Anda di halaman 1dari 11

Tugas Resume 8

Rabu / 26-10-2022

RESUME FILSAFAT ILMU


“FILSAFAT PENDIDIKAN PANCASILA”

OLEH:
Nurhamdin Putra (22175021)

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Fatni Mufit, S.Pd., M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
Filsafat Pendidikan Pancasila

A. Pancasila sebagai Filsafat Hidup Bangsa


Pancasila merupakan filsafat hidup Bangsa Indonesia. Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh
dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan
pandangan hidup (filsafat hidup). Dengan pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan
memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana
memecahkan persoalan-persoalan tadi.
Pancasila sebagai filsafat hidup suatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki
suatu bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu
untuk mewujudkannya. Kita merasa bersyukur bahwa pendahulu-pendahulu kita, pendiri- pendiri
republik ini dapat merumuskan secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita yang
kemudian kita namakan Pancasila. Pancasila dan nilai gotong royong yang diusulkan Soekarno
seharusnya menjadi jiwa dan nilai dasar dari masyarakat Indonesia karena Pancasila dan nilai-nilai
yang terkandung didalamnya akan menentukan orientasi, tujuan, dan menjadi nafas hidup bersama
dan berbangsa (Dewantara, 2017).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tanpa memiliki falsafah hidup maka suatu
bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar, baik secara
nyata maupun secara maya yang mencakup persoalan- persoalan di dalam masyarakatnya sendiri.
Bahkan dengan falsafah hidup, persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan
masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula suatu
bangsa akan membangun dirinya. Di samping itu Pancasila merupakan kesadaran dan cita-cita
moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah beurat atau berakar di dalam kebudayaan
bangsa Indonesia. Pancasila adalah suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia ini
akan mencapai kebahagiaan jika kita dapat baik dalam menjalani hidup.

B. Pancasila sebagai Filsafat Pendidikan Nasional


Pendidikan dilakukan oleh manusia melalui kegiatan pembelajaran. Dalam praktik pendidikan
yang universal banyak ditemukan beragam komunitas dari manusia yang memberikan makna yang
beragam dari pendidikan. Di Indonesia pendidikan di tekankan pada penguasaan landasan
terbentuknya masyarakat meritorik, artinya memberikan waktu jam pelajaran yang luas dalam
penguasaan mata pelajaran tertentu.
Pendidikan berdasarkan terminologi merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani yaitu Paidos dan agoo. Paidos artinya budak dan agoo artinya
membimbing. Pedagogie dapat diartikan sebagai budak yang mengantarkan anak majikan untuk
belajar. Jumali, dkk. (2004) menjelaskan bahwa hakikat pendidikan adalah kegiatan yang
melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan memproses
peserta didik menjadi lebih bertambah pengetahuan, skill, dan nilai kepribadiannya dalam suatu
keteraturan kalender akademik.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada
Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan
pendidikan nasional dalam semua level dan jenis pendidikan. Ada dua pandanagan yang menurut
Jumali, dkk. (2004), perlu dipertimbangkan dalam menetukan landasan filosofis dalam pendidikan
nasional Indonesia. Pertama, pandangan tentang manusia Indonesia. Filosofis pendidikan nasional
memandang bahwa manusia Indonesia sebagai:
a. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya
b. Makhluk individu dengan segalahal dan kewajibannya
c. Makhluk sosial dengan segala tanggung jawab hidup dalam masyarakat yang pluralistik baik
dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang dengan
segala tantangannya.
Kedua, Pandangan tentang pendidikan nasional itu sendiri. Dalam pandangan filosofis pendidikan
nasional dipandang sebagai pranata sosila yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial
lainnya dalam masyarakat.
Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar
yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional) menuju ke arah tabiat manusia, maka filsafat juga diartikan sebagai teori umum
pendidikan. Brubachen berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah
kereta di depan seekor kuda dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal
pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena
memiliki kaitan dengan filsafat umum, meskipun kaitan tersebut tidak penting, yang terjadi adalah
suatu keterpaduan antara pandangan filosofi dengan filsafat pendidikan, karena filsafat sering
diartikan sebagai teori pendidikan secara umum (Arifin, 1993).
Pendidikan merupakan usaha sadar yang sengaja dan terencana untuk membantu
perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfat bagi kepentingan hidupnya sebagai
individu dan sebagai warga masyarakat. Pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar
dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak. Dalam sejarah pendidikan dapat
dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai perkembangan manusia dan hasil pendidikan,
seperti:
1. Empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman yang
diperoleh anak didik selama hidpnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar dirinya berdasarkan
perangsang yang tersedia baginya, John Locke berpendapat bahwa anak yang dilahirkan di
dunia ini bagaikan kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada
tulisan diatasnya.
2. Nativisme, teori yang dianut oleh Schopenhauer yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan
pembawan baik dan pembawan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan, ia
berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan
yang sudah diperolehnya sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat
menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan dengan perkembangan anak didik. Dengan
kata lain aliran nativisme merupakan aliran Pesimisme dalam pendidikan, berhasil tidaknya
perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimilikinya.
3. Naturalisme, dipelopori oleh J.J Rousseau, ia berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir
mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anakpun lahir dengan pembawaan buruk.
Aliran ini berpendapat bahwa pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan anak didik saja
dengan sendirinya, diserahkan saja selanjutnya kepada alam ( negativisme ). Pendidikan tidak
diperlukan, yang dilaksanakan adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang
baik tidak rusak oleh tangan manusia melalui proses pendidikan.
4. Konvergensi, dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan
pembawaan baik dan buruk. Hasil pendidikan itu bergantung dari pembawaan dan lingkungan.
Pendidikan diartikan sebagai penolong yang diberikan kepada lingkugan anak didik untuk
mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawan yang
buruk.
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk
menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa. Indonesia adalah negara yang
berdasarkan pada Pancasila dan Undang- Undang dasar 1945 yang di dalamnya diatur bahwa
pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai satu sistem pengajaran
nasional. Aristoteles mengatakan, bahwa tujuan pendidikan sama dengan tujuan didirikannya
suatu negara (Rapar, 1988). Demikian juga dengan Indonesia. Pendidikan selain sebagai sarana
tranfer ilmu pengetahuan, sosial budaya juga merupakan sarana untuk mewariskan ideologi bangsa
kepada generasi selanjutnya.
Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi suatu bangsa yang
dianutnya. Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa Indonesia yang mempunyai fungsi dalam
hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam
tentang pendidikan berdasarkan filsafat, apabila kita hubungkan fungsi Pancasila dengan sistem
pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, bahwa Pancasila pandangan hidup bangsa yang
menjiwai dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia
wajarapabila dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Cita dan karsa bangsa
Indonesia diusahakan secara melembaga dalam sistem pendidikan nasioanl yang bertumpu dan
dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan folosofi tertentu, inilah dasar pikiran mengapa
filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasioanl dan sistem filsafat pendidikan Pancasila
adalah sub sistem dari sistem negara Pnacasila. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan dalam
membangun potensi bangsa, khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa
yang ada padaakhirnya menentukan eksistensi dan martabat bangsa, maka sistem pendidikan
nasional dan filsafat pendidikan pancasila seyogyanya terbina secar optimal supaya terjamin
tegaknya martabat dan kepribadian bangsa. Filsafat pendidikan Pancasila merupakan aspek
rohaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional, tiada sistem pendidikan nasioanal tanpa filsafat
pendidikan.

C. Filsafat Pendidikan Pancasila dalam Tinjauan Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi


1. Tinjauan Ontologi Filsafat Pendidikan Pancasila
Ontologi adalah cabang filsafat yang masalah pokoknya adalah mempertanyakan mengenai
kenyataan atau realitas. Persoalan-persoalan ini identik dengan pembicaraan mengenai hakikat
“ada”. Hakikat “ada” dapat berarti tidak apa-apa, karena merujuk dan menunjuk pada hal umum
(abstrak umum universal). Hampir sama dengan aristoteles yang mengungkap bahwa ontologism
adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan
disamakan artinya dengan metafisika (Sutrisno, 1984).
Demikian halnya dengan Pancasila sebagai filsafat, ia memiliki isi yang abstrak umum dan
universal. Pengertian abstrak umum dan universal dalam hal ini adalah pengertian pokok yang
terdapat dalam setiap unsur-unsur sila dari Pancasila. Pancasila terdiri dari sila-sila yang
mempunyai awalan dan juga kahiran, yang dalam tata bahasa membuat abstrak; dari kata dasarnya
yang artinya meliputi hal yang jumlahnya tidak terbatas dan tidak berubah, terlepas darii keadaan,
tempat dan waktu. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang menjiwai sistem
pendidikan nasional tidak bisa dipisahkan denga kenyataan yang ada, karena pendidikan nasional
itu dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945, sehingga hal ini menjadi bentuk kesatuan yang utuh.
Hal inilah yang kemudian secara konsisten harus masuk didalam tujuan dari sistem pendidikan
nasional yang disebutkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2. Tinjauan Epistimologi Filsafat Pendidikan Pancasila
Epistemologi ialah studi filsafat yang berfokus pada sumber, syarat, dan proses terjadinya ilmu
pengetahuan, batas validitas, serta hakikat ilmu pengetahuan. Melalui filsafat kita dapat
menentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai demi peningkatan ketenangan dan kesejahteraan
hidup, pergaulan dan berwarga negara. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari
dan mencoba menentukan kodrat dan cakupan pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan
dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan D.W. Hamlyan mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta
secara umum hal itu dapat diandalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Menurut Titus (1984) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a) Tentang sumber pengetahuan manusia
b) Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia
c) Tentang watak pengetahuan manusia
Secara epistemologis Pancasila sebagai filsafat yaitu sebagai upaya untuk mencari hakikat
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai
yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Sedangkan susunan Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan yaitu Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan
sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa
ilmu pengetahuan tidak bebas nilai dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan
yang mutlak dalam hidup manusia. Epistemologi menyelidiki sumber, proses, syarat-syarat batas,
validitas dan hakikat ilmu. Epistemologi Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-
azas Maha sumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan
potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian
manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya
dan budi nurani.
3. Tinjauan Aksiologi Filsafat Pendidikan Pancasila
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang memfokuskan perhatian pada persoalan nilai. Nilai
tidak akan timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia memiliki bahasa yang digunakan
dalam komunikasi sehari-hari. Sehingga masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai. Dikatakan
memiliki nilai apabila berguna, benar, bermoral, etis dan bernilai religius. Dengan demikian
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa memiliki nilai-nilai; ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyataan dan keadilan. Nilai ideal, material, spiritual, dan nilai positif dan juga nilai
logis, estetika, etis, sosial dan religius (Jalaluddin, 2007).
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi
Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Nilai-nilai yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia
yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu
memiliki tingkatan dan bobot yang berbeda, namun tidak saling bertentangan. Pancsila merupakan
substansi utuh atau kesatuan organik (Kaelan, 2013).
Dalam filsafat Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan
nilai praktis.
• Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan.
• Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
• Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini
merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam
masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang
mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai
Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Aksiologi menyelidiki pengertian,
jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada
hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya. Seluruh kesadaran manusia tentang nilai
tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran
akan Ketuhanan yang maha esa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni:
potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa kebajikan). Azas
dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama. Nilai
cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan pengabdiannya untuk selalu
berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat ontologis pula, karena sifat
dan potensi pribadi manusia berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, darireal-self menuju
ideal-self, bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan
teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak
didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan
ideal, meliputi: multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif
dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan hukum moral yang
psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial, spiritual, supranatural dan
suprarasional. Penghayatannya pun multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self
dan ideal-self), bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan abadi),
menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
D. Filosofis Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara atau KHD, adalah salah satu nama terdepan yang akan orang ingat
khususnya di dunia pendidikan Indonesia. Banyak sekali buah pemikiran filosofis beliau terkait
dengan pendidikan yang sampai dengan sekarang masih sangat relevan dan digunakan khususnya
di Indonesia. Beberapa Pemikiran KHD berkaitan dengan pendidikan adalah sebagai berikut:
1) Pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala
kepentingan hidup manusia. Dalam kerangka pemikirannya, KHD membedakan antara
Pendidikan (opvoeding) dan Pengajaran (onderwijs), namun keduanya merupakan satu
kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya dalam hal mewujudkan
kemerdekaan diri.
2) Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD
memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka
pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Hal ini jelas bahwa proses
pendidikan terhadap anak itu harus dilakukan sejak usia dini (benih) dengan cara dan metode
yang sesuai.
3) Pengajaran dan Pendidikan berguna untuk perikehidupan bersama. KHD berpikiran bahwa
pendidikan dalam hal berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia
sebagai bagian dari persatuan (rakyat), artinya manusia merdeka adalah manusia yang
hidupnya lahir atau batin tidak tergantung atau diperintahg oleh orang lain, akan tetapi
bersandar atas kekuatan sendiri.
4) Pendidikan bertujuan menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak. KHD menjelaskan
bahwa pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya
kekuatan kodrat anak. Artinya bahwa setiap anak itu sudah dikaruniai ‘karakter dan
kemampuannya masing-masing’ oleh Allah SWT bukan seperti kertas kosong.
5) KHD mengibaratkan anak-anak (murid) sudah menjadi biji tanaman atau tumbuhan yang
ditanam di lahan persemian, sedangkan guru berperan sebagai petani atau tukang kebunnya.
Artinya kita sebagai pendidik memosisikan diri sebagai fasilitator/ pengarah pamong anak
dengan segala karakter yang berbedanya untuk ‘memamongi’ apa yang sudah anak miliki
supaya terarah dan terukur untuk mencapai kemerdekaan belajarnya.
6) Pendidikan harus tetap terbuka terhadap segala perubahan yang terjadi. Perubahan merupakan
sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Begitupula dalam pendidikan, arus perubahan
akan terus seiring perkembangan zaman akan terus terjadi. Namun tugas kita sebagai pendidik
adalah bagaimana cara kita ‘menyaring’ dan memilah mana yang sesuai dengan kearifan sosio-
kultur daerah masing-masing.
7) KHD menyampaikan bahwa “waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita,
yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru.
Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”.
8) Pendidikan berkaitan dengan Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Menurut KHD proses
pendidikan anak harus sesuai dengan karakter anak masing-masing dengan penyelarasan
terhadap perkembangan zamannya. Kita sebagai pendidik tidak mesti menyamakan ‘semua’
gaya pembelajaran yang kita terima pada masa kecil kita diterapkan dengan gaya pembelajaran
anak-anak kita saat ini.
9) Pendidikan Budi Pekerti. Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan
perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan
tenaga atau dengan kata lain perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga
menciptakan Karya (psikomotor).
10) KHD juga menjelaskan bahwa lingkungan keluarga yang berisi orangtua merupakan tempat
terbaik dan paling utama untuk melatih pendidikan social, budi pekerti dan karakter baik bagi
seorang anak, sebelum anak memasuki jenjang pendidikan formal. Jadi fungsi orangtua dan
guru sangat penting dalam menunjang perkembangan pendidikan anak. Keduanya bisa saling
kolektif kolegial saling melengkapi dan mengisi, orangtua bisa sebagai guru tebaik di rumah,
begitupun guru bisa menjadi orangtua yang baik di sekolah. Sehingga seorang anak ketika
membuat sebuah keputusan menjadi keputusan yang bertanggungjawab dalam kemerdekaan
dirinya dan kemerdekaan orang lain. Disamping itu Budi Pekerti melatih anak untuk memiliki
kesadaran diri yang utuh untuk menjadi dirinya (kemerdekaan diri) dan kemerdekaan orang
lain.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bina Aksara.
Jalaluddin dan Abdullah, I. (2007). Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Jumali, dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma.
Rapar, J.H. 1988. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali.
Titus, Smith & Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Terjemahan : Rosyidi. Jakarta: Bulan
Bintang
https://osf.io/rv6db/download/?format=pdf
https://www.kompasiana.com/erkaye/632040545479c306860699a5/filosofi-pendidikan-nasional-
ki-hadjar-dewantara-sebuah-kesimpulan-dan-refleksi

Anda mungkin juga menyukai