AKSIOLOGI
Oleh:
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
PENDAHULUAN
Secara umum filsafat merupakan sebuah kegiatan pencarian tanpa henti mengenai
makna kebijaksanaan dan kebenaran dalam pentas kehidupan baik tentang sang pencipta,
eksistensi dan tujuan hidup manusia, maupun realitas alam semesta. Kebijaksanaan bukan
hanya milik seorang ilmuwan yang ahli dalam satu lapangan ilmu pengetahuan begitu juga
orang yang mengerti banyak hal orang yang telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan
belum tentu menjadi orang yang bijaksana. Kebijaksanaan lebih dari sekedar ilmu
pengetahuan. Seseorang baru disebut bijaksana apabila ia mempunyai pengertian yang
mendalam mengenai arti dan nilai sesungguhnya kehidupan, arti dan nilai manusia, apabila
yang mendasarkan pendapat dan pandangannya dengan melihat merasa memperhatikan arti
Yang Terdalam dari semuanya. Secara garis besar, kebijaksanaan mengandung dua makna
yang tidak bisa dipisahkan di antara keduanya. Pertama, pengertian yang mendalam. Yang
dimaksudkan di sini adalah meliputi seluruh kehidupan manusia dalam segala aspeknya dan
hubungannya dengan kehidupannya. Kedua, sikap hidup yang benar yaitu yang baik dan
tepat.
Menurut Zaprulkhan (2015) dalam bukunya Filsafat Ilmu, Ada sejumlah faktor yang
memotivasi manusia untuk berfilsafat pertama adalah kekaguman. Dalam karyanya yang
berjudul metafisika Aristoteles mengatakan bahwa ketakjuban manusia merupakan awal
mulanya manusia berfilsafat. Ketakjuban di sini tidak hanya terbatas hanya dengan Pancasila
melainkan juga dengan akal budi. Seperti halnya dalam pepatah Minang yaitu alam
takambang jadi guru. Dalam pepatah ini orang Minang belajar berfilsafat dengan melihat
kepada alam bahwa alam merupakan guru yang sangat bermanfaat sehingga orang Minang
menghargai alam dan tidak merusaknya dari alam juga orang Minang mempelajari budi
pekerti berdasarkan alam.
Faktor kedua adalah ketidakpuasan. Sebelum lahirnya filsafat berbagai mitos dan
mite memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia berbagai mitos
berupaya berbagai mitos berupaya menjelaskan asal mula dan peristiwa yang terjadi di alam
semesta namun penjelasan yang diberikan oleh mitos itu makin lama makin tidak memuaskan
manusia. Ketidakpuasan akan membuat manusia melepaskan segala sesuatu yang tidak dapat
memuaskan nya lalu ia akan selalu berupaya menemukan apa yang memuaskannya.
Pencarian yang terus-menerus ini lambat laun membuat manusia mulai berpikir secara
rasional sehingga akal budi semakin berperan. Berperannya akal budi menyebabkan mitos
dan mite ini semakin menurun perannya sehingga lahirlah filsafat.
Faktor yang ketiga adalah hasrat bertanya. Ketakjuban dan ketidakpuasan akan
melahirkan banyak pertanyaan yang tak kunjung habis. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat
dianggap sepele karena pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat kehidupan dan
pengetahuan manusia semakin berkembang. Pertanyaan lah yang membuat manusia
melakukan pengamatan penelitian dan penyelidikan sehingga menghasilkan penemuan baru
yang semakin memperkaya manusia dengan pengetahuan yang terus bertambah. Salah satu
hal yang mendasar dalam filsafat adalah selalu mempertanyakan sesuatu sampai ke akar-
akarnya tetapi juga bersifat universal. Faktor yang keempat adalah keraguan. Setelah
manusia memperoleh hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang didapatnya selalu saja ada
keterangan dan penjelasan tentang sesuatu itu yang menyebabkan adanya keraguan di lain
pihak. Ketika manusia mempertanyakan penjelasan dari pertanyaan yang didapatnya itu
merupakan sebuah keraguan dari penjelasan yang diterimanya hal ini membuat keraguan
turut serta membuat manusia memberikan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang akhirnya
menggiring manusia untuk berfilsafat.
Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada “
dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan
pengetahuan. Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan.
Dan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu
itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu
sebagaimana mestinya. Salah satu landasan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
landasan aksiologi.
AKSIOLOGI
Menurut KBBI, Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia dan kajian tentang nilai, khususnya etika. Secara etimologis, Aksiologi berasal dari
bahasa Yunani. Aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau
ilmu. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti
baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai kata benda
konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk
merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai
sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Dari makna secara etimologis ini, menurut Zaprulkhan (2015: 82) dapat diambil
beberapa makna terminologis dari aksiologi ini, di antaranya:
1. Aksiologi adalah studi filosofi tentang hakikat nilai. Dalam menjawab tentang hakikat
nilai ini, ada tiga cara:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Artinya bahwa nilai merupakan
reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku.nilai juga berfungsi
sebagai sebuah fenomen kesadaran dan pengungkapan perasaan
psikologis.
b. Nilai merupakan kenyataan namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
Nilai merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
c. Nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau segala
sesuatu yang bernilai.
3. Aksiologi merupakan analisis nilai. Maksudnya adalah analisis yang membatasi arti,
ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistimologis dari nilai – nilai itu.
Dari penjelasan di atas, maka muncullah pertanyaan tentang apakah nilai itu
sebenarnya?. Menurut Lorens Bagus dalam bukunya Kamus Filsafat seperti dikutip oleh
Zaprulkhan (2015: 83), secara bahasa, nilai berasal dari bahasa Latin Valere yang berarti
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, atau kuat. Sehingga nilai dapat diartikan sebagai
kualitas suatu hal yang menjadikan hal tersebut dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat
menjadi obyek kepentingan. Tetapi nilai juga bisa bermakna keistimewaan yaitu apa yang
dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan.
Teori Nilai
Dalam wacana aksiologi, menurut Zaprulkhan (2015: 85), setidaknya terdapat tiga
teori tentang nilai. Teori tersebut adalah teori objektivitas nilai, teori subjektivitas nilai, dan
teori relativisme nilai.
Etika
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani ethikos atau ethos yang berarti
adat, kebiasaan, dan praktik. Secara umum, etika merupakan teori tentang laku perbuatan
manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal
(Zaprulkhan, 2015:89). Etika secara garis besar dibagi menjadi tiga bidang yaitu:
1. Etika Deskriptif
Etika ini menjelaskan tentang kesadaran manusia dan pengalaman moral manusia
secara deskriptif. Etika ini sangat berhubungan dengan bidang ilmu sosiologi dimana
etika ini berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan
pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.
2. Etika Normatif
Etika ini merupakan system yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk dalam
mengambil keputusan yang menyangkut baik dan buruk, benar dan salah.
3. Metaetika
Metaetika merupakan studi tentang disiplin etika. Metaetika berfungsi menyelidiki
dan menetapkan arti dan makna istilah – istilah normatif yang diungkapkan lewat
pernyataan – pernyataan yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan.
Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah
estetika berasal dari bahasa Yunani aesthesis yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman
intelektual, atau pengamatan spiritual. Istilah estetika diperkenalkan oleh Alexander Gottlieb
Baumgarten seorang filsuf Jerman tahun 1735.
Alexander Gottlieb Baumgarten lahir di Berlin, Jerman. Anak ke-5 dari 7 bersaudara
dari pastor garrison, Jacob Baumgarten dan istrinya Rosina Elisabeth. Ia mengambil gelar
doctor pada September 1735, ketika berusia 21 tahun, dengan judul disertasi Meditationes
philosophicae de nonullis as poema pertinentibus : dari sini kata ‘estetika’ (Aesthetic)
muncul untuk pertama kalinya sebagai nama sebuah sains khusus (special science). Pada
tahun 1742, Baumgarten menjadi guru filosofi pertama untuk mengajar estetika. Ajarannya
itu ditulis menjadi buku 2 jilid yang judulnya ‘ Aesthetica’ Tahun 1750-1758.
Menurut Jan Hendrik Rapar dalam bukunya Pengantar Filsafat (1996: 67-68),
Estetika dibagi ke dalam dua bagian yaitu estetika deskriptif dan estetika normative. Estetika
deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena – fenomena pengalaman keindahan.
Estetika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat dasar dan ukuran pengalaman
keindahan.
Penutup
Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai.
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma nilai.
Berpikir filsafati berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisa
filsafati tentang hakekat ilmu harus ditekankan pada upaya keilmuan dalam mencari
kebenaran yang selanjutnya terkait secara erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran.
Analisa filsafat ini tidak boleh berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan
melainkan sekaligus harus mencakup pendewasaan moral keilmuan.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta.
Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang
akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu
harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dengan
anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas
empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya.
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitian. Ketika seorang ilmuan
bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya
berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat
pada nilai subjektif.
Kepustakaan
Bahrum. 2013. Sulesana: Vol. 8 Nomor 2: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi. Makassar.
https://kbbi.web.id/aksiologi
http://baumgartenaest.blogspot.com/2014/01/estetika-alexander-baumgarten.html