Anda di halaman 1dari 13

1.

Pengantar Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha
memahami persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup
pengalaman manusia. Dengan demikian filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya
menjawab pertanyaanpertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan
manusia, termasuk masalah kehidupan dalam bidang pendidikan. Jawaban hasil
pemikiran filsafat bersifat sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Filsafat
dalam mencari jawaban dilakukan dengan cara ilmiah, objektif, memberikan
pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi manusia, demikian
halnya untuk menjawab persoalan-persoalan manusia dalam bidang pendidikan,
(Jalaludin, 2007).
Ilmu pada hakikatnya adalah netral. Ketidaknetralan ilmu bergantung pada
nalar manusia. Kebenaran dalam konteks filsafat adalah kebenaran yang
tergantung sepenuhnya pada kemampuan daya nalar manusia. Kemampuan
berpikir atau bernalar merupakan satu bentuk kegiatan akal manusia melalui
pengetahuan yang diterima melalui panca indera, diolah dan ditujukan untuk
mencapai suatu kebenaran (Amsal, B.2009).
Filsafat Ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut
(Susanto,2011):
1. Persepsi manusia akan kenyataan (reality).
2. Pemahaman berbagai dinamika alam.
3. Saling keterkaitan anatara logika dengan matematika, dan antara logika
dan matematika pada satu sisi dengan kenyataan sisi lain.
4. Berbagai keadaan dari keberadaan-keberadaan (entities) teoritis.
5. Berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawaban (liability).
6. Hakikat manusia nilai-nilainya, tempat, dan posisinya di tengah-tengah
semua keberadaan lain, paling sedikti yang berada di lingkungan
dekatnya.
Filsafat ilmu juga menyibukkan diri dengan berbagai masalah yang datang
dari konsep-konsep khusus dalam statistik, pengukuran, teologi, misalkan
penjelasan peristiwa-peristiwa dipandang dari tujuannya atau kesudahannya,
penjelasan sebab-musabab, hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda, keadaan
dimana satu ilmu berkurang untuk ilmu yang lain, dan konsep-konsep spesifik
mengenai ilmu-ilmu, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu satu
persatu(Amsal, B.2009).
Tentunya dnegan penalaran mendalam, Rene Descartes mengemukakan
ucapannya yang terkenal sepanjang masa, cogito ergo sum, saya berfikir karea itu
saya ada (Susanto,2011).
Ada tiga pilar utama dalam filsafat ilmu yang selalu menjadi pedoman,
yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Suriasumantri :1987). Ketiga pilar
itulah manusia berupaya untuk mencari dan menggali eksistensi ilmu
sedalamdalamnya. Hakikat apa yang ingin diketahui manusia merupakan pokok
bahasan dalam ontologi. dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-
filsafat atau filsafat yang pertama dan menjadi pembahasan yang utama dalam
bidang filsafat yang membahas tentang realitas.
Hal ini menjelaskan manusia ingin mengetahui tentang “ada” atau eksistensi
yang dapat dicerap oleh pancaindera. Epsitemologi merupakan landasan kedua
filsafat yang mengungkapkan bagaimana manusia menggunakan logika material
atau logika mayor yang membahas dari isi pikiran manusia sehingga memperoleh
pengetahuan atau kebenaran tersebut. Setelah memperoleh pengetahuan, manfaat
apa yang dapat digunakan dari pengetahuan itu. Inilah yang kemudian membawa
pemikiran kita menengok pada konsep aksiologi, yaitu, filsafat yang membahas
masalah nilai kegunaan dari nilai pengetahuan. Dengan kata lain, aksiologi
merupakan bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Nilai dan implikasi
aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai (nilai tindakan moral, nilai ekspresi keindahan dan
nilai kehidupan sosio-politik) di dalam kehidupan manusia dan membinanya ke
dalam kepribadian anak. (Jalaludin, 2007).
Aksiologi Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa aksiologi
adalah filsafat nilai. Nilai yang dimaksudkan adalah nilai kegunaan. Apa
kegunaan ilmu itu dalam kehidupan manusia? Tentu kita semua setuju dan sepakat
bahwa ilmu telah banyak memberikan manfaat dalam kehidupan dan
kesejahteraan umat manusia di dunia. Ilmu telah mampu mengubah dan
memberantas bahaya bencana kelaparan, kemiskinan, mewabahnya berbagai
penyakit, buta aksara, dan lain-lain bencana yang melanda wajah duka kehidupan
manusia (Jalaludin, 2007).
Ilmu telah mampu membuat kehidupan manusia lebih mudah dan membantu
melakukan pekerjaan dengan efektif dan efisien. Namun demikian, ilmu juga
dapat digunakan untuk merusak sendi-sendi kehidupan manusia dan bahkan
membinasakan manusia. Ingat peristiwa PD I dan II, pemboman kota Nagasaki
dan Hirosima, perang Irak dan Iran, peristiwa bom Bali, dan masih banyak
peristiwa lainnya yang barangkali terlupakan dalam memori kita. Kata mutiara
yang disampaikan Einstein bahwa ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa
ilmu adalah lumpuh memiliki makna yang teramat mendalam bila kita renungkan
dan pahami. Tanpa dilambari dengan agama, ilmu akan digunakan manusia untuk
berbagai macam kepentingan baik yang bersifat merusak ataupun untuk
membangun dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia (Adib,2011).
Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik dan buruk.
Manusialah sebagai pemilik ilmu pengetahuan harus mempunyai sikap. Untuk apa
sebenarnya ilmu itu akan digunakan oleh manusia. Dengan kata lain, netralitas
ilmu terletak pada dasar epistemologinya saja (Suriasumantri, 1987). Jika hitam,
katakan hitam; jika ternyata putih, katakan putih. Ilmu tidak berpihak kepada
siapa pun. Ia hanya berpihak kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan
aksiologis, manusialah yang harus memberikan penilaian tentang baik dan buruk.
Manusialah yang menentukan sikap dan mengkategorikan nilai- nilai.

