Anda di halaman 1dari 14

TUGAS 4

FILSAFAT PENDIDIKAN

Nama : Vera Dela Agustin


NIM : 16005153

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


FAKULTAS ILMU PENDIDIIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Hakikat dan Teori Kebenaran

PENDAHULUAN
Untuk dapat merumuskan kebenaran syarat pertama yang harus terpenuhi
adalah jaminan bahwa pengetahuan yang kita peroleh harus berasal dari sumber
yang benar. Pada persoalan ini, para filosof berbeda pendapat tentang sumber
pokok pengetahuan. Terjadi silang pendapat antara idealisme dan realisme, antara
rasionalisme dan empirisisme. Sejarah mencatat bahwa Plato dan Aristoteles
merupakan pelopor awal perseteruan antara rasionalisme dan empirisisme. Bagi
Plato, pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan bersifat a priori dan bersumber
pada akal. Ia lebih mengungulkan dunia idea yang bersifat tetap sebagaimana
rumus dan hukum universal matematika tinimbang dunia pengalaman empirik.

Dalam filsafat modern, apa yang digagas oleh Plato disuarakan kembali
oleh René Descartes yang dikenal sebagai punggawa rasionalisme. Menurut
Descartes, pengalaman inderawi tidak bisa dipercaya sebagai sumber pengetahuan
yang sejati. Menurutnya, pengalaman inderawi acapkali menampilkan kesan tidak
seperti hakikat realitas tersebut. Pengalaman inderawi bisa menipu melaui apa
yang kita kenal sebagai ilusi inderawi. Berseberangan dengan Plato, Aristoteles
menyatakan hal sebaliknya: pengetahuan sejati manusia bersumber dari kesaksian
empirik. Ia menyanggah pendapat Plato tentang dunia idea yang bersifat tetap dan
merupakan realitas sejati pengetahuan manusia. Aristoteles lebih menekankan
peranan indera dalam mencapai pengetahuan. Pengetahuan manusia dalam bentuk
hukum universal yang bersifat tetap dicapai tidak melalui proses ‘mengingat
kembali’ seperti yang diungkapkan oleh Plato. Sebaliknya, hukum universal
dicapai melalui sebuah proses panjang pengamatan empirik yang disebut oleh
Aristoteles dengan istilah abstraksi. Tanpa pengalaman inderawi, manusia tidak
akan sampai pada rumusan intelektualuniversal tersebut.

Apa yang telah dirintis oleh Aristotelesdisuarakan kembali di era modern


oleh David Hume. Sosok Descartes dan Hume kemudian menjadi tokoh sentral
yang melanjutkan sengketa panjang antara rasionalisme dan empirisisme. Kendati
demikian, kebenaran dalam filsafat tidak pernah mewujud dalam wacana tunggal.
Kebenaran selalu mewujud dalam berbagai bentuk bergantung pada perspektif
yang digunakan. Kebenaran dalam perspektif rasionalisme tentu akan berbeda
dengan kebenaran dalam perspektif penganut empirisme. Silang pendapat antara
rasionalis dan empirisis dalam melihat kebenaran bermuara pada pertanyaan dasar
tentang sumber pengetahuan manusia.

Ketika di pahami bahwa pengetahan dan ilmu merupakan kodrat yang


dimiliki manusia, berarti dapat dipastikan bahwa kehidupana manusia yang
sesungguhya adalah mencari kebenaran. Kebenaran tersebut paling tidak menjadi
jawaban atas rasa ingin tahu yang ia miliki, dan dapat memastikannya bahwa apa
yang ditemukan terhadap suatu obyek tidak lagi menimbulakn suatu keraguan-
raguan (skeptis). Dalam menemukan suatu kebenaran adalah didasari oleh suatu
pengetahuan dan metodologi ilmu yang dimiliki. Maka kualitas kebenaran adalah
sangat di tentukan oleh kualitas pengetahuan dan ilmu yang dimiliki oleh manusia
itu sendiri. Pada realitasnya pikiran manusia sangat berfariasi, adalah sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; alam, lingkungan, doktrin yang ada pada
setiap individu maupun kelompok masyarakat. Maka dalam mengungkap suatau
kebenaran melalui ilmu juga di tentukan oleh faktor pikiran manusia yang relatif
tersebut.

