2312140005 Muhammad Surya Rizky Amartha 2312140019 Syaikun Amrullah 2312140028
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA TAHUN AJARAN 2023 M / 1445 H A. Pengertian Aksiologi Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai, etika, dan teori nilai. Dalam konteks ini, kita akan mengeksplorasi konsep-konsep dasar dalam aksiologi dan relevansinya dalam pemahaman etika dan moralitas. Secara etimologi, aksiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaituaxios yang berarti layak atau pantas danlogos yang berarti ilmu studi. Terdapat beberapa makna terminologis aksiologi yaitu: 1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai (analisis ialah membatasi arti, ciri- ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistemologis dari nilai-nilai itu). 2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai. 3. Aksiologi merupakan studi filosofi tentang hakikat-hakikat nilai. Secara historis, aksiologi atau teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan Alexius Meinong dan Christian Von Ahrenfels pada tahun 1890- an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling ), atau perkiraan, atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Ahrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat atau keinginan (desire ). Suatu objek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang kemungkinan, aartinya suatu objek memiliki nilai karena ia menarik. Secara bahasa, nilai berasal dari bahasa Latin Valere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, atau kuat. Nilai dapat berarti harkat yakni kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. Namun, nilai juga dapat bermakna keistimewaan yakni apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan. Sedangkan menurut K.Bertens nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai atau diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik . Menurut perkataan Hans Jonas, nilai adalah the addressee of a yes , “sesuatu yang ditujukan dengan ‘Ya’ kita”. Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki 3 ciri-ciri berikut: a. Nilai berkaitan dengan subjek b. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin membuat sesuatu c. Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subjek pada sifat -sifat yang dimiliki oleh objek B. Teori-Teori Nilai Dalam wacana aksiologi, terdapat 3 macam teori mengenai nilai: 1. Teori Objektivitas Nilai , merupakan pandangan yang menyatakan nilai-nilai adalah objektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi tersebut. 2. Teori Subjektivitas Nilai , yakni pandangan bahwa nilai-nilai, sepeti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia real objektif, tetapi merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan penafsiran atas kenyataan.Subjektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme , sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai , dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi kedalam sebuah pernyataan psikologis. Aksiologi membedakan antara nilai-nilai objektif, yang dianggap universal dan independen dari opini individu, dengan nilai-nilai subjektif, yang bersifat relatif dan tergantung pada pandangan individu. 3. Relativisme Nilai, adalah pandangan yang memiliki beberapa prinsip berikut; a) bahwa nilai-nilai bersifat relatif karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan, Dst), baik secara sosial dan pribadi, yang dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan; b) bahwa nilai-nilai berbeda (secara radikal dalam banyak hal) dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya;c) bahwa penilaian-penilaian seperti, benar/salah, baik/buruk/, tepat/tidak tepat, tidak dapat (hendaknya tidak diterapkan padanya); dan d) bahwa tidak ada, dan tidak dapat ada nilai-nilai universal, mutlak, dan objektif mana pun yang dapat diterapkan pada semua orang dalam segala waktu. C. Etika Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethikos atau ethos yang berarti adat, kebiasaan, dan praktik. Secara umum, etika merupakan teori tentang laku perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditemukan oleh akal. Dalam prespektif para ahli, etika secara garis besar dapat diklarisifikasi kedalam 3 bidang studi yaitu etika deskriptif , etika normatif , danmetaetika . Adapun pengertiannya sebagai berikut: 1. Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Etika deskriptif dapat dibagi dalam dua bagian: pertama, sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan, dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa; kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan-patokan moral yang perlu dipegang oleh manusia. Karena itu, fenomenologi moral tidak permasalahkan apa yang benar dan apa yang salah. 2. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik dan buruk, benar dan salah. dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa; kedua, fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitaS dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan-patokan moral yang perlu dipegang oleh manusia. Karena itu, fenomenologi moral tidak permasalahkan apa yang benar dan apa yang salah. Dalam perspektif Milton D. Hunnex , bentuk terpenting dari teori etika teleologis adalah tindakan utilitarianisme (utilitarianisme tradisional) dan aturan utilitarianisme (utilitarianisme saat ini). Kedua, etika deontologis. Etika deontologi mengukur baik tidaknya suatu perbuatan hanya berdasarkan maksud si pelaku atau berdasarkan kewajiban semata. 3. Metaetika merupakan suatu studi terhadap disiplin etika. Metaetika baru muncul pada abad ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkam lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus, antara lain, keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang tidak terpuji, yang adil, yang semestinya, dan sebagainya. Ada beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang cukup terkenal dalam metaetika. Teori-teori tersebut ialah teori naturalistis dari naturalisme, teori intuitif dari intuisionisme, teori kognitivis dari kognitivisme, teori subjektif dari subjektivisme, teori emotif dari emosivisme, teori imperatif dari imperativisme, dan teori skeptis dari skeptisisme. a. Teori naturalistis mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit. b. Teori kognitivis mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa keliru. Itu berarti keputusan moral bisa benar bisa salah. c. Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah diperoleh secara intuitif. Teori intuitif menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan nonnormatif terhadap istilah-istilah normatif etis. d. Teori subjektif menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta subjektif tentang sikap dan tingkah laku manusia. e. Teori emotif menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apa pun yang dapat disebut salah atau benar kendati hanya secara subjektif. f. Teori imperatif berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar D. Antara Relativitas dan Absolutisme Etika Dalam pengertian yang lazim, relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal; kebenaran semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya atau pilihan individu. Secara general, ada tiga macam bentuk relativisme etika. Pertama, relativisme deskriptif. Relativisme deskriptif adalah pandangan bahwa ada kaidah moral berbeda secara substansial (atau fundametal) di kalangan masyarakat yang atau individu, yang tidak dapat dijelaskan oleh kaum absolutis. Ini disebut relativisme deksriptif. Dalam bentuknya yang paling kuat, ia menekankan bahwa semua nilai dasar moral berbeda dari satu individu ke individu lain, atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dalam bentuknya yang moderat, ia menegaskan bahwa sekurang – kurangnya hanya beberapa nilai dasar moral yang berbeda. Kaum relativis deskriptif mengemukakam berbagai contoh. Apakah semua contoh itu benar- benar mendukung pernyataan mereka atau tidak, akan dibahas kemudian. Misalnya, orang Eskimo membiarkan kaum manula mati kelaparan, padahal kita yakin bahwa secara moral perbuatan itu keliru. Demikian pula, ada sebuah suku di Melanesia, seperti dijelaskan Ruth Benedict dalam karyanya Pattern of Culture, yang dipercaya bahwa kerja sama dan kebaikan itu salah, sedangkan kita memandang kedua hal itu sebagai kebajikan. Perbedaan ini dapat pula ditemukan dalam satu masyarakat pada waktu yang berbeda. Misalkan, seperti dinyatakan Pojman, seratus tahun silam mayoritas penduduk di Amerika Serikat bagian utara memandang perbudakan secara moral baik, padahal kini kita menganggapnya salah. Kedua, relativisme metaetika. Pandangan bahwa di antara kaidah-kaidah moral yang berbeda secara substansial, tidak terdapat satu kaidah etika yang berbeda secara yang benar atau paling masuk akal. Semua kaidah moral substansial itu benar (menurut versi yang lebih kuat), atau setidaknya terdapat pluralitas kaidah yang benar dan paling masuk akal (menurut versi yang lebih moderat). David Wong menulis: Kaum relativis radikal berpendapat bahwa setiap moralitas sama benar dan sama beralasan dengan moralitas yang lain. Kaum relativis moderat, seperti Foot, Walzer dan Wong, menolak adanya satu moralitas lebih benar, tetapi juga berpendapat bahwa sebagian moralitas lebih benar atau lebih beralasan daripada yang lain. Ketiga, relativisme normatif. Pandangan bahwa secara moral tindakan memberlakukan putusan etika terhadap perilaku dan praktik individu, kelompok, atau masyarakat lain yang memiliki kaidah moral yang sangat berbeda merupakan tindakan yang salah, apalagi mencoba membuat individu, kelompok, atau masyarakat lain agar sejalan dengan kaidah seseorang atau mencampuri urusan mereka berdasarkan putusan etika itu. Lawan relativisme etika adalah absolutisme etika, yang meyakini bahwa ada berbagai kebenaran moral yang universal, atau setidaknya satu kebenaran moral yang universal. Ia bisa juga didefinisikan sebagai pandangan bahwa hanya ada satu moralitas yang benar atau, seperti dikatakan Wong, pandangan bahwa "dalam pertentangan moral, kedua belah pihak tidak bisa sama-sama benar, sehingga hanya ada satu kebenaran mengenai yang dipertentangkan" . Mari kita melihat beberapa kelemahan argumentasi relativisme etika melalui perspektif Bertens dan filsuf kontemporer Iran, Mohammad Shomali. 1. Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah daripada dalam kebudayaan lain. Setiap kebudayaan akan kebal terhadap kritik atas praktik-praktik moralnya. Tidak akan pernah mungkin kita mengatakan tentang praktik-praktik dalam suatu lingkup budaya: "hal itu tidak etis" . Padahal, kita yakin bahwa kita hendak mengkritik masyarakat lain yang menggunakan norma-norma moral yang kita tolak. Kita yakin bahwa mutu etis setiap masyarakat tidak sama. Misalnya, kita tidak bisa menerima, kalau ada negara seperti Afrika Selatan dulu (sebelum pemilihan umum multiras pertama pada tahun 1994) yang mendasarkan politiknya atas prinsip rasistis (apartheid ). Politik yang secara sistematis mendiskriminasikan kelompok tertentu dalam masyarakat apa saja, seperti kelompok kulit hitam di Afrika Selatan, kita nilai tidak etis dan karena itu kita mengajukan protes. Tidak dapat dikatakan bahwa contoh tadi kurang tepat, karena di Afrika Selatan sendiri banyak terdengar protes dan demonstrasi menentang politikapartheid ini, sehingga politiknya tidak diterima umum dalam masyarakat ini. Yang terakhir ini memang benar. Tapi seandainya di seluruh Afrika Selatan politik ini diterima begitu saja - dan situasi seperti itu tidak mustahil terjadi- namun kita tidak bisa menilainya sebagai etis. Kita tetap akan menolaknya. Contoh lain adalah kebudayaan. Berabad-abad lamanya lembaga seperti perbudakan diterima begitu saja dalam banyak masyarakat, tanpa keberatan apa pun. Kita jangan lupa bahwa dalam British Empire (kerajaan Inggris bersama koloni- koloninya) perbudakan baru dihapus pada tahun 1833, di Amerika Serikat pada tahun 1865 dan di Brasil dalam beberapa tahap, hingga baru tahun 1888 terhapus seluruhnya. Pada zaman kuno Aristoteles, salah seorang ahli etika terbesar dalam sejarah pemikiran, bahkan mengajukan argumen -argumen untuk membenarkan perbudakan sebagai berikut. Bangsa- bangsa Barbar- katanya mempunyai akal budi yang kurang bermutu dibandingorang Yunani. Menurut kodratnya mereka budak dan karena ituboleh ditaklukkan oleh orang Yunani. Mereka bisa mengerti akal budi Yunani, tapi mereka tidak bisa menggunakan akal budinya sendiri dengan cara mandiri. Budak "menurut kodratnya adalah alat yang digunakan oleh tuannya" dan dalam hal ini "mereka tidak berbeda banyak dari binatang jinak" . Menjadi budak bagi mereka adalah "baik menguntungkan maupun adil". Kita sekarang yakin bahwa pandangan Aristoteles itu keliru dan praktik menjualbelikan manusia secara etis tidak pernah bisa dibenarkan. Dalam deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia dikatakan: "Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperabdi; perbudakan dan perdagangan budak harus dilarang dalam segala bentuknya" (Pasal 4). Kita yakin bahwa setidak-tidaknya dalam hal ini mutu etis masyarakat kita lebih tinggi daripada masyarakat Yunani kuno atau masyarakat lain yang menerima perbudakan sebagai lembaga yang wajar. 2. Seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memer- hatikan kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu. Kalau bagitu, norma moral dalam setiap masyarakat harus dianggap sempurna. Tidak akan mungkin memperbaiki norma-norma moral dalam suatu masyarakat. Padahal, kita yakin bahwa kadang-kadang norma-norma moral dalam suatu kebudayaan harus direvisi. Dari segi etis, tidak semua kebudayaan sempurna. 3. Seandainya relativitas moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan di bidang moral. Kemajuan terjadi, bila cara bertingkah laku yang lebih baik. Laku yang buruk diganti dengan cara Menurut relativitas moral, hanya bisa terjadi bahwa dalam periode sejarah A ada norma-norma lain daripada dalam periode sejarah B, tapi tidak pernah bisa dikatakan bahwa norma-norma itu dalam periode B lebih baik daripada periode A. Padahal kita berpendapat-dilihat dari perspektif sejarah-memang ada kemajuan di bidang moral (walaupun dalam beberapa hal barangkali ada juga kemunduran). Tanpa ragu-ragu kita menilai sebagai kemajuan bahwa sekarang tidak lagi dapat ditemukan perbudakan atau pembunuhan ritual. Sebuah contoh lain adalah penghapusan sistem penjajahan. Cukup lama dalam sejarah dianggap biasa saja, kalau satu bangsa menjajah bangsa lain. Keyakinan baru ini sudah diungkapkan dalam sebuah dokumen resmi yang diterima oleh anggota-anggota PBB. Perkembangan ini tentu kita nilai sebagai kemajuan moral. 4. Ada berbagai kesamaan moral yang penting di seluruh budaya. Sekurang- kurangnya terdapat beberapa prinsip atau ukuran moral yang tampaknya dapat diterima secara universal. Telaah terhadap apa yang tampak merupakan perbedaan dramatik antara berbagai budaya menunjukkan bahwa budaya tidak berbeda sebesar kelihatannya. Misalnya, semua manusia yang rasional sependapat bahwa sengaja melukai orang adalah perbuatan salah. Kendati kita temukan di beberapa belahan dunia orang yang sengaja melukai orang lain, kita tidak pernah ragu-ragu terhadap kebenaran putusan kita. Sebagian filsuf telah menguraikan beberapa ukuran moral yang bersifat universal yang diterima oleh mayoritas masyarakat dunia. Filsuf kontemporer Louis Pojman mengetengahkan daftar beberapa prinsip umum yang mencakup larangan melukai secara sengaja, membunuh orang yang tidak bersalah, menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang tidak perlu, menipu atau mencuri, dan prinsip- prinsip yang menganjurkan kesetiaan kepada janji, menghormati perjanjian, bersikap adil (memperlakukan yang sederajat dan tidak sederajat secara adil), berbicara jujur, tahu berterima kasih (menunjukkan penghargaan terhadap kebaikan orang lain) dan menolong orang lain, selagi tidak merugikan diri sendiri, Begitu pula, kita akan gagal mengevaluasi ukuran moral orang lain. Menurut relativisme normatif, setiap ukuran moral suatu masyarakat tidak mungkin dinilai salah atau benar oleh orang lain. Oleh karena itu, agresi Nazi bukan hal yang tidak bermoral, karena setiap justifikasi moral yang digunakan Nazi dapat dibenarkan berlawanan dengan prinsip moral mereka sendiri, yang menurut mereka sendiri sangatlah benar relativisme normatif mencegah kita dari mengatakan bahwa perilaku masyarakat yang menyerang tetangga mereka demi tujuan perbudakan adalah salah. Demikian pula, kita tidak boleh mencela ritual Aztec yang melibatkan pengorbanan manusia kepada dewa matahari, di mana sebanyak 20.000 orang setiap tahun "memadati tangga kuil, dibunuh, lalu jasad mereka dilempar ke dalam besar" . Kita tidak boleh mengatakan bahwa sebagian adat-istiadat masyarakat lain secara moral lebih rendah dari adat-istiadat kita sendiri. Kita harus berhenti mencela perilaku masyarakat lain. Kegagalan mencela perilaku semacam itu tampaknya tidak masuk akal. Perbudakan selalu keliru di mana pun ia berada. Kita merasa benar dalam mencela perdagangan budak atau perilaku rasis budaya lain. E. Estetika Estetika adalah cabang filsafat yang yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah estetika berasal dari kata Yunani, aisthesis yakni berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual (intelectual understanding) , atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berasal dari kata Latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu atau kecakapan. Sejak zaman Yunani purba, estetika filsafati sering disebut dengan berbagai nama, seperti filsafat seni (philosophy of art) , filsafat keindahan(philosophy of beauty) , filsafat citarasa(philosophy of taste) , dan filsafat kritisisme (philosophy of criticism) . Akan tetapi, sejak abad XVIII, istilah estetika mulai menggantikan nama-nama tersebut. Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottleb Baumgarten lewat karyanya, Meditationes philosophicae de nonullis ad poema pertinentibus (1735), yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dengan judul Reflection on Poetry (1954). Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudulAesthetica Acromatica (1750-1758). Estetika dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan. Estetika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat dasar, dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika ke dalam filsafat seni (philosophy of art ) dan filsafat keindahan (philosophy of beauty ). Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau subjektif. Terkait dengan seni, ada beberapa pengertian yang lebih rinci sebagai berikut: 1. Kreasi manusia yang memiliki mutu atau nilai keindahan. 2. Keterampilan yang dicapai dalam pengalaman yang memungkinkan kemampuan untuk menyusun, menggunakan secara sistematis dan intensional sarana-sarana fisik agar memperoleh hasil yang diinginkan menurut prinsip-prinsip estetis, entah dianggap secara intuitif atau kognitif 3. Suatu bentuk kesadaran sosial dan kegiatan insani yang merefleksikan realitas dalam gambar-gambar artistik dan merupakan cara yang amat penting dalam menyelami dan memotret dunia. 4. Pekerjaan, atau pencaharian yang menjadi sumber ilham bagi kreasi artistik dan merupakan sumber dari proses awal membentuk rasa dan kebutuhan estetis manusia. 5. Daya untuk melaksanakan tindakan-tindakan tertentu yang dibimbing oleh pengetahuan khusus dan istimewa dan dijalankan dengan keterampilan. Seni merupakan kemampuan istimewa untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu menurut prinsip-prinsip estetis.
Dalam perbincangan mengenai seni tersebut, terdapat pula sejumlah
persoalan pokok yang terkait, yakni: a. Seni dan kerajinan tangan bersesuaian karena keduanya menghasilkan suatu karya yang dapat dicerap pancaindra. Namun, kerajinan tangan lebih mengacu pada sesuatu yang bermanfaat, sementara seni diabdikan kepada penciptaan keindahan. b. Suatu hal dikatakan indah secara ilmiah kalau hal tersebut membiarkan gagasan yang ada di dalam dirinya tampil dengan cemerlang. Sesuatu dikatakan indah secara artistik bukan hanya pengulangan atau tindasan dari hal-hal yang terdapat dalam alam. Sebaliknya, tugas seni adalah membiarkan ide-ide tampil dengan kedalaman dan kekuatan yang sama sekali baru dan merefleksikan rahasia-rahasia terdalam dari realitas dalam karya-karya kreatif seni. Karena alasan ini, maksud dan tujuan pokok seni ialah menyajikan dan menggambarkan gagasan-gagasan, bukan menghasilkan benda-benda atau barang-barang. c. Seniman adalah seorang pengamat yang meresapi rahasia-rahasia terdalam dari setiap eksisten, bahkan ada orang yang memperluas "rahasia " itu dengan "gagasan-gagasan kreatif Tuhan ". Dan seniman adalah "seorang pembuat " yang mampu mengungkapkan visinya dalam karyanya. Di dalam seniman, melihat dan membuat menjadi satu. Karena itu di samping keterbatasan-keterbatasan temporal dan personal, seniman mengatasi dirinya dan tampil di antara sesama manusia sebagai seorang yang menghargai dan mengagungkan eksistensi. d. Desensualisasi (proses peniadaan ciri corak indrawi) kadang-kadang dipakai sebagai kriterium penjenjangan seni: arsitektur, seni ukir, seni lukis, kesusastraan (di sini tekannya pada kata yang diucapkan), mimikri (teristimewa tarian), musik. Tiga yang pertama merupakan seni ruang sejauh ketiganya menciptakan sesuatu yang tetap dalam ruang. Sedang tiga yang terakhir merupakan seni waktu, sejauh ketiganya menghasilkan sesuatu yang sementara, sesuatu yang harus selalu diperbarui dalam waktu. Sedangkan wacana keindahan diekspresikan dengan beragam makna pula oleh para filsuf. David Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas objektif yang terletak di dalam objek-objek itu sendiri, melainkan berada di dalam pikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Hume mengatakan bahwa apa yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individual. Immanuel Kant menganggap kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman manusia pada umumnya. Sama seperti Hume, Kant juga berpendapat bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subjektif. Di dalam karyanya, Critique of Judgment, Kant mengatakan bahwa pertimbangan estetis (aesthetic judgment) memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktik dari sifat dasar manusia. Charles J. Bushnell menyatakan keindahan sebagai kualitas yang mendatangkan penghargaan mendalam tentang berbagai nilai atau ideal yang mendatangkan semangat. George Santayana mengembangkan estetika naturalis. Sama seperti Hume dan Kant, Santayana menolak objektivitas keindahan. Menurut Santayana, keindahan identik dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia mengamati objek-objek tertentu. Santayana mengatakan bahwa keindahan itu adalah perasaan senang yang diobjektifkan dan diproyeksikan ke dalam objek yang diamati. Filsuf Italia, Benedetto Croce , mengembangkan teori estetikanya lewat alam pikir filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan menurut Croce intuisi adalah gambar yang berada di alam pikiran. Dengan demikian, seni itu berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di dalam pikiran seniman. Croce juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, berarti seni sama dengan ekspresi. Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman. Croce mengatakan bahwa seni adalah ekspresi dari kesan-kesan (art is expression of impressions ). Dengan demikian, apabila seni merupakan kegiatan kejiwaan, tentunya orang sepakat bahwa seni bukanlah objek fisiknya, baik kanvasnya, biolanya, warnanya atau suaranya. Dalam pandangan Croce, jika seni hanya dipandang sebagai objek fisik semata, maka seni akan kehilangan raga roh estetiknya. Dengan kata lain, semua karya seni, jika cuma dinilai dari bentuk- bentuk fisiknya saja, karya-karya seni itu akan kehilangan kualitas artistiknya. Sementara Clive Bell memopulerkan gagasannya lewat ungkapan bentuk yang berarti (significant form ) dan perasaan estetis (aesthetic emotion ). Yang dimaksudkan dengan bentuk yang berarti ialah hal yang membuat karya-karya seni itu benar-benar bernilai. Perasaan estetis hanya dapat dialami pada saat seseorang sungguh-sungguh menyadari akan bentuk yang berarti. Apakah bentuk yang berarti itu? Bell tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan bentuk yang berarti itu. Ia hanya mengatakan bahwa bentuk yang berarti ialah bentuk hasil karya seni yang menggugah perasaan seni seseorang.