Anda di halaman 1dari 30

KONSTRUKSI DAN IMPLEMENTASI FILSAFAT ILMU:

Matematika dan Pendidikan Matematika


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, MA.

OLEH
FITRI NUR ASANTI
23031140071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
I. FILSAFAT UMUM
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang memahami persoalan yang timbul di
dalam ruang lingkup pengalaman manusia secara keseluruhan (Jalaludin,
2007:125). Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta
kebijaksanaan, tentang pencarian kebijaksanaan, penggunaan aktif kecerdasan,
bukan sesuatu yang pasif (Singer, 1994). Pada prinsipnya, filsafat menempatkan
sesuatu berdasarkan kemampuan daya nalar manusia. Kebenaran dalam konteks
filsafat adalah kebenaran yang tergantung sepenuhnya pada kemampuan daya nalar
manusia (Suminar, 2019). Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu
selalu berjalan beriringan dan saling berkaitan. Ilmu bertugas melukiskan dan
filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta (Bahrum, 2013). Menurut
Jalaludin (2007:126) di dalam filsafat terdapat beberapa pandangan mengenai teori
kebenaran dalam bidang ontolgi, esrimologi, dan aksiologi.
A. Ontologi
Ontologi adalah bagian dari filsafat yang fokus pada penelitian tentang
keberadaan atau eksistensi. Kata "ontologi" berasal dari bahasa Yunani, di mana
"ontos" artinya "keberadaan" dan "logos" artinya "ilmu". Ontologi membahas
pertanyaan mendasar tentang apa yang benar-benar ada, bagaimana sesuatu
dapat dikatakan ada, dan bagaimana entitas berinteraksi satu sama lain. Dengan
kata lain, ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang apa yang ada
(Mahfud, 2018).
Ontologi sering disamakan dengan metafisika karena keduanya
berhubungan dengan hakikat apa yang terjadi. Ontologi menjadi fokus utama
dalam filsafat, membahas tentang realitas atau kenyataan (Rokhmah, 2021).
Adapun karakteristik dari ontologi ilmu pengetahuan antara lain sebagai
berikut: Pertama, ilmu berasal dari suatu penelitian. Kedua, adanya konsep
pengetahuan empiris dan tidak ada konsep wahyu. Ketiga, pengetahuan bersifat
rasional, objektif, sistematik, metodologis, observatif, dan netral. Keempat,
menghargai asas verifikasi (pembuktian), eksplanatif (penjelasan), keterbukaan
dan dapat diulang kembali, skeptisisme yang radikal, dan berbagai metode
eksperimen. Kelima, melakukan pembuktian bentuk kausalitas (causality) dan
terapan ilmu menjadi teknologi. Ketujuh, mengakui pengetahuan dan konsep
yang relatif serta logika-logika ilmiah. Kedelapan, memiliki berbagai hipotesis
dan teori-teori ilmiah. Kesembilan, memiliki konsep tentang hukum-hukum
alam yang telah dibuktikan (Adib, 2011).
Ontologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang berhubungan dengan
hakikat apa yang terjadi. Ontologi membahas tentang realitas atau kenyataan,
apa yang ingin diketahui dan seberapa jauh keingintahuan tersebut. Dengan kata
lain, ontologi merupakan hakikat dari apa yang akan dikaji di dalam ilmu
pengetahuan (Gusti, 2021).
B. Epistemologi
Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani, di mana "Episteme" artinya
"pengetahuan" dan "Logos" artinya "ilmu". Secara umum, epistemologi adalah
ilmu yang mempelajari sumber pengetahuan, metode, struktur, dan kebenaran
suatu pengetahuan. Ini adalah cabang filsafat yang fokus pada hakikat, dasar,
dan pengakuan pengetahuan seseorang (Awarni, 2017).
Epistemologi membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode,
dan validitas ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu yang membahas hal-hal terkait
pengetahuan, epistemologi menjadi landasan penting bagi pengetahuan yang
baik. Sementara ontologi mencari refleksi tentang yang ada, epistemologi
membahas terjadinya dan kebenaran ilmu (Afni, 2021).
Epistemologi disebut sebagai logika material dalam membahas
pengetahuan dan sering dikaitkan dengan pengetahuan tentang benda-benda. Ini
menekankan peran pengalaman dalam memperoleh pengetahuan, dengan
menyampingkan peran akal. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat,
batas, dan hakikat pengetahuan, memberikan kepercayaan dan jaminan terhadap
kebenarannya (Khomsatun, 2019)
Dasar epistemologi mencakup pembahasan tentang sumber,
karakteristik, kebenaran, dan cara mendapatkan pengetahuan. Aspek terpenting
yang dibahas meliputi sumber dan metode pengetahuan, serta kuantitas
pengetahuan (Afni, 2021). Dengan fokus pada sumber dan metode,
epistemologi mengarah pada pemahaman tentang bagaimana ilmuwan
menggunakan berbagai sumber dan metode untuk mengembangkan
pengetahuan, dengan setiap ilmu memiliki karakteristik dan nuansa yang khas.
Epistemologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang mengkaji tentang
bagaimana mengetahui benda-benda. Epistemologi merupakan suatu doktrin
yang menekankan pada peranan dalam memperoleh pengetahuan dan
memperkecil peran akal. Dengan kata lain, epistemologi merupakan cara untuk
mendapatkan pengetahuan tersebut (Suriasumantri, 1999).
C. Aksiologi
Kata "aksiologi" berasal dari bahasa Yunani, di mana "axion" berarti
"nilai" dan "logos" berarti "ilmu". Dengan kata sederhana, aksiologi adalah ilmu
tentang nilai. Ini membahas hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai,
apakah ilmu pengetahuan bebas nilai atau terikat pada nilai. Karena terkait
dengan nilai, aksiologi mengeksplorasi konsep baik dan buruk, benar atau salah,
layak atau tidak layak (Rokhmah, 2021).
Aksiologi adalah cabang filsafat ilmu yang mengeksplorasi cara
manusia menggunakan ilmu pengetahuannya. Tujuannya adalah mencapai
pemahaman tentang hakikat dan manfaat yang terkandung dalam suatu
pengetahuan. Pentingnya nilai-nilai aksiologis dalam pengembangan ilmu
pengetahuan terletak pada kemampuannya untuk memberikan kebaikan dan
kemudahan bagi manusia (Juhari, 2019).
Aksiologi ilmu mencakup nilai-nilai normatif yang memberikan makna
terhadap kebenaran atau kenyataan dalam kehidupan manusia, baik dalam
konteks sosial, simbolik, maupun fisik-material. Lebih jauh, aksiologi
menunjukkan nilai-nilai sebagai kondisi yang harus dipatuhi dalam penelitian
dan penerapan ilmu (Sanprayogi, 2017).
Aksiologi juga dapat dianggap sebagai analisis terhadap nilai-nilai,
dengan fokus pada arti, ciri, tipe, kriteria, dan status nilai-nilai. Nilai dalam
konteks aksiologi mencakup segala hal yang memiliki kualitas atau harkat yang
membuatnya berguna, dan aksiologi berusaha untuk menguji serta
mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan dalam kepribadian manusia
(Rochmawati, 2019).
Aksiologi adalah cabang ilmu filsafat yang membahas tentang nilai.
Aksiologi membahas tentang analisis terhadap nilai-nilai serta berhubungan
dengan baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas. Dengan
kata lain, aksiologi merupakan cabang ilmu yang melihat nilai kegunaan sebuah
ilmu bagi manusia. Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi
perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan
tetap berjalan pada jalur kemanusiaan (Adib, 2014).
II. FILSAFAT ILMU
Prinsip dasar ilmu tak dapat dipisahkan dari peran filsafat. Ilmu berperan dalam
mendeskripsikan, sementara filsafat bertanggung jawab untuk menjelaskan
fenomena alam semesta serta kebenarannya yang timbul dari refleksi melalui
pengalaman hidup. Dengan demikian, kemajuan ilmu juga memberikan dukungan
pada eksistensi filsafat, di mana esensi berfilsafat adalah untuk mengungkap
kebenaran hakiki (Rokhmah, 2021).
Mengenai ilmu, secara esensial, perkembangannya dipicu oleh tiga
permasalahan kunci, yakni: apa yang hendak diketahui, bagaimana mencapai
pengetahuan tersebut, dan apa nilai dari pengetahuan tersebut. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, diperlukan pendekatan berpikir yang radikal, sistematis,
dan universal sebagai landasan kebenaran ilmu, yang kemudian dibahas dalam
kerangka filsafat ilmu (Saefudin, 1998).
Filsafat tidak hanya dipandang sebagai pandangan hidup dan cara berpikir;
namun, juga dapat dianggap sebagai suatu ilmu. Filsafat berusaha untuk menggali
hakikat atau inti suatu hal sebagai suatu bentuk ilmu. Inti dari suatu hal tersebut
memiliki kedalaman yang signifikan dan hanya dapat dipahami melalui akal
manusia. Oleh karena itu, dalam usaha untuk memahami hakikat suatu hal,
diperlukan abstraksi, yaitu suatu tindakan atau proses berpikir untuk
menghilangkan aspek-aspek tertentu sehingga muncul substansi atau sifat mutlak
(Ibrahim, 2017). Menurut Jalaludin (2007:126) di dalam filsafat terdapat beberapa
pandangan mengenai teori kebenaran dalam bidang ontolgi, esrimologi, dan
aksiologi.
A. Ontologi Ilmu (Menuju Matematika/Pendidikan Matematika)
Ontologi matematika merupakan bidang penelitian yang memeriksa
sifat dasar dari entitas yang ada secara mendasar dan berbagai cara di mana
entitas dari kategori logis yang berbeda dapat dianggap ada. Fokus ontologi
matematika terutama terletak pada perspektif realisme empiris terhadap realitas
dan eksistensi entitas matematika. Dalam kerangka ontologi, matematika
menjadi subjek perhatian utama dengan penekanan pada pandangan empiris dan
kebenaran mutlak dalam domain matematika (Damas dkk, 2022).
Menurut Haryono (2015), ontologi matematika adalah cabang filsafat
yang terkait dengan aspek-aspek metafisik. Dalam perspektif ontologi, posisi
matematika ditekankan pada poin empirisme dan kebenaran mutlak dari disiplin
tersebut. Parnabhhakti & Ulfa (2020) menyatakan bahwa ontologi matematika
memfokuskan penelitiannya pada apa yang ada di dalam matematika itu sendiri,
termasuk pernyataan-pernyataan matematika.
Menurut Sinaga et al. (2021), ontologi matematika dapat diidentifikasi
sebagai suatu cabang filsafat dengan objek kajian yang mencakup aspek-aspek
yang ada, termasuk dalam konteks metafisik. Oleh karena itu, dapat dipahami
bahwa ontologi matematika tidak hanya membahas hal-hal yang bersifat konkrit
tetapi juga mencakup teorema-teorema matematika.
Kedudukan matematika sebagai alat pikir memperkuat peranannya
dalam menghasilkan berbagai ilmu penunjang kehidupan manusia, terutama
dalam penyelesaian berbagai permasalahan kehidupan. Matematika, sebagai
fondasi berpikir, dapat dianggap sebagai dasar dari pemikiran-pemikiran yang
membawa dunia ke era modern (Damas dkk, 2022). Signifikansi matematika
sebagai alat berpikir tampak pada perkembangan peradaban Mesir dan
peradaban Babylon, hingga pemikiran tokoh-tokoh matematika masa lalu yang
menggunakan matematika sebagai instrumen untuk melakukan pekerjaan atau
menyelesaikan permasalahan.
Contoh konkret dari kedudukan matematika sebagai alat pikir terlihat
dalam perkembangan konsep sinus dan kosinus, yang menjadi bagian dari
cakupan matematika sebagai alat pemikiran (Haryono, 2015). Dengan
demikian, matematika bukan hanya sekadar alat pengukur, tetapi juga sebagai
fondasi pemikiran yang mendorong kemajuan peradaban dan solusi terhadap
berbagai tantangan kehidupan.
B. Epistemologi (Menuju Matematika/Pendidikan Matematika)
Epistemologi matematika merupakan cabang filsafat yang meneliti
pengetahuan tentang matematika. Gie (1999) menjelaskan bahwa epistemologi
matematika terkait dengan hakikat dan cakupan pengetahuan. Haryono (2015)
menambahkan bahwa epistemologi matematika membahas cakupan
pengetahuan matematika, termasuk matematika murni, matematika terapan, dan
cabang-cabang matematika lainnya. Suyitno & Rochmad (2015) menyatakan
bahwa epistemologi matematika membicarakan asal-usul matematika dan
bagaimana matematika itu ada. Matematika selalu berusaha membuktikan
kebenaran sejak masa pengkajian aspek empiris hingga perkembangannya ke
arah abstraksi yang lebih tinggi.
Dari perspektif epistemologi matematika, terdapat usaha untuk
menempatkan dasar matematika dan menjamin kebenaran matematika untuk
mengatasi kerancuan dan ketidakpastian dari dasar sebelumnya. Epistemologi
matematika menekankan pada aspek-aspek seperti kebenaran, kepastian,
universalisme, obyektivitas, rasionalitas, dan lainnya. Kedudukan matematika,
secara epistemologis, ditekankan pada keberadaannya yang terkait dengan
rasionalitas (Damas dkk, 2022).
Sinaga et al. (2021) mendefinisikan epistemologi matematika sebagai
cabang filsafat yang membahas pengetahuan matematika, termasuk sumber,
hakikat, batas-batas, kebenaran, serta ciri-ciri matematika seperti abstraksi,
ruang, waktu, dan besaran. Dalam konteks epistemologi, matematika dipandang
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, yang berarti bahwa pengetahuan
matematika dapat diperoleh melalui proses belajar. Ini menunjukkan bahwa
matematika, dengan kekayaan bahasanya, memiliki kedudukan sejajar dengan
ilmu pengetahuan dan dapat memberikan inspirasi untuk bidang kajian di luar
matematika itu sendiri.
C. Aksiologi Ilmu (Menuju Matematika/Pendidikan Matematika)
Metodologi matematika merupakan bagian integral dari cakupan filsafat
matematika. Hal ini mencakup penelitian terhadap metode-metode khusus yang
digunakan dalam matematika, seperti metode aksiomatik dan hipotetik-deduktif
(Haryono, 2015). Parnabhhakti & Ulfa (2020) juga menyatakan bahwa
metodologi matematika mencakup berbagai metode yang diterapkan dalam
ilmu matematika. Dalam konteks ini, metodologi matematika dapat diartikan
sebagai kumpulan cara, rumus, dan kaidah yang digunakan dalam suatu disiplin
ilmu.
Sinaga et al. (2021) secara spesifik menyebutkan bahwa metodologi
matematika merupakan kumpulan cara, rumus, dan kaidah yang digunakan
dalam matematika. Haryono (2015) membagi metodologi matematika menjadi
metode deduksi, metode induksi, dan metode dialektika. Metode deduksi
melibatkan penarikan kesimpulan dari prinsip umum ke khusus, metode induksi
berkaitan dengan penarikan kesimpulan dari kasus khusus ke umum, sedangkan
metode dialektika fokus pada pola pemikiran dengan tahapan tesis, antitesis,
dan sintesis.
Lebih lanjut, Haryono (2015) menyatakan bahwa metodologi
matematika tidak hanya berbicara tentang ketiga metode tersebut, tetapi juga
membahas aspek cakupan dan kedudukan metodologi sebagai suatu cara untuk
mencapai kebenaran. Metodologi matematika dalam filsafat lebih menekankan
pada cara kerja matematika terhadap kajiannya, melibatkan objek formal
dengan pendekatan epistemologi, ontologi, dan logika. Selain itu, metodologi
matematika juga mencakup cara kerja matematikawan dalam menggunakan
filsafat matematika sebagai metode dalam berpikir sistematis, logis,
kontemplatif, bahkan radikal.
Dalam pandangan Descartes, seorang ilmuwan asal Perancis,
metodologi matematika diartikan sebagai upaya yang paling tepat dalam
mencari dan membuktikan kebenaran. Descartes meyakini bahwa hanya
matematika yang memiliki kepastian argumentasi dan dapat dianggap sebagai
pengetahuan yang paling tepat. Dalam penjelasannya, Descartes membagi
kaidah dalam metodologi matematika menjadi kaidah aksioma, kaidah analisis,
kaidah komposisi, dan mendata. Keempat kaidah ini memberikan arahan bahwa
metodologi harus menjadi upaya yang tepat untuk mencari kebenaran. Selain
Descartes, tokoh lain yang merekonstruksi metodologi adalah Francis Bacon
dari Inggris, dengan karyanya yang terkenal mengenai metodologi empiris,
observasi, dan eksperimen.
Dalam konteks metodologi matematika, penalaran deduktif menjadi
kunci bagi matematika modern. Penalaran deduktif merupakan proses berpikir
yang dapat didasarkan pada observasi empirik, bergerak dari hal umum ke
penarikan kesimpulan yang khusus. Menurut Haryono (2015), penalaran
deduktif adalah cara untuk menarik kesimpulan dari pernyataan atau fakta yang
dianggap benar menggunakan logika. Melalui penalaran deduktif, dapat
menjernihkan dan memberikan pemahaman yang lebih baik, dengan
pembuktian yang bersumber dari berbagai referensi umum untuk mendukung
penarikan kesimpulan yang khusus.
Metode deduktif dalam penyelesaian masalah matematika dibagi
menjadi metode analitik (berjalan dari yang tidak diketahui ke yang diketahui)
dan metode sintetik (berjalan dari yang diketahui ke yang tidak diketahui).
Kedua metode tersebut, meskipun berbeda, memiliki peran yang sama dalam
konteks matematika. Dalam pengembangan pengetahuan matematika, terdapat
dua metode: metode pembuktian, yang digunakan untuk menemukan atau
membuktikan konsep atau rumusan masalah dengan argumetasi yang valid, dan
metode pemecahan masalah, yang mencakup cara logis untuk menelaah
permasalahan matematika yang kompleks. Masalah matematika diartikan
sebagai tantangan yang memerlukan pendekatan sistematis dan logis untuk
dicari solusinya.
III. MEMBANGUN FILSAFAT (ILMU)
A. Mereview Vidio Kuliah Filsafat
Filsafat pengetahuan yang menjadi pangkal dan puncak segala
pengetahuan yang mencakup dalam empat hal yaitu apa yang bisa diketahui
(metafisika), apa yang seharusnya dilakukan (etika), sampai mana harapan kita
(agama), dan apa hakikat manusia (anthropologi).
Kehidupan manusia itu bersifat metafisik yang berarti bisa diketahui
dengan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia tidak
sempurna agar bisa hidup, yang berarti kesempurnaan manusia itu tidak
sempurna atau sempurna di dalam ketidaksempurnaan. Dalam metafisik,
terdapat sifat dibalik sifat, sifat mendahului sifat, sifat mengikuti sifat, dan sifat
mempunyai sifat.
Awal dari segala macam kehidupan manusia terdiri dari dua hal yaitu
fatal dan vital. Fatal merupakan suatu takdir yang tidak bisa diubah kecuali
kuasa tuhan, sedangkan vital merupakan suatu pilihan yang bisa diusahakan dan
bisa diubah. Fatal menghasilkan idealism, absolute, spiritualism, serta kuasa
tuhan, sedangkan vital menghasilkan realism, materialisme, serta bendalism.
Kecerdasan filsafat yaitu paham ruang dan waktu. Pada bagian fatal,
terdapat aliran A Priori yaitu pengetahuan yang tidak tergantung dengan adanya
pengalaman dan muncul rasionalism dan sceptism oleh R. Decrates. Sedangkan
pada bagian vital, terdapat aliran A Posteriori yaitu pengetahuan diturunkan dari
pengalaman dan sebab dari hal itu dan muncul empiricm oleh David Hume.
R. Decrates berpendapat pada aliran rasionalism bahwa sumber
pengetahuan yang dipercaya adalah akal, hanya pengetahuan yang diperoleh
lewat akal yang mampu memenuhi syarat dituntut oleh semua pengetahuan
ilmiah. Sedangkan sceptism adalah alirah atau paham yang memandang sesuatu
selalu tidak pasti atau meragukan. D. Hume berpendapat pada aliran empiricism
bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berasal dari pengamatan, lalu
pengamatan ini menghasilkan kesan dan pengertian.
Vidio ini memberikan gambaran tentang dua perspektif filsafat yang
saling berlawanan: fatalisme dan vitalisme, yang kemudian membentuk dua
arah pemikiran filosofis utama, yaitu idealisme dan realisme.
1. Fatalisme dan Idealisme:
a. Fatalisme: Menggambarkan takdir sebagai sesuatu yang tetap dan di luar
kendali manusia. Ini adalah ketentuan dari pencipta dan tidak dapat
diubah oleh manusia.
b. Idealisme: Muncul sebagai hasil dari pandangan fatalisme. Mendasarkan
diri pada keyakinan absolutisme dan spiritualisme, yang berkaitan
dengan kekuatan Tuhan atau causa prima (sebab utama).
c. Logisisme dan Coherentism: Terkait dengan penggunaan logika dan
pendekatan analitik. Memiliki sifat konsisten, formal, dan normatif.
Paham ini bersifat apriori, memahami sebelum melihat, dan memberikan
dasar bagi lahirnya rasionalisme dan skeptisisme.
2. Vitalisme dan Realisme:
a. Vitalisme: Menekankan pada sifat yang tidak tetap (berubah).
Melibatkan pengamatan kondisi yang dapat diamati dan perubahan yang
terjadi.
b. Realisme dan Materialisme: Berkaitan dengan pandangan bahwa segala
sesuatu dapat diamati dan terdapat dalam materi, baik yang bernyawa
maupun yang tidak. Mendasari paham materialisme yang berbicara
tentang hukum alam.
c. Empirisisme: Bersifat a posteriori, didasarkan pada pengalaman. Paham
ini memberikan landasan bagi empirisisme, seperti yang diwakili oleh
D. Hume.
Vidio ini merinci bagaimana kedua arah pemikiran filosofis tersebut
berkembang, mulai dari pandangan mendasar tentang takdir dan perubahan,
hingga konsekuensi filsafat seperti idealisme, realisme, rasionalisme,
skeptisisme, materialisme, dan empirisisme.
Kehidupan modern pada filsafat muncul ketika ada pertempuran antara
R. Decrater dan D. Hume. Di zaman modern ini, muncul tokoh yang bernama
A. Compte pada tahun 1857 dengan buku yang berjudul positivism yang
meletakkan agama di paling bawah, setelah itu metafisik dan paling tinggi
adalah positif.
Pada zaman modern ini, masyarakat sudah menjelma menjadi struktur
yang memiliki tingkat paling bawa archaic, tribal, tradisional, feudal, modern,
pos modern atau power now atau contenporer yang menghasilkan aliran-aliran
sepert capitalism, materialism, pragmatism, dan liberalism.

B. Mereview CPR Immanuel Kant


Fikiran manusia pada saat tertentu bisa menjadi tameng dari beberapa
hal baru yang berdatangan akan tetapi tidak bisa di tolak, karena hal baru
tersebut terkadang hadir dari sifatnya sendiri namun tidak terdapat jawaban
karena hal tersebut sudah melampaui pikiran orang tersebut.
Kesulitan yang terjadi bukan karena kesalahannya sendiri, akan tetapi
hal tersebut dimulai dengan prinsip yang sudah melekat, namun pada saat yang
sama di goyahkan oleh pengalaman. Dengan prinsip tersebut dan mematuhi
segala hukum yang berlaku, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang
berkedudukan tinggi dan sulit dijangkau. Dikarenakan hal tersebut, beberapa
pemikiran dan pekerjaan menjadi tidak selesai karena pemikiran-pemikirann
baru tersebut terus menerus berdatangan dan harus diselesaikan walaupun hal
tersebut belum pernah terjadi padahal prinsip-prinsip tersebut dianggap oleh
masyarakat umum. Masuk ke dalam akal manusia akan tetapi tanpa rasa
percaya. Dengan demikian, ia terjerumus ke dalam kebingungan dan
pertentangan sehingga ia menduga bahwa ada beberapa kesalahan yang tidak
dapat ditemukannya karena prinsip yang digunakan melampaui batas
pengalaman dan tidak dapat diuji dengan kriteria itu. Konteks yang tidak ada
habisnya ini di sebut metafisika.
Hecuba:
Hanya hal yang paling penting
Banyak sekali jenisnya, terlahir begitu kuat...
Kini aku digambarkan sebagai orang buangan, tak berdaya.
- Ovid, Metamorfosis. Xiii
Pada awalnya, pemerintahannya, di bawah pemerintahan kaum
dogmatis, merupakan despotisme absolut. Namun, ketika legislatif terus
menunjukkan jejak-jejak pemerintahan barbar kuno, kerajaannya perlahan-
lahan pecah, dan perang usus memperkenalkan pemerintahan anarki: sementara
kaum skeptis, seperti suku-suku nomaden, yang membenci tempat tinggal
permanen dan cara hidup menetap, menyerang dari waktu ke waktu mereka
yang telah mengorganisir diri menjadi komunitas sipil. Namun untungnya,
jumlah mereka sedikit: sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya menghentikan
usaha orang-orang yang terus-menerus mendirikan bangunan baru, meskipun
tidak memiliki rencana yang pasti atau seragam. Belakangan ini, muncul
harapan bagi kita untuk melihat perselisihan tersebut terselesaikan, dan
legitimasi klaimnya ditegakkan oleh semacam fisiologi pemahaman manusia
yaitu pemahaman Locke yang terkenal. Namun ditemukan bahwa walaupun
ditegaskan bahwa orang yang disebut sebagai gueen ini tidak dapat merujuk
pada sumber yang lebih tinggi selain dari pengalaman umum, sebuah keadaan
yang tentu saja menimbulkan kecurigaan terhadap pernyataannya karena
silsilah ini tidak benar, dia tetap bertahan dalam silsilah tersebut. kemajuan
klaimnya atas kedaulatan. Dengan demikian metafisika tentu saja jatuh kembali
ke dalam konstitusi dogmatisme yang kuno dan busuk, dan sekali lagi menjadi
tidak menyenangkan karena penghinaan yang telah dilakukan oleh upaya untuk
menyelamatkannya. Saat ini, karena semua metode, menurut keyakinan umum,
telah dicoba berkali-kali, yang ada hanyalah kelelahan dan ketidakpedulian total
induk dari kekacauan dan malam di dunia ilmiah, namun pada saat yang sama
merupakan sumber dari, atau di setidaknya pendahuluan, penciptaan kembali
dan pemasangan kembali suatu ilmu pengetahuan, ketika ilmu tersebut telah
mengalami kebingungan.
Karena pada kenyataannya adalah sia-sia jika kita mengaku tidak peduli
terhadap tipu muslihat seperti itu, yang objeknya tidak bisa diabaikan begitu
saja terhadap kemanusiaan. Selain itu, orang-orang yang berpura-pura acuh tak
acuh ini, betapa pun mereka berusaha menyamarkan diri mereka dengan asumsi
gaya populer dan dengan perubahan bahasa sekolah, mau tidak mau akan
terjerumus ke dalam deklarasi dan proposisi metafisik, yang mereka anggap
sangat meremehkan. Pada saat yang sama, ketidakpedulian ini, yang muncul
dalam dunia ilmu pengetahuan, dan yang berhubungan dengan jenis
pengetahuan yang kita ingin lihat dihancurkan untuk terakhir kalinya, adalah
sebuah fenomena yang patut mendapat perhatian dan refleksi kita. Hal ini jelas
bukan akibat dari kesembronoan, melainkan akibat dari penilaian yang matang”
zaman, yang tidak mau lagi dihibur dengan pengetahuan khayalan. Faktanya,
hal ini merupakan panggilan untuk berpikir, sekali lagi untuk melakukan tugas
yang paling melelahkan yaitu pemeriksaan diri, dan untuk membentuk sebuah
pengadilan, yang dapat mengamankan klaim-klaimnya yang beralasan,
sementara pengadilan menentang semua asumsi dan pretensi yang tidak
berdasar, bukan dengan cara yang sewenang-wenang, tetapi menurut hukumnya
sendiri yang kekal dan tidak dapat diubah. Pengadilan ini tidak lain adalah
penyelidikan kritis terhadap nalar murni. Mengenai kejelasan, pembaca
mempunyai hak untuk menuntut, pertama, kejelasan yang bersifat diskursif atau
logis, yaitu berdasarkan konsepsi, dan, kedua, kejelasan intuitif atau estetis,
melalui intuisi, yaitu dengan contoh. atau mode ilustrasi lainnya secara konkrit.
Abbe Terrasson berkomentar dengan sangat adil bahwa, jika kita
memperkirakan ukuran sebuah karya, bukan dari jumlah halamannya, tetapi
dari waktu yang kita perlukan untuk menguasainya, maka dapat dikatakan
bahwa banyak buku akan melakukannya. menjadi jauh lebih pendek, jika tidak
terlalu pendek. Di samping itu, sehubungan dengan pemahaman sistem kognisi
spekulatif, yang terhubung di bawah satu prinsip, kita dapat mengatakan dengan
keadilan yang sama: banyak buku akan menjadi lebih jelas, jika tidak
dimaksudkan untuk menjadi begitu jelas.
Kita dapat mengatakan dengan keadilan yang sama: bagi banyak orang,
sebuah buku akan menjadi lebih jelas, jika buku itu tidak dimaksudkan untuk
menjadi begitu jelas. Untuk penjelasan dan contoh, serta bantuan lain untuk
kejelasan, membantu kita dalam memahami bagian-bagian, namun hal-hal
tersebut mengalihkan perhatian, menghilangkan kekuatan mental pembaca, dan
menghalanginya dalam membentuk konsepsi yang jelas tentang keseluruhan:
sebagaimana dia tidak dapat segera melakukan survei terhadap sistem tersebut,
dan pewarnaan serta hiasan yang diberikan padanya menghalanginya untuk
mengamati artikulasi atau pengorganisasiannya yang merupakan pertimbangan
paling penting baginya, ketika ia harus menilai kesatuan dan stabilitasnya. kita
dapat mengatakan dengan keadilan yang sama: bagi banyak orang, sebuah buku
akan menjadi lebih jelas, jika buku itu tidak dimaksudkan untuk menjadi begitu
jelas.
C. Refleksi Pendidikan Kontenporer
Di indonesia masih terdapat krisis multimediasi yang masih bersifat
laten dan mendasar. Krisis mutidimensi bangsa ditandai dengan beragam
konflik dalam dimensi kehidupan; centang perenang dan kekisruhan bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya; dekadensi moral; missing link berbagai
peristiwa atau kejadian sehingga tidak dapat dijelaskan mengapa suatu peristiwa
