Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Ajaran Kaum Subjektivis


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Nilai

Disusun oleh:

Kelompok 6

Muhammad Rizky Silaban 4518024

Wildan Prayetno 4518016

Dosen Pengampu:

Dr. GAZALI, M.Ag

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI

1441 H/2020
Filsafat Nilai |1

Ajaran Kaum Subjektivis


A. Pendahuluan
Subjektivisme sebagai aliran yang mewakili subjek sebagai titik tolak
dalam nilai, menegaskan bahwa nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran,
keindahan, tidak ada dalam real objektif, melainkan merupakan perasaan-
perasaan, sikap-sikap pribadi, dan merupakan penafsiran atas kenyataan. Di lain
pihak objektivisme, sebagai aliran yang mendukung objek sebagai titik tolak
dalam nilai, menegaskan bahwa nilai-nilai, kebaikan, kebenaran, keindahan, ada
dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas,
atau hubungan nyata dalam bentuk yang sama sebagaimana dapat ditemukan
objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan. 1
Dalam kacamata epistemologi, subjektivisme diartikan sebagai sumber
dan keabsahannya pengetahuan tentang apapun yang dinyatakan objektif dan
real secara eksternal ditentukan oleh the knower. Sehingga pengetahuan itu
merupakan produk yang distruktur secara selektif dan diciptakan oleh the
knower. Banyak filsuf sesudah Descartes2 mengandaikan bahwa satu-satunya hal
yang dapat kita ketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri dan kegiatan kita
yang kita sadari. Paling tidak, hal itulah yang secara langsung dapat kita ketahui.
Sedangkan pengetahuan tentang “yang bukan aku” atau segala sesuatu di luar
diri sendiri pantas untuk diragukan kebenarannya. Telah menjadi suatu ironi
ketika usaha keras Descartes untuk menolak dan membantai skeptisisme malah
mengakibatkan pembelokan ke arah subjektivisme dalam filsafat.3

Suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling
berhubungan) dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang
dikandung oleh proposisi coherent dengan pengalaman kita. Bakhtiar sebagai

1
Hamdan Akromullah, “Arti Nilai Dalam Seni”, Jurnal Institut Seni Indonesia Padang Panjang,
hlm.16
2
René Descartes, juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin,
merupakan seorang filsuf dan matematikawan Prancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la
méthode dan Meditationes de prima Philosophia. Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat
modern.
3
http://ramdan-linguis.blogspot.com/2016/07/skeptisisme-subjektivisme-dan.html (Diakses
pada tanggal 19 Juni 2020 03.00 WIB)
Filsafat Nilai |2

mana dikutip dari Aholiab Watholi, memberikan standarisasi kepastian


kebenaran dengan sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu
keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan.
Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat
logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat
dikoreksi. Keempat,pengertian akan kepastian yang digunakan dalam
pembicaraan umum, di mana hal itu di artikan sebagai kepastian yang
didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan lagi.4

B. Konsep Subjektivis Dalam Aksiologi


1. Permulaan Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Nilai yang dimaksudkan adalah nilai
kegunaan. Tentu kita semua setuju dan sepakat bahwa ilmu telah banyak
memberikan manfaat dalam kehidupan dan kesejahteraan umat manusia di
dunia. Ilmu telah mampu mengubah dan memberantas bahaya bencana
kelaparan, kemiskinan, mewabahnya berbagai penyakit, buta aksara, dan
lain-lain bencana yang melanda wajah duka kehidupan manusia. Ilmu telah
mampu membuat kehidupan manusia lebih mudah dan membantu
melakukan pekerjaan dengan efektif dan efisien. Namun demikian, ilmu juga
dapat digunakan untuk merusak sendi-sendi kehidupan manusia dan bahkan
membinasakan manusia.5
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Dengan kata lain,
aksiologi adalah teori nilai. Suriasumantri, mendefinisikan aksiologi sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di
peroleh. Aksiologi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika. Menurut Wibisono seperti yang dikutip Surajiyo, aksiologi adalah
4
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hlm. 116
5
Totok Wahyu Abadi, “Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika”, Kanal (Jurnal Ilmu
Komunikasi), Vol. 4 No. 2, Maret 2016, hlm. 189-190
Filsafat Nilai |3

nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar
normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Dalam
Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan
value and valuation.6
2. Polemik antara Meinong dan Enrenfels
Meinong7 adalah orang pertama yang menyatakan penafsiran
subjektivistis tentang nilai, yaitu dalam karyanya yang berjudul
Psychological-ethical Inquiry into a Theory of Value. Tesis utamanya adalah
objek itu memiliki nilai sejauh objek memiliki kemampuan untuk
memberikan dasar efektif bagi sentimen nilai. Dengan kalimat yang lain,
dapat juga dikatakan bahwa menurutnya sesuatu itu memiliki nilai ketika
sesuatu itu dapat menyenangkan manusia.8
Christian von Ehrenfels9 memiliki pendapat yang berbeda dari pendapat
di atas. Menurutnya, apabila pendapat Meinong tersebut diterima, maka
hanya benda yang ada (exist) saja yang memiliki nilai. Padahal
kenyataannya, manusia sering menilai hal-hal yang tidak eksis seperti
keadilan sosial dan kebaikan moral. Menurut Ehrenfels, dasar nilai tidak
ditemukan di dalam sensasi kenikmatan atau kecocokan tetapi di dalam
kawasan nafsu atau hasrat. Segala sesuatu yang didambakan dengan
demikian akan bernilai karena manusia menghasrati atau mendambakannya.
Namun demikian, Meinong, tidak tinggal diam dengan keberatan yang
diajukan oleh sahabatnya tersebut. Menurutnya, nilai suatu objek terkandung
di dalam kemampuannya untuk menentukan sensasi subjek, bukan hanya
berdasarkan atas eksistensi objek, melain kan juga berdasarkan pada
ketidakeksisannya.

6
Totok Wahyu Abadi, “Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika”…, hlm. 190
7
Alexius Meinong, Ritter von Handschuchsheim adalah seorang filsuf Austria, seorang realis
yang dikenal dengan ontologi uniknya. Dia juga memberikan kontribusi pada filsafat pikiran dan teori
nilai.
8
Sumaryanto, Aksiologi Olahraga dalam perspektif pengembangan karakter bangsa,
(Yogyakarta: UNY Press, 2016), hlm. 17-18
9
Christian von Ehrenfels adalah seorang filsuf Austria, dan dikenal sebagai salah satu pendiri
dan perintis psikologi Gestalt. Christian von Ehrenfels lahir pada 20 Juni 1859 di Rodaun dekat Wina dan
dibesarkan di kastil ayahnya Brunn am Walde di Lower Austria
Filsafat Nilai |4

Polemik antara Meinong dan Ehrenfels tersebut adalah polemik yang


sangat terkenal dalam perkembangan aksiologi. Gema terakhir dari
perdebatan tersebut dapat dijumpai dalam lampiran pada jilid kedua karya
Ehrenfels, System der Werttheorie yang diterbitkan pada tahun 1898.
Meskipun telah berakhir, polemik antara kedua tokoh tersebut telah
mewariskan tema besar dalam kajian aksiologi yang hingga sekarang juga
masih sering diperbincangan, yaitu tentang subjektivisme dan objektivisme
aksiologi. Subjektivisme aksiologis berpendapat bahwa nilai-nilai
bergantung pada pengalaman manusia dan tidak berdiri sendiri. Sementara
objektivisme aksiologis berpendapat sebaliknya bahwa nilai adalah bagian
intrinsik dari sesuatu, dan nilai tidak tergantung pada yang menilai. Meinong
sendiri, yang tadinya mengusung ide subjektivisme justru beralih haluan
menjadi pengusung ide objektivisme.10
3. Subjektivisme Aksiologi
Bertolak belakang dari pandangan objektivisme aksiologis, ada
pandangan subjektivisme aksiologis yang mengembalikan pertimbangan-
pertimbangan nilai kepada pernyataan-pernyataan tentang sikap mental
terhadap suatu objek atau situasi. Pertimbangan-pertimbangan tentang nilai,
dengan demikian dapat disetarakan dengan pernyataan setuju atau tidak
setuju atau dapat dianalisis menjadi pernyataan tentang sikap, tingkat
kualitas persetujuan atau kesenangan. Singkatnya, nilai dianggap bergantung
pada pengalaman manusia dan tidak berdiri sendiri.11
4. R. B. Perry dan Kepentingan Sebagai Dasar Nilai
Tokoh subjektivisme aksiologis yang cukup terkenal adalah R.B. Perry.
Menurut Perry, nilai adalah objek dari suatu kepentingan sehingga dalam
kegiatan penilaian selalu ada hubungan antara objek dengan kepentingan
subjek yang menilai. Dalam melakukan kegiatan penilaian tersebut ada
empat ukuran yang termuat di dalamnya, yaitu kedalaman, keseluruhan,
kesukaan, dan kebenaran. Secara umum, pan dangan subjektif tentang nilai

10
Sumaryanto, Aksiologi Olahraga dalam perspektif…, hlm. 19
11
Sumaryanto, Aksiologi Olahraga dalam perspektif…, hlm. 41-42
Filsafat Nilai |5

tersebut dapat diringkas ke dalam beberapa pandangan pokok sebagai


berikut :
a. Nilai sepenuhnya bergantung pada pengalaman manusia
b. Nilai adalah refleksi dari perasaan, sikap dan tanggapan individual,
bukan merupakan kenyataan yang objektif
c. Objek atau kegiatan tertentu dianggap bernilai sejauh benda itu
menimbulkan keadaan yang diinginkan dari kesadaran, perasaan atau
pengalaman12

C. Subjektivisme

Dalam arti kamus, subjektivisme itu sangat menekankan unsur subjektif


pengalaman individual. Sedangkan subjektif berarti mengacu ke pikiran, ego, persepsi,
putusan pribadi, kesadaran, bukan sumber-sumber objektif luar.13
Akhyar mengatakan bahwa subjektisisme merupakan pandangan yang
menekankan peran subjek dalam menghasilkan pengetahuan yang merupakan ide-ide
dalam pikiran the knomer – orang yang mengetahui – karena tidak mungkin kita
mengetahui sesuatu – objek, fenomena – di luar ide-ide tersebut.14
Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui
dengan perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran kita
terhadapnya. Realitas terdiri dari kesadaran serta keadaan kesadaran tersebut, walaupun
tidak harus kesadaran kita dan akal kita.15
Dahulu subjektivisme merupakan anathema bagi Popper sebab melihat
subjektivisme dalam dirinya mengandung benih-benih untuk mengarah kepada
otoritarianisme, relativisme, dan irasionalisme. Padahal Popper sangat mengandalkan
objektivitas dan rasionalitas.16

12
Sumaryanto, Aksiologi Olahraga dalam perspektif…, hlm. 43
13
Lorens Bagus, Kamus Filsafat cet-3, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm 1067-1068.
14
Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional cet-1 , (Bogor: Akademia, 2009), hlm 66.
15
Titus, Persoalan-persoalan Filsafat (terjemahan H.M. Rasjidi), (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm 218.
16
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah, Menurut Karl R. Popper cet-2, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 92-93.
Filsafat Nilai |6

Untuk memiliki subjektivisme yang tinggi, diperlukan pendekatan sunjektivis.


Ciri-cirinya yaitu:17
1. Dapat menggagas pengetahuan sebagai suatu keadaan mental yang khusus
atau semacam kepercayaan yang istimewa.
2. Pengalaman subjektif kokoh terjamin secara istimewa sehingga cocok
sebagai titik tolak atau dasar yang aman.
3. Menganut prinsip subjektif tentang “alasan cukup” yaitu semacam
pengalaman atau kepercayaan atau pendapat personal.
4. Tidak hanya melalaikan perbedaan antara pengetahuan objektif dan
pengetahuan subjektif, melainkan juga menerima, sadar, atau tak sadar
bahwa pengetahuan objektif yang bisa dibuktikan.
Dalam lingkaran epistemologis, subjektivisme berarti: teori bahwa seluruh
pengetahuan mempunyai sumber dan keabsahannya dalam keadaan mental subjektif
orang yang tahu “the knower” , pengetahuan tentang apapun yang objektif atau real
secara eksternal didasarkan pada penyimpulan dari keadaan mental subjektif ini.
Sedangkan segala sesuatu yang diketahui adalah produk yang distruktur secara selektif
dan diciptakan oleh yang tahu. Tidak dapat dikatakan bahwa ada suatu dunia nyata
secara eksternal yang berkorespondensi dengan yang tahu.18
Ada empat aturan pokok filsafat Descartes yang harus ditaati dalam metodenya,
yaitu:19
1. Intuisi dan evidensi
2. Perincian atau pelarutan
3. Pendeduksian
4. Penginduksian
Aturan yang pertama yaitu intuisi dan evidensi, ia menyampaikan berbagai
argumentasi, yakni:
a. Tidak mau menerima begitu saja apa yang dianggap benar
b. Berusaha menghindari ketergesa-gesaan atau praduga

17
Alfons Taryadi, “Epistemologi Pemecahan.., hlm 112-113.
18
Lorens Bagus, Kamus Filsafat cet-3, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 1029
19
Http://aliflukmanulhakim.wordpress.com/2008/09/07/skeptisisme-subjektivisme-dan-
relativisme/ (Diakses 18 Juni 2020 09.00 WIB)
Filsafat Nilai |7

c. Hanya apa yang tersajikan secara jelas dan bernas dalam pikiran sajalah
yang dapat diterima, karena tidak ada keraguan lagi
d. Hal di atas hanya dapat dilakukan melalui intuisi: langsung, simpel, self-
evident
e. Itulah pengertian mutlak menurut Descartes bagi segala hal
f. Pengertian yang jelas dan bernas/terpilah-pilah
Aturan yang kedua yaitu perincian dan pelarutan, yakni:
a. Membagi-bagi persoalan yang diteliti menjadi bagian-bagian sebanyak
mungkin
b. Pengertian yang baru harus didasarkan pada pengertian yang telah lebih
dahulu diketahui secara clear dan distinct
c. Jadi, harus ada pertautan antara pengertian yang baru dan pengertian yang
lebih dulu
d. Intinya, pengertian-pengertian tersebut harus berjalin-kelindan

D. Kesimpulan

Subjektivisme sebagai aliran yang mewakili subjek sebagai titik tolak dalam
nilai, menegaskan bahwa nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada
dalam real objektif, melainkan merupakan perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan
merupakan penafsiran atas kenyataan. Di lain pihak objektivisme, sebagai aliran yang
mendukung objek sebagai titik tolak dalam nilai, menegaskan bahwa nilai-nilai,
kebaikan, kebenaran, keindahan, ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai
entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata dalam bentuk yang sama
sebagaimana dapat ditemukan objek-objek, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan.

Subjektivisme aksiologis berpendapat bahwa nilai-nilai bergantung pada


pengalaman manusia dan tidak berdiri sendiri. Sementara objektivisme aksiologis
berpendapat sebaliknya bahwa nilai adalah bagian intrinsik dari sesuatu, dan nilai tidak
tergantung pada yang menilai. Meinong sendiri, yang tadinya mengusung ide
subjektivisme justru beralih haluan menjadi pengusung ide objektivisme. Untuk
Filsafat Nilai |8

memiliki subjektivisme yang tinggi, diperlukan pendekatan sunjektivis. Ciri-cirinya


yaitu:
1. Dapat menggagas pengetahuan sebagai suatu keadaan mental yang khusus
atau semacam kepercayaan yang istimewa.
2. Pengalaman subjektif kokoh terjamin secara istimewa sehingga cocok
sebagai titik tolak atau dasar yang aman.
3. Menganut prinsip subjektif tentang “alasan cukup” yaitu semacam
pengalaman atau kepercayaan atau pendapat personal.
4. Tidak hanya melalaikan perbedaan antara pengetahuan objektif dan
pengetahuan subjektif, melainkan juga menerima, sadar, atau tak sadar
bahwa pengetahuan objektif yang bisa dibuktikan.
Filsafat Nilai |9

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Totok Wahyu. 2016. “Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika”, KANAL
(Jurnal Ilmu Komunikasi), Vol. 4 No. 2.
Akromullah, Hamdan. “Arti Nilai Dalam Seni”. Jurnal Institut Seni Indonesia Padang
Panjang.
Bagus, lorens. 2002. Kamus Filsafat cet ke-2. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama).
…………. 2002. Kamus Filsafat cet-3. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu, Edisi Revisi. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada).
Http://aliflukmanulhakim.wordpress.com/2008/09/07/skeptisisme-
subjektivisme-dan-relativisme/ (Diakses 18 Juni 2020 09.00 WIB)
http://ramdan-linguis.blogspot.com/2016/07/skeptisisme-subjektivisme-
dan.html (Diakses pada tanggal 19 Juni 2020 03.00 WIB)
Http://yosepsetiawan007.blogspot.com/2017/-3/makalah-filsafat-nilai-
permualaaan.html?m=1/ (Diakses 18 Juni 2020 09.00 WIB)
Lubis, Akhyar Yusu. 2009. Epistemologi Fundasional cet-1. (Bogor:
Akademia).
Sumaryanto. 2016. Aksiologi Olahraga dalam perspektif Pengembangan Karakter
Bangsa. (Yogyakarta: UNY Press).
Taryadi, Alfons. 1991. Epistemologi Pemecahan Masalah, Menurut Karl R.
Popper cet-2. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
Titus. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat (terjemahan H.M. Rasjidi). (Jakarta:
Bulan Bintang).

Anda mungkin juga menyukai