Anda di halaman 1dari 9

ETIKA DAN ESTETIKA DALAM FILSAFAT

MATA KULIAH :

Filsafat

DOSEN PENGAMPU :

Ridhatullah Assya’ bani, M.Ag

DI SUSUN OLEH :
Kholifah (190103040261)
Rida Amelia (190103040242)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tidak pernah berkurang. Karena


banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi ke
dalam bidang-bidang studi yang sesuai dengan kelompok permasalahan pokok yang
dihadapinya. Bidang-bidang studi filsafat juga disebut sebagai cabang-cabang ilmu
filsafat. Salah satu cabang filsafat yang akan kita bahas pada makalah ini adalah
mengenai etika dan estetika.

Pembagian bidang-bidang atau cabang-cabang filsafat, sejak kelahirannya hingga


masa kini tak pernah sama atau tidak terlalu berbeda. Jika disimak dengan cermat,
sesungguhnya isi setiap cabang filsafat itu senantiasa memiliki kesamaan satu sama
lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu etika ?
2. Apa itu estetika ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami tentang salah satu cabang filsafat, yaitu etika
dan estetika.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika
Etika sering kali disebut sebagai filsafat moral. Istilah etika berasal dari dua kata
dalam bahasa Yunani : Ethos dan Ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan,
tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang
baik.

Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan


manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak
mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya
berbuat atau bertindak.1

Etika seringkali disebut filsafat moral. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam
penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang dinilai. Adapun etika dapat dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang
ada. Istilah moral berasal dari latin mores, yang merupakan bentuk jamak dari mos
yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. 2

Disamping itu juga terdapat juga makna lain, yang bersifat lebih teratas yang
dikandung oleh istilah ‘etika. Agar etika tetap memperoleh pengertian sebagai ilmu
pengetahuan umum namun tidak dipulangkan kepada sosiologi, maka terdapat pula
orang-orang yang berbicara mengenai ‘etika kefilsafatan’ yaitu analisis mengenai
makna apakah yang dikandung oleh predikat-predikat kesusilaan.3

4
Ada berbagai pembagian etika yang dibuat oleh para ahli etika. Beberapa ahli
membagi etika ke dalam dua bagian, yakni etika deskriptif dan etika normatif. Ada
pula yang membagi ke dalam etika normatif dan metaetika. Ahli lain membagi ke
dalam tiga bagian atau tiga bidang studi, yaitu etika deskriptif, etika normatif,
metaetika.

1
Jan Hendrik Rapar, PENGANTAR FILSAFAT, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm 62
2
Mohammad Adib, FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 207
3
Suparlan Suhartono, DASAR-DASAR FILSAFAT, Ar-Ruzza Media, Yogyakarta, 2007
4
Jan Hendrik Rapar, PENGANTAR FILSAFAT, hlm 62

3
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan
pengalaman moral secara deskriptif. Etika deskriptif digolongkan kedalam
bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi.
Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan
dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu
kultur tertentu.

Etika deskriptif dapat dibagi ke dalam dua bagian : pertama, sejarah


moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan, dan norma-norma moral yang
pernah diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu
tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa
bangsa. Kedua, fenomenologi moral, yang berupayamenemukan arti dan
makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral
tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan-patokan moral
yang perlu dipegang oleh manusia. Kerena itu, fenomenologi moral tidak
mempermasalahkan apa yang benar dan apa yang salah.

2. Etika Normatif

Etika seringkali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkam


ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian. Tanggapan
atau penilaian terhadap perbuatan. Ilmu pengetahuan ini membicarakan apa
yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi, dan yang
memungkinkan orang untuk menetapkan apa yang bertentangan dengan yang
seharusnya terjadi, ilmu pengetahuan seperti ini dinamakan etika normatif.