terjadi dan perilaku warga yang mencari solusi dengan cara-cara irasional;
menonjolnya primordialisme, egosektoral dan egosentrisisme; sikap dan
berpikir parsial, tidak konsisten, klaim sepihak, mementingkan golongan;
budaya instant dan hedonisme; kebijakan diambil tidak berdasarkan data
empiris melainkan atas dasar kepentingan sesaat dan golongan; dan
merajalelanya kolusi, korupsi dan nepotisme. Terdapat benang merah secara
filsafati, politik dan ideologis bahwa persoalan multidimensi bangsa Indonesia
secara hermeneutika dapat didekati menggunakan narasi-narasi besar dunia di
satu sisi, dan di sisi lain dapat didekati menggunakan dialog kecerdasan lokal
(local genious).
Hypothetical anaslyses memberikan petunjuk bahwa keadaan ontologis
krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini berelasi linear
dengan forma, wadah, bentuk atau struktur kehidupan Indonesia secara
menyeluruh yang dapat digambarkan sebagai bentuk yang belum berbentuk,
forma yang belum berforma, dan struktur yang belum berstruktur. Kondisi
forma yang belum berforma tersebut secara kebetulan dan secara tidak
kebetulan, dipengaruhi oleh dimensi forma eksternal bersubstansial dalam
waktu (kala) terbuka (baik atau buruk). Sebagaian forma eksternal
bersubstansial mempunyai dimensi lebih tinggi sehingga forma Indonesia yang
belum berforma tidak mampu mengendalikannya. Apapun penyebabnya, yang
pasti forma Indonesia yang belum berforma lebih banyak menimbulkan
ketidakpastian, merugikan, melemahkan, dan merongrong jati diri bangsa dari
dalam diri sendiri.
Objek ontologis melahirkan berbagai macam filsafat, yaitu:
1. Filsafat Heraklitosianisme yang memiliki sifat berubah.
2. Filsafat Permenidesianisme yang bersifat tetap.
3. Filsafat Realisme atau Relativisme yang memiliki objek di luar fikiran.
4. Filsafat Idealisme atau Absolutisme yang memiliki objek di dalam
fikiran.
5. Filsafat Rasionalisme yang memiliki sumber pengetahuan adalah rasio.
6. Filsafat Empirisisme yang memiliki sumber pengetahuan adalah
pengalaman.
7. Filsafat Teologi atau Spiritualisme yang memiliki sumber pengetahuan
adalah tuhan.
8. Filsafat Materialisme yang memiliki sumber pengetahuan adalah materi.
9. Filsafat Substansialisme atau Esensialisme yang mencari substansi.
10. Filsafat Eksistensialisme yang mencari sesuatu yang sudah ada.
11. Filsafat Humanisme yang memiliki pusatnya adalah manusia.
Filsafat adalah olah pikir, sedangkan pikiran bersifat simpomatik
sintetik-analitik yang artinya pikiran secara simtomatik merepresentasikan
filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya. Immanuel Kant (1671) menyatakan
“jika engkau ingin mengetahui dunia, maka tengoklah pikiranmu sendiri,
karena dunia itu sama persis dengan apa yang sedang engkau pikirkan”.
Implikasi dari pendapat di atas adalah bahwa segala macam Filsafat dan Aliran
Filsafat sangat mungkin bukan di sana, melainkan dia ada sangat dekat dengan
kita, yaitu pikiran kita sendiri. Aliran filsafat juga bersifat Egosentrisisme yang
bisa menjadi potensi buruk dan diperlukan Filsafat Holisisme agar menjadi
potensi yang baik.
Filsafat adalah kecenderungan yang dapat dipahami dengan
Penomenologi Reduksionisme. Hasilnya adalah sebuah struktur atau dunia
lengkap dengan unsur-unsur dan puncak atau pusatnya, dengan filsafat kita akan
menemukan dunia yang plural, artinya banyak dunia dan setiap yang ada dan
yang mungkin ada mempresentasikan dunianya masing-masing.
Justifikasi kedudukan dan hubungan filsafat, ideologi dan politik
pendidikan indonesia adalah:
1. Politik pendidikan pancasila versus politik pendidikan positivisme
Karakter Indonesia dapat dikembangkan melalui pendidikan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia agar generasi muda mampu memeroleh jiwa,
semangat dan nilai-nilai atau karakter berbasis budaya Indonesia dan
berbasis Nilai Spiritualisme.
2. Tiwikrama politik pendidikan positivisme menjadi politik pendidikan
kontemporer
Politik Pendidikan Positivisme menganggap tidak dapat mengandalkan
Karakter Spiritual untuk membangun dunia yang lebih maju, dikarenakan
menganggap sebagian Karakter Spiritual mempunyai Karakter Irasional
yang tidak dapat digunakan untuk mengembangkan metode saintifik.
Sebagai solusi, Politik Pendidikan Positivisme meminggir bawahkan
Karakter Spiritual dan menggantikannya dengan Karakter Saintifik.
3. Karakteristik implementasi politik pendidikan pancasila yang terkooptasi
oleh politik pendidikan kontemporer (power now)
Konteks latar belakang Pendidikan Kontemporer Indonesia bersifat
Ontologis dari Tribal/Tradisional/ Feudal, Konservatif , Perebutan
Kekuasaan (Power Disturbances), Disorientasi Mainset, dan Disorganisasi
Vital memberikan Karakter Indonesia yang Lemah Vital terhadap
Epistemologisnya. Kondisi Lemah Vital secara ontologis dan epistemologis
kemudian dipicu (ignite) oleh Un-structured Motive dari pelaku
Egosentriknya maka lahirlah Krisis Multi Dimensi denga sifat Alienasi
Ontologis, De-alienasi Epistemologs, Egalitarian Ontologis, Elitisisme
Ontologis, dan Standardisme Ontologis. Mainset Pendidikan Indonesia
Kontemporer bersifat dan menuju karakter Pragmatisme, Kapitalisme,
Saintisisme, Material, Liberalisme, Socialisme, Egalitarianisme,
Standardisme, Elitisme, Meritokrasi, Pendidikan Laskar (Paramiliter).
Ciri-ciri pendidikan demokrasi pancasila yang akan dijadikan solusi untuk
permasalahan ini adalah filsafat yang berlandaskan pancasila, ideologi yang
berlandaskan pancasila, politil yang berlandaskan demokrasi UUD 45
amandemen, moral yang berlandaskan pancasila, sosial yang berlandaskan
bhineka tungkal ika, budaya/karakter yang berlandaskan jati diri indonesia,
hakikat ilmu yang berlandaskan saintifik-spiritualisme, epistemologi yang
berlandaskan membangun hidup seutuhnya berlandaskan pancasila, pendidikan
dengan mengedepankan karakter indonesia yang bernurani, adil, beradab, jujur,
cendikia, mandiri, dan kerja sama.
Untuk mengatasi Krisis Multi Dimensi, tiada jalan lain bagi Bangsa
Indonesia untuk mewujudkan Politik dan Ideologi Pendidikan berdasar Filsafat
Pancasila dan Demokrasi UUD 45 Amandemen, agar diperoleh sikap moral
berjati diri Indonesia yang sesuai butir-butir Pancasila dan struktur
kemasyarakatan Bhineka-Tunggal Ika untuk membangun hidup manusia
Indonesia seutuhnya dengan cara dan untuk memeroleh karakter bernurani, adil,
beradab, jujur, mandiri dan mampu bekerjasama baik pada tataran lokal,
nasional, maupun internasional. Untuk itu, Sistem Pendidikan Nasional
dikembangkan agar mampu mengembangkan hakikat keilmuan sebagai
Saintifik-Spiritualisme yang didukung dengan Kurikulum yang mampu
mewadahi hermenitika hidup seutuhnya berdasarkan Pancasila. Tujuan
Pendidikan hendaknya diarahkan untuk memeroleh hidup selamat, sejahtera
lahir-batin dan dunia-akhirat, yang dapat dicapai melaui fasilitasi guru sesuai
prinsip/ajaran Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun,
dan tut wuri handayani.

