tidak secara rasional jelas dan dapat dibedakan; "Menganalisis
ide-ide yang kompleks dengan menyederhanakannya dalam elemen yang
konstitutif, di mana rasio dapat memahaminya secara intuitif; "Merekostrtuksi,
dimulai dari ide yang simple dan bekerja secara sintetis ke bagian yang kompleks;
"Membuat sebuah enumerasi yang akurat dan lengkap dari data permasalahan,
menggunakan langkah-langkah baik induktif maupun deduktif. Menurut Descartes
ide tidak datang dari pengalaman, akan tetapi intelektual menemukan dalam
dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa hanya ide-ide inilah yang valid dalam ranah
realitas. Jadi 'ke-konkret-an' atau validitas objek dari sebuah ide tergantung dari
kejelasan dan pembedaan itu sendiri.

  5  
Kalau demikian, kebenaran metafisik selalu didukung oleh akal budi, yang
melahirkan abstraksi. Dunia metafisik kadang-kadang tidak terjangkau oleh nalar
orang biasa. Pengalaman metafisik merupakan wilayah batin yang dikonkretkan.
Ide-ide yang lahir dari indrawi manusia, selanjutnya diaktualisasikan lewat kata-
kata. Kata yang bersifat metafisik, akan mengantarkan manusia berpikir di balik
realitas. Misalkan saja, orang Jawa menyatakan dengan ungkapan watu sing
gumantung tanpa canthelan. Hal ini merupakan metafor ka'bah di Mekah. Ketika
kecil mendengar hal itu saya amat tersedot, banyak tanda tanya, untuk
membuktikan kebenarannya. Dalam paham metafisika, hal itu semestinya
dipahami tidak secara wantah. Oleh karena, faktanya ka'bah itu tidak bergantung
di awang-awang, melainkan ada fondasi di batu (tanah).

C. Pemikir Metafisika
Para filsuf sebelum Kant mencoba menjelaskan segala prinsip mendasar
dibalik sebuah realitas. Mereka ingin mematahkan realitas orisinil, mutlak dan
paling fundamental dibalik semua penampakan. Segala realitas mendasar dan
fundantental dan segala yang ada mulai disibakkan oleh akal budi manusia.
merupakan usaha para filsuf ini yang menampik semua deskripsi mitos tentang
realitas. Pada titik paling radikal, para filsuf ini menjelaskan prinsip pertama yang
mengawali dan mendasari segala realitas. Kita bisa mengambil contoh misalnya
yang secara historis dimulai dari Melitos, Asia Kecil pada abad ke-6 SM, Utiles
mendeskripsikan air sebagai prinsip pertama Anaximandros mengedepankan to
aperion (yang tidak terbatas) dan Anaximenes memproklamirkan udara sebagai
prinsip utama. Kemudian Parminides, yang ada adalah ada, di luar ada tidak ada.
Plato, yang ada itu universal, formal, ideal, dan yang paling penting adalah
Aristoteles yang merefleksikan realitas ada secara mendasar dan menyeluruh.
Leibniz menggagas tentang monade sebagai prinsip pertama. Para filsuf yang
disebutkan di atas memprioritaskan cara kerja nalar atau akal budi; manusia yang
berpikir untuk menjawab dan menguak segala hal mendasar, esensial dari segala
penampakkan realitas.
Para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles menelurkan asumsi
dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang
mana setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas
memadai untuk memahami dunia. Seolah-olah akal budi memiliki kualitas
"ampuh" untuk menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada. Immanuel
Kant berpikir lain. Pada Kant metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang
batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi hendak menyibak dan
mengupas prinsip mendasar segala yang ada tetapi metafisika hendak pertama-
tama menyelidiki manusia (human faculties) sebagai subjek pengetahuan. Disiplin
metafisika selama ini yang mengandaikan adanya korespondensi pikiran dan
realitas hingga menafikkan keterbatasan realitas manusia pada akhirnya direvolusi
total oleh Kant. Dalam diri manusia, menurut Kant, ada fakultas yang berperan
dalam menghasilkan pengetahuan, yaitu sensibilitas yang berperan dalam
menerima berbagai kesan indrawi yang tertata dalam ruang dan waktu dan
understanding yang memiliki kategori-kategori yang mengatur dan menyatukan
kesan-kesan indrawi menjadi pengetahuan. Para filsuf sebelum Kant hendak
menyibak das ding an sich realitas dalam dirinya atau neumenom oleh rasionalitas
manusia, sedangkan pada Kant, hakikat realitas itu sebenarnya tidak pernah

  6  
sungguh-sungguli diketahui (misalnya Tuhan itu sesungguhnya apa? Dunia itu
apa?) yang diketahui adalah gejalanya, fenomenanya (realitas sebagaimana
penampakannya), sejauh saya melihatnya (das ding fur mich).
Di sini Kant tidak melegitimasi kemampuan akal budi manusia memahami
esensi sebuah realitas tetapi memahami bahwa akal hudi manusia terbatas dalam
memperoleh pengetahuan dibalik segala penampakan. Yang hendak ditelusuri
dan dibahas dalam skripsi saya adalah metafisika gnoseologi Immanuel Kant.
Pokok pikiran utama yang hendak ditampilkan adalah sebuah revolusi metafisis
yang diprakarsai oleh Kant. Dengan demikian uraian yang akan saya jelaskan nanti
dalam skripsi berawal dari penjelasan tentang keberadaan metafisika gnoseologi
dalam panorama filosofis sejak munculnya para filsuf awali kemudian dilanjutkan
dengan perkembangannya pada abad pertengahan, abad modern yang tentu
diprakarsai oleh Descartes dan puncaknya adalah revolusi pemikiran oleh Kant.
Oleh karena itu uraian yang akan saya berikan dalam skripsi berupa, yang utama,
penjelasan tentang pemikiran Kant yang melihat pengetahuan itu bukan pertama-
tama bagaimana subjek itu memahami objek (subjek yang terarah pada
objek/realitas) tetapi memfokuskan diri pada bagaimana cara benak kita
memahami objek sejauh cara tersebut bersifat apriori. Maka menurut saya adalah
sangat penting untuk pertama-tama menjelaskan bagaimana cara kerja akal budi
manusia sehingga bisa menentukan segala pengenalan dan pengetahuan tentang
segala realitas yang ada.
Revolusi Kopernikan Filsafat sebelum Kant memiliki proses berpikir yang
mana subjek harus mengarahkan diri pada objek (dunia, benda-benda). Kehadiran
Kant membawa sebuah evolusi besar dalam cara berpikir metafisis, karena
menurutnya, bukan subjek yang mengarahkan diri pada objek, tetapi sebaliknya.
Yang mendasar dan pemikiran Kant ini adalah ia tidak memulai dari objek-objek
tetapi dari subjek. Objek-objek itu yang harus menyesuaikan diri dengan subjek.
Dengan demikian menurut filsafat Kant, realitas itu ada dalam akal budi manusia.
Inilah yang disebut sebagai revolusi Kopernikan, artinya sebuah perubahan cara
berpikir semendasar Kopernikus yang mengubah pandangan dari geosentris
menuju heliosentris. Selanjutnya filsafat Kant ini disebut sebagai filsafat
transendental (transcendental philosophy). Filsafat transendental adalah filsafat
yang berurusan bukan untuk mengetahui objek pengalaman melainkan
bagaimana subjek (manusia) bisa mengalami dan mengetahui sesuatu. Filsafat
transendental itu tidak memusatkan diri dengan urusan mengetahui dan
mengumpulkan realitas konkret seperti misalnya pengetahuan tentang anatomi
tubuh binatang, geografis, dan lain-lain, melainkan berurusan dengan mengetahui
hukum-hukum yang mengatur pengalaman dan pemikiran manusia tentang
anatomi tubuh binatang, dan lain-lain. Hukum-hukum itu oleh Kant disebut hukum
apriori (hukum yang dikonstruksi akal budi manusia) dan bukan hukum yang
berdasarkan pengetahuan indrawi (aposteriori). Dengan demikian metafisika
gnoseologi Kant ini merupakan sebuah upaya untuk mereduksi realitas konkret
(indrawi) pada realitas di dalam akal budi. Bahwa akal budi manusia mempunyai
struktur-struktur pengetahuan mengenai segala apa yang ada.
Dalam pandangan Kant, objek itu tampak hanya dalam kategori subjek, jadi
tidak ada cara lain kecuali mengetahuinya dengan struktur kategori akal budi
manusia. Sebenarnya pemikiran Kant ini berangkat dari pemahamanya tentang
hakikat realitas atau neumena itu tidak pernah diketahui, yang kita ketahui itu

