Anda di halaman 1dari 6

D

I
S
U
S
U
N

NAMA : FIKRI ZUHAILI SIMBOLON


KELAS : SISTEM KOMPUTER J/S 1B
NPM : 1914370419
A. PENGERTIAN METAFISIKA

Metafisika berasal dari kata meta ta physika yang berarti hal-hal yang
terdapat sesudah fisika,di luar atau kebalikan fisika ,ajaran tentang dasar-dasar
kenyataan.Di dalam karyanya, Aristoteles mengkualifikasikan metafisika sebagai
pembahasan dasar-dasar filsafat yang juga disebutnya filsafat pertama. Sebagai
contoh, sebelum kita memperhatikan bahwa sesuatu barang itu kotak dan merah,
dan sebagainya, maka pertama harus diteliti bahwa barang itu "ada".

Aristoteles menjelaskan bahwa metafisika itu sebagai ilmu pengetahuan


mengenai yang-ada sebagai yang-ada, yang dilawankan misalnya dengan yang-
ada sebagai yang digerakkan atau yang-ada sebagai yang dijumlahkan (yang
digerakkan dan yang dijumlahkan adalah fisika).Dengan demikian ilmu metafisika
mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang mendalam tentang eksistensi sesuatu.
Maka dapat didefenisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang
bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada dan yang terdalam.

Bisa disimpulkan bahwa Metafisika adalah cabang ilmu filsafat yang


berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan
dan realitas yang menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berporos
pada pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi
realitas yang dikaji.

Alam era modern ini banyak diantara manusia mulai mencermati dan
akhirnya mendalami seni olah nafas tenaga dalam dan tenaga metafisika (ilmu
ghaib). Hanya saja, tidak sedikit yang tidak bisa membedakan keduanya.
Ditambah lagi ketika menpelajarinya bisa tersesat menuju kemusyrikan karena
disadari atau tidak, kekuatan ilmu yang didalamnya ternyata dibantu oleh bangsa
jin.

Padahal Tenaga Dalam itu sebenarnya adalah tenaga yang murni terdapat
dalam diri manusia sendiri, sedangkan Tenaga Metafisika yang murni berada
diluar tubuh manusia disebut dengan Aura. Masalah yang biasanya muncul ada
dua hal yaitu :
1) Teknik menpelajarinya
2) Sesuai syariat Islam atau tidak.

Karunia Ilmu yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, sebagai makhluk yang


memiliki kelebihan yang sempurna dari makhluk-makhluk yang lainnya, tidak
dapat terlepas kaitannya dengan 'konsep manusia dalam islam' yaitu khalifah
paripurna yang mengendalikan "wujud sifat negatif" dan mendayagunakan
"wujud sifat positif" dengan seluruh pontensi manusia untuk kemarslahatan
ummat manusia.

B. Tafsiran Tentang Metafisika

Manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika.


Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah
bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih
tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti
ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang
misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham
naturalisme. Paham ini amat bertentangan dengan paham
supernaturalisme.paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam
tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang
terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui. Orang orang yang
menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar
kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka
menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalism ini juga
muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia
berasal dari materi. Salah satu yang menggap bahwa alam semesta dan manusia
berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460 – 370 SM).

Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup.


Timbul dua tafsiran yang masih saling bertentangan yakni paham mekanistik dan
paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup)
hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup
adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar
gejala kimia-fisika semata berbeda halnya dengan telah mengenai akal dan
pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain.
Yakni faham monoistik dan dualistic. Sudah merupakan aksioma bahwa proses
berfikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya.
Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara
pikiran dan zat. Keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama.
Perndapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistic. Dalam
metafisika, penafsiran dualistic membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran)
yang bagi mereka berbeda secara subtsansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang
ditangkap oleh fikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah
fikiran, sebab dengan berfikirlah maka sesuatu itu lantas ada.

C. Perdebatan Seputar Metafisika

Metafisika ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antara


lain adalah yang menganut paham positivism. Paham positivism logis menyatakan
bahwa metafisika tidak bermakna.[3] Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer,
1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the
statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and
all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[4]

Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. Alfred, J. Ayer


menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof
sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak
ada gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem
semu, artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan
dengan pendapat Ayer tersebut. Dan Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer
berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism, materialism, dan lainnya
merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah Luwig
Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal
yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstien
menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu; 1). Subjek bukan
merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai
batas dari dunia. 2). Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam
kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian. 3).
Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia. Dengan demikian Wittgenstein
menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara logis
sebaiknya didiamkan saja. Namun pada kenyataanya banyak ilmuan besar,
terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi
metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.

Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui


kontemplasi atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga
menjadikan para metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif
dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan
oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka
menerapkan heuristika. Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka
metafisika mengajarkan mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam
tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang bersifat enigmatik, hingga pada
akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi sebagaimana mestinya dimiliki
oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk
mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling akhir.

Kennick juga mengungkapkan bahwa metafisika mengajarkan cara berfikir


yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatif (teka-
teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. Perdebatan
dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme,
Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya
percabangan ilmu.

Sementara Van Peursen mengatakan bahwa metafisika menuntut


orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang
cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi
semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan
heuristika. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip
pertama (First Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang
paling booming dalam dunia filsafat adalah bagaimana Descartes mengungkapkan
bahwa Kepastian ilmiah dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita
menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat
(Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis Rene Descartes.[5]

Disamping itu Bakker mengemukakan bahwasanya metafisika mengandung


potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada
yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak
dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetepi juga antar disiplin ilmu,
sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.

Anda mungkin juga menyukai