IV. MENERAPKAN FILSAFAT + (ILMU)


Kemampuan seorang pendidik, khususnya guru, memiliki peran krusial dalam
menentukan keberhasilan pembelajaran matematika. Keterkaitan antara filsafat dan
ilmu matematika memiliki dampak yang signifikan pada efektivitas dan efisiensi
proses belajar mengajar. Filsafat memberikan keuntungan bagi pendidik dan peserta
didik, membantu guru memahami karakteristik peserta didik serta pola pikir mereka
dalam memahami matematika.
Filsafat, menurut Toumasis, memiliki pengaruh besar terhadap cara matematika
diajarkan di sekolah. Pandangan filosofis dan epistemologis terhadap hakikat
matematika dapat membentuk landasan bagi pengembangan kurikulum
matematika, metode pembelajaran matematika, dan arah penelitian di bidang
tersebut (Herlina, 2022). Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap
filsafat matematika tidak hanya meningkatkan kualitas pengajaran tetapi juga
membantu merancang kurikulum yang lebih baik dan relevan.
Bagi pendidik, filsafat juga berperan dalam membentuk pandangan terhadap
tujuan pendidikan matematika dan cara terbaik untuk mencapainya. Dengan
pemahaman filosofis yang kokoh, guru dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip
filosofis dalam setiap aspek pembelajaran matematika, menciptakan lingkungan
belajar yang lebih mendalam dan bermakna bagi peserta didik. Dengan demikian,
keterkaitan antara filsafat dan matematika memberikan kontribusi penting dalam
membentuk landasan pemikiran dan praktik pendidikan matematika yang lebih
efektif dan kontekstual.
A. Sejarah/Perkembangan Matematika
Matematika pertama kali di temukan di mesir kuno pada zaman
mesopotamia tahun 1849 SM dengan ditemukannya artefak. Berdasarkan
artefak tersebut, menunjukkan bahwa bangsa mesopotamia memiliki banyak
pengetahuan matematika yang luar biasa meskipun pada zaman tersebut
matematika yang ada masih primitif. Artefak yang ditemukan pertama kali
adalah Papyrus Rhind dengan memberikan gambaran tentang perkembangan
matematika yang pesat. Beberapa artefak yang berkaitan dengan matematika
ditrmukan dibeberapa daerah kerajaan seperti Sumeria (3000 SM), Akkadia dan
Babylonia Rezim (2000 SM), Asyur (1000 SM), Persia (600-400 SM) dan
Yunani (300-100 SM).
Pada zaman Yunani kuno, terdapat dua matematikawan penting, yaitu
Thales dan Pythagoras. Keduanya menjadi pelopor pemikiran dalam bidang
geometri, namun Pythagoras menjadi yang pertama mengembangkan bukti-
bukti matematika. Selama pemerintahan Alexander Agung dan setelahnya,
Euclides menciptakan karya monumental berjudul "Element" (Unsur), sebuah
buku geometri pertama yang disusun secara deduktif. Meskipun banyak risalah
penting dari awal matematika Islam hilang, pertanyaan tentang hubungan antara
matematika Islam, Yunani, dan India tetap belum terjawab. Meskipun jumlah
dokumen terbatas, kontribusi matematikawan Islam terlihat besar, bersamaan
dengan kebangkitan pemikiran modern dari zaman kegelapan hingga sekitar
abad ke-15.
Penemuan alat cetak pada abad ke-16 memungkinkan matematikawan
berkomunikasi secara intensif dan menerbitkan karya-karya hebat. Pada masa
Hilbert, yang berusaha menciptakan sistem matematika tunggal, lengkap, dan
konsisten, muridnya Godel membuktikan ketidakmungkinan menciptakan
sistem semacam itu. Meskipun dokumen matematika Islam awal yang penting
banyak hilang, kesulitan menelusuri peran matematikawan Islam dalam
pengembangan matematika di Eropa selanjutnya terlihat jelas.
Orang Babilonia menemukan sistem bilangan sexagesimal, berguna
untuk perhitungan astronomi, seperti memprediksi gerhana bulan. Mesir Kuno,
dipengaruhi oleh Mesopotamia dan Babilonia, mengembangkan matematika
mereka, terutama dalam konteks kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh
sungai Nil. Matematika Yunani berkembang selama periode klasik (sekitar 600
SM hingga 300 SM), berubah dari praktis menjadi disiplin ilmu deduktif.
Mereka tertarik pada struktur logis matematika dan menghadapi persoalan
Incommensurability, yang mengarah pada penemuan bilangan irasional.
Euclides menciptakan "Element," karya monumental dalam geometri
aksiomatis, yang berisi bukti-bukti matematis yang masih relevan. Yunani
Kuno mencapai pencapaian monumental dengan menyusun tujuan matematika
sebagai disiplin teoritis. Perkembangan matematika Yunani ditransmisikan
melalui ilmuwan Arab dan mencapai Eropa, mempengaruhi matematika
astronomi selama Renaissance dan awal modern.
Pada abad ke-17, kebangkitan matematika seiring kebangkitan
pemikiran filsafat, menantang pandangan Gereja dengan munculnya tokoh-
tokoh seperti Copernicus, Galileo, Kepler, dan Descartes. Jaman ini, dikenal
sebagai Jaman Modern, ditandai oleh pemikir filsafat dan matematikawan yang
memimpin seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, David Hume, Galileo,
Kepler, dan Cavalieri.
B. Ideologi Pendidikan (Paul Ernest)
Sebagai seperangkat aturan yang dianggap sebagai dasar untuk
mencapai tujuan pendidikan (James Alexander, 2015: 981), pendidikan dapat
dibagi menjadi dua ideologi utama: ideologi pendidikan konservatif dan
ideologi pendidikan liberal. Pengelompokan ini didasarkan pada perbedaan
pandangan mendasar keduanya terhadap kebenaran suatu sistem pendidikan
(O’Neill, 2008: 32). Ideologi pendidikan konservatif cenderung mengadopsi
humanisme tidak langsung, yaitu meyakini bahwa nilai tertinggi dapat dicapai
melalui perwujudan diri dengan mengidentifikasi dan mematuhi hukum alam
atau ketuhanan. Sebaliknya, ideologi pendidikan liberal cenderung menganut
humanisme langsung, yaitu pandangan bahwa semua realitas bersumber dari
pengetahuan dan pengalaman manusia secara personal atau kolektif.
Paul Ernest (1991) mengklasifikasikan ideologi pendidikan ke dalam
lima kategori, termasuk aliran Industrial Trainer, Technological Pragmatist,
Old Humanist, Progressive Educator, dan Public Educator. Paradigma dari
ideologi pendidikan ini secara jelas dapat dilihat melalui tabel berikut:
Pertama, aliran Industrial Trainer secara konseptual mengacu pada
pendekatan pengajaran atau pemahaman yang menekankan pada pendidikan
atau pelatihan industri. Fokus orientasi ini adalah pada matematika dan
hubungannya dengan dunia usaha dan industri. Dalam konteks pembelajaran
matematika atau pendidikan dasar, aliran instruktur industri menggambarkan
kegiatan pelatihan yang dilakukan untuk siswa.
Kedua, Aliran Technological Pragmatist adalah kelompok kontemporer
yang berasal dari pendidik industri dengan misi mempromosikan versi modern
dari ideologi utilitarian, prinsip utilitas, atau manfaat. Secara konseptual,
Technological Pragmatist dapat dijelaskan sebagai sikap atau perilaku
ideologis, mazhab, atau politik yang tidak ingin mengubah sistem secara
radikal. Sikap ini umumnya dipegang oleh mereka yang memiliki status atau
kekuasaan khusus dalam struktur atau setidaknya merasa sangat diuntungkan
dari sistem yang ada.
Ketiga, aliran Old Humanist atau sering disebut sebagai "Alto-
Humanist" atau "Humanis Lama", berpendapat bahwa sains murni bernilai bagi
dirinya sendiri. Meskipun demikian, matematikawan kuno melihat matematika
sebagai komoditas berharga dan elemen sentral budaya. Ideologi kelompok ini
dibagi menjadi relatif dan absolut. Kelompok humanis kuno menekankan
perbaikan diri dengan membangun kemanusiaan. Mereka percaya bahwa
pembelajaran matematika harus membangun karakter siswa untuk mencapai
kepribadian yang baik dalam kehidupan masa depan.
Keempat, Aliran Progressive Educator atau sering disebut sebagai aliran
pendidikan progresif, didasarkan pada progresivisme, memandang pendidikan
sebagai proses terbaik ketika siswa berinteraksi dalam kehidupan nyata dengan
orang lain. Ideologi ini memandang siswa sebagai makhluk sosial yang aktif, di
mana pembelajaran paling baik terjadi ketika terhubung dengan situasi
kehidupan nyata siswa. Belajar dalam aliran ini berpusat pada siswa, di mana
siswa bukan hanya penerima informasi dari guru, tetapi juga aktif mencari atau
membangun pengetahuannya sendiri.
Kelima, aliran Public Educator adalah kelompok orang dengan ideologi
demokrasi, di mana pendidikan dianggap milik semua orang tanpa memandang
jenis kelamin, ras, jenis kelamin, atau status sosial. Ide ini juga dikenal sebagai
Pendidikan Inklusif, Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial
(GEDSI). Pendidikan dianggap berhasil ketika anak terlibat aktif dan
terintegrasi dalam semua aspek sosial di lingkungan mereka. Tujuan lainnya
adalah membuat masyarakat berperan sebagai pembimbing dan guru bagi anak-
anak, dengan teori pembelajaran berfokus pada diskusi dan inkuiri.

C. Paradigma/Teori/Model/Pendekatan/Metode/Strategi/Praktis

Model/Strategi
No Sintak Link/Referensi
/Metode/Pendekatan
1 Discovery Learning 1. Pemberian rangsangan Syah, M. 2017. Psikologi
(stimulation) Pendidikan dengan Pendekatan
2. Pernyataan/Identifikasi Baru. Bandung: PT. Remaja
masalah (problem Rosdakarya.
statement)
3. Pengumpulan data (data
collection)
4. Pengolahan data (data
processing)
5. Pembuktian
(verification)
6. Menarik
simpulan/generalisasi
(generalization)
2 Cooperative 1. Menyampaikan tujuan Suprijono, A. 2009. Cooperative
Learning dan memotivasi siswa Learning:teori & aplikasi
2. Menyajikan informasi PAIKEM. Pustaka Pelajar.
3. Mengorganisasikan
siswa kedalam
kelompok-kelompok
belajar
4. Membimbing kelompok
belajar
5. Evaluasi
6. Memberikan
penghargaan
3 Problem Solving 1. Memahami masalah Dewi, R. A., dkk. (2015).
2. Merencanakan Pengembangan Perangkat
pemecahan masalah Pembelajaran Berbasis Problem
3. Menyelesaikan masalah Solving untuk Meningkatkan
4. Memeriksa kembali Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi pada Mata Pelajaran
Fisika SMAN 3 Purworejo
Kelas XI Tahun Pelajaran
2014/2015. Jurnal Radiasi
.Volume 06 No.1, April 2015.
4 Konstruktivisme 1. Memperoleh Informasi Nurliana, Nurfadhilah, dan
2. Transformasi Infromasi Bahri, A. (2021). Teori Belajar
dan Pembelajaran. LPP
UNISMUH MAKASSAR:
3. Menguji Relevansi Makassar.
dengan ketepatan
pengetahuan
5 Behaviorisme 1. Unconditioned Stimulus Herpratiwi. 2016. Teori Belajar
2. Unconditioned Respons dan Pembelajaran. Yogyakarta:
3. Conditioned Stimulus Media Akademi
4. Conditioned Respons
6 Saintifik 1. Mengamati (Observasi) Rangkuti, A.N. & Hasibuan, A.
2. Menanya A. (2022). Strategi
3. Mencoba Pembelajaran Matematika.
4. Menalar Padang Sidempuan: Perdana
5. Mengkomunikasikan Publishing.
7 Kontekstual 1. Mengembangkan Rangkuti, A.N. & Hasibuan, A.
pemikiran bahwa anak
A. (2022). Strategi
akan belajar lebih
bermakna Pembelajaran Matematika.
dengan cara bekerja
Padang Sidempuan: Perdana
sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri Publishing
pengetahuan
dan keterampiannya.
2. Melaksanakan sejauh
mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua
topik.
3. Mengembangkan sifat
ingin tahu siswa
dengan bertanya
4. Menciptakan
masyarakat belajar.
Dalam pembelajaran
kontekstual biasanya
pembelajaran
dilakukan dengan
diskusi kelompok.
5. Menghadirkan model
atau narasumber yang
ahli sebagai contoh
pembelajaran. Dengan
adanya model dapat
menarik perhatian
siswa dalam
mendengarkan
pembelajaran.
6. Melakukan refleksi di
akhir pertemuan.
Gunanya agar siswa
dapat mengingat
kembali tentang
pembelajaran yang
telah dilakukan
sebelumnya.
7. Melakukan penilaian
yang sebenarnya
dengan berbagai cara
8 Inquiri 1. Mengidentifikasi Rangkuti, A.N. & Hasibuan, A.
kebutuhan siswa.
A. (2022). Strategi
2. Seleksi pendahuluan
terhadap konsep yang Pembelajaran Matematika.
akan dipelajari.
Padang Sidempuan: Perdana
3. Seleksi bagian materi
yang akan dipelajari. Publishing
4. Menentukan peran yang
harus dilakukan
masing-masing siswa.
5. Melakukan penjagaan
terhadap kemampuan
awal siswa terkait
materi yang akan
diberikan.
6. Mempersiapkan kelas.
7. Memberikan
kesempatan kepada
siswa untuk melakukan
kegiatan penyelidikan
dan penganalisisan data
yang ditemukan dalam
rangka menemukan hal
baru dalam
pembelajaran.
8. Melakukan tindakan
penguatan.
9 Teori Kognitif Menurut Piaget Buku Ulfiani Rahman (2014)
1. Intelegensi Memahami Psikologi dalam
2. organisasi Pendidikan
3. Skema
4. Asimilasi
5. Akomodasi
Equilibrasi
10 Teori Humanistik Menurut Maslow Buku Ulfiani Rahman (2014)
1. Kebutuhan fisiologis Memahami Psikologi dalam
2. Kebutuhan akan rasa Pendidikan
aman
3. Kebutuhan memiliki
cinta
4. Kebutuhan
penghargaan
Kebutuhan aktualisasi diri
11 Teori Sosiokultural Menurut Vygotsky https://staffnew.uny.ac.id/upload/
1. Tindakan anak masih 198407242008122004/lainlain/
dipengaruhi atau TEORI+KULTUR.pdf
dibantu orang lain
2. Tindakan anak yang
didasarkan atas inisiatif
sendiri
3. Tindakan anak
berkembang spontan
dan terinternalisasi.
Tindakan anak spontan
akan terus diulang-ulang
hingga anak siap untuk
berfikir abstrak.
12 Konektivisme Menurut Siemmens Malikah, S., dkk. (2022).
1. Pembelajaran dan Perspektif Connectivisme
pengetahuan terletak terhadap Pembelajaran Daring
pada keragaman Berbasis Google Workspace For
pendapat Education.Edukatif:Jurnal
2. Belajar adalah proses Pendidikan. 4(2):2053.
menghubungkan
simpul khusus atau
sumber informasi
3. Belajar mungkin
berada di peralatan
non-manusia
4. Kapasitas untuk
mengetahui lebih
banyak lebih penting
daripada apa yang
diketahui saat ini
5. Kemampuan untuk
melihat hubungan
antara bidang, ide dan
konsep adalah
keterampilan inti.
6. Mata uang
(pengetahuan yang
akurat dan terkini)
adalah tujuan dari
semua aktivitas
pembelajaran
conektivis
7. Pengambilan keputusan
itu sendiri merupakan
proses pembelajaran.
Memilih apa yang
harus dipelajari dan
makna informasi yang
masuk dilihat melalui
lensa realitas yang
berubah
13 Open Ended Menurut Rangkuti, dan Rangkuti, A.N. & Hasibuan, A.
Hasibuan: A. (2022). Strategi Pembelajaran
1. Meperkenalkan suatu Matematika. Padang Sidempuan:
masalah terbuka. Perdana Publishing.
2. Kemudian memahami
masalah tersebut
3. Meminta siswa untuk
memecahkan masalah
tersebut.
4. Membandingkan atau
mendiskusikan
pemecahan masalah
yang sudah dilakukan.
5. Meminta siswa untuk
menulis kembali
pelajaran yang mereka
dapatkan