2. Pengertian Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi,
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Dengan kata lain, aksiologi
adalah teori nilai. Suriasumantri (1990) mendefinisikan aksiologi sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
Aksiologi dalam Kamus Bahasa Indonesia Depdiknas, (2003) adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika.
Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang
menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan
menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik. Dengan demikian
aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai
atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.Berbicara mengenai nilai itu sendiri
dapat kita jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan
curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan
perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai (Susanto. 2011).
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai
yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan
dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan. Menurut Bramel, aksiologi
terbagi tiga bagian, yaitu (Susanto. 2011):
a. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus, yaitu etika.
b. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan
keindahan.
c. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma (Surajiyo,2007).
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan
tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis. Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat
dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai (Surajiyo,2007).
Menurut Wibisono seperti yang dikutip Surajiyo (2007), aksiologi adalah
nilai nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of
Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value and valuation.
Bramel seperti yang dikutip Amsal (2009) membagi aksiologi dalam tiga bagian,
yakni moral conduct, estetic expression, dan socio-political life. Moral Conduct,
yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Estetic
expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini melahirkan keindahan.
Dan terakhir yang mebidani lahirnya filsafat kehidupan sosial politik.
Membicarakan mengenai aksiologi tentu membahas dan membedah masalah
nilai. Apa sebenarnya nilai itu? Bertens (2007) menjelaskan nilai sebagai sesuatu
yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang dicari,
sesuatu yang disukai dan diinginkan. Pendeknya, nilai adalah sesuatu yang baik.
Lawan dari nilai adalah non-nilai atau disvalue. Ada yang mengatakan disvalue
sebagai nilai negatif. Sedangkan sesuatu yang baik adalah nilai positif. Hans
Jonas, seorang filsuf Jerman-Amerika, mengatakan nilai sebagai the addresse of a
yes. Sesuatu yang ditujukan dengan ya. Nilai adalah sesuatu yang kita iya-kan
atau yang kita aminkan. Nilai selalu memiliki konotasi yang positif (Bertens,
2007).
Ada tiga ciri yang dapat kita kenali dengan nilai, yaitu nilai yang berkaitan
subjektif, praktis, dan sesuatu yang ditambahkan pada objek (Bertens, 2007).
1. Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Artinya, nilai itu berkaitan dengan
kehadiran manusia sebagai subjek. Kalau tidak ada manusia yang memberi
nilai, nilai itu tidak akan pernah ada. Tanpa kehadiran manusia pun, kalau
Gunung Merapi meletus ya tetap meletus. Pasalnya sekarang, ketika
Gunung Merapi meletus misalnya, apakah itu sesuatu yang “indah”
ataukah “membahayakan” bagi kehidupan manusia. Kesemuanya itu tetap
memerlukan kehadiran manusia untuk memberikan penilaian. Dalam hal
ini nilai subjektivitas memang bergantung semata-mata pada pengalaman
manusia.
2. Kedua, nilai dalam konteks praktis. Yaitu, subjek ingin membuat sesuatu
seperti lukisan, gerabah, dan lain-lain. Ketiga, berkaitan dengan nilai
tambah pada objek. Nilai tambah itu dapat berupa budaya, estetis,
kewajiban, kesucian, kebenaran, maupun yang lainnya. Bisa jadi objek
yang sama akan memiliki nilai yang berbeda-beda bagi pelbagai subjek.
Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai
bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang
dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu
yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia
bukan fakta yang nyata. Jika kembali kepada ilmu pengetahuan, kita akan
membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan
logika dimana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan
kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan
kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan
buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak
terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai
adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika. Teori nilai dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika memiliki dua arti
yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia, dan predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah
laku, atau yang lainnya.
3. Ketiga, Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif
(Amsal, 2009). Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak
tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Tentang nilai, beberapa golongan mempunyai pandangan yang tidak sama.
Nilai dalam pandangan agama tentu berbeda dengan positivisme, pragmatisme,
fatalisme, hinduisme dan sebagainya. Sekarang, bagaimana pandangan Anda
tentang kawin sirih yang penuh pro dan kontra. Atau poligami? Tentu,
masingmasing orang akan memberikan penilaian yang berbeda sesuai dengan
kepentingannya sendiri-sendiri. Sinclair seperti dikutip Wiramihardja,(2006)
mengemukakan bahwa nilai itu merujuk pada sistem, seperti sosial, politik, dan
agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan, dan aturan
sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi yang dapat terwujud.
Beberapa persoalan dengan nilai yang mencakup: hakikat nilai, tipe nilai, kriteria
nilai, dan status metafisika nilai.
Susanto (2011) mengemukakan bahwa hakikat nilai dilihat dari anggapan
atau pendapatnya terdiri dari kehendak (voluntarisme), kesenangan (hedonisme),
kepentingan, hal yang lebih disukai (preference), dan terakhir berasal dari
kehendak rasio murni. Jenis-jenis nilai dapat dikategorikan pada perubahannya,
seperti: baik dan buruk, sarana dan tujuan, penampakan dan riil, subjektif dan
objektif, murni dan campuran, dan aktual dan potensial. Kriteria nilai merupakan
standar pengujian yang lebih banyak dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
Kaum hedonis menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang
dijabarkan oleh individu atau masyarakat. Kaum idealis mengakui sistem objektif
norma rasional sebagai kriteria. Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis
sebagai tolok ukur. Status metafisik nilai banyak ditentukan oleh subjektivitas,
objektivisme logis, dan objektivisme metafisik. Subjektivisme adalah nilai
semata-mata tergantung pengalaman manusia. Objektivisme logis adalah nilai
merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang dikenal.
Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat
integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik (mis: theisme).
Nilai juga memiliki karakteristik yang bersifat abstrak (merupakan kualitas),
inheren pada objek, bipolaritas yaitu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah; dan
bersifat hirarkhis; nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian.

3. Landasan aksiologis ilmu


Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat
manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk
apa) ilmu bagi manusia?”. Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan:
”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”.Dalam hal ini, persoalannya
bukan lagi persoalan bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara
epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains
(Bertens,2007).
Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang bisa
dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh
dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang
dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia dibalik ilmu
itu. Jawabnya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaanya,
yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran manusia, sebagai contoh misalnya sikap
ilmuwan terhadap eksperimen psikologis yang mengobjekkan manusia?.
Pembatasan (sejauh mana) penggunaan pengetahuan ilmiah menuntut penanganan
menyeluruh, yang biasanya ditetapkan oleh Negara (biomedis), perjanjian
internasional (persenjataan nuklir), atau komisi-komisi etis. Hal ini karena
indvidu-individu ilmuwan itu sendiri tidak berdaya menangani masalah-masalah
etis, khususnya yang berat (Bertens,2007).
4. Implikasi Aksiologi dalam Pendidikan
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan
mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya
dalam kepribadian peserta didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik
itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar,
indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian
ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan. Pendidikan harus
memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya
kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika,
estetika dan nilai sosial (Sadulloh,2007).
Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-
nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai
yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat
perhatian. Ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup
secara Islami, sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam
berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target yang akan dicapai dalam
pendidikanIslam. Sedangkan tujuan pendidikan Islam menurut Abuddin Nata
adalah untuk mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan gemar
beramal untuk tujuan akherat (Sadulloh,2007).
Nilai-nilai tersebut harus dimuat dalam kurikulum pendidikan Islam,
diantaranya (Sadulloh,2007):
1) Mengandung petunjuk Akhlak
2) Mengandung upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi
dan kebahagiaan di akherat.
3) Mengandung usaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.
4) Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan
dunia dan akhirat.
Kegunaan Aksiologi dalam Ilmu Pendidikan (Mudyahardjo.2002):
1) Aksiologi Ilmu Pendidikan sebagai Nilai Kegunaan Teoretis
a) Kegunaan bagi ilmu dan teknologi hasil ilmu pendidikan adalah konsep-
konsep ilmiah tentang aspek dan dimensi pendidikan sebagai salah satu
gejala kehidupan manusia. Pemahaman tersebut secara potensial dapat
dipergunakan untuk lebih mengembangkan konsep-konsep ilmiah
pendidikan, baik dalam arti meningkatkan mutu (validitas dan signifikan)
konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada, maupun melahirkan atau
menciptakan konsep-konsep baru, yang secara langsung dan tidak
langsung bersumber pada konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah
ada. Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep-konsep ilmiah
pendidikan secara potensial mempunyai nilai kegunaan untuk
mengembangkan isi dan metode ilmu pendidikan, mengembangkan mutu
professional teoretikus dan praktisi pendidikan. Rowntree dalam
educational technologi in curuculum development antara lain menyatakan:
bahwa oleh karena teknologi pendidikan adalah seluas pendidikan itu
sendiri, maka teknologi pendidikan berkenaan dengan desain dan evaluasi
kurikulum dan pengalaman-pengalaman belajar, serta masalah-masalah
pelaksanaan dan perbaikannya. Pada dasarnya teknologi pendidikan adalah
suatu pendekatan pemecahan masalah pendidikan secara rasional, suatu
cara berpikir skeptis dan sistematis tentang belajar dan mengajar.
b) Kegunaan bagi filsafat Konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu
pendidikan, secara potensial dapat mengundang berkembangnya kritik
pendidikan, baik yang datang dari kalangan para pengamat pendidikan
pada umumnya, maupun yang datang dari kalangan yang profesional
pendidikan, yang termasuk didalamnya para ilmuwan pendidikan, para
filosof pendidikan serta para pengelola dan pengembang pendidikan.
Maraknya kritik pendidikan memberikan kondisi yang menunjang pada
berkembangnya Filsafat Ilmu Pendidikan.
2) Aksiologi Ilmu Pendidikan sebagai Nilai Kegunaan Praktis
a) Kegunaan bagi praktek pendidikan Pemahaman tenaga kependidikan
secara konprehensif dan sistematis turut serta dalam menumbuhkan rasa
kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan menerangkan prinsip-
prinsip bagaimana orang melakukan pendidikan. Penguasaan yang mantap
terhadap konsepkonsep ilmiah pendidikan memberikan pencerahan
tentang bagaimana melakukan tugastugas profesional pendidikan. Apabila
hal ini terjadi, maka seorang tenaga pendidikan akan dapat bekerja
konsisten dan efisien, karena dilandasi oleh prinsip-prinsip pendidikan
yang jelas terbaca dan kokoh. Tindakan-tindakannya akan menunjukan
arah yang lebih jelas, dan bentuknya pun tidak asal-asalan, tetapi lebih
terpola yang dipilih berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip pendidikan
yang diyakini dan dianutnya.
b) Kegunaan bagi seni pendidikan Disamping memberi kemungkinan
berkembangnya teknologi pendidikan, penerapan konsep-konsep ilmiah
tentang pendidikan dalam praktek, dapat pula memberi peluang pada
berkembangnya seni pendidikan. Sebuah kegiatan pendidikan dikatakan
sebuah seni pendidikan apabila kegiatan tersebut tidak saja mencapai hasil
yang diharapkan, tetapi proses pelaksanaanya dapat memberi keasyikan
dan kesenangan, baik bagi peserta didikmaupun pendidiknya. Dalam
kegiatan sebagai seni, berlangsungnya suatu proses hubungan sosial,
melibatkan emosi yang cukup mendalam dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal
ini mengandung arti bahwa penerapan konsep-konsep ilmiah pendidikan
dalam praktek pendidikan perlu memperhitungkan terpenuhinya
kebutuhan emosional, berupa rasa puas, rasa senang ataupun rasa yang
sejenisnya. Hal ini dapat dicapai hanya apabila dikemas dalam bentuk
prosedur dan teknik-teknik pendidikan yang manusiawi dalam arti
memperhitungkan aspek emosional.

5. Aksiologi Pendidikan Islam


Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan, dan target
yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Sedangkan tujuan pendidikan Islam
menurut Abuddin Nata dalam kutipan ini adalah untuk mewujudkan manusia yang
shaleh, taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akhirat. Pendidikan Islam
dalam hal ini tentu tujuannya adalah menjadikan manusia sampai pada satu tahap
tertinggi dalam hidupnya (Suharto,2014).
Sebagaimana Kadar M. Yusuf, Islam mempunyai pandangan Khusus
tentang pendidikan. Pandangan tersebut meliputi paradigmanya mengenai ilmu
pengetahuan, proses, materi dan tujuan pembelajaran. Hal itulah yang menjadi ciri
khas dari pendidikan Islam, yang tidak dimiliki oleh pendidikan lainnya. Ilmu
pengetahuan dalam Islam sangat erat dengan iman. Di dalam Islam iman
seseorang di bangun atas dasar ilmu pengetahuan, maka bertambahnya ilmu
identik dengan bertambahnya iman (Mulkhan,1994).
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar
ajaran Islam, yakni Alquran dan Hadis sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat
Islam. Melalui pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Alquran dan Al-sunnah.
Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas
pendidikan Islam yang kita terima (Mulkhan,1994).
Adapun konsep yang ditawarkan dalam kajian ini adalah untuk memahami
tentang nilai dari diadakannya pendidikan Islam. Selain pendidikan di arahkan
untuk membawa manusia kepada realitas tertinggi di dalam hidupnya. Namun
Islam sebagai agama yang relevan dengan tuntutan zaman, harus bisa memberikan
sebuah resolusi nilai di dalamnya. Untuk itu, pendidikan Islam memberikan
sebuah konsep yang komplit baik itu nilai spiritual, nilai teoritis, dan nilai praktis.
Adapun tujuan akhir dari setiap nilai tersebut adalah upaya untuk membawa
manusia kepada realitas hidup tertinggi, yaitu Tuhan. Baik ontologi, epistemologi
dan aksiologi pendidikan Islam tujuannya adalah untuk sampai kepada Tuhan
(Mulkhan,1994).
A. Munir Mulkhan. 1994.Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam & Dakwah, Yogyakarta : SIPress.

Amsal, B. 2009. Filsafat ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Depdiknas. 2003. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz


Media.

Mohammad Adib. 2011. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan


Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Surajiyo. 2007. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi


Aksara.

Suriasumantri, J. S. 1987. Ilmu dalam perspektif. Jakarta: Gramedia.

Suriasumantri, Jujun. 2000. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi,


Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Sutardjo A.Wiramihardja. 2006. Pengantar Filsafat, Bandung: PT. Refika


Aditama.

Toto Suharto. 2014. Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam


dalam Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Uyoh Sadulloh.2007. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Penerbit Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai