Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

FILSAFAT ILMU

TENTANG

“Filsafat Moral (Etika) dan Filsafat Estetika”

Dosen Pembina Mata Kuliah:

Prof. Sufyarma Marsidin, M.Pd.


Prof. Nurhizrah Gistituati, M.Ed., Ed.D

OLEH

RAHAYU DEWANY

NIM : 21151024

PROGRAM STUDI S2 BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
A. Filsafat Moral (Etika)
1. Pengertian Filsafat Moral (Etika)

Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani, yakni ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Secara teriminologi, etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik
buruk. Selanjutnya Semiawan, dkk (2005) menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau
standar prilaku manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”. Makna etika
terdapat dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu perkumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-
manusia lain.

Jadi dapat diketahui bahwa etika merupakan tingkah laku atau perbuatan
seseorang yang didalam tingkah laku manusia terdapat nilai yaitu nilai perbuatan baik
dan nilai perbuatan buruk dan itu lah etika, terkadang etika juga disebut dengan moral.

Moral berasal dari kata Latin Mos jamaknya Mores yang berarti adat atau cara
hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun,
meskipun sama terkait dengan baik buruknya tindakan manusia, etika dan moral memiliki
perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai
baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika berarti “ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori
dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah
praktiknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa etika merupakan bagian dari
moral karena arti etika dan moral memiliki arti yang sama, akan tetepi terdapat sedikit
perbedaan dari pengertian etika dan moral ini, yang mana etika memiliki pengertian
tentang mempelajari perilaku baik dan buruk manusia sedangkan moral memiliki
pengertian tentang nilai baik dan buruk perbuatan manusia itu, serta perlu dibapahami
bahwa etika dan moral ini merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang tingkah
laku manusia.

1
2. Etika Sebagai Cabang Filsafat
Poedjawijatna (1996: 39) mengemukakan bahwa etika merupakan cabang filsafat.
Etika mencari kebenaran dan sebagai cabang filsafat ia mencari keterangan (benar) yang
sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik buruknya
bagi tingkah laku manusia, etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik.
Menurut Von Magnis (dalam Subair, 1990: 9-11) mengemukakan bahwa hidup kita
seakan-akan terentang dalam suatu jaringan norma yang berupa ketentuan, kewajiban,
larangan, dan sebagainya. Jaringan itu seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita
bertindak dari sesuatu dengan segala keinginan, mengikat kita untuk melakukan sesuatu
yang sebetulnya kita benci. Maka timbullah pertanyaan: Dengan hak apa orang
mengharapkan kita tunduk terhadap norma itu?, dan bagaimana dapat menilai norma
itu?.Tugas etika mencari jawaban atas pertanyaan itu, etika merupakan penyelidikan
filsafat tentang bidang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta tentang yang baik
dan yang buruk, sehingga etika didefinikan sebagai filsafat bidang moral.
Dikatakan etika sebagai cabang filsafat dibidang moral karena etika merupakan
sebuah kajian yang mencari kebenaran sedalam-dalamnya mengenai perilaku manusia,
karena tugas etika itu menilai perilaku baik dan buruknya perilaku manusia. Dapat
diketahui bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam kalangan
masyarakat dengan norma-norma yang berlaku, akan tetapi sebagai makhluk sosial tentu
akan adanya suatu norma yang tidak sesuai seperti yang diinginkan sehingga individu itu
enggan dalam mengikuti aturan norma yang berlaku, disini sifat dasar etika adalah sifat
kritis, etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku, karena
dianggap ada aturan-aturan norma yang tidak sesuai sehingga tidak dapat
mempertahankan atau bertanggung jawab atas aturan-aturan yang ada. Sehingga
hilanglah hak dan pertanggung jawaban norma itu sendiri.
3. Aliran-Aliran dalam Filsafat Moral (Etika)
Menurut Mokh. Sya’roni (2014) terdapat 3 aliran etika yaitu:
a. Hedonisme
Hedonisme bertolak dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia
mengusahakan kenikmatan, yang dalam bahasa Yunani disebut “hedone”; dari kata
inilah timbul istilah “hedonisme”. Secara negatif usaha ini terungkap dalam sikap

2
menghindari rasa sakit, dan secara positif terungkap dalam sikap mengejar apa saja
yang dapat menimbulkan rasa nikmat.
Aliran Hedonisme ini memandang bahwa manusia yang berbuat dan
mengusahakan kenikmatan dalam kehidupannya maka ia akan memperoleh sebuah
kebaikan serta ini akan menjadi penghargaan bagi dirinya, begitu juga sebaliknya jika
manusia itu tidak berusaha dalam memperoleh kenimatakan maka ia akan
mendapatkan rasa sakit ataupun perbuatan buruk dalam kehidupannya.
b. Aliran Utilisme
Aliran dijabarkan dari kata Latin “utilis”, yang berarti bermanfaat. Utilisme
mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan ialah manfaat suatu perbuatan. Suatu
perbuatan dikatakan baik, jika membawa manfaat, dikatakan buruk, jika
menimbulkan mudarat.
Dalam aliran ini memandang bahwa suatu perbuatan itu dikatakan baik jika
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain sedangkan perbuatan buruk itu adalah suatu
perbuatan yang hanya menimbulkan mudarat ataupun kerugian bagi orang banyak
c. Aliran Deontology
Aliran deontologis melihat bahwa kerangka tindakan/perilaku manusia dilihat
sebagai kewajiban. Kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah
jelas kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban.
Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama
melakukan kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan.
B. Filfata Estetika
1. Pengertian Estetika
Estetika dari kata Yunani Aesthesis atau pengamatan adalah cabang filsafat yang
berbicara tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengamalan akan keindahan.
Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, bentuk-bentuk pengalaman
keindahan (seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan alam dan
keindahan seni), diselidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung,
tragis, bagus, mengharukan, dan sebagainya (Surajino, 2014: 101). Menurut Semiawan,
dkk (2005), menjelaskan estetika sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”,

3
mempelajari tentang hakikat keindahan didalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat
yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk.
Filsafat Estetika ini merupakan cabang dari filsafat juga, yang membahas tentang
keindahan, menurut filsafat estetika objek dari keindahan itu berasal dari pengalaman akan
keindahan dan bagaimana bentuk-bentuk pengalaman keindahan tersebut seperti keindahan
jasmani dan keindahan rohani, seni dan alam hal inilah yang dibahas serta dikaji didalam
filsafat estetika.
2. Teori Estetika
a. Teori subyektif, obyektif pada sebuah nilai keindahan
Para filsuf itu disebut obyective aestheticians (ahli-ahli estetik obyektif). Teori
subyektif didukung antara lain : Henry Home, Earl of Shaftesbury dan Edmund
Burke. Filsufnya disebut subyective aestheticians (ahli-ahli estetik subyektif). Teori
obyektif berpendapat keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetis ialah sifat
(kwalitas) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas
dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau
menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali
tidak berpengaruh untuk mengubahnya
Pada teori subyektif dan obyektif dalam sebuah nilai keindahan adalah
dikatakan sebuah nilai keindahan itu didukung oleh beberapa para ahli, kemudian
subyek pada sebuah nilai keindahan itu memandang bahwa nilai ataupun ciri-ciri
keindahan itu sesungguhnya tidak ada melainkan si pengamatlah yang membeirkan
tanggapan dan penilian atas suatu benda itu. Sedangakan obyetif berdasarkan teori ini
mengatakan bahwa nilai ataupun sifat keindahan suatu benda ataupun sebuah
pengalaman itu memang sudah ada pada benda dan sesuatu tersebut hanya saja
individu yang mengamati suatu obyek keindahan itu mengambangkan dan
memperjelasakn keindahan yang sudah ada itu.
b. Teori Perimbangan Nilai Keindahan

Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut


Teori Agung tentang keindahan (The Great Theory of Beauty) atau dapat juga teori
agung mengenai estetik Eropa. Teori Agung tentang keindahan menjelaskan bahwa,
keindahan terdiri dari perimbangan dari bagian-bagian, atau lebih tepat lagi terdiri

4
dari ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian-bagian serta hubunganhubungannya
satu sama lain. Contoh ; Arsitektur orang-orang Yunani. Keindahan dari sebuah atap
tercipta dari ukuran, jumlah dan susunan dari pilar-pilar yang menyangga atap itu.
Pilar-pilar itu mempunyai perimbangan tertentu yang tepat dalam pelbagai
dimensinya.
Didalam teori peirmbangan nilai keindahan ini memandang bahwa keindahan
itu dapat dinilai dari ukuran, persamaan serta bagian-bagian yang ada pada benda
tersebut, seperti yang telah dicontohkan diatas disini dapat kita pahami bahwa nilai
keindahan sebuah atap itu berdasarkan ukuran dan jumlah serta susunan dari pilar-
pilarnya, sehingga semakin besar ukuran atap dan semakin banyak corak dengan
desain yang dibuat maka semakin tinggi nilai keindahan pada benda (atap) tersebut.

c. Teori Bentuk Estetis.


DeWitt H. Parker memeras ciri-ciri umum dari bentuk estetis menjadi enam asas,
yaitu:
1) Azas kesatuan utuh. Asas ini berarti bahwa setiap unsur dalam sesuatu karya
seni adalah perlu bagi nilai karya itu dan karya tersebut tidak memuat unsur-
unsur yang tidak perlu dan sebaliknya mengandung semua yang diperlukan.
Nilai dari suatu karya sebagai keseluruhan tergantung pada hubungan timbal
balik dari unsurunsurnya, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi dan
menuntut setiap unsur lainnya.
2) Azas tema. Dalam setiap karya seni tedapat satu (atau beberapa) ide induk
atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh
atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya itu. Ini
menjadi kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang terhadap karya seni
itu.
3) Azas variasi menurut tema. Tema dari sesuatu karya seni harus disempurna-
kan dan diperbagus dengan terus-menerus mengumandangkannya. Agar tidak
menimbulkan kebosanan pengungkapan tema yang harus tetap sama itu perlu
dilakukan dalam pelbagai variasi.
4) Azas keseimbangan. Keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang
berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walaupun unsur-unsurnya

5
tampaknya bertentangan tapi se-sungguhnya saling memerlukan karena
bersama-sama mereka menciptakan suatu kebulatan. Unsur-unsur yang saling
berlawanan itu tidak perlu hal yang sama karena ini lalu menjadi
kesetangkupan, melainkan yang utama ialah kesamaan dalam nilai. Dengan
kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan
secara estetis.
5) Azas perkembangan. Dengan asas ini dimaksudkan oleh Parker kesatuan dari
proses yang bagian-bagian awalnya menentukan bagian-bagian selanjutnya
dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Jadi misalnya
dalam sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab dan akibat atau
rantai tali-temali yang perlu yang cirinya pokok berupa pertumbuhan atau
penghimpunan dari makna keseluruhan.
6) Azas tatajenjang. Kalau asas-asas variasi menurut tema, keseimbangan dan
perkembangan mendukung asas utama kesatuan utuh, maka asas yang terakhir
ini merupakan penyusunan khusus dari unsur-unsur dalam asas-asas tersebut.
Dalam karya seni yang rumit kadang-kadang terdapat satu unsur yang
memegang kedudukan mempin yang penting. Unsur ini mendukung secara
tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan yang jauh lebih
besar daripada unsur-unsur lainnya (The Liang Gie, 1976: 46-48).
3. Filsafat Seni
Seni menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ahli membuat karya yang
bermutu, dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan lain sebagainya.
a. Aristoteles: seni adalah peniruan terhadap alam tetapi sifatnya harus ideal.
b. Plato dan Rousseau: seni adalah hasil peniruan alam dengan segala seginya.
c. Ki Hajar Dewantara: seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari
perasaan dan sifat indah sehingga menggerakan jiwa perasaan manusia.
d. Ahdian Karta Miharja: seni adalah kegiatan rohani yang mereflesikan realitas
dalam suatu karya yang bentuk dan isinya untuk membangkitkan pengalaman
tertentu dalam rohaninya penerimanya.

6
e. Prof. Drs. Suwaji Bastomi: seni adalah aktivitas batin dengan pengalaman
estetika yang menyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai daya
membangkitkan rasa takjub dan haru.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa seni merupakan hasil dari
peniruan alam ataupun sebuah karya yang dilakukan oleh seseorang untuk menampilkan
sebuah keindahan alam yang diukir melalui alat-alat yang digunakan dalam melukiskan
ataupun mengukirkan suatu benda yang ada dialam selain itu seni juga dapat
mengukirkan pengalaman-pengalaman.

Daftar Referensi
Poedjawiatna. (1996). Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta
Semiawan, Conny, dkk. (2005). Panorama Filsafat. Jakarta: Litera Antar Nusa
Subair, Acmad Charris. (1990). Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers
Surajino. (2014). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Sya’roni, M. (2014). Etika keilmuan: Sebuah kajian filsafat ilmu. Jurnal Theologia 25(1),
245-270
The Liang Gie. (1983). Garis-Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta;
Supersukses

Anda mungkin juga menyukai