V. PENDIDIKAN/PEMBELAJARAN/KONSTRUKTIF
Model pembelajaran konstruktif menekankan bahwa pengetahuan individu
merupakan hasil konstruksi dari individu itu sendiri. Dalam model ini,
pembelajaran bukanlah pemindahan pengetahuan dari dosen kepada mahasiswa,
melainkan suatu proses di mana mahasiswa aktif dalam membentuk
pengetahuannya sendiri. Dosen berperan membantu mahasiswa mengkonstruksi
pengetahuan sesuai dengan situasi konkret.
Beberapa karakteristik model pembelajaran konstruktif mencakup
pembelajaran top-down, kooperatif, generatif, penemuan, pengaturan diri, dan
bantuan (scaffolding). Pembelajaran top-down berarti mahasiswa mulai belajar
dengan masalah kompleks yang diselesaikan dengan bantuan dosen menggunakan
keterampilan dasar yang diperlukan. Pembelajaran kooperatif memungkinkan
mahasiswa lebih mudah memahami konsep-konsep sulit melalui diskusi dengan
teman. Pembelajaran generatif melibatkan metode khusus untuk memproses
informasi baru dan berkontribusi pada hasil belajar dan ingatan mahasiswa.
Pendekatan konstruktif juga mendorong pembelajaran dengan penemuan, di
mana mahasiswa aktif dalam proses penguasaan konsep dan prinsip-prinsip.
Mahasiswa didorong untuk belajar secara aktif, melakukan eksperimen, dan
menemukan konsep sendiri. Model ini menggambarkan visi bahwa mahasiswa
adalah sosok yang mampu mengatur dirinya sendiri, memiliki pengetahuan tentang
strategi belajar yang efektif, dan dapat menggunakan pengetahuannya.
Dosen dalam model pembelajaran konstruktif memberikan bantuan terstruktur
pada awal pembelajaran dan kemudian mengaktifkan mahasiswa untuk belajar
mandiri secara bertahap. Tahap-tahap dalam model ini melibatkan mahasiswa
dalam menyatakan pengetahuan awal, menyelidiki dan menemukan konsep,
memikirkan penjelasan dan solusi, dan mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya melalui kegiatan dan pemecahan masalah yang relevan dengan
lingkungan mereka.
Daftar Pustaka

Agus Arwani, Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah), Religia, Vol. 15,
No. 1, 2017.

Bahrum. 2019. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Jurnal Wawasan Keislaman,


8(2), 35-45.

Damas, et.al. 2022. Filsafat Matematika: Kedudukan, Peram, dan Persepektif


Permasalahan Dalam Pembelajaran Matematika. Inovasi Pembangunan: Jurnal
Kelitbangan, 10(1), 15-27.

Dewi, R. A., dkk. (2015). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Problem


Solving untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi pada Mata
Pelajaran Fisika SMAN 3 Purworejo Kelas XI Tahun Pelajaran 2014/2015.
Jurnal Radiasi .Volume 06 No.1, April 2015.

Duski Ibrahim, Filsafat Ilmu dari Penumpang Asing untuk Para Tamu, Palembang:
NoerFikri, 2017.

Gie, T. L. (1999). Filsafat Matematika (Pengantar Perkenalan). Yayasan Studi Ilmu


dan Teknologi.

Haryono, D. (2015). Filsafat Matematika: Suatu Tinjauan Epsitemologi dan Filosofis


(A. Hadis (ed.)). Alfabeta.

Herpratiwi. 2016. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Media Akademi.

I Gusti Bagus Rai Utama, Filsafat Ilmu dan Logika Manajemen dan Pariwisata,
Yogyakarta: Deepublish, 2021.

Ida Rochmawati, Pendidikan Karakter dalam Kajian Filsafat Nilai, Jurnal Pendidikan
Islam, Vol. 3, No. 1, 2019.

Jalaluddin Dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Juhari, Aksiologi Ilmu Pengetahuan (Telaah Tentang Manfaat Ilmu Pengetahuan


dalam Konteks Ilmu Dakwah), Al-Idarah: Juenal Manajemen dan Administrasi
Islam, Vol. 3, No. 1, 2019.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 1999.

Mahfud, Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dalam Pendidikan Islam,


Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 4, No.1, 2018, 84.

Mahfud, Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dalam Pendidikan Islam,


Cendekian: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 4, No.1, 2018.
Malikah, S., dkk. (2022). Perspektif Connectivisme terhadap Pembelajaran Daring
Berbasis Google Workspace For Education.Edukatif:Jurnal Pendidikan.
4(2):2053.

Maria Sanprayogi & Moh. Toriqul Chaer, Aksiologi Filsafat Ilmu dalam
Pengembangan Keilmuan, AL MURABBI, Vol. 4, No. 1, 2017.

Marsigit, Herianto. Filsafat, Ideologi, Pradigma Evaluasi Pendidikan. FMIPA


Universitas Negeri Yogyakarta.

Marsigit, Herianto. Filsafat, Ideologi, Pradigma, Model dan Inovasi Pendidikan.


FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Marsigit. 2009. Asumsi Dasar Karakteristik Matematika, Subyek Didik dan Belajar
Matematika Sebagai Dasar Pengembangan Kurikulum Matematika Berbasis
Kompetensi Di SMP. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Marsigit. Sejarah dan Filsafat Matematika. Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri


Yogyakarta.

Martin, W. 2009. Paul Ernest's Social Constructivist Philosophy of Mathematics


Education. Disertasi University of Illinois at Urbana Champaign.

Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 69-74.

Muhammad Adib, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Novi Khomsatun, Pendidikan Islam Dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan


Aksiologi, EDUCREATIVE: Jurnal Pendidikan Kreatif Anak, Vol. 4, No. 2,
2019.

Nur Afni Puji Rahayu, Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Peningkatan
Keterampilan Menulis Deskripsi Melalui Model Kooperatif Tipe Round Table,
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 11, No. 1, 2021, 133.

Nur Afni Puji Rahayu, Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Peningkatan
Keterampilan Menulis Deskripsi Melalui Model Kooperatif Tipe Round Table,
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 11, No. 1, 2021.

Nurliana, Nurfadhilah, dan Bahri, A. (2021). Teori Belajar dan Pembelajaran. LPP
UNISMUH MAKASSAR: Makassar.

Parnabhhakti, L., & Ulfa, M. (2020). Perkembangan Matematika Dalam Filsafat.


Jurnal Ilmiah Matematika Realistik, 1(1), 11–14.

Rangkuti, A.N. & Hasibuan, A. A. (2022). Strategi Pembelajaran Matematika. Padang


Sidempuan: Perdana Publishing.
Rokhmah, D. 2021. Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi. CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman, 7(2).

Saefuddin, dkk, Desekularisasi Pemikiran: landasan Islamisasi, Bandung: Mizan,


1998.

Saksono, et.al. Teori Belajar dalam Pembelajaran. Batam: Yayasan Cendikia Mulia
Mandiri. 2023.

Sinaga, W., Parhusip, B. H., Tarigan, R., & Sitepu, S. (2021). Perkembangan
Matematika Dalam Filsafat Dan Aliran Formalisme Yang Terkandung Dalam
Filsafat Matematika.

Suminar, T. 2019. Tinjauan Filsafati (Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi)


Manajemen Pembelajaran Berbasis Teori Sibernetik. Repository Universitas
Negeri Semarang.

Suprijono, A. 2009. Cooperative Learning:teori & aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajar.

Suyitno, H., & Rochmad, R. (2015). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Filsafat


Matematika melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Strategi
Berbasis Kompetensi dan Konservasi.

Syah, M. 2017. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai