Anda di halaman 1dari 14

HAKIKAT NILAI

Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Kelompok 6:

SINTA WAHYUNI
NELVIA SUSMITA
RIA AGUSTINA

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, S. Pd., M. Pd.

JURUSAN ILMU KEGURUAN BAHASA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023

1|Page
Hakikat Nilai (Filsafat)

I. Arti filsafat Secara Filosofis

Inti filsafat adalah berpikir, dan berpikir adalah sebuah tindakan manusia

yang bersifat eksistensial, utuh dan menyejarah. Meskipun demikian, usaha

mendekati arti filsafat secara filsafati (filosofis), bukan sekedar mengandaikan

sebuah pengertian yang langsung dan lurus. Sekurang-kurangnya, terdapat sebuah

peta pemahaman yang luas dan berliku-liku di dalam upaya memahami arti

filsafat itu sendiri secara filosofis (Watloly, 2001).

Filsuf rasionalis akan mendekati arti filsafat itu dari sudut rasio. Menurut

mereka, filsafat adalah sebuah proses berpikir rasional, baik dalam rangka

mengembangkan pemikiran-pemikiran yang bersifat spekulatif (teoretis) maupun

praktis teknologis (praktis). Filsuf spekulatif, di sisi lain, memandang filsafat

sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematis dan

lengkap tentang seluruh realitas. Filsuf naturalis, di sisi lain, akan meletakkan

sudut pandang filosofisnya pada alam untuk menjelaskan fenomena-fenomena

(gejala) dan fakta alam (cosmos) dari aspek keberadaan (eksistensi) fenomena

tersebut.

Filsuf bahasa akan menjelaskan arti filsafat dari sisi analisis kebahasaan

untuk mencapai kejelasan makna kata dan konsep-konsepnya. Para mistikus dan

Futurolog (peramal) akan menunjuk pada arti filsafat sebagai kemampuan

membaca logika alam atau tanda-tanda untuk menentukan atau meramalkan arah

kecenderungan hari esok. Filsuf kritis akan memandang filsafat sebagai sebuah

penyelidikan kritis atas realitas atau pengandaian-pengandaian dan pernyataan –

2|Page
pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Filsuf idealis,

sebaliknya, akan mengartikan filsafat sebagai hal yang ideal yang terlepas dari

yang real (nyata) (Watloly, 2001)..

Demikianlah, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia dan

perkembangan filsafat sepanjang zaman, telah bermunculan beraneka definisi

mengenai filsafat. Jelasnya, bila kita hendak memperlajari filsafat, ada dua hal

yang patut diperhatikan; pertama, filsafat sebagai metode, dan kedua, filsafat

sebagai suatu pandangan (Watloly, 2001).

2. Hakikat Nilai (Aksiologi)

kajian nilai dalam ilmu Filsafat berkaitan dengan kajian aksiologi terhadap

sesuatu hal (Sadulloh, 2007). Kata aksiologi barasal dari bahasa Yunani “axios”

dan dalam bahasa Inggris “axiology”; yang artinya layak; pantas; nilai, dan

“logos” artinya ilmu (Muhmidayeli, 2011). Aksiologi ialah ilmu pengetahuan

yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan

kefilsafatan. Menurut Suriasumantri (dalam ismaliani, 2008), aksiologi adalah

teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Jadi,

dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang

kegunaan pengetahuan dalam kehidupan manusia yang mengkaji tentang nilai-

nilai etika dan estetika.

Aksiologi mengkaji tentang nilai, dan teori nilai tersebut dibagi menjadi

dua yaitu etika dan estetika. Makalah ini akan membahas tentang pengertian

aksiologi, nilai, etika dan estetika. Aspek aksiologi merupakan aspek yang

membahas tentang untuk apa ilmu itu digunakan. Menurut Bramel, dalam aspek

3|Page
aksiologi ini ada Moral conduct, estetic expresion, dan sosioprolitical. Setiap ilmu

bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan ilmu. Namun, salah satu

tanggung jawab seorang ilmuan adalah dengan melakukan sosialisasi tentang

penemuannya sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan

tersebut. Moral adalah hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak

orang yang meminta permintaan, moral adalah sebuah tuntutan.

Runes (dalam Sadulloh, 2003) mengemukakan beberapa persoalan tentang

nilai yang mencakup: hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai.

Ada beberapa teori yang berbicara tentang hakikat nilai antara lain:

1. Teori voluntarisme mengatakan nilai adalah suatu pemuasan terhadap

keinginan atau kemauan.

2. Teori hedonisme beranggapan bahwa hakikat nilai adalah kesenangan

atau “pleasure” karena semua kegiatan manusia terarah pada

pencapaian kesenangan.

3. Teori formalisme menyatakan nilai adalah kemauan yang bijaksana

yang didasarkan pada akal rasional. Berdasarkan teori ini nilai itu berari

sudah berdasarkan pertimbangan baik dan buruknya.

4. Teori pragmatisme menyatakan bahwa nilai itu baik apabila memenuhi

kebutuhan dan memiliki nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk

mencapai tujuan.

Menurut Beerling (2003) mengatakan bahwa sesuatu tanggapan disebut

pertimbangan nilai jika didalamnya orang mengatakan bahwa sesuatu bernilai

4|Page
baik atau keliru diharapkan atau tidak diharapkan, positif atau negative,

menguntungkan atau merugikan, indah atau jelek.

Dari beberapa teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa nilai adalah

sesuatu yang berharga yang diidamkan setiap insan. Berharga dalam hal ini adalah

jika memiliki kegunaan atau manfaat bagi kehidupan manusia. Dengan demikian

bila nilai dihubungkan dengan ilmu, maka ilmu dapat dikatakan bernilai karena

menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya, objektif yang

terkaji secara kritik.

3. Karakteristik Nilai

Ada bebeberapa karakteristik yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu nilai

objektif dan subjektif, nilai absolut dan berubah (Sadulloh, 2003).

1. Nilai objektif dan subjektif

Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai tersebut memiliki

kebenarannya tanpa memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia. Nilai

subjektif apabila nilai tersebut memiliki preferensi abadi, dikatakan baik karena

dinilai seseorang.

2. Nilai absolut dan berubah

Nilai dikatakan absolut atau abadi apabila nilai yang berlaku sekarang

sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang

masa, serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan ras dan kelas

social. contohnya nilai kasih saying, Allah Maha Pengampun. Nilai dikatakan

berubah apabila tergantung dari pengalaman seseorang, dan diuji oleh

pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Mungkin juga sebagai hasil kreasi

5|Page
akal rasional atau suatu kepercayaan yang kuat sesuai dengan harapan dan

keinginan manusia. Sebagai contohnya adalah teknologi.

Menurut perspektif Bertens (2002), salah satu cara untuk melakukan

pertimbangan tentang nilai yaitu dengan cara membandingkannya dengan fakta.

Berbicara tentang fakta, ini berarti sesuatu yang ada atau yang sedang berlangsung

dan berbicara mengenai nilai, ini berarti sesuatu yang berlaku, sesuatu yang

memikat. Perbandingan antara fakta dan nilai dapat diilustrasikan dengan contoh

kasus gunung meletus, fakta melukiskan kejadian gunung meletus dengan data-

data objektif. Sedangkan nilai melukiskan kejadian gunung meletus sebagai objek

penilaian.

Contoh kesimpulan sederhana yang bisa diambil dari kasus di atas adalah,

bagi wartawan foto yang hadir di tempat letusan gunung itu merupakan

kesempatan emas (nilai) untuk mengabdikan kejadian langka yang jarang bisa

dapat disaksikan. Tim pencinta alam yang datang dari jauh dan berencana

mendaki gunung tersebut, kecewa karena terpaksa membatalkan rencananya untuk

mendaki (nonnilai).

Berdasarkan contoh kasus tersebut kita dapat dengan jelas membedakan

antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang,

sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri objektif saja. Yang perlu ditekankan adalah

bahwa fakta selalu mendahului nilai.

Mengutip dari Bertens (2002) maka dapat dibuat kesimpulan bahwa nilai

memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

6|Page
1. Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka

tidak ada nilai.

2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subjek membuat

sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai.

3. Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan oleh subjek pada

sifat-sifat yang dimiliki oleh objek.

Menurut Bagus (2005), dalam wacana aksiologi terdapat tiga macam teori

mengenai nilai, dijabarkan sebagai berikut :

1. Teori objektivitas nilai

Teori ini merupakan teori nilai yang menyatakan bahwa nilai-nilai, seperti

kebaikan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat

ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata,

dalam bentuk (rupa) yang sama sebagaimana kita dapat menemukan

objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan.

2. Teori subjektivitas nilai

Teori ini memiliki pandangan bahwa nilai-nilai seperti kebaikan,

kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia real objektif, tetapi

merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan

penafsiran atas kenyataan.

3. Teori relativisme nilai

Teori ini memiliki prinsip-prinsip dalam memandang nilai, 1) bahwa nilai

bersifat relatif karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan,

ketidaksukaan, perasaa, selera dan sebagainya), baik secara sosial dan

7|Page
pribadi, yang dikondisikan oleh lingkungan dan kebudayaan, atau

keturunan; 2) bahwa nilai-nilai berbeda (secara radikal dalam bentuk hal)

dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya; 3) bahwa penilaian-

penilaian seperti, benar atau salah, baik atau buruk, tepat atau tidak tepat,

tidak tepat diterapkan pada nya; dan 4) bahwa tidak ada, dan tidak dapat

ada nilai-nilai universal, mutlak, dan objektif manapun yang dapat

diterapkan pada semua orang pada segala waktu.

4. Tingkatan Nilai

Mengenai tingkatan nilai, terdapat beberapa pandangan yang berkaitan

dengan tingkatan nilai (Sadulloh, 2003), sebagai berikut :

1. Kaum idealis

Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana

nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).

2. Kaum realis

Kaum realis menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas,

sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum

alam dan aturan berfikir logis.

3. Kaum pragmantis

Menurut kaum pragmantis, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang

lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai

instrumental.

8|Page
Menurut Scheler dalam Suseno (2000), ada empat gugus nilai atau

tingkatan nilai yang mandiri dan jelas perbedaannya antara yang satu dengan yang

lainnya. Gugus nilai tersebut adalah :

1. Gugus nilai yang pertama dan yang paling rendah adalah segala nilai

dalam dimensi “yang menyenangkan” dan “yang tidak menyenangkan”,

yang mana gugus nilai ini dalam arti perasaan badani. Nilai-nilai

didasarkan atas perasaan secara fisik dan menghasilkan perasaan nikmat

dan sakit.

2. Gugus nilai yang kedua, yaitu nilai-nilai disekitar “perasaan vital”, yang

berkaitan bukan dengan fungsi-fungsi indrawi tertentu, melainkan dengan

kehidupan dalam keutuhannya. Nilai-nilai tersebut di sekitar “yang luhur”

dan “yang kasar”, yang “kuat” dalam arti kesehatan fisik, dan yang

“lemah” dalam arti ringkih, sakitan, dan sebagainya. Di sini terdapat

segala macam perasaan “hidup naik daun” atau “menurun”, perasaan sehat

badan atau sakit, kuat atau lemah, dan sebagainya.

3. Gugus nilai yang ketiga, yaitu nilai-nilai rohani yang mana nilai-nilai

rohani tidak lagi bergantung pada dimensi ketubuhan. Nilai rohani itu

sendiri ada tiga macam yaitu :

1) Nilai-nilai estetis, yaitu nilai di sekitar “yang indah” dan “yang jelek”.

2) Nilai-nilai “benar” dan “tidak benar”, dalam arti “dapat dibenarkan”

dan “tidak dapat dibenarkan”, yaitu nilai-nilai seperti adil dan tidak

adil.

9|Page
3) Nilai-nilai pengetahuan murni, pengetahuan demi pengetahuan. Dalam

wilayah nilai-nilai rohani termasuk kegembiraan dan kesedihan rohani,

serta kita dirangsang untuk menjawab dengan sikap-sikap seperti

“merasa senang” atau “tidak senang” dengannya, setuju atau tidak

setuju, mengakui dan tidak mengakui, dan sebagainya.

4. Gugus nilai yang keempat dan tertinggi adalah nilai-nilai sekitar “yang

kudus” (das Heilige) dan “yang profan” (das unheilige). Di sini termasuk

“kebahagiaan (religius)” dan “keputusasaan (religius)”, sikap-sikap yang

menjawab pertanyaan nilai-nilai yang kudus seperti “kepercayaan” dan

“tidak mau percaya”.

5. Jenis-jenis Nilai

Aksiologi dalam cabang filsafat dibedakan menjadi etika dan estetika.

1. Etika

Istilah etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti adat kebiasaan.

Dalam istilah lain etika disebut dengan moral (Yunani) yang berarti kebiasaan.

Walaupun antara etika dan moral terdapat perbedaan, tetapi para ahli tidak

membedakannya dengan tegas, bahkan secara praktis cenderung untuk memberi

arti yang sama. Menurut Salam (2000) mengemukakan bahwa etika itu

mempelajari tentang pola tingkah laku manusia yang dinilai baik dan buruk.

Menurut Sudarsono (2001) etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan

perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami manusia. Nilai-nilai luhur

dalam etika yang bersifat universal antar lain kejujuran, kebaikan, kebenaran,

rasa malu, kesucian diri, kasih sayang, hemat dan sederhana.