Uraian materi

1. Pengertian dan hakikat kebenaran


Kebenaran merupakan suatu hal yang cukup penting, karena kebenaran
adalah suatu yang bernilai kehidupan bersama. Untuk menemukan kebenaran
salah satu upaya yang dilakukan dengan cara berpikir benar guna menemukan
pengetahuan. Sebab apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi
orang lain. Menurut Abbas Hamami dalam Akhyar Yusuf, (2014) bahwa kata
“kebenaran” bisa digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun
abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang
benar.

Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu


pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan
pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Sedangkan
menurut Syafrudin M Top (2015), Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam
kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

Oleh karena itu kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan


pengetahuan yang benar dengan sejumlah kriteria kebenaran. Pada setiap jenis
pengetahuan kriteria ukuran kebenarannya tidaklah sama karena sifat dan watak
pengetahuan itu berbeda. Kriteria kebenaran pengetahuan alam fisik tidak sama
dengan kriteria kebenaran pengetahuan metafisik. Alam fisikpun mempunyai
perbedaan ukuran kebenaran begitulah kriteria kebenaran bagi setiap jenis dan
bidang pengetahuan.

2. Teori-teori Kebenaran
Selama ini teori kebenaran yang berkembang ada 4 macam yaitu: Pertama,
teori koherensi yaitu suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Bila dianggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “ si Polan adalah seorang
manusia maka si Polan pasti akan mati” adalah benar pula sebab pernyataan kedua
konsisten dengan pernyataan yang pertama. Kedua, kebenaraan yang didasarkan
kepada teori korespondensi yaitu suatu pernyataan dianggap benar jika materi
pengetahuan yang dikandung itu berkorespondensi dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Contoh: Ibukota Indonesia adalah Jakarta. Itu adalah benar
karena fakta jelas. Ketiga, kebenaran pragmatisme yaitu kebenaran diukur karena
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya adalah suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan
manusia. Keempat, kebenaran agama yaitu sesuatu pernyataan dianggap benar
apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai kebenaran mutlak yang
ajaran-ajarannya termaktup dalam kitab suci.
Berikut penjelasan keempat teori tersebut :

1. Teori Koherensi Pembuktian secara berulang-ulang pada teori korespondensi


pada akhirnya akan melahirkan sebuah aksioma atau postulat yang pada
umumnya berwujud sebagai kebenaran umum (general truth). Matahari terbit
dari arah timur. Pernyataan tersebut merupakan sebuah kebenaran umum
karena sudah diyakini benar. Kita tidak perlu menunggu hingga esok pagi
untuk membuktikan secara faktual bahwa matahari benar-benar terbit dari
ufuk timur. Aksioma atau postulat adalah sebuah pernyataan yang dianggap
sudah terbukti benar dan tidak perlu dibuktikan lagi. Karena sifat itulah ia
dijadikan sebagai dasar dalam disiplin ilmu matematika dan bisa digunakan
untuk membuktikan apakah pernyataan lain benar atau tidak.
Menurut teori koherensi, sebuah pernyataan bisa dianggap benar hanya
jika pernyataan itu koheren atau tidak bertentangan dengan pernyataan
sebelumnya yang sudah terbukti benar. Untuk dianggap benar, teori ini
mensyaratkan adanya konsistensi atau tidak adanya pertentangan (kontradiksi)
antara suatu pernyataan dengan aksioma. Karena itulah teori koherensi dikenal
juga sebagai teori konsistensi. Sebagai contoh, di dalam disiplin ilmu
matematika terdapat postulat bahwa jumlah sudut semua jenis bangun ruang
segitiga berjumlah 180°. Jika ada satu pernyataan bahwa terdapat satu bentuk
segi tiga yang jumlah sudutnya 210°, maka tanpa harus menyaksikan bukti
faktual segitiga tersebut kita bisa menyatakan bahwa pernyataan orang
tersebut tidak benar karena ia bertentangan dengan postulat. Pernyataan orang
tersebut memiliki kontradiksi dengan postulat yang sudah ada.
Perbedaan teori ini dengan teori korespondensi terletak pada dasar
pembuktian kebenaran. Pada teori korespondensi dasar kebenarannya pada ada
tidaknya hubungan antara pernyataan dengan fakta yang ada, sedangkan pada
teori koherensi pembuktiannya terletak pada ada tidaknya konsistensi antara
pernyataan dengan postulat. Contoh lainnya, seseorang memberi pernyataan
bahwa di dalam kolam alun-alun kota terdapat seekor ikan hiu yang masih
hidup. Menurut teori korespondensi, untuk menentukan pernyataan tersebut
benar atau tidak, kita harus menunggu fakta apakah di dalam kolam tersebut
terdapat seekor ikan hiu yang masih hidup atau tidak. Sementara menurut teori
koherensi, tanpa menunggu fakta, kita bisa meentukan pernyataan orang
tersebut tidak benar karena bertentangan dengan aksioma yang sudah ada
sebelumnya bahwa ikan hiu adalah jenis ikan air asin (laut). Tidak logis jika
ikan air asin bisa hidup dalam air kolam alun-alun kota yang merupakan
kolam air tawar.

2. Teori Korespondensi adalah teori kebenaran yang didasarkan pada fakta


obyektif sebagai dasar kebenarannya. Teori ini menyatakan bahwa sebuah
pernyataan dianggap benar hanya jika pernyataan tersebut berhubungan
dengan fakta obyektif yang ada. Fakta obyektif tersebut adalah segala bentuk
fenomena berupa tampilan visual, gelombang suara, rasa maupun tekstur,
yang bisa ditangkap melalui panca indera. Sederhananya, suatu pernyataan
dianggap benar jika ada faktanya. Jika tidak, maka pernyataan tersebut bukan
kebenaran.
Oleh karena sifatnya yang mengandalkan pengalaman inderawi dalam
menangkap fakta, maka teori ini menjadi teori yang digunakan oleh para
empirisis. Sebagai contoh, sebuah pernyataan “di luar terjadi hujan” dianggap
benar jika terdapat fakta obyektif di luar sana benar-benar terjadi hujan.
Peristiwa turunnya air dari angkasa harus bisa ditangkap oleh panca indera.
Jika tidak bisa ditangkap oleh panca indera, maka peristiwa hujan itu bukan
merupakan fakta, melainkan hanya peristwa delusif yang hanya berada dalam
imajinasi si pemberi pernyataan.
Menurut prinsip verifikasi, semakin banyak pihak yang mengiyakan dan
menyaksikan bukti faktual yang berhubungan dengan sebuah pernyataan,
maka kadar kebenaran tersebut akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya.
Prinsip verifikasi ini berguna untuk mengatasi kesalahan yang mungkin timbul
pada setiap individu dalam menangkap kesan-kesan inderawi. Gula yang
sejatinya manis akan terasa pahit di indera pengecap orang yang sedang sakit
atau memiliki gangguan kesehatan. Oleh karena itu, pengujian terhadap fakta
harus dilakukan secara terukur, berulangulang dan melibatkan sebanyak
mungkin responden. Prinsip verifikasi ini banyak digunakan dalam metode
saintifik untuk mengatasi kelemahan inderawi dalam menangkap fenomena
faktual.
Selanjutnya menurut Bakhtiar, (2010 ), pertama, kebenaran menurut teori
ini ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang
sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua, teori
ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran,
karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat
penyaksian penyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya
yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya.
Pelopor teori korespondensi ini adalah plato, Aristoteles, moore, Russel,
Ramsy, dan Tarski dan dikembangkan oleh K.Roders yang mengatakan bahwa
keadaan benar itu terletak dalam kesesuaian antara “esensi atau arti yang kita
berika” dengan “esensi yang terdapat di dalam obyeknya” Dikatakan sebagai
kebenaran koresponsensi apabila proposisi sesuai dengan fakta. atau
sesuainya, antara pernyataan (ide) dan kenyataan (fakta). kebenaran
korespondensi lebih condong pada kebenaran akan fakta-fakta yang pada alam
jagad raya. Dimana, alam merupakan fakta yang tentu setiap penyataan akan
selalu berkesesuaian dengan fakta ada, sekalipun alam juga akan mengalami
perubahan bentuk, situasi maka tidak sesuai lagi dengan penyataan (tidak
benar) Ketidak sesuaian antara penyataan dan kenyataan disebabkan oleh
adanya faktor tertentu yang dapat mempengaruhi. Maka, nampak jelas
kelemahan dari pada kebenaran koresponsensi.
Dengan demikian kebenaran korespondensi kebenarannya relatif Dapat
dicontohkan bahwa pernyataan bahwa kota Madya Ujung Pandang ada di
Provinsi Sulawesi Selatan kenyataannya itu salah (tidak benar) karena kota
Ujung Pandang tidak ada di Provinsi Sulawesi Selatan setelah adanya
pergantian mana menjadi Kota Makassar. Bahwa ada masa dan situasi dimana
kebenaran korespondensi tidak lagi dianggap kebenaran berdasarkan
pengertian bahwa kebenaran korespondensi adalah kesesuaian antara
pernyataan dan kenyataan. Disitulah kelemahan dari pada kebenaran
korespondensi. Sebagai contoh lain dari pada kebenaran korespondensi
sekaligus menjadi kelemahan adalah penyataan bahwa langit adalah biru pada
kenyataan indra menangkap bahwa langit memang biru. Akan tetapi, tatkala
ditelusuri lebih jauh maka tentu tidak ada realitas (kenyataan) yang dapat di
pertanggungjawabkan bahwa benar langit itu biru.
Dari ulasan di atas penulis mencoba menyumpulkan bahwa kebenaran
korespondensi adalah refleksi pikiran melalui panca indera terhadap suatu
realitas. Pernyataan hanya merupakan trasformasi informasi terhadap suatu
kenyataan yang sebenarnya. maka dengan demikian Pernyataanlah yang
pembenarkan kenyataan, Bukan kenyataan membenarkan pernyataan. Teori
korespondensi bersifat pengujiannya harus bersifat empiris dan up to date. Ia
berlaku pada situasi tertentu. Sehingga kekuatan dari pada korespondensi
adalah sejauhmana informasi dapat diperoleh dari fakta-fakta empiris.
Makanya kebenaran korespondensi bersifat kebenaran relatif.

3. Teori Pragmatis Teori pragmatis berbeda dengan dua teori sebelumnya dalam
menentukan dasar kebenaran. Jika pada korespondensi dasar kebenarannya
adalah fakta obyektif dan pada teori koherensi adalah konsistensi logis, maka
teori pragmatis meletakkan dasar kebenarannya pada manfaat praktis dalam
memecahkan persoalan kehidupan. Tidak hanya berlaku pada dunia empiris,
teori pragmatisme lebih lanjut juga bisa diterapkan berkaitan dengan obyek
pengetahuan metafisik. Menurut Jujun S. Suriasumanteri bahwa kebenaran
pragmatis artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pertanyaan itu atau
konsekuen dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.
Teori ini muncul sebagai kritik terhadap kaum positivis yang menganggap
pernyataan metafisik sebagai pernyataan yang tidak bermakna (meaningless)
karena ia tidak memiliki dasar faktual di dunia empiris. Menurut kaum
pragmatis, pernyataan metafisik bisa menjadi pernyataan yang benar selama ia
memiliki manfaat dalam kehidupan. Neraka ada bagi manusia yang
berperilaku jahat. Terlepas dari ketiadaan bukti empiris tentang neraka,
pernyataan itu bisa dianggap sebagai pernyataan yang benar karena memiliki
manfaat dalam menurunkan angka kejahatan. Terkait dengan teori kebenaran,
Charles Pierce, salah satu tokoh pragmatisme menjelaskan bahwa kriteria
berlaku dan memusaskan sebagai dasar kebenaran dalam pragmatisme
digambarkan secara beragam dalam berbagai sudut pandang. Beragamnya
sudut pandang dalam menentukan hasil yang memuaskan akan berujung pada
beragamnya standar kebenaran.
Kebenaran menurut saya belum tentu benar menurut orang lain karena apa
yang memuaskan bagi saya belum tentu memuaskan bagi orang lain. Kondisi
ini pada akhirnya akan membuat teori pragmatisme rentan terjebak dalam
relativisme. Inilah salah satu dari beberapa kritik yang diarahkan pada teori
pragmatisme.

4. Teori Performatif Teori kebenaran performatif muncul dari konsepsi J. L.


Austin yang membedakan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif.
Menurut tokoh filsafat analitika Bahasa dari Inggris ini, pengujian kebenaran
(truth-evaluable) secara faktual seperti yang dapat diterapkan dalam teori
korespondensi hanya bisa diterapkan pada ujaran konstatif. Ucapan konstatif
adalah ucapan yang yang mengandung sesuatu yang konstatif dalam ujaran itu
sehingga ia memiliki konsekuensi untuk dibuktikan kebenarannya. Sementara
itu, terdapat beberapa hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena
keterbatasan masyarakat untuk mengakses fakta yang terjadi.
Selain keterbatasan akses kepada fakta, ketidakbisaan sebuah ujaran untuk
dibuktikan juga bisa disebabkan karena sebuah ujaran berkaitan dengn kondisi
atau aktivitas mental seseorang. Ketika seseorang berjanji untuk tidak
melakukan kesalahan yang sama kelak di kemudian hari, kita tidak bias
membuktikan apakah ia berjanji sungguh-sungguh seperti yang ia ucapkan
atau tidak. Kesungguhan dalam janji adalah aktivitas mental dan oleh karena
itu tidak bisa dibuktikan. Untuk hal-hal ini, Austin mengenalkan jenis ujaran
performatif. Ujaran-ujaran ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya
berdasarkan fakta obyektif maupun konsistensi logis yang dikandungnya,
melainkan berkaitan dengan layak atau tidaknya ujaran tersebut dikeluarkan
oleh sang penutur. Atas dasar itulah kebenaran performatif mengandalkan
otoritas penutur sebagai dasar kebenarannya. Otoritas ini bisa dimaknai
sebagai adanya wewenang, kepakaran atau kompetensi sang penutur dalam hal
yang diungkapkan dalam ujarannya.
Contoh yang paling umum dari jenis kebenaran performatif adalah
penentuan awal bulan Ramadan. Awal masuknya bulan Ramadan ditentukan
melalui fakta munculnya hilal (bulan muda) yang merupakan awal pergantian
bulan yang sekaligus menjadi pertanda dimulainya ibadah puasa bagi umat
muslim. Kendati kemunculan hilal merupakan fakta obyektif dijadikan
sebagai dasar kebenaran penentuan awal Ramadan (sebagaimana pembuktian
pada teori korespondensi), terdapat keterbatasan akses bagi orang awam untuk
membuktikan melalui pencerapan inderawi. Jatuhnya awal Ramadan tidak
dibuktikan oleh masyarakat dengan menyaksikan langsung fakta kemunculan
hilal, tetapi melalui pernyataan menteri Agama yang dianggap memiliki
otoritas untuk menentukan awal Ramadan.

SIMPULAN
Ketika di pahami bahwa pengetahan dan ilmu merupakan kodrat yang
dimiliki manusia, berarti dapat dipastikan bahwa kehidupana manusia yang
sesungguhya adalah mencari kebenaran. Kebenaran tersebut paling tidak menjadi
jawaban atas rasa ingin tahu yang ia miliki, dan dapat memastikannya bahwa apa
yang ditemukan terhadap suatu obyek tidak lagi menimbulakn suatu keraguan-
raguan (skeptis). Dalam menemukan suatu kebenaran adalah didasari oleh suatu
pengetahuan dan metodologi ilmu yang dimiliki.

Maka kualitas kebenaran adalah sangat di tentukan oleh kualitas


pengetahuan dan ilmu yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Pada realitasnya
pikiran manusia sangat berfariasi, adalah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti; alam, lingkungan, doktrin yang ada pada setiap individu maupun
kelompok masyarakat.

Selama ini teori kebenaran yang berkembang ada 4 macam yaitu: Pertama,
teori koherensi yaitu suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Bila dianggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “ si Polan adalah seorang
manusia maka si Polan pasti akan mati” adalah benar pula sebab pernyataan kedua
konsisten dengan pernyataan yang pertama. Kedua, kebenaraan yang didasarkan
kepada teori korespondensi yaitu suatu pernyataan dianggap benar jika materi
pengetahuan yang dikandung itu berkorespondensi dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Contoh: Ibukota Indonesia adalah Jakarta. Itu adalah benar
karena fakta jelas.

Ketiga, kebenaran pragmatisme yaitu kebenaran diukur karena bersifat


fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya adalah suatu pernyataan adalah
benar, jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.
Keempat, kebenaran agama yaitu sesuatu pernyataan dianggap benar apabila
sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai kebenaran mutlak yang ajaran-
ajarannya termaktup dalam kitab suci.

PERTANYAAN

1. Apa perbedaan teori korespondensi dengan teori koherensi?


Jawab : Secara sederhana teori kebenaran koherensi adalah kebenaran
saling berhubungan menurut Kattsoff dalam bukunya Element of
Philosophy mengatakan; Suatu proposisi cenderung benar jika proposisi
tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi
lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita (Soejono Soemargono, 1987: 184).
Sedangkan Kebenaran Korespondensi adalah berpikir tentang pembuktian
sesuatu itu relevan dengan sesuatu yang lain. Relevansi tersebut
dibuktikan dengan adanya peristiwa yang sejalan atau berlawanan arah
antar fakta yang diharapkan, anatara fakta dengan kepercayaan yang
diyakini, yang sifatnya spesifik (Phenomonologi Russell).
Perbedaan teori ini dengan teori korespondensi terletak pada dasar
pembuktian kebenaran. Pada teori korespondensi dasar kebenarannya pada
ada tidaknya hubungan antara pernyataan dengan fakta yang ada,
sedangkan pada teori koherensi pembuktiannya terletak pada ada tidaknya
konsistensi antara pernyataan dengan postulat.

2. Bagaimana sesuatu hal yang dianggap benar dalam teori pragmatis?

Jawab : J. Dewey menyatakan bahwa kebenaran merupakan korespondensi


antara ide dengan fakta, dan arti korespondensi menurut Dewey adalah
kegunaan praktis (Noeng Mahadjir, 1998: 16). Dengan demikian suatu
pernyataan adalah benar bila pernyataan itu non konsekuensi, dari
pernyataan itu mempuyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.

3. Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang didasarkan pada fakta


obyektif sebagai dasar kebenarannya, Apa maksud dari pernyataan
tersebut?
Jawab : Maksudnya sebuah pernyataan dianggap benar hanya jika
pernyataan tersebut berhubungan dengan fakta obyektif yang ada. Fakta
obyektif tersebut adalah segala bentuk fenomena berupa tampilan visual,
gelombang suara, rasa maupun tekstur, yang bisa ditangkap melalui panca
indera. Sederhananya, suatu pernyataan dianggap benar jika ada faktanya.
Jika tidak, maka pernyataan tersebut bukan kebenaran. Oleh karena
sifatnya yang mengandalkan pengalaman inderawi dalam menangkap
fakta, maka teori ini menjadi teori yang digunakan oleh para empirisis.
Sebagai contoh, sebuah pernyataan “di luar terjadi hujan” dianggap benar
jika terdapat fakta obyektif di luar sana benar-benar terjadi hujan.
Peristiwa turunnya air dari angkasa harus bisa ditangkap oleh panca
indera. Jika tidak bisa ditangkap oleh panca indera, maka peristiwa hujan
itu bukan merupakan fakta, melainkan hanya peristwa delusif yang hanya
berada dalam imajinasi si pemberi pernyataan.

4. Bagaimana sesuatu hal yang dianggap benar dalam teori koherensi?


Jawab : The Coherence Theory of Truth, menyatakan bahwa suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu saling berhubungan atau
cocok dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contoh:
Semua manusia pasti akan mati = A - B Ahmad adalah seorang manusia =
C - A Ahmad pasti mati = C - B. Tokoh teori ini adalah Plato dan
Aristoteles (Yuyun S. Suria Sumantri, 1995: 55-57) yang kemudian
dikembangkan oleh Hagel dan F. H. Bradley. Menurut teori koherensi,
sebuah pernyataan bisa dianggap benar hanya jika pernyataan itu koheren
atau tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah
terbukti benar. Untuk dianggap benar, teori ini mensyaratkan adanya
konsistensi atau tidak adanya pertentangan (kontradiksi) antara suatu
pernyataan dengan aksioma. Karena itulah teori koherensi dikenal juga
sebagai teori konsistensi.

5. Apakah ada kelemahan dari teori korespondensi?


Jawab : Menurut saya ada, karena melihat pernyataan dari Pelopor teori
korespondensi ini adalah plato, Aristoteles, moore, Russel, Ramsy, dan
Tarski dan dikembangkan oleh K.Roders yang mengatakan bahwa keadaan
benar itu terletak dalam kesesuaian antara “esensi atau arti yang kita
berika” dengan “esensi yang terdapat di dalam obyeknya” Dikatakan
sebagai kebenaran koresponsensi apabila proposisi sesuai dengan fakta.
atau sesuainya, antara pernyataan (ide) dan kenyataan (fakta). kebenaran
korespondensi lebih condong pada kebenaran akan fakta-fakta yang pada
alam jagad raya. Dimana, alam merupakan fakta yang tentu setiap
penyataan akan selalu berkesesuaian dengan fakta ada, sekalipun alam
juga akan mengalami perubahan bentuk, situasi maka tidak sesuai lagi
dengan penyataan (tidak benar) Ketidak sesuaian antara penyataan dan
kenyataan disebabkan oleh adanya faktor tertentu yang dapat
mempengaruhi. Maka, nampak jelas kelemahan dari pada kebenaran
koresponsensi.

Anda mungkin juga menyukai