Dosen Pengampu:
Hotmatua P. Harahap
DI SUSUN OLEH:
1
A. Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang
kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu
yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran
itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu
yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk
ketidak benaran (keburukan). Jadi ada dua pengertian kebenaran, yaitu
kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam
arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran).1
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan
makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama
atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan
hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu
bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan.
Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian
antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya
pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi
pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.2
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran
mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan manusia yang transenden, dengan kata lain, keresahan ilmu
bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat
petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari
kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan
1
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) hl
2
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, (Jakarta:
Bina Aksara,
2
mengandung isi pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus
kembali pada status ontologis objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan
sikap bagaimana pengetahuan tejadi) yang disesuaikan dengan metodologisnya.
Hal yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran ilmiah
yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan
atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya masing-masing.
3
selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya
sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan
lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
2. Teori Korespondensi
4
tradisional, karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad modern)
mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang
diketahuinya.36
Akan tetapi teori korespondensi juga mempunyai kelemahan, karena
dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka
dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan
yang kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga
bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka
dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji
kebenarannya.
3. Teori Pragmatis
3
H.M. Abbas, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), hlm. 87.
4
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 59
5
pernyataan yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi
demikian. Dihadapkan dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat
pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi
bersifat demikian disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri
yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.
Kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga
pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2)
yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan
pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling
bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari
pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam
seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya,
maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinya dengan
pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis5.
5
Harold H Titus, dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-
Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 245.
6
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustaka, 2011), hlm.
152.
6
yang dapat menggunakan akal budinya secara baik), dapat memahami
kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu kebenaran ilmiah kemudian dianggap
sebagai kebenaran universal. Sifat rasional (rationality) harus dibedakan
dengan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku untuk
kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi kebenaran
tertentu di luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan
menangis atau semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan
tersebut mungkin tidak rasional.
2. Isi empiris. Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan
sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan
kenyataan empiris di alam ini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran
ilmiah, spekulasi tetap ada namun sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa
dibayangkan sebagai nyata atau tidak karena sekalipun suatu pernyataan
dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut juga benar
secara empiris.
3. Isi pragmatis (dapat diterapkan). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan
kedua sifat kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika
suatu “pernyataan benar” dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka
pernyataan tersebut juga harus berguna bagi kehidupan manusia. Berguna,
berarti dapat untuk membantu manusia memecahkan berbagai persoalan
dalam hidupnya.
Pada akhirnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebenaran ilmiah
bersifat pasti atau sementara? Jawaban atas pertanyaaan ini memunculkan dua
pandangan yang berbeda, yaitu kaum rasionalis yang menekankan kebenaran
logis-rasional dan pandangan kaum empiris yang menekankan kebenaran
empiris.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
7
Abbas, H.M, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.
Syafi’i, Inu Kencana, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.