Anda di halaman 1dari 14

Resume Filsafat Ilmu (AKSIOLOGI)

Dosen Pengampu : H. Kamal Hasuna, M.Pd

Disusun :

Shiva Sherly Fachrudina


2312140005
Muhammad Surya Rizky Amartha
2312140019
Syaikun Amrullah
2312140028

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
TAHUN AJARAN 2023 M / 1445 H
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai, etika, dan teori
nilai. Dalam konteks ini, kita akan mengeksplorasi konsep-konsep dasar
dalam aksiologi dan relevansinya dalam pemahaman etika dan moralitas.
Secara etimologi, aksiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
kata yaituaxios yang berarti layak atau pantas danlogos yang berarti ilmu
studi. Terdapat beberapa makna terminologis aksiologi yaitu:
1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai (analisis ialah membatasi arti, ciri-
ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistemologis dari nilai-nilai itu).
2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai
atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
3. Aksiologi merupakan studi filosofi tentang hakikat-hakikat nilai.
Secara historis, aksiologi atau teori umum tentang nilai bermula dari
perdebatan Alexius Meinong dan Christian Von Ahrenfels pada tahun 1890-
an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai
adalah perasaan (feeling ), atau perkiraan, atau kemungkinan adanya
kesenangan terhadap suatu objek. Ahrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa
sumber nilai adalah hasrat atau keinginan (desire ). Suatu objek menyatu
dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang kemungkinan, aartinya suatu
objek memiliki nilai karena ia menarik.
Secara bahasa, nilai berasal dari bahasa Latin Valere yang berarti berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, atau kuat. Nilai dapat berarti harkat yakni
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna,
atau dapat menjadi objek kepentingan. Namun, nilai juga dapat bermakna
keistimewaan yakni apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai
suatu kebaikan.
Sedangkan menurut K.Bertens nilai merupakan sesuatu yang menarik
bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang
disukai atau diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik . Menurut perkataan
Hans Jonas, nilai adalah the addressee of a yes , “sesuatu yang ditujukan
dengan ‘Ya’ kita”.
Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki 3 ciri-ciri berikut:
a. Nilai berkaitan dengan subjek
b. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin membuat
sesuatu
c. Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subjek pada sifat
-sifat yang dimiliki oleh objek
B. Teori-Teori Nilai
Dalam wacana aksiologi, terdapat 3 macam teori mengenai nilai:
1. Teori Objektivitas Nilai , merupakan pandangan yang menyatakan nilai-nilai
adalah objektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh
argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam
situasi tersebut.
2. Teori Subjektivitas Nilai , yakni pandangan bahwa nilai-nilai, sepeti kebaikan,
kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia real objektif, tetapi
merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan
penafsiran atas kenyataan.Subjektivisme aksiologis cenderung
mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme , sebuah teori yang
menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai , dan naturalisme yang
meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi kedalam sebuah pernyataan
psikologis. Aksiologi membedakan antara nilai-nilai objektif, yang
dianggap universal dan independen dari opini individu, dengan nilai-nilai
subjektif, yang bersifat relatif dan tergantung pada pandangan individu.
3. Relativisme Nilai, adalah pandangan yang memiliki beberapa prinsip
berikut; a) bahwa nilai-nilai bersifat relatif karena berhubungan dengan
preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera,
kecenderungan, Dst), baik secara sosial dan pribadi, yang dikondisikan
oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan; b) bahwa nilai-nilai berbeda
(secara radikal dalam banyak hal) dari suatu kebudayaan ke kebudayaan
lainnya;c) bahwa penilaian-penilaian seperti, benar/salah, baik/buruk/,
tepat/tidak tepat, tidak dapat (hendaknya tidak diterapkan padanya); dan d)
bahwa tidak ada, dan tidak dapat ada nilai-nilai universal, mutlak, dan
objektif mana pun yang dapat diterapkan pada semua orang dalam segala
waktu.
C. Etika
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethikos
atau ethos yang berarti adat, kebiasaan, dan praktik. Secara umum, etika
merupakan teori tentang laku perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik
dan buruk, sejauh yang dapat ditemukan oleh akal. Dalam prespektif para ahli,
etika secara garis besar dapat diklarisifikasi kedalam 3 bidang studi yaitu
etika deskriptif , etika normatif , danmetaetika . Adapun pengertiannya sebagai
berikut:
1. Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan
pengalaman moral secara deskriptif. Etika deskriptif dapat dibagi dalam
dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan,
dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan
manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam
lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa;
kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna
moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral
tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan-patokan
moral yang perlu dipegang oleh manusia. Karena itu, fenomenologi moral
tidak permasalahkan apa yang benar dan apa yang salah.
2. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang
menyangkut baik dan buruk, benar dan salah. dalam kehidupan manusia
pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam lingkungan besar
yang mencakup beberapa bangsa; kedua, fenomenologi moral, yang
berupaya menemukan arti dan makna moralitaS dari berbagai fenomena
moral yang ada. Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan
petunjuk-petunjuk atau patokan-patokan moral yang perlu dipegang oleh
manusia. Karena itu, fenomenologi moral tidak permasalahkan apa yang
benar dan apa yang salah. Dalam perspektif Milton D. Hunnex , bentuk
terpenting dari teori etika teleologis adalah tindakan utilitarianisme
(utilitarianisme tradisional) dan aturan utilitarianisme (utilitarianisme saat
ini). Kedua, etika deontologis. Etika deontologi mengukur baik tidaknya
suatu perbuatan hanya berdasarkan maksud si pelaku atau berdasarkan
kewajiban semata.
3. Metaetika merupakan suatu studi terhadap disiplin etika. Metaetika baru
muncul pada abad ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan
menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkam
lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan
suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian
khusus, antara lain, keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang
tidak terpuji, yang adil, yang semestinya, dan sebagainya.
Ada beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang cukup
terkenal dalam metaetika. Teori-teori tersebut ialah teori naturalistis dari
naturalisme, teori intuitif dari intuisionisme, teori kognitivis dari
kognitivisme, teori subjektif dari subjektivisme, teori emotif dari
emosivisme, teori imperatif dari imperativisme, dan teori skeptis dari
skeptisisme.
a. Teori naturalistis mengatakan bahwa istilah-istilah moral
sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit.
b. Teori kognitivis mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa keliru. Itu berarti
keputusan moral bisa benar bisa salah.
c. Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang
baik dan yang salah diperoleh secara intuitif. Teori intuitif menolak
kemungkinan untuk memberi batasan-batasan nonnormatif terhadap
istilah-istilah normatif etis.
d. Teori subjektif menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta
subjektif tentang sikap dan tingkah laku manusia.
e. Teori emotif menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral
tidak mengungkapkan sesuatu apa pun yang dapat disebut salah atau
benar kendati hanya secara subjektif.
f. Teori imperatif berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat
dinilai salah atau benar
D. Antara Relativitas dan Absolutisme Etika
Dalam pengertian yang lazim, relativisme etika adalah pandangan bahwa
tidak ada prinsip moral yang benar secara universal; kebenaran semua prinsip
moral bersifat relatif terhadap budaya atau pilihan individu. Secara general,
ada tiga macam bentuk relativisme etika. Pertama, relativisme deskriptif.
Relativisme deskriptif adalah pandangan bahwa ada kaidah moral berbeda
secara substansial (atau fundametal) di kalangan masyarakat yang atau
individu, yang tidak dapat dijelaskan oleh kaum absolutis. Ini disebut
relativisme deksriptif. Dalam bentuknya yang paling kuat, ia menekankan
bahwa semua nilai dasar moral berbeda dari satu individu ke individu lain,
atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
Dalam bentuknya yang moderat, ia menegaskan bahwa sekurang –
kurangnya hanya beberapa nilai dasar moral yang berbeda. Kaum relativis
deskriptif mengemukakam berbagai contoh. Apakah semua contoh itu benar-
benar mendukung pernyataan mereka atau tidak, akan dibahas kemudian.
Misalnya, orang Eskimo membiarkan kaum manula mati kelaparan, padahal
kita yakin bahwa secara moral perbuatan itu keliru. Demikian pula, ada sebuah
suku di Melanesia, seperti dijelaskan Ruth Benedict dalam karyanya Pattern of
Culture, yang dipercaya bahwa kerja sama
dan kebaikan itu salah, sedangkan kita memandang kedua hal itu sebagai
kebajikan.
Perbedaan ini dapat pula ditemukan dalam satu masyarakat pada waktu
yang berbeda. Misalkan, seperti dinyatakan Pojman, seratus tahun silam
mayoritas penduduk di Amerika Serikat bagian utara memandang perbudakan
secara moral baik, padahal kini kita menganggapnya salah.
Kedua, relativisme metaetika. Pandangan bahwa di antara kaidah-kaidah
moral yang berbeda secara substansial, tidak terdapat satu kaidah etika yang
berbeda secara yang benar atau paling masuk akal. Semua kaidah moral
substansial itu benar (menurut versi yang lebih kuat), atau setidaknya
terdapat pluralitas kaidah yang benar dan paling masuk akal (menurut versi
yang lebih moderat). David Wong menulis: Kaum relativis radikal berpendapat
bahwa setiap moralitas sama benar dan sama beralasan dengan moralitas
yang lain. Kaum relativis moderat, seperti Foot, Walzer dan Wong, menolak
adanya satu moralitas lebih benar, tetapi juga berpendapat bahwa sebagian
moralitas lebih benar atau lebih beralasan daripada yang lain.
Ketiga, relativisme normatif. Pandangan bahwa secara moral tindakan
memberlakukan putusan etika terhadap perilaku dan praktik individu,
kelompok, atau masyarakat lain yang memiliki kaidah moral yang sangat
berbeda merupakan tindakan yang salah, apalagi mencoba membuat individu,
kelompok, atau masyarakat lain agar sejalan dengan kaidah seseorang atau
mencampuri urusan mereka berdasarkan putusan etika itu.
Lawan relativisme etika adalah absolutisme etika, yang meyakini bahwa
ada berbagai kebenaran moral yang universal, atau setidaknya satu
kebenaran moral yang universal. Ia bisa juga didefinisikan sebagai pandangan
bahwa hanya ada satu moralitas yang benar atau, seperti dikatakan Wong,
pandangan bahwa "dalam pertentangan moral, kedua belah pihak tidak bisa
sama-sama benar, sehingga hanya ada satu kebenaran mengenai yang
dipertentangkan" . Mari kita melihat beberapa kelemahan argumentasi
relativisme etika melalui perspektif Bertens dan filsuf kontemporer Iran,
Mohammad Shomali.
1. Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam
satu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah daripada dalam
kebudayaan lain. Setiap kebudayaan akan kebal terhadap kritik atas
praktik-praktik moralnya. Tidak akan pernah mungkin kita mengatakan
tentang praktik-praktik dalam suatu lingkup budaya: "hal itu tidak etis" .
Padahal, kita yakin bahwa kita hendak mengkritik masyarakat lain yang
menggunakan norma-norma moral yang kita tolak. Kita yakin bahwa mutu
etis setiap masyarakat tidak sama. Misalnya, kita tidak bisa menerima,
kalau ada negara seperti Afrika Selatan dulu (sebelum pemilihan umum
multiras pertama pada tahun 1994) yang mendasarkan politiknya atas
prinsip rasistis (apartheid ). Politik yang secara sistematis
mendiskriminasikan kelompok tertentu dalam masyarakat apa saja,
seperti kelompok kulit hitam di Afrika Selatan, kita nilai tidak etis dan
karena itu kita mengajukan protes. Tidak dapat dikatakan bahwa contoh
tadi kurang tepat, karena di Afrika Selatan sendiri banyak terdengar protes
dan demonstrasi menentang politikapartheid ini, sehingga politiknya tidak
diterima umum dalam masyarakat ini. Yang terakhir ini memang benar.
Tapi seandainya di seluruh Afrika Selatan politik ini diterima begitu saja -
dan situasi seperti itu tidak mustahil terjadi- namun kita tidak bisa
menilainya sebagai etis. Kita tetap akan menolaknya. Contoh lain adalah
kebudayaan. Berabad-abad lamanya lembaga seperti perbudakan diterima
begitu saja dalam banyak masyarakat, tanpa keberatan apa pun. Kita
jangan lupa bahwa dalam British Empire (kerajaan Inggris bersama koloni-
koloninya) perbudakan baru dihapus pada tahun 1833, di Amerika Serikat
pada tahun 1865 dan di Brasil dalam beberapa tahap, hingga baru tahun
1888 terhapus seluruhnya. Pada zaman kuno Aristoteles, salah seorang
ahli etika terbesar dalam sejarah pemikiran, bahkan mengajukan argumen
-argumen untuk membenarkan perbudakan sebagai berikut. Bangsa-
bangsa Barbar- katanya mempunyai akal budi yang kurang bermutu
dibandingorang Yunani. Menurut kodratnya mereka budak dan karena
ituboleh ditaklukkan oleh orang Yunani. Mereka bisa mengerti akal budi
Yunani, tapi mereka tidak bisa menggunakan akal budinya sendiri dengan
cara mandiri. Budak "menurut kodratnya adalah alat yang digunakan oleh
tuannya" dan dalam hal ini "mereka tidak berbeda banyak dari binatang
jinak" . Menjadi budak bagi mereka adalah "baik menguntungkan maupun
adil". Kita sekarang yakin bahwa pandangan Aristoteles itu keliru dan
praktik menjualbelikan manusia secara etis tidak pernah bisa dibenarkan.
Dalam deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia dikatakan:
"Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperabdi; perbudakan dan
perdagangan budak harus dilarang dalam segala bentuknya" (Pasal 4).
Kita yakin bahwa setidak-tidaknya dalam hal ini mutu etis masyarakat kita
lebih tinggi daripada masyarakat Yunani kuno atau masyarakat lain yang
menerima perbudakan sebagai lembaga yang wajar.
2. Seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memer-
hatikan kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik
tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu. Kalau bagitu, norma
moral dalam setiap masyarakat harus dianggap sempurna. Tidak akan
mungkin memperbaiki norma-norma moral dalam suatu masyarakat.
Padahal, kita yakin bahwa kadang-kadang norma-norma moral dalam
suatu kebudayaan harus direvisi. Dari segi etis, tidak semua kebudayaan
sempurna.
3. Seandainya relativitas moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan
di bidang moral. Kemajuan terjadi, bila cara bertingkah laku yang lebih
baik. Laku yang buruk diganti dengan cara Menurut relativitas moral,
hanya bisa terjadi bahwa dalam periode sejarah A ada norma-norma lain
daripada dalam periode sejarah B, tapi tidak pernah bisa dikatakan bahwa
norma-norma itu dalam periode B lebih baik daripada periode A. Padahal
kita berpendapat-dilihat dari perspektif sejarah-memang ada kemajuan di
bidang moral (walaupun dalam beberapa hal barangkali ada juga
kemunduran). Tanpa ragu-ragu kita menilai sebagai kemajuan bahwa
sekarang tidak lagi dapat ditemukan perbudakan atau pembunuhan ritual.
Sebuah contoh lain adalah penghapusan sistem penjajahan. Cukup lama
dalam sejarah dianggap biasa saja, kalau satu bangsa menjajah bangsa
lain. Keyakinan baru ini sudah diungkapkan dalam sebuah dokumen resmi
yang diterima oleh anggota-anggota PBB. Perkembangan ini tentu kita
nilai sebagai kemajuan moral.
4. Ada berbagai kesamaan moral yang penting di seluruh budaya. Sekurang-
kurangnya terdapat beberapa prinsip atau ukuran moral yang tampaknya
dapat diterima secara universal. Telaah terhadap apa yang tampak
merupakan perbedaan dramatik antara berbagai budaya menunjukkan
bahwa budaya tidak berbeda sebesar kelihatannya. Misalnya, semua
manusia yang rasional sependapat bahwa sengaja melukai orang adalah
perbuatan salah. Kendati kita temukan di beberapa belahan dunia orang
yang sengaja melukai orang lain, kita tidak pernah ragu-ragu terhadap
kebenaran putusan kita. Sebagian filsuf telah menguraikan beberapa
ukuran moral yang bersifat universal yang diterima oleh mayoritas
masyarakat dunia. Filsuf kontemporer Louis Pojman mengetengahkan
daftar beberapa prinsip umum yang mencakup larangan melukai secara
sengaja, membunuh orang yang tidak bersalah, menimbulkan rasa sakit
atau penderitaan yang tidak perlu, menipu atau mencuri, dan prinsip-
prinsip yang menganjurkan kesetiaan kepada janji, menghormati
perjanjian, bersikap adil (memperlakukan yang sederajat dan tidak
sederajat secara adil), berbicara jujur, tahu berterima kasih (menunjukkan
penghargaan terhadap kebaikan orang lain) dan menolong orang lain,
selagi tidak merugikan diri sendiri, Begitu pula, kita akan gagal
mengevaluasi ukuran moral orang lain. Menurut relativisme normatif,
setiap ukuran moral suatu masyarakat tidak mungkin dinilai salah atau
benar oleh orang lain. Oleh karena itu, agresi Nazi bukan hal yang tidak
bermoral, karena setiap justifikasi moral yang digunakan Nazi dapat
dibenarkan berlawanan dengan prinsip moral mereka sendiri, yang
menurut mereka sendiri sangatlah benar relativisme normatif mencegah
kita dari mengatakan bahwa perilaku masyarakat yang menyerang
tetangga mereka demi tujuan perbudakan adalah salah. Demikian pula,
kita tidak boleh mencela ritual Aztec yang melibatkan pengorbanan
manusia kepada dewa matahari, di mana sebanyak 20.000 orang setiap
tahun "memadati tangga kuil, dibunuh, lalu jasad mereka dilempar ke
dalam besar" . Kita tidak boleh mengatakan bahwa sebagian adat-istiadat
masyarakat lain secara moral lebih rendah dari adat-istiadat kita sendiri.
Kita harus berhenti mencela perilaku masyarakat lain. Kegagalan mencela
perilaku semacam itu tampaknya tidak masuk akal. Perbudakan selalu
keliru di mana pun ia berada. Kita merasa benar dalam mencela
perdagangan budak atau perilaku rasis budaya lain.
E. Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang yang mempersoalkan seni (art) dan
keindahan (beauty). Istilah estetika berasal dari kata Yunani, aisthesis yakni
berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual (intelectual
understanding) , atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni)
berasal dari kata Latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu atau
kecakapan. Sejak zaman Yunani purba, estetika filsafati sering disebut
dengan berbagai nama, seperti filsafat seni (philosophy of art) , filsafat
keindahan(philosophy of beauty) , filsafat citarasa(philosophy of taste) , dan
filsafat kritisisme (philosophy of criticism) . Akan tetapi, sejak abad XVIII,
istilah estetika mulai menggantikan nama-nama tersebut. Istilah estetika
diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottleb
Baumgarten lewat karyanya, Meditationes philosophicae de nonullis ad
poema pertinentibus (1735), yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris
dengan judul Reflection on Poetry (1954). Baumgarten mengembangkan
filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang
keindahan lewat karyanya yang berjudulAesthetica Acromatica (1750-1758).
Estetika dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan
estetika normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan
fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normatif
mempersoalkan dan menyelidiki hakikat dasar, dan ukuran pengalaman
keindahan. Ada pula yang membagi estetika ke dalam filsafat seni
(philosophy of art ) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty ). Filsafat
seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya seni dan
mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta
apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia
dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan
apakah nilai indah itu objektif atau subjektif.
Terkait dengan seni, ada beberapa pengertian yang lebih rinci sebagai
berikut:
1. Kreasi manusia yang memiliki mutu atau nilai keindahan.
2. Keterampilan yang dicapai dalam pengalaman yang memungkinkan
kemampuan untuk menyusun, menggunakan secara sistematis dan
intensional sarana-sarana fisik agar memperoleh hasil yang diinginkan
menurut prinsip-prinsip estetis, entah dianggap secara intuitif atau
kognitif
3. Suatu bentuk kesadaran sosial dan kegiatan insani yang merefleksikan
realitas dalam gambar-gambar artistik dan merupakan cara yang amat
penting dalam menyelami dan memotret dunia.
4. Pekerjaan, atau pencaharian yang menjadi sumber ilham bagi kreasi
artistik dan merupakan sumber dari proses awal membentuk rasa dan
kebutuhan estetis manusia.
5. Daya untuk melaksanakan tindakan-tindakan tertentu yang dibimbing
oleh pengetahuan khusus dan istimewa dan dijalankan dengan
keterampilan. Seni merupakan kemampuan istimewa untuk melakukan
dan menghasilkan sesuatu menurut prinsip-prinsip estetis.

Dalam perbincangan mengenai seni tersebut, terdapat pula sejumlah


persoalan pokok yang terkait, yakni:
a. Seni dan kerajinan tangan bersesuaian karena keduanya menghasilkan
suatu karya yang dapat dicerap pancaindra. Namun, kerajinan tangan
lebih mengacu pada sesuatu yang bermanfaat, sementara seni
diabdikan kepada penciptaan keindahan.
b. Suatu hal dikatakan indah secara ilmiah kalau hal tersebut membiarkan
gagasan yang ada di dalam dirinya tampil dengan cemerlang. Sesuatu
dikatakan indah secara artistik bukan hanya pengulangan atau tindasan
dari hal-hal yang terdapat dalam alam. Sebaliknya, tugas seni adalah
membiarkan ide-ide tampil dengan kedalaman dan kekuatan yang sama
sekali baru dan merefleksikan rahasia-rahasia terdalam dari realitas
dalam karya-karya kreatif seni. Karena alasan ini, maksud dan tujuan
pokok seni ialah menyajikan dan menggambarkan gagasan-gagasan,
bukan menghasilkan benda-benda atau barang-barang.
c. Seniman adalah seorang pengamat yang meresapi rahasia-rahasia
terdalam dari setiap eksisten, bahkan ada orang yang memperluas
"rahasia " itu dengan "gagasan-gagasan kreatif Tuhan ". Dan seniman
adalah "seorang pembuat " yang mampu mengungkapkan visinya dalam
karyanya. Di dalam seniman, melihat dan membuat menjadi satu. Karena
itu di samping keterbatasan-keterbatasan temporal dan personal,
seniman mengatasi dirinya dan tampil di antara sesama manusia
sebagai seorang yang menghargai dan mengagungkan eksistensi.
d. Desensualisasi (proses peniadaan ciri corak indrawi) kadang-kadang
dipakai sebagai kriterium penjenjangan seni: arsitektur, seni ukir, seni
lukis, kesusastraan (di sini tekannya pada kata yang diucapkan), mimikri
(teristimewa tarian), musik. Tiga yang pertama merupakan seni ruang
sejauh ketiganya menciptakan sesuatu yang tetap dalam ruang. Sedang
tiga yang terakhir merupakan seni waktu, sejauh ketiganya
menghasilkan sesuatu yang sementara, sesuatu yang harus selalu
diperbarui dalam waktu.
Sedangkan wacana keindahan diekspresikan dengan beragam makna
pula oleh para filsuf. David Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah
suatu kualitas objektif yang terletak di dalam objek-objek itu sendiri,
melainkan berada di dalam pikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan
struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Hume mengatakan bahwa apa
yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat
alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi
individual.
Immanuel Kant menganggap kesadaran estetis sebagai unsur yang
penting dalam pengalaman manusia pada umumnya. Sama seperti Hume,
Kant juga berpendapat bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetis
yang semata-mata subjektif. Di dalam karyanya, Critique of Judgment, Kant
mengatakan bahwa pertimbangan estetis (aesthetic judgment) memberikan
fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktik
dari sifat dasar manusia.
Charles J. Bushnell menyatakan keindahan sebagai kualitas yang
mendatangkan penghargaan mendalam tentang berbagai nilai atau ideal
yang mendatangkan semangat. George Santayana mengembangkan
estetika naturalis. Sama seperti Hume dan Kant, Santayana menolak
objektivitas keindahan. Menurut Santayana, keindahan identik dengan
kesenangan yang dialami manusia ketika ia mengamati objek-objek tertentu.
Santayana mengatakan bahwa keindahan itu adalah perasaan senang yang
diobjektifkan dan diproyeksikan ke dalam objek yang
diamati.
Filsuf Italia, Benedetto Croce , mengembangkan teori estetikanya lewat
alam pikir filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan
menurut Croce intuisi adalah gambar yang berada di alam pikiran. Dengan
demikian, seni itu berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam
bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu
untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di dalam
pikiran seniman. Croce juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena
seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, berarti seni
sama dengan ekspresi. Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan si
seniman. Croce mengatakan bahwa seni adalah ekspresi dari kesan-kesan
(art is expression of impressions ).
Dengan demikian, apabila seni merupakan kegiatan kejiwaan, tentunya
orang sepakat bahwa seni bukanlah objek fisiknya, baik kanvasnya, biolanya,
warnanya atau suaranya. Dalam pandangan Croce, jika seni hanya
dipandang sebagai objek fisik semata, maka seni akan kehilangan raga roh
estetiknya. Dengan kata lain, semua karya seni, jika cuma dinilai dari bentuk-
bentuk fisiknya saja, karya-karya seni itu akan kehilangan kualitas artistiknya.
Sementara Clive Bell memopulerkan gagasannya lewat ungkapan bentuk
yang berarti (significant form ) dan perasaan estetis (aesthetic emotion ).
Yang dimaksudkan dengan bentuk yang berarti ialah hal yang membuat
karya-karya seni itu benar-benar bernilai. Perasaan estetis hanya dapat
dialami pada saat seseorang sungguh-sungguh menyadari akan bentuk yang
berarti. Apakah bentuk yang berarti itu? Bell tidak menjelaskan apa yang
dimaksudkannya dengan bentuk yang berarti itu. Ia hanya mengatakan
bahwa bentuk yang berarti ialah bentuk hasil karya seni yang menggugah
perasaan seni seseorang.

Anda mungkin juga menyukai