Etika normatif dapat dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori nilai dan
teori-teori keharusan. Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan,
sedangkan teori-teori keharusan membahas tingkah laku. 5

Ada pula yang membagi etika normati ke dalam dua golongan sebagai
berikut : Konsekuensialitas (teleologikal) dan nonkonsekuensialitas
(deontologikal). Konsekuensialitas (teleologikal) berpendapat bahwa moralitas

5
Jan Hendrik Rapar, PENGANTAR FILSAFAT, hlm 62-63

4
suatau tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun
nonkonsekuensialitas (deontologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu
tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan
itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau keberadaanya yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. Berikut:
konsekuensialitas (teologikal) dan nonkonsekuensialitas (deontological)
berpendapat

3. Metaetika 6
Metaetika merupakan suatu studi analitis terhadap disiplin etika.
Metaetika baru muncul pada abad ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan
menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat
pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu
tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus
antara lain, keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang tidak
terpuji, yang adil, yang semestinya dan sebagainya.
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh aliran-aliran yang cukup
terkenal dalam metaetika. Teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut :

 Teori naturalis, mengatakan bahwa istilah-istilah moral


sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan
rumit. Istilah-istilah normatif etis, seperti baik dan benar, dapat
disamakan dengan istilah-istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan,
yang diidamkan, atau yang biasa. Teori naturalis juga berpendapat
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan lewat
penyelidikan dan penelitian ilmiah.

 Teori kognitivis mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan


moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa keliru. Itu berarti
keputusan moral bisa benar dan bisa salah.

6
Jan Hendrik Rapar, PENGANTAR FILSAFAT, hlm 64-65

5
 Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang
baik dan yang salah diperoleh secara intuitif. Bagi teori intuitif,
pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah itu jelas
dengan sendirinya karena manusia dapat merasa dan mengetahui
secara langsung apakah nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk atau
benar tidaknya suatu tindakan.
 Teori subjketif menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral sesunguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta
subjektif tentang sikap dan tingkah laku manusia. Pertimbangan-
pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat mengungkapkan faktor-
faktor objektif.

B. Estetika7
Estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah
estetika berasal dari kata Yunani aisthetis, yang berarti penerapan indrawi,
pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual.

Estetika juga merupakan bidang studi filsafat manusia yang mempersoalkan nilai
keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa dalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan
yang utuh menyeluruh.8

Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander


Gottlieb Baumgarten lewat karyanya, Meditationes philosophicae de nonullis ad
poema pertinentibus (1735). Yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
judul Reflections on poetry (1954). Baumgarten mengembangkan filsafat estetika
yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya
yang berjudul Aesthetica acromatica (1750-1758).

Estetika dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu estetika deskriptif dan estetika
normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena

7
Jan Hendrik Rapar, PENGANTAR FILSAFAT, hlm 67
8
Mohammad Adib, FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan

6
pengalaman keindahan. Estetika normatif mempersoalkan dan menyelidiki hakikat,
dasar, dan ukuran pengalaman keindahan.

Ada pula yang membagi estetika ke dalam filsafat seni dan filsafat keindahan.
Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya-karya seni dan
mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni, serta apakah yang
dapat diberikan oleh seni untuk menghubungan manusia dengan realitas. Filsafat
keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu objektif atau
subjektif.

Estetika pada abad pertengahan tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf.
Itu karena gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni karena dianggap duniawi
dan merupakan produk bangsa kafir Yunani dan Romawi. Akan tetapi, Augustinus
memiliki minat cukup besar pada seni. Ia mengembangkan suatu filsafat Platonisme
Kristen dengan mengajarkan bentuk-bentuk Platonis. Ia mengatakan bahwa bentuk-
bentuk Plantonis juga berada dalam pemikiran Allah. Oleh sebab itu, keindahan
dalam seni dan keindahan dalam alam haruslah memiliki pertalian yang erat dengan
agama.

7
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan


manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak
mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya
berbuat atau bertindak

Estetika juga merupakan bidang studi filsafat manusia yang mempersoalkan nilai
keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa dalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan
yang utuh menyeluruh.

8
DAFTAR PUSTAKA

Rapar Hendrik Jan, PENGANTAR FILSAFAT, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996


Adib Mohammad, FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika
Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011
Suhartono Suparlan, DASAR-DASAR FILSAFAT, Ar-Ruzza Media, Yogyakarta, 2007

Anda mungkin juga menyukai