Anda di halaman 1dari 12

A.

   Latar Belakang

Filfafat adalah sumber dari ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan adalah sumber atau
dasar dari sebuah kebenaran. Masalah kebenaran sangat dasariah karena menyangkut segala
pengetahuan yang menuju kebenaran. Masalahnya adalah hubungan antara pengetahuan dan
kenyataan. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang dimaksud sesuai dengan
kenyataan. Kebenaran yang dibahas dalam filsafat pengetahuan adalah kebenaran sebagai sifat
pengetahuan. Yang dimaksud dengan pengetahuan yang benar dan “hasrat untuk menuju
kebenaran” adalah bermacam-macam menurut konteks kebudayaan. Menuju pengetahuan yang
benar untuk filsafat timur bersifat steriologis. Pengetahuan yang benar membawa keselamatan.
Pandangan timur ini senada dengan perkataan Yesus “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan
kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32).  Pandangan barat, kebenaran itu bersifat
riil dan objektif. Namun dalam kenyataannya kebenaran objektif bisa bersifat sementara karena
bisa berhadapan dengan kebenaran objektif lain secara berlawanan. Menurut Prof. Dr. Mujamil
Qomar, kebenaran kebenaran yang ditunjukan oleh wahyu. Kebenaran yang digariskan Al-qur’an
itu sifatnya kokoh, pasti dan mutlak, sehingga tidak bisa ditandingi oleh kebenaran lainya.

Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kebenaran itu sudah ada, tinggal menulusuri
bukti-buktinya. Bukti kebenaran itu dapat dicapai melalui percobaan-percobaan atau penelitian-
penelitian ilmiah terhadap petunjuk-pertunjuk yang ada. Maka ada perbedaan mekanisme kerja
dalam mencapai kebenaran dikalangan ilmuan barat dan ilmuan muslim. Jika metode keilmuan
barat dipakai untuk mendapatkan kebenaran objektif yang sifatnya masih sementara, maka
kebenaran wahyu telah ditunjukan lebih dahulu secara pasti, baru dicari bukti-bukti
kebenarannya melalui metode-metode tertentu. Dengan kata lain, kebenaran yang dicapai
melalui metode keilmuan barat berada di belakang sebagai jawaban terhadap upaya-upaya
penggalian ilmu pengetahuan, sedangkan kebenaran wahyu berada di muka (telah ditentukan)
baru kemudian dicari bukti-buktinya melalui pendekatan atau metode
tertentu.                                                                                                              

B.   Pengertian Kebenaran

Kebenaran berasal dari kata dasar “benar”. Secara etimologi “benar” mempunyai arti tidak salah,
lurus, susngguh-sungguh dan tidak bohong. Sedangkan secara epitemologi (istilah), pengertian
kebenaran dapat kita lihat pembahasan dibawah ini. Pembahasan tentang kebenaran, maka kita
akan menemukan dua hal, yakni “kebenaran apoteriori atau kebenaran yang berasal dari fakta”,
dan “Kebenaran apriori atau kebenaran berasal dari akal budi”. Kebenaran apriori dapat
dibuktikan dengan melihat keterkaitannya dengan proposisi yang sama, sedangkan kebenaran
aposteriori hanya bisa dilihat sebagai benar berdasarkan pengalaman.

Ada dua pandangan tentang kebenaran, kebenaran secara rasional atau berdasarkan akal budi dan
kebenaran secara empiris atau berdasarkan pengetahuan. Hal ini sebagaimana dikatakan
Immanuel Kant dlm yang dikutip olh A. Sonny Keraf, bahwa ada dua cara yang saling terkait
dan menunjang satu sama lain untuk bisa sampai pada suatu pengetahuan. Pertama, secara
empiris, yaitu dengan mengacu pada pengalaman dan pengamatan indrawi, pada bagaimana
benda atau objek tertentu tampak pada kita melalui pancaindra. Jadi untuk mengetahui bahwa
suatu konsep atau proposisi benar, saya mengacu pada objek dari proposisi itu menampakkan diri
pada saya. Artinya, saya selalu menceknya pada fakta dan data yang bisa ditangkap dengan
pancaindra. Dengan kata lain untuk mengetahu bahwa proposisi benar kita tidak mengacu pada
akal budi, bagaimana akal budi memikirkannya, melainkan bagaimana pada objek yang
dinyatakan dalam proposisi itu tampak pada saya. Ini lah yang disebut sebagai kebenaran atau
pengetahuan empiris. Kedua, suatu objek bisa ditangkap oleh pancaindra kalau kita mempunyai
kategori-kategori tertentu. Pengetahuan memang didasarkan pada pengalaman indrawi, tetapi
pengalaman indrawi itu hanya mungkin terjadi dalam bentuk-bentuk bawaan tertentu yang ada
dalam diri manusia; berupa ruang dan waktu serta hukum sebab akibat. Jadi, di pihak lain ada
pengetahuan transendental yang memberi kerangka yang memungkinkan objek dapat dialami.
Maka di satu pihak akal budi menangkap benda tertentu sesuai dengan bentuk benda itu tetapi di
pihak lain, benda itu sendiri menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk yang telah ada dalam akal
budi. (A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001;60).

Dari pendapat Kant di atas dapat disentesiskan bahwa kebenaran bisa berdasarkan akal budi
rasional dan pengetahuan empiris. Pengetahuan berdasarkan pengalaman indrawi terhadap
subjek dan objek yang dialami. Menurut A Mappadjantji Amin, Kebenaran adalah pemetaan
realitas sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kebenaran adalah basis utama untuk menjaga
keberlangsungan kehidupan individual serta menjalin dan mengembangkan interkonesitas
dengan individu atau tatanan lainya. Pendapat yang sama menurut Morris yg dikutip olh A.
Mappadjantji Amir, mengutip satu kajian evolusioner tentang kehidupan, menyatakan bahwa
mekanisme adaptif yang paling mendasar adalah berpegang kepada kebenaran. Mahluk yang
tidak mampu menemukan dan berpegang pada kebenaran akan punah. Keberhasilan manusia
mempertahankan keberlangsungan keberadaannya karena pada dasarnya manusia di karunai oleh
sang Pencipta naluriah akan kebenaran. (A Mappadjantji Amin 2005;320).

Dalam sejarah filsafat juga terdapat beberapa teori tentang kebenaran, diantaranya ada tiga yang
utama yakni:

1.    Teori penyesuaian (korespondensi)

Menurut teori ini kebenaran adalah penyesuaian antara apa yang dikatakan dan kenyataan

2.    Teori keteguhan (koherensi)

Menurut teori ini kebenaran tidak diperoleh dalam keseuaian antara proposisi atau pernytaan dan
kenyataan. Suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koherens atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya.yang dianggap benar.

3.    Teori Pragmatis tentang kebenaran.

Menurut teori ini kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.(Antonius Atosokhi Gea at.all, 2005;153). Dari
pendapat-pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa kebenaran adalah pengetahuan yang
berdasarkan akal budi dan pengalaman-pengalaman. Kebenaran adalah rangkaian fakta-fakta
yang saling bersesuai dan koheren antara satu dn lainnya yang tidak bertentangan baik secara
kualitataf maupun kuantitatif.

D.   Kebenaran kefilsafatan

Dalam kajian falsafah dikenal berbagai macam teori kebenaran. Karena tujuan utama berfilsafat
adalah mencari kebenaran yang ditunjukan dengan upaya terus-menerus untuk mencari
kebenaran sejati maka dalam wacana filsafat ada berbagai macam teori kebenaran yang saling
melengkapi satu sama lain. Kebenaran kefilsafatan harus memenuhi empat aspek, yakni objek
materi, forma, metode dan system yang terkait dengan kebenaran.

1.    Objek materi
Dimana filsafat mempelajari segala sesuatu yang ada, sehingga dapat kita pahami bahwa
kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat umum universal, yang berarti tidak terkait dengan
jenis-jenis objek tertentu. Misalnya objek manusia, maka tidak dibatasi pada manusia etnis,
golongan dan zaman tertentu.

2.    Objek forma

Kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat metafisika, yakni meliputi ruang lingkup mulai dari
konkret-khusus sampai kepada abstrak universal. Contohnya adalah macam-macam segitiga
yang sebenarnya memiliki sifat yang sama, yaitu tiga garis lurus yang saling berpotongan
sehingga membentuk tiga sudut yang kesemuanya berjumlah 180 derajat.. itulah acuan
kebenaran filsafat yang abstrak-metafisika.

3.    Metode, kefilsafatan terarah pada pencapaian pengetahuan esensial atas setiap hal dan
pengetahuan eksistensial daripada segala sesuatu dalam keterikatan yang utuh (kesatuan).

4.    System, kebenaran bersifat dialektis, yakni senantiasa terarah kepada keterbukaan bagi
masuknya ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru yang semakin memperjelas
kebenaran.

E.   Kebenaran sebagai nilai fundamental

Kebenaran sebagai nilai fundamental adalah kebenaran yang sangat mendasar. Artinya
kebenaran yang tak bisa tergoyahkan. Kebenaran ini biasa berakar pada keyakinan. Seseorang
menggunakan segala macam cara dan alat menjadi kudus untuk mencapai tujuan. Louis Alvin
Day dalam bukunya yang berjudul “Ethics in Media Communication” (2006;78) mengatakan
bahwa lawan dari kebenaran adalah bohong (lying), penipuan (deception), dan ketidakjujuran
(dishonesty). Deception menurutnya adalah “pesan komunikasi yang disengaja agar orang lain
mendapatkan pemahaman yang salah, atau agar mereka meyakini apa yang kita sendiri tidak
yakin akannya”. Deception, dengan demikian dihasilkan tidak hanya dari ucapan, tapi juga
perilaku, gerak tubuh, hingga sebuah senyum. Bahkan kondisi tertentu, menahan informasi
merupakan bagian dari deception.

Sedangkan bohong (lying) merupakan subkategori dari deception dan meliputi komunikasi
tentang yang salah dimana komuniktor sendiri megetahui bahwa informasi tersebut adalah salah.
Menurut Day kategori terakhir banyak dilakukan oleh praktisi media, walaupun pada banyak
kasus mereka senidri menyadarinya.

Komitmen terhadap kebenaran merupakan salah satu nilai fundamental dalam kehidupan
manusia, yang telah ada sejak zaman dahulu kala. Immanuel Kant, misalnya, mengatakan bahwa
kebenaran merupakan sesuatu yang harus ditegakkan. Apapun resiko yang ada. Bahkan Socrates
rela dihukum mati  demi mempertahankan kebebasan berbicara sebagai sebuah norma
kebenaran. Sehingga dengan demikian, sejatinya kebenaran sebagai sebuah norma adalah bukan
hal yang baru. Tidak seperti demokrasi misalnya, norma ini tentu saja lahir dalam masyarakat
modern. Dalam konteks Indonesia, bahkan demokrasi sebagai norma kehidupan bernegara baru
muncul pasca reformasi tahun 1998.

Dalam kasus skandal bank century, jika dilihat dari kebenaran sebagai nilai fundamental maka
kebijkan dalam penanganan bank century adalah kebijakan yang mencoba mengelabui sebuah
kebenaran. Artinya Gubernur bank Indonesia dalam hal ini pemerintah tidak mau mengambil
resiko dan konsekuensi yang akan terjadi jika bank century ditutup. Maka dengan merubah kar
yang tidak sesuai dengan kenyataan dengan dalih menyelamatkan bank century Gubernur bank
Indonesia dan menteri keuangan berani mengelontorkan dana sebanyak 6,7 triliun. Hal ini
dikatakan oleh Sawidji Widoatmojo dalam bukunya “Mencari kebenaran objektif dampak
sistemik bank century”. Dikatakan dalam asumsi teori ekonomi tradisional bahwa harga saham
pasar saham seharusnya sama dengan nilai fundamentalnya. Individu membuat keputusan
berdasarkan informasi data-data yang ada. Asumsi yang lain individu mempunyai kemampuan
tidak terbatas dalam mencari informasi dan memproses informasi. Dalam melakukan investasi
saham seharusnya melakukan analisis fundamental. Analisis fundamental adalah analisis yang
didasarkan dari data-data fundamental, (2010; 40)

F.    Makna Penting Kebenaran

Dalam teori interaksi simbolis, hakikat manusia adalah mahluk relasional. Setiap individu pasti
terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila kemudian teori interaksi simbolik
segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori social lainnya. Alasannya ialah diri
manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang di luar dirinya. Interaksi itu sendiri
membutuhkan symbol-simbol tertentu. Symbol itu biasanya disepakati bersama dalam skala
kecil maupun skala besar. Symbol misalnya bahasa, tulisan, dan symbol lainnya yang dipakai
bersifat dinamis dan unik.

Keunikan dan dinamika symbol dalam proses interaksi social menuntut manusia harus lebih
kritis, peka, aktif, dan kreatif dalam menginterpretasikan symbol-simbol yang muncul dalam
interaksi social. Penafsiran yang tepat atas symbol tersebut turut menentukan arah perkembangan
manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas symbol dapat menjadi petaka
bagi hidup manusi dan lingkungannya.

Keterbukaan individu dalam mengungkapkan dirinya merupakan hal yang tidak dapat diabaikan
dalam interaksi simbolik. Hal-hal lainnya yang juga perlu diperhatikan ialah pemakaian symbol
yang baik dan benar sehingga tidak menimbulkan kerancuan interpretasi. Setiap subyek mesti
memperlakukan individu lainnya sebagai subyek dan bukan obyek. Segala bentuk apriori mesti
dihindari dalam menginterpretasikan symbol yang ada. Ini penting supaya unsure subyektif dapat
diminimalisir sejauh mungkin. Pada akhirnya interaksi melalui symbol yan baik, benar, dan
dipahami secara utuh akan membidangi lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup manusia.

Sehingga dengan demikian, kebenaran pun sejatinya merupakan rumusan bersama sebagai hasil
interaksi social. Dalam konteks interaksi social inilah, terdapat sejumlah hal sehingga kebenaran
dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam sebuah peradaban. Pertama, ketiadaan integritas
dalam komunikasi antar manusia akan berbuntut pada penggusuran otomi individu. Hal ini
dikarenakan sebagai mahluk yang rasional, manusia sangat bergantung pada kebenaran dan
akurasi dari informasi yang kita peroleh. Kondisi ini akan memungkinkan manusi mengguankan
kebebasannya dalam hal memilih (freedom of choice).

Alasan kedua, pentingnya komitmen kebenaran adalah bahwa kebenaran menunjukan rasa
menghargai orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai alat tool. Penipuan (deception) kadangkala
menempatkan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Kebenaran sebagai bagian
dari penghargaan terhadap orang lain pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan antar
individu. Dalam konteks social, kepercayaan merupakan prasyarat terbentuknya ikatan social.
Bayangkan misalnya, jika dalam suatu kelompok social tidak ada lagi kebenaran, maka yang ada
adalah rasa saling mencurigai. Dengan demikian, makatidak akan ada ikatan dan kerjasama
social.
Terakhir, kebenaran merupakan unsur yang esensial bagi kelancaran proses demokrasi. Menurut
Habermas negara hukum moderen berciri demokratis ketika terjadi komunikasi politis intensif
antara ruang public dan system politik. Dalam ruang public politis, masyarakat sipil
melangsungkan diskursus public dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan
pendapat ini sering berkontoversi satu sama lain, dari yang memiliki neveau yang rendah sampai
yang tinggi. Suara-suara dalam ruang public politis berciri anarkis dan tak berstruktur. Ruang
public politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulative maupun komunikasi yang
tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja
sebagai opini public. Andai kata semua suara memilki akses dalam proses pengambilan
keputusan public tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk,
melainkan juga dapat dianggap tidak ada.

Jika public itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional diantara argumen-argumen dengan
kemenangan argument yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas serbagai opini public.
Karena komunikasi public mengikuti norma argument yang lebih baik, kualitas suara akan lebih
menentukan dari pada kuantitasnya.

G.   Kebenaran dalam komunikasi

Menurut Yasraf Amir Piliang (1999), jaringan komunikasi yang berskala global telah menggiring
kearah proses komunikasi dan arus informasi yang berlangsung cepat dan padat. Peningkatan
tempo kehidupan di dalam skema globalisasi informasi telah menciptakan kebergantungan tinggi
pada berbagai teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam dorongan kecepatan yang tak kuasa dikendalikan, komunikasi dan informasi menjadi
sebuah terror (terror of speed), yang menghasilkan kecemasan (anxiety) dan kondisi panik
(panic). Kecepatan pergantian citra televise yang tak sanggup dicerna: sebuah pesan-pesan email,
blog, atau spam internet yang tak mampu dimaknai; gelombang pegantian gaya dan gaya hidup
yang menjadikan orang selalu merasa kurang (lack) dan ketinggalan jaman.

Menuju teori disinformasi

Media komunikasi di abad informasi digital berkembang kearah sebuah titik, yang di dalamnya
terjadi pelencengan fungsi komunikasi, kesimpangsiuran tanda, pengaburan makna,
pengdistorsian realitas, dan penisbian kebenaran. Komunikasi tak lagi punya tujuan pasti;
informasi tak lagi punya makna yang jelas. Informasi berkembang kearah sifat superlative, yang
diproduksi berlebihan.

Realitas komunikasi menciptakan pula kondisi kemustahilan iterpretasi karena apa yang
ditampilkan sebagai sebuah kebenaran (truth) boleh jadi tak lebih dari sebuah kebohongan
(misalnya, citra teroris). Kini tak ada lagi batas pasti antara kebenaran dan kepalsuan. Orang
dihadapkan pada kesulitan besar dalam memisahkan antara kebenaran dan kepalsuan. Kepalsuan
yang dikemas dalam teknik imagologi yang cerdas melalui manipulasi computer grafik, kini
dapat tampil sebagai kebenaran yang meyakinkan.

Karenanya, kebenaran dalam media massa menjadi hal yang krusial karena kebenaran versi
media kadangkala berbeda dengan kebenaran versi masyarakat. Hal ini karena aplikasi
kebenaran dalam media dipengaruhi oleh lingkungan yang melingkupi media, seperti pemilik
modal dan pengiklan.

Namun demikian, dalam jurnalistik sendiri terdapat standar minimum sebagai konsep dari
kebenaran dalam me-report kebenaran. Pertama, report harus akurat, dengan cara melakukan
verifikasi fakta sehingga diperoleh bukti yang valid. Jika ada yang meragukan, maka audiens
harus diberitahu bahwa informasi yang disampaikan belum didukung oleh bukti yang bisa
divalidasi. Kedua, untuk mendukung kebenaran dalam media seorang jurnalis perlu melakukan
upaya pencerdasan dengan cara mendorong pemahaman audiensi. Pemahaman audiensi kadang
kalaa dibatasi oleh waktu dan space yang diberikan terhadap suatu liputan. Dengan demikian,
maka suatu laporan mesti berisi sejumlah informasi yang memberi pemahaman bagi audiensi.
Dengan demikian seorang jurnalis mesti bisa memosisikan diri antara, membuka semua hal atau
samasekali tidak me-report tentang hal tersebut. Kondisi tersebut menjadi lebih rumit bila
seorang jurnalis kemudian mendapat tekanan dari kekuatan politik dan kekuatan
ekonomi. Ketiga, suatu laporan mesti bersifat fair dan seimbang. Prinsip ini menghindari bias
yang sangat mungkin timbul dalam suatu laporan. Seorang reporter haruslah menguasai materi
yang dilaporkan sehingga ia akan tau ketika laporannya bias. Alvin day mengatakan bahwa,
reportase yang bias sangat berpotensi muncul dalam situasi krisis, seperti pada peristiwa 9/11 di
New York, dimana jurnalis sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi ketika itu.

Dikotomi lain pada media adalah kebenaran dalam iklan. Kebenaran dalam iklan, maka sejatinya
tidak lebih dari logika ekonomi liberal, yang berujung pada akumulasi keuntungan. Iklan
mengkonstruksi kebenarannya sendiri untuk kemundian digandakan secara massal. Dan terus-
menerus, sehingga pada akhirnya masyarakat melihat konstruksi kebenaran yang ditawarkan
oleh iklan merupakan kebenaran itu sendiri. Iklan menjungkirbalikkan apa yang sebelumnya
merupakan kebutuhan (need) bagi masyarakat untuk kemudian diubah menjadi keingingan atau
(want), begitu juga sebaliknya. Contoh kecil misalnya, persoalan makan daging ayam yang
sejatinya merupakan kebutuhan (need) tapi oleh iklan dicitrakan sedemikian rupa bahwa makan
yang sehat, nyaman dan mengembirakan, dan karenanya merupakan makan yang benar, justru
ada pada KFC atau McDonald misalnya. Public tidak lagi melihat makan daging ayam sebagai
sebuah kebutuhan, tapi menjadi keinginan.

Etika periklanan sendiri mengatakan bahwa pengiklan memiliki tanggung jawab atas kebenaran
informasi tentang produk yang diiklankan. Termasuk ikut memberikan arah, batasan, dan
masukan pada iklan agar tidak terjadi janji yang berlebihan atas kemampuan nyata suatu produk.
Partai Demokrat menghadapai sanksi social ketika tidak konsisten dengan iklannya “Katakan
Tidak pada Korupsi.”

H.   Etika komunikasi

Dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, manusia hidup dalam
pilihan antara baik dan tidak baik serta beraturan. Etika tidak terlepas dari persoalan moral dan
hukum. Banyak orang percaya bahwa merangkul etika akan membatasi berbagai pilihan,
kesempatan serta kemampauan mereka untuk berhasil dalam bisnis. Ada pepatah lama yang
mengatakan bahwa orang baik akan mencapai garis finis paling akhir. Mereka sependapat
dengan profesor sejarah Henry Adams dari Harvard yang mengatakan “Moralitas adalah
kemewahan pribadi yang mahal.” Menurut John C. Maxwell bahwa pilihannya hanya dua: (1)
berhasil dengan menghalalkan segala cara, bahkan tidak etis; atau (2) menjalankan etika dan
kalah. Hanya sedikit orang yang pada dasarnya punya keinginan untuk berlaku tidak juju, tetapi
tidak ada orang  yang ingin kalah, (2003;5).

Etika sering dihadapkan pada kondisi dan situasi benar dan tidak benar, senang dan tidak senang,
serta menang dan tidak menang saat itu. Kadang setiap orang memiliki standar etika masing-
masing, yang berubah dari suatu keadan ke keadaan lainnya. Hal ini dapat menghasilkan
kekacauan etika.
Dalam dunia komunikasi, etika komunikasi selalu dikaitkan dengan budaya komunikasi.
Seseorang mungkin akan mengubah kesadaran dirinya (konsep diri, harga diri dan persepsi)
karena berkomunikasi dengan seseorang dar kebudayaan lain. Dalam komunikasi massa etika
diatur dengan UU No 40 tahun 1999 tentang pers, kode etik jurnalistik dan KPI. Seperti
penjelasan sebelumnya, setiap individu memilki standar etika masing dan bersandar pada situasi
dan kondisi saat itu maka sering terjadi permasalahan antara kelompok atau individu tertentu
dengan pers atau media dan bahkan wartawan. Contoh kasus sering terjadi kasus hokum
pencemaran nama baik. Atau baru-baru ini ada beberapa kader Partai Demokrat melaporkan dua
media penyiaran ke KPI. Persepsi kader Partai Demokrat bahwa pemberitaan media tentang
kasus korupsi yang menimpa beberapa kader partai democrat adalah tidak etis karena
pemberitaan yang tidak seimbang, sedangkan persepsi sebagian adalah wajar dan sudah sesuai
dengan keterbukaan informasi public (KPI) karena sesuai dengan kondisi dan situasi sekarang
menyangkut dengan program pemberantasan korupsi oleh pemerintah, (mediaindonesia.com, 24
-02 2012).

I.      Filsafat komunikasi

Dalam bukunya Dr. Franz Magnis Suseno “12 tokoh etika abad ke-20” menjelaskan tentang
analisi Habermas terhadap rasionalitas komunikatif, khususnya terhadap implikasi kemampuan
manusia untuk berwacana sudah memperlihatkan sesuatu yang sangat mendasar. Berbahsa selalu
merupakan tindakan komunikatif, bahkan kalau hanya berbahasa dalam pikiran dan batin. Oleh
karena itu, tidaklah memadai kalau kesadaran moral individu dijadikan tolok ukur pembenaran
keharusan moral. Yang menentukan keberlakuan universal keharusan moral bukan apa yang
dapat dikehendaki oleh orang perorangan, melainkan apa yang dapat disepakati sebagai
normative dalam sebuah pembicaraan bersama. Habermas melakukan suatu perubahan paradigm
radikal dari filsafat subjek ke filsafat komunikasi dan dari filsafat keasadaran yang khas bagi
seluruh filsafat modern sejak Descartes ke filsafat bahasa, dari pemusatan perhatian pada subjek
ke komunikasi, (2000;225). Ada perbedaan pandangan dalam filsafat komunikasi. Komunikasi
bisa terjadi secara monolog. Seperti pendapat karl marx bahwa manusia menciptakan diri dalam
pekerjaan, artinya manusia dapat menciptakan komunikasi sendiri yakni apa yg ada dalam
pikiran dan perasaanya. Hal ini seperti yang terjadi pada media penyiaran. Namun hal ini
dibantah oleh Habermas bahwa pekerjaan adalah sikap manusia terhadap alam, ada subjek yang
aktif, manusia dan objek yang pasif, alam. Komunikasi bukan monologis, melainkan dialogis,
bukan individualistic, melainkan social. Dalam komunikasi bukanya masing-masing partisipan
memakai partisipan lain untuk mencapai tujuan mereka masing-masing itu adalah tindakan
strategis melainkan para partispan mengkoordnasikan rencana tindakan mereka. Dalam
komunikasi terjadi apa yang oleh G.H Mead disebut sebagai “ideal role-talking”. Masing-
masing partisipan mengambil alih peran partisipan yang lain. Dengan mengambil alih peran
orang lain kita dapat merefleksikan diri kita sendiri dan dengan demikian mengarah proses
komunikasi. Sebuah komunikasi itu rasional apabila saling pengertian tercapai. Itu rasionalitas
komunikasi.

Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dimpulkan antara lain:

1.    Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang dimaksud sesuai dengan kenyataan.
Kebenaran yang dibahas dalam filsafat pengetahuan adalah kebenaran sebagai sifat pengetahuan.
Yang dimaksud dengan pengetahuan yang benar dan “hasrat untuk menuju kebenaran” adalah
bermacam-macam menurut konteks kebudayaan

2.    Kebenaran itu sudah ada, tinggal menulusuri bukti-buktinya. Bukti kebenaran itu dapat
dicapai melalui percobaan-percobaan atau penelitian-penelitian ilmiah terhadap petunjuk-
pertunjuk yang ada

3.    Terdapat dua hal kebenaran, yakni “kebenaran apoteriori atau kebenaran yang berasal dari
fakta”, dan “Kebenaran apriori atau kebenaran berasal dari akal budi”.

4.    Kebenaran bisa berdasarkan akal budi rasional dan pengetahuan empiris. Pengetahuan
berdasarkan pengalaman indrawi terhadap subjek dan objek yang dialami

5.    Ada 3 (tiga) teori kebenaran yakni; 1) Teori penyesuaian (korespondensi), 2) Teori


keteguhan (koherensi), 3) Teori Pragmatis  (Pragmatic)

6.    Kebenaran kefilsafatan harus memenuhi empat aspek, yakni objek materi, forma, metode
dan system yang terkait dengan kebenaran.

7.    Kebenaran sebagai nilai fundamental adalah kebenaran yang sangat mendasar. Artinya
kebenaran yang tak bisa tergoyahkan. Kebenaran ini biasa berakar pada keyakinan
8.    Komitmen kebenaran adalah bahwa kebenaran menunjukan rasa menghargai orang lain
sebagai tujuan, bukan sebagai alat tool

9.    Sebuah komunikasi itu rasional apabila saling pengertian tercapai. Itu rasionalitas
komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai