A. LATAR BELAKANG
Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan merupakan
proses yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin akan mendatangkan
keputusasaan .Manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang selalu bertanya dan selalu
merasa ingin tahu pada akhirnya memutuskan untuk tetap selalu mencari kebenaran, tidak
peduli betapa keputusasaan telah mengepungnya dari berbagai sudut penjuru.Tujuan akhirnya
adalah kebenaran harus ditemukan.
Dan akibat dari keputusasaan itu, pada akhirnya manusia mulai berani berspekulasi tentang
kebenaran dan mulai mengurai definisi-definisi tentang kebenaran.”Inilah kebenaran ! inilah
kebenaran ! marilah bergabung dalam barisan kami, maka kalian akan menemukan cahaya
kebenaran !”.Maka mau tidak mau , suka tidak suka , like or dislike, kebenaran pun terkurung
dalam penjara definisi yang tentu saja sangat subyektif.
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa
tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang
sesuai dengan sifat dasar ilmu.
Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran
logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis,
koresponden, koheren, dll.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, penulis membatasi materi yang akan kami
Sajikan, antara lain:
1. Apa dan bagaimana isi di setiap Kebenaran Ilmiah ?
2. Bagaimana inti sari atau ringkasan dari setiap Teori-Teori Kebenaran ?
3. Bagaimana Sifat Kebenaran Ilmiah Di Dalam Kehidupan Sehari-Hari ?
BAB II. PEMBAHASAN
KEBENARAN ILMIAH
A. Arti Kebenaran
Kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan
kenyataan yang sebenarnya.Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan
dengan kenyataan sebagaimana adanya.Secara umum orang merasa bahwa tujuan
pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran .Problematik mengenai kebenaran merupakan
masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya ilmu filsafat.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran,
yaitu : 1.Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya); 2. Sesuatu yang
benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya); 3. Kejujuran, ketulusan hati; 4. Selalu
izin, perkenanan; 5. Jalan kebetulan.
Sebenarnya, arti secara verbal kebenaran menurut Aristoteles sudah cukup tepat.
Aristoteles mendefinisikan kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa
yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Kebenaran terletak pada kesesuaian
antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas sebagaimana adanya.
Namun definisi tersebut masih mengandung sesuatu yang tetap bisa mengundang
perdebatan demi perdebatan, karena definisi kenyataan masih kabur jika pendifinisan
kenyataan tersebut juga belum mutlak. Jadi definisi ini bisa berjalan jika obyeknya telah
digariskan definisinya (dalam konteks ini adalah baik-buruk) untuk diterima secara mutlak
oleh subyek. Artinya subyek dan obyeknya harus mempunyai sumber yang sama
Jika prosesnya benar dan tidak ada halangan. Ruh adalah penerima kebenaran yang
dipancarkan Allah (hidayah). Hidayah itu bisa berasal dari berbagai sumber, bisa dari sumber
kebenaran yang sudah tertulis) atau lewat perantaraan manusia (dakwah) atau melihat sebuah
peristiwa yang mengilhaminya. Setelah ruh menerima kebenaran itu, maka ruh akan
meneruskannya pada segumpal darah yang akan menggerakkan organ jasad manusia dalam
bertindak, yakni hati yang bersih dan peka terhadap kebenaran(sering disebut dengan hati
nurani). Sering kali terjadi kesalahan persepsi bahwa sebelum masuk ke hati, maka sinyal
yang diterima manusia diasumsikan masuk ke dalam otak/pikiran manusia. Sesungguhnya apa
yang dipikirkan otak sebenarnya dimulai dari hati dulu. Dari apa yang dikatakan hati, otak
akan berpikir dan menggerakkan jasad manusia dalam bertindak ke arah yang baik atau yang
buruk.
Kembali dalam pokok bahasan. Jika sifat dari ruh/jiwa manusia adalah selalu menerima
kebenaran, maka lain hal-nya dengan hati. Hati adalah sasaran serangan dari segala hal buruk
karena hati adalah penggerak langkah jasad manusia. Hati adalah sasaran godaan syetan,
tempat berkumpulnya nafsu, tempat menempel yang sangat nyaman bagi penyakit-penyakit
yang kemudian kesemuanya itu akan menutupinya dan membuatnya buta. Istilah inilah yang
dinamakan butanya sebuah hati, yakni tidak mampunyai hati untuk melihat sinyal kebenaran
dan akhirnya menggerakkan jasad manusia ke arah yang buruk
Karena rentannya kotoran yang menempel di hati ini. Maka untuk bisa menerima kebenaran,
manusia harus melakukan pembersihan hati terus menerus, seiring terus derasnya serangan
terhadap hati manusia. Proses inilah (tazkiyatun nafsh) yang harus terus menerus dilakukan
agar hati selalu bersih dan hati itu menjadi hati yang peka terhadap kebenaran (hati nurani)
Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum
orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik
mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya
dalam filsafat ilmu.
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu:
B. TEORI-TEORI KEBENARAN
Ujian kebenaran yang dinamakan teori koresponden, adalah yang paling diterima secara
luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan secara luas oleh
kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif atau
fidelity to objective reality.
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau
antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk
melukiskan. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang
kita lakukan tentang sesuatu.
jika saya mengatakan bahwa Amerika Serikat dibatasi oleh Kanada di sebelah Utara,
maka menurut pendekatan ini, pernyataan saya tadi benar, bukan karena ia sesuai dengan
pernyataan lain yang sebelumnya telah diberikan orang atau karena kebetulan pernyataan itu
berguna, akan tetapi karena pernyataan itu sesuai dengan situasi geografi yang sebenarnya.
Inilah, arti dari kata Kebenaran dalam percakapan sehari-hari. Hal ini juga merupakan
pandangan yang khas dari seorang ilmuwan yang mengecek idenya dengan berbagai data atau
penemuannya dan merasa senang untuk menyerahkan kesimpulannya untuk diuji secara
objektif oleh ilmuwan lain.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena kebenaran atau kekeliruan itu
tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan
sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Jika saya mengatakan “Ada mobil di parkir di halaman kita”, pernyataan saya tersebut dapat
diuji kebenarannya dengan penyelidikan empiris.
Walaupun begitu, penyanggah teori koresponden tidak berpendapat bahwa soal menguji
kebenaran pernyataan tidak seterang dan sejelas yang disangka oleh pengikut teori
korespondensi. Pertanyaan kritik yang pertama biasanya adalah bagaimana kita dapat
membandingkan ide-ide kita dengan realitas? Kita hanya mengetahui pengalaman kita.
Bagaimana kita dapat keluar dari pengalaman kita sehingga kita dapat membandingkan ide-
ide kita dengan realitas yang ada? Mereka berkata: “Teori korespondensi berasumsi bahwa
kita mengetahui bukan saja pertimbangan kita, tetapi keadaan yang nyata di samping
pengalaman kita.”
Teori korespondensi nampaknya mempunyai asumsi bahwa data rasa kita adalah jelas dan
akurat, bahwa data tersebut menampakkan watak dunia seperti apa adanya. Kelompok idealis
dan pragmatis mempersoalkan asumsi tersebut secara serius dan menunjukkan bahwa dalam
persepsi, akal cenderung untuk campur tangan dan mengubah pandangan kita tentang dunia.
Jika kekuatan persepsi kita berkurang atau bertambah, atau jika kita mempunyai indra
lebih banyak atau sedikit, dunia akan nampak berbeda dari keadaannya sekarang. Oleh
karena itu kita tidak dapat mengetahui suatu objek atau suatu kejadian melainkan dengan
perantaraan data rasa kita, maka adalah tidak bijaksana untuk mempertanyakan apakah
pertimbangan kita sesuai dengan benda seperti yang sesungguhnya ada.
Akhirnya, kita memiliki pengetahuan tentang arti atau definisi, hubungan (relation) dan
nilai seperti dalam matematik, logika, dan etika. Sebagian dalam ide yang ingin kita uji
kebenarannya tidak mempunyai objek di luar bidang pikiran manusia yang dapat kita pakai
untuk mengadakan perbandingan dan pengecekan terhadap korespondensi. Dalam bidang
tersebut sedikitnya teori korespondensi tentang kebenaran nampaknya tidak berfungsi, tetapi
nyatanya pengetahuan dalam bidang tersebut memiliki derajat ketentuan yang tinggi.
Pendukung teori korespondensi akan menjawab kritik ini dengan menunjukkan bahwa
matematika dan logika, tak terdapat tuntutan kebenaran tentang dunia, dan oleh karena itu tak
perlu dilakukan ajaran kebenaran kecuali tentang konsistensi.
Teori ini menyatakan bahwa bahwa sesuatu yang dinyatakan akan dianggap benar jika
pernyataan itu bersifat koheren bahkan konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Hal ini
dengan tegas dinyatakan oleh Suriasumantri (2000:59) bahwa teori koherensi adalah terori
yang berlandaskan pada logika deduktif yang menyatakan bahwa suatu pernyataan yang
dinyatakan benar jika bersifat koheren dan konsisten. Contoh terdapat pernyataan bahwa
“setiap manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar. Pernyataan yang sering
diungkapkan kesimpulan silogisme berikut ini dapat menjadi contoh yang lain, yaitu:
Teori kebenaran konsistensi atau The Consistence Theory Of Truth atau yang sering
disebut juga dengan The coherence Theory Of Truth menyatakan bahwasanya: According to
this theory truth is not constituted by the relation between a judgment and something else, a
fact or really, but by relations between judgment themselves. [Menurut teori ini kebenaran
tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta
atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri].
Dengan demikian, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan
putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu
proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan
proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan
pengalaman kita.
A belief is true not because it agrees with fact but because it agrees, that is to say,
harmonizes, with the body knowledge that we presses. [Suatu kepercayaan adalah benar,
bukan karena bersesuaian dengan fakta, melainkan bersesuaian/selaras dengan
pengetahuan yang kita miliki]. It the maintained that when we accept new belief as truths
it is on the basis of the manner in witch they cohere with knowledge we already posses.
[Jika kita menerima kepercayan-kepercayaan baru sebagai kebenaran-kebenaran, maka hal
itu semata-mata atas dasar kepercayaan itu saling berhubungan [cohere] dengan
pengetahuan yang kita miliki].
A judgment is true it if consistent with other judgment that are accepted or know to be
true. True judgment is logically coherent with other relevance judgment. [suatu putusan
adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu kita
terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan yang saling
berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevance]
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan
dan saling menerangkan satu sama lainnya. Dengan kata lain The truth is systematic
coherence atau Kebenaran adalah saling hubungan yang sistematik. Truth is consistency
[kebenaran adalah konsistensi, selaras, kecocokan].
Teori dapat disimpulkan bahwah kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan lainnya yang lebih dahulu kita akui/ terima/ ketahui kebenarannya. Teori
ini dapat juga dinamakan teori justifikasi tentang kebenaran, karena menurut teori ini suatu
putusan dianggap benar apabila mendapat justifikasi putusan-putusan lainnya yang terdahulu
yang sudah diketahui kebenarannya. Sebagai contoh: Bungkarno adalah ayahanda Megawati
Sukarno Puteri [pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar]. Jika
terdapat penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut tersebut, maka pernyataan ini
dapat dinyatakan Benar. Karena koheren dengan pernyataan yang dahulu: Misalnya:
Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap
pemakaian gramatika seprti Freiderich Schleiemacher. Para penganut teori ini berpangkal
pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa
yang melekat. Demikian suatu pernyataan bernilai benar apabila pernyataan tersebut
mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain apabila sebuah proposisi
keluar dari yang disyaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti.
Kebenaran dalam perspektif ini memerlukan sensitifitas kita untuk mengetahui bentuk-
bentuk gramatikal dari suatu bahasa. Karena gramatikal inilah yang akan digunakan untuk
melakukan penilaian kebenaran sebuah pernyataan.
Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat
Bentrand Rusdell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika bahasa.
. Menurut teori ini, kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi
arti atau makna. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk
pada referensi atau kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat
definitif.
Di dalam teori ini ada sikap yang mengakibatkan diterimanya sebuah proposisi
sebagai arti yang esoterik, arbiter, atau hanya mempunyai arti jika dihubungkan dengan nilai
praktis. Sikap-sikap itu antara lain sikap epistemologis skeptik, sikap epistemologic dan
ideologic, sikap epistemologic pragmatik.
Teori ini dikembangkan oleh Tarski, yang sangat peduli untuk mengatasi paradoks
semantik yang membicarakan kebenaran yang muncul dalam hakekat bahasa seperti paradoks
pembohong. Ia memegang kebenaran yang hanya bisa didefinisikan secara memadai untuk
bahasa yang tidak mengandung kebenaran sendiri-predikat.
Teori kebenaran non deskripsi ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar
yang amat tergantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) mengambarkan tentang
kebenaran sebagaimana dikemukakannya:
“… to say. It is true that not many people are likely to do that” is a way of agreeing with the
opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the opinion,
much less of talking about the sentence used to express the opinion”.
Menilik pernyataan di atas, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu
memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga
merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih lanjut menjelaskan: “The theory non-descriptive
gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis
of their meaning”.
Kebenaran tidak dapat lepas dari kualitas, hubungan dan nilai itu sendiri, maka setiap
subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu
dengan yang lainnya, dan disitu terdapat sifat dari kebenaran.Sifat kebenaran dapat dibedakan
menjadi tiga hal , yaitu :
1. Kebenaran dari kualitas pengetahuan, pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar
oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu.Kebenaran
berkaitan dengan pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dari
jenis pengetahuan yang dibangun, pengetahuan itu berupa :
1. Kebenaran biasa atau subyektif, Pengetahuan ini memiliki inti kebenaran yang
sifatnya subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenai.
2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang
khas atau bersifat spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah
mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis.Kebenaran dalam pengetahuan
ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang
penemuan muthakir.
3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model
pemikiran analisis, kritis dan spekulatif.Sifat kebenaran yang terkandung
adalah absolute-intersubjektif.
4. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan
agama.Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh
keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama
memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk
memahaminya.
5. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau
dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya.
Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek, mana
yang dominan.Jika subjek yang berperan , maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai
kebenaran yang bersifat subjektif .Sebaliknya jika objek yang berperan, maka jenis
pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan
validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam
penghayatan atas sesuatu itu.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula
yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan
lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman
potensi subjek (mental,r asio, intelektual).
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata.
Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia
B. SARAN