10 | P a g e
Walaupun etika mempelajari serta mempersoalkan prilaku manusia,

namun berbeda dengan psikologi, antropologi dan sosiologi yang semuanya

berhubungan dengan prilaku manusia. Menurut Salam (2000) letak perbedaannya

adalah pada masalah dan fungsinya. Pada psikologi, antropologi and sosiologi

fungsinya menjelaskan kepada kita bagaimana manusia bertingkah laku dan

mengapa mereka bertingkah laku demikian. Sedangkan pada masalahnya,

memberikan kepada kita fakta-fakta dan hukum-hukum tentang masyarakat,

tentang tingkah laku manusia sementara etika menilai . Sedangkan etika tidak

berhubungan dengan deskripsi dan penjelasan tingkah laku manusia beserta latar

belakangnya, melainkan untuk menilai perilaku tersebut. Etika juga tidak

bermaksud mengganti ilmu tersebut, dalam usahanya untuk dapat melakukan

tugasnya dengan lebih teliti, lebih tepat, dan lebih bijaksana.

Dapat disimpulkan, karena etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat jika

dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan atau nilai-

nilai kesusilaan manusia, sementara objek materialnya adalah tingkah laku dan

perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar, sehingga dapat dikatakan bahwa

etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di

dalam suatu kondisi normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.

2. Estetika

“Estetika adalah mempelajari pola cita rasa yang dinilai indah (estetis) dan

jelek” (Salam, 2000). Sedangkan menurut Sadulloh (2007) berpendapat bahwa

estetika adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-

pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Salah satu pernyataan mengenai

11 | P a g e
estetika dirumuskan oleh Bell dalam Pratiwi (2009) “Keindahan hanya dapat

ditemukan oleh orang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga

dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu

dengan getaran atau rangsangan keindahan”.

Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad

18 setelah berkembangnya matematika semua pemikir cenderung mencari dasar-

dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. Pada

abad pertengahan pengalamn keindahan dikaitkan dengan pengalaman religi yaitu

kebesaran alam ciptaan Tuhan. Pada zaman modern pengalaman keindahan

dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi efisiensi yangmemberi kepuasan,

berharga bagi dirinya snediri pada cirinya sendiri dan pada tahap kesadaran

tertentu. Menurut Thomas Aquino “keindahan berkaitan dengan pengetahuan”.

Sesuatu bersifat indah jika menyenangkan mata si pengamat namun disamping itu

terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan

bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Pertimbangan estetika dari

pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui pemahaman karya sebagai

objek estetik dan pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati

atau menciptakan karya estetik.

Dapat disimpulkan bahwa estetis atau keindahan adalah sesuatu yang

dapat menyenangkan mata si pengamat dengan pertimbangan karya sebagai objek

estetik dan subjek yang mengamati serta dengan tolak ukur fungsi efisiensi yang

memberi kepuasan dan berharga untuk dirinya sendiri. Dengan demikian

kesenangan tersebut mengarah kepada kebaikan.

12 | P a g e
KESIMPULAN

Aksiologi adalah ilmu yang menyelidiki dan menganilisis hakikat nilai

kegunaan ilmu, yang mana aksiologi menitik beratkan pembahasan kepada nilai,

dan pembahasan seputar nilai dari sebuah ilmu. Dalam aksiologi dibicarakan

tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai

yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Aksiologi pada dasarnya

bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra.

Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang

mengandung nilai. Terdapat tiga macam teori mengenai nilai, dijabarkan sebagai

berikut 1) Teori objektivitas nilai 2) Teori subjektivitas nilai, dan 3)

Teorirelatifisme nilai.

Pengembangan ilmu pengetahuan sebagai perwujudan aksiologi ilmu

mengaruskan visi etik yang tepat untuk diaplikasikan. Manusia dengan ilmu

pengetahuan akan mampu berbuat apa saja yang diinginkan, namun

pertimbangannya tidak hanya pada apa yang dapat diperbuat oleh manusia. Yang

lebih penting pada konteks ini adalah perlunya pertimbangan etik apa yang harus

dilakukan dengan tujuan kebaikan manusia. Sebenarnya mengupayakan rumusan

konsep etika dalam ilmu idealnya harus sampai pada rumusan normative yang

berupa pedoman konkrit bagaimana tindakan manusia dibidang ilmu harus

dilakukan. Jika hanya rumusan berada pada dataran etika yang abstrak, akan

terdapat kesulitan ketika diterapkan terhadap masalah yang bersifat konkrit. \

13 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorent. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta : PT. Gramedia.

Bell, Clive. (2015), Aesthetics, Rowan University, http://www.rowan.edu/


philosop/ clowney/Aesthetics/philos_artists_onart/bell.htm

Bertens, K. Etika. 2002. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.

Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta

Salam, Burhanuddin. (2000). Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta:
Rineka Cipta.

Suseno, M. 2000. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Kanisius:


Yogyakarta

Watloly, A. (2001). Tanggung Jawab Pengetahuan. Kanisius: Yogyakarta

14 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai