Anda di halaman 1dari 8

HAKIKAT PENGETAHUAN

Dosen Pengampu:
Hotmatua P. Harahap

DI SUSUN OLEH:

1. NURUL HUDA (0401203004)


2. AGGRI SUNDARI (0401202014)
3. MUHAMMAD BASYR (0401202010)

UNIVERSIATS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA FAKULTAS


USHULUDDIN DAN STUDY ISLAM AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
T.A. 2022/2023

1
A. Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang
kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu
yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran
itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu
yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk
ketidak benaran (keburukan). Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu
kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam
arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran).1
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan
makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama
atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan
hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu
bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan.
Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian
antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya
pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.2
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran
mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan manusia yang transenden, dengan kata lain, keresahan ilmu
bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat
petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari
kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan

1
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) hl
2
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, (Jakarta:
Bina Aksara,

2
mengandung isi pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus
kembali pada status ontologis objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan
sikap bagaimana pengetahuan tejadi) yang disesuaikan dengan metodologisnya.
Hal yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran ilmiah
yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan
atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya masing-masing.

B. Teori Kebenaran Ilmiah


Kebenaran ilmiah dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan teori
koherensi, korespondensi, dan pragmatis
1. Teori Koherensi

Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan


itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.4 Artinya pertimbangan adalah benar jika
pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah
diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan
mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si
Ahmad seorang manusia dan si Ahmad pasti akan mati” adalah benar pula,
sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti
Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi
dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap
sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan
realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian
perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni
persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.
Teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional. Kelemahan
dari teori koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar

3
selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya
sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan
lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
2. Teori Korespondensi

Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling


diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran
adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality).
Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu
sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan
itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat
dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek
yang dituju oleh pernyataan tersebut.5 Misalnya jika seseorang mengatakan
“kota Kediri terletak di Jawa Timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab
pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Kediri
memang benar-benar berada di Jawa Timur. Sekiranya orang lain yang
mengatakan bahwa “kota Kediri berada di Jawa Barat” maka pernnyataan itu
adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan
tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Kediri bukan berada di
Jawa Barat melainkan di Jawa Timur”.
Menurut teori korespondensi yang dipelopori Bertrand Russel (1872-
1970) ini, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung
terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu
tergantung kepada kondisi yag sudah
ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta,
maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran
yang paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran

4
tradisional, karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad modern)
mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang
diketahuinya.36
Akan tetapi teori korespondensi juga mempunyai kelemahan, karena
dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka
dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan
yang kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga
bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka
dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji
kebenarannya.
3. Teori Pragmatis

Teori ini dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914),


kemudian dikembangkan oleh ahli filsafat yang berkebangsaan Amerika
seperti William James (1842-1910), Jhon Dewey (1859-1952), George
Herbert Mead (1863-1931), dan C.I. Lewis.
Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan
aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori
dalam penentuan kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya suatu penyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia.4
Pragmatisme menentang segala otoritanianisme, intelektualisme dan
rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility),
kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan
Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis

3
H.M. Abbas, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), hlm. 87.
4
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 59

5
pernyataan yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi
demikian. Dihadapkan dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat
pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi
bersifat demikian disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri
yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.
Kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga
pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2)
yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan
pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling
bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari
pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam
seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya,
maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinya dengan
pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis5.

C. Sifat Kebenaran Ilmiah


Kebenaran ilmiah menurut Konrad Kebung paling tidak memiliki tiga
sifat dasar, yakni: Struktur kebenaran ilmiah bersifat rasional-logis, isi empiris,
dan sifat pragmatis6.9
1. Struktur yang rasional-logis. Kebenaran dapat dicapai berdasarkan
kesimpulan logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena
kebenaran ilmiah bersifat rasional, maka semua orang yang rasional (yaitu

5
Harold H Titus, dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-
Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 245.
6
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustaka, 2011), hlm.
152.

6
yang dapat menggunakan akal budinya secara baik), dapat memahami
kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu kebenaran ilmiah kemudian dianggap
sebagai kebenaran universal. Sifat rasional (rationality) harus dibedakan
dengan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku untuk
kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi kebenaran
tertentu di luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan
menangis atau semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan
tersebut mungkin tidak rasional.
2. Isi empiris. Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan
sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan
kenyataan empiris di alam ini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran
ilmiah, spekulasi tetap ada namun sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa
dibayangkan sebagai nyata atau tidak karena sekalipun suatu pernyataan
dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut juga benar
secara empiris.
3. Isi pragmatis (dapat diterapkan). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan
kedua sifat kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika
suatu “pernyataan benar” dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka
pernyataan tersebut juga harus berguna bagi kehidupan manusia. Berguna,
berarti dapat untuk membantu manusia memecahkan berbagai persoalan
dalam hidupnya.
Pada akhirnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebenaran ilmiah
bersifat pasti atau sementara? Jawaban atas pertanyaaan ini memunculkan dua
pandangan yang berbeda, yaitu kaum rasionalis yang menekankan kebenaran
logis-rasional dan pandangan kaum empiris yang menekankan kebenaran
empiris.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

7
Abbas, H.M, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.

I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat,


Jakarta: Bina Aksara. 1987.

Kebung, Konrad, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Prestasi Pustaka,


2011.

Russel, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2010

Syafi’i, Inu Kencana, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Titus, Harold H, dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-


Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987

Anda mungkin juga menyukai