  7  
gejalanya. Sejauh objek itu saya lihat lantas segala yang dilihat itu masuk dalam
akal budi menjadi pengetahuan. Proses Pengetahuan. Kant menolak klaim
metafisika atas pengetahuan tentang realitas fundamental (das ding an sich). Oleh
karena ketika kita berhadapan dengan realitas kita selalau mengalami realitas itu
dalam kategori-kategori yang sudah tertanam dalam benak kita. Jadi pengetahuan
dan pengenalan tentang segala yang ada itu ditentukan oleh hukum-hukum atau
prinsip-prinsip pengetahuan yang secara konstitutif ada dalam akal budi manusia.
Untuk lebih jelasnya, saya akan membuat kerangka proses pengetahuan manusia
menurut Kant. Rasio (vernuft) Kerangka di atas adalah skema tentang proses
pengetahuan dari Immanuel Kant. Kerangka pengetahuan ini hendak menjelaskan
bahwa Kant ber-pikir bukan melalui objek-objek tetapi subjek. Kant hendak
menyelidiki struktur pengetahuan subjek sendiri yang membentuk pengetahuan
tentang segala yang ada. Dengan cara ini Kant sekaligus sudah menunjukkan apa
sesungguhnya yang menjadi sumber dan struktur pengetahuan manusia.
Pengetahuan itu bersandar pada pengalaman indrawi dan bergerak dalam wilayah
kenyataan yang bisa dialami manusia. Dan pengetahuan itu invalid bila bergerak di
luar kenyataan yang bisa dialami manusia. Itulah sebabnya maka Kant menolak
metafisika-metafisika sebelumnya yang menganggap realitas das ding an sich bisa
dicerna oleh rasionalitas manusia.

D. Lingkup Metafisika
Metafisika mengandung Klasifikasi yang meliputi, pertama, Metaphysica
Generalis (ontologi); ilmu tentang yang ada atau pengada. Kedua, Metaphysica
Specialis terdiri atas: (1) Antropologi, menelaah tentang hakikat manusia, terutama
hubungan jiwa dan raga, (2) Kosmologi, menelaah tentang asal-usul dan hakikat
alam semesta, dan (3) Theologi, kajian tentang Tuhan secara rasional dengan
segala abstraksi yang memungkinkan melekat pada-Nya.
Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya
prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus
membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus:
teologi, kosmologi, dan psikologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada dapat
tidaknya diserap melalui perangkat indrawi suatu objek filsafat pertama. Metafisika
umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indra sedang metafisika
khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indra, apakah itu
realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun
kejiwaan (psikologi).
Disiplin filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain
karena pembahasan metafisika tentang realitas supra indrawi, terkait dengan
pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umuinyang menata realitas indrawi.
Istilah metafisika dengan sifatnya yang supra indrawi inilah memunculkan
keengganan orang terhadap konsep-konsep metafisika. Kedudukan metafisika
dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah
cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat
unsur metafisik merupakan hal yang siginifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu
sejajar dengan signifikansinya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari
segala ilmu.

  8  
Dengan membincangkan metafisika memberi pemahaman bahwa filsafat
mencakup segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut
"sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan
disebut "sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan
tentang batas-batas dari kekhususannya. Maka metafisika memiliki ruang lingkup Pokok
Bahasan yang mencakup, pertama tentang kajian Inkuiri ke apa yang ada (exist), atau apa
yang betul-betul ada. Kedua tentang, ilmu pengetahuan tentang realitas, sebagai lawan
dari tampak (appearance). Ketiga, Studi tentang dunia secara menyeluruh dengan segala
Teori tentang asas pertama (first principle); prima causa yang wujud di alam (kosmos).
Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada
alam semesta. Biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari
wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud
perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari
sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini yang dipandu oleh dimensi
keilahiaan untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya.
Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi
dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari
prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal. Yakni sebagai hal
"penyelidikan tentang Tuhan", bisa juga dikatakan sebagai "penyelidikan tentang dunia
Illahi yang transenden". Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan
memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya
menghabiskan waktu yang tidak pendek. Bermetafisika membutuhkan energi intelektual
yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika
dalam perkembangan pemikiran Islam. Di sinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan
berkaitan dengan konsepsi falsafat metafisika dalam wacana pemikiran Islam. Maka dapat
dipetakan ke dalam sejumlah aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh falsafah
metafisika sehingga Islam menjadi agama yang memiliki bentuknya yang komprehensif.
Ilmu metafisika adalah ilmu yang melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian ilmu
metafisika dalam khazanah western science, falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika
yang dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau
rohani). Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan
terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif.
Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum
yang secara konseptual riil seperti juga alam jagat raga yang tak lain terdiri dari hukum-
hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama
tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis tampaklah
sangat sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun
suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Persentuhan antara metafisika dengan agama memang sulit terelakkan. Akal
manusia untuk menghayati metafisika, biasanya menggunakan akal sehat. Akal budi
manusia mencoba menelaah fenomena alam, meramalkan, dan merumuskan menjadi
sebuah ilmu. Namun, kadang-kadang akal manusia terbatas, sehingga manusia melakukan
hal-hal yang melampaui akal budi, yaitu menggunakan olah rasa. Cara semacam ini,
memang kadang-kadang tidak masuk akal, dan ada kalanya juga bertentangan dengan
agama. Namun, laku-laku batin (olah rasa) tersebut dalam kehidupan manusia sulit
dihilangkan. (Endraswara, Suwardi., 2017).

  9  

Anda mungkin juga menyukai