Aksiologi berasal dari bahasa Yunani “axios” yaitu nilai dan “logos” yang berarti teori. Dengan
demikian, maka aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang
nilai-nilai khususnya etika. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Bramel, Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan sosial politik. Bidang ini melahirkan filsafat sosial politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu:
1. Nilai sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan
bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk
kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli
untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan
ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia
seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan
sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk sesuatu yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana
berlawanan dengan sesuatu yang tidak dianggap baik atau bernilai.
3. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk
menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan
mengevaluasi.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu
pada permasalahan etika dan estetika.
Keterlibatan antara aksiologi dengan pendidikan adalah bagaimana caranya kita menguji dan
menggabungkan nilai tersebut kedalam kehidupan kita sehari-hari dan menanamkannya ke dalam
tubuh seseorang. Menjelaskan mengenai pemahaman mana yang baik dan mana yang buruk pun
kepada seseorang merupakan tugas pendidikan. Pendidikan harus menjelaskan secara
komperehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika, dan nilai sosial. Dalam masyarakat,
nilai-nilai tersebut tergabung dan saling berinteraksi.
Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teroi nilai, yaitu:
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya,
nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek
yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku
sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi
siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Dipihak lain ada yang beranggapan
bahwa semua nilai berubah sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih
tinggi daripada non spiritual (nilai material). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang
tinggi karena nilai religi membantu manusia dalam menemukan akhir hidupnya, dan merupakan
kesatuan dengan nilai spiritual.
kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai dimana mereka menempatkan
nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia realitas objektif, hukum
alam dan aturan berfikir logis.
kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka suatu aktivitas dikatakan
baik seperti yang lainnya apabila memuaskan kebutuhan yang penting dan memiliki nilai
instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang meghargai masyarakat.
Teori tentang nilai membahas dua masalah, yaitu masalah Etika dan Estetika.
Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “ethos” yang berarti adat kebiasaan. Tetapi, ada
yang memakai istilah lain yaitu “moral” dari bahasa latin yakni jamak dari kata “nos” yang
berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi, pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu
sama lainnya. Etika ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan
bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana
semestinya tindakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu
hal dan harus berlaku umum.
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan
dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan
terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral (Jujun S.
Suriasumantri, 1998 : 235).
Dalam perkembangan sejarah etika, ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu,
hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi.
Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan
kesenangan.
Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari
manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga
negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak
kodrati.
Deontologi adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant,
yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut
baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan
baik oleh kehendak manusia.
Estetika
Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Estetika membahas tentang indah atau
tidaknya sesuatu. Dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting
dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral,
dimana setiap persoalan pendidikan dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan
masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini
berarti pendidikan diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif,
berseni.
Aksiologi Ilmu Pendidikan sebagai Nilai Kegunaan Teoritis
Hasil ilmu pendidikan adalah konsep-konsep ilmiah tentang aspek dan dimensi pendidikan
sebagai salah satu gejala kehidupan manusia. Pemahaman tersebut secara potensial dapat
dipergunakan untuk lebih mengembangkan konsep-konsep ilmiah pendidikan, baik dalam arti
meningkatkan mutu (validitas dan signifikan) konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada,
maupun melahirkan atau menciptakan konsep-konsep baru, yang secara langsung dan tidak
langsung bersumber pada konsep-konsep ilmiah pendidikan yang telah ada.
Pemahaman tenaga kependidikan secara komprehensif dan sistematis turut serta dalam
menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan menerangkan prinsip-prinsip bagaimana orang
melakukan pendidikan. Penguasaan yang mantap terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan
memberikan pencerahan tentang bagaimana melakukan tugas-tugas profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka seorang tenaga pendidikan akan dapat bekerja konsisten dan efisien,
karena dilandasi oleh prinsip-prinsip pendidikan yang jelas terbaca dan kokoh.