A. Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu Pendidikan
Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar- akarnya mengenal Pendidikan (Sutisna, 1990). Ada beberapa pendapat dari para ahli tentang Filsafat pendidikan diantaranya sebagai berikut: 1. Al- syaibany Filsafat pendidikan adalah aktivitas fikiran yang teratur yang menjadikan filasafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. 2. Jhon dewey Filasafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya fikir (intelektual) maupun daya perasaan(emosional), menuju tabiat manusia. 3. Imam barnadid Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan- pertanyaan dalam bidasng pendidikan baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu analaisis filosofis terhadap bidang pendidikan. 4. Brubachen Filsafat penddikan adalah seperti menaruh sebuah kereta didepan seekor kuda, dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan berdiri secara bebas memperoeh keuntungan karena mempunyai kaitan dengan filsafat umum. 5. Randal curren Filsafat pendidikan adalah penerapan serangkaian keyakinan-keyakinan filsafat dalam praktik Pendidikan. Menurut Dictionary of Education oleh Carter V. Good, filsafat pendidikan itu adalah: 1. Suatu upaya yang hati-hati,kritis dan sistematik secara intelektual untuk melihat pendidikan sebagai suatu keseluruhan dan sebagai satu bagian keseluruhan dari budaya manusia. 2. Suatu filsafat yang menyangkut atau yang diterapkan terhadap proses pendidikan umum atau pendidikan swasta dan digunakan sebagi dasra bagi ketentuan umum,bagi penafsirannya dan untuk mengevaluasi masalah-masalah pendidikan yang menyangkut tujuan,pelaksanaan sehari-hari,hasil-hasilnya,keperluan-keperluan siswa dan masyarakat,bahan-bahan yang digunakan dalam belajar dan semua segi yang diperlukan dilapangan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat akan menentukan “mau dibawa kemana” siswa kita. Filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, filsafat yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang dianut oleh perorangan (dalam hal ini Dosen/ Guru) akan sangat mempengaruhi tujuan pendidikan yang ingin dicapai (Kristiawan, 2016). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpilkan bahwa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan itu adalah usaha-usaha untuk memahami sedalam- dalamnya hakikat pendidikan dari berbagai segi seperti eksistensi, fungsi, ciri-ciri, kegunaan, pelaku, hasil-hasil, tujuan,kurikulum, masalah-masalah serta cara-cara memecahkan masalah itu. Falsafah yang dianut oleh suatu Negara bagaimanapun akan mewarnai tujuan pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan suatu negara akan berbeda dengan negara lainnya, disesuaikan dengan falsafah yang dianut oleh negara-negara tersebut. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan rumusan yang komprehemsif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan itu memuat pernyataan-pernyataan (statement) mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianut. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara filsafat yang dianut dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan. Filsafat pendidikan pada hakekatnya adalah penerapan analisa filsafat terhadap lapangan pendidikan. John Dewey mengatakan bahwa filsafat adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran sesuai cabang-cabang filsafat turut mempengaruhi pelaksanaan pendidikan. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat: hakikat dunia, hakikat manusia termasuk hakikat anak. Anak adalah manusia yang terdiri dari jasmani atau rohani atau keduanya. Metafisika memiliki implikasi penting untuk pendidikan karena kurikulum sekolah berdasarkan apa yang kita ketahui mengenai realita. Kenyataannya apa yang harus diajarkan di sekolah, selalu memiliki pandangan mengenai realita. a. Ontologi dan Pendidikan 1) Teologi Masyarakat Indonesia berkeyakinan bahwa pencipta alam semesta adalah Tuhan yang Maha Kuasa. Setiap yang hidup akan kembali kepada-Nya dan akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Keyakinan seperti itu akan mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan masyarakat. Pendidikan akan selalu mempertimbangkan hubungan manusia dengan Tuhannya. Sebagai implikasinya mata pelajaran agama menjadi mata pelajaran pokok dalam kurikulum. Sebaliknya pada masyarakat yang berkeyakinan bahwa manusia hanya jasad yang terdiri dari unsur-unsur kimia dan tidak akan ada kehidupan lain setelah mati, maka pendidikan pada masyarakat seperti itu tidak akan mempertimbangkan kehidupan rohani. Tujuan pendidikan yang dipertimbangkan hanyalah kehidupan duniawi, tidak akan dipertimbangkan kehidupan setelah mati. 2) Kosmologi Implikasi kajian kosmologi terhadap pendidikan adalah kosmologi akan mengisi kepribadian manusia dengan realita fisik. Siswa harus mengenal alam yang menjadi tempat hidup, mengenal lingkungan, mengenal hukum-hukum alam, hukum-hukum kausal, sehingga mengerti akan keteraturan di jagad raya ini. 3) Manusia Metafisika mempersoalkan hakikat realita, termasuk hakikat manusia dan hakikat anak. Pendidikan merupakan kegiatan khas manusiawi. Hanya manusia yang secara sadar melakukan pendidikan untuk sesamanya. Pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Oleh karena itu pembicaraan mengenai pendidikan tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai manusia. Pendidikan dalam arti luas adalah usaha membantu manusia merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan membantu manusia menyingkap rahasia alam, mengembangkan fitrah yang memiliki potensi untuk dikembangkan, mengarahkan kecendrungannya dan membimbingnya demi kebaikannya dan masyarakat. Pada akhirnya dengan pertolongan dan bimbingan tadi, manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya, insan kamil, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Pendidikan akan mencakup pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai. Isi pendidikan adalah tindakan yang akan membawa peserta didik mengalami dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, menghargai, dan meyakini, sehingga peserta didik membangun nilai-nilai tersebut kedalam kepribadiannya. Pendidikan merupakan upaya membantu dan membimbing peserta didik dalam mengembangkan dan memperkuat hati nuraninya. Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang dimanifestasikan dalam ajaran agama, harus memayungi segala bentuk kehidupan manusia sebagai individu maupun sosial, termasuk pendidikan. Nilai-nilai agama bukan sekedar dipelajari, namun harus dihayati dan akhirnya menjadi milik pribadi yang akan tercermin dalam semua tindak-tanduk sehari-hari. b. Epistemologi dan Pendidikan Epistemologi diperlukan dalam menyusun kurikulum. Kurikulum lazimnya diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati siswa dalam usahanya mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan, perlu diperkenalkan sedikit demi sedikit tentang hakikat pengetahuan. Epistemologi memberikan sumbangan bagi filsafat pendidikan. Pengetahuan apa yang harus diberikan pada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan serta bagaimana cara menyampaikan pengetahuan merupakan sumbangan epistemologi dalam pendidikan. c. Aksiologi dan Pendidikan Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas nilai baik dan buruk serta indah dan jelek. Nilai terkait erat dengan pendidikan. Nilai selalu menjadi pertimbangan dalam merumuskan tujuan pendidikan. Perumusan tujuan pendidikan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai adalah hampa. Selain itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Etika dapat membantu guru dalam cara-cara berpikir menghadapi permasalahan- permasalahan sulit untuk menentukan tindakan yang benar. Sedangkan estetika membantu guru meningkatkan keefektifan pembelajaran. Pada dasarnya pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu bentuk ekspresi artistik, dan dapat dinilai menurut standar-standar artistik dari keindahan dan kualitas. Berkenaan dengan ini guru adalah seniman dan secara terus menerus berusaha meningkatkan kualitas kerjanya. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. mengatakan Pendidikan adalah upaya memulikan kemanusiaan manusia. Undang-undang No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia. Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia (Kristiawan, 2016). B. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates, Plato dan Aristoteles ➢ Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates (470- 399 SM) Smith menjelaskan bahwa dalam sejarah filsafat, Socrates adalah salah seorang pemikir besar kuno yang gagasan filosofis dan metode pengajaraanya sangat mempengaruhi teori dan praktik pendidikan di seluruh dunia barat. Socrates lahir di Athena, merupakan putra seorang pemahat dan seorang bidan yang tidak begitu dikenal, yaitu Sophonicus dan Phaenarete. Prinsip dasar pendidikan, menurut Socrates adalah metode dialektis. Meode ini di gunakan Socrates sebagai dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seseorang berpikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan atau pengetahuannya kepada seorang siswa, karena seorang siswa dituntut untuk bisa mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis. Metode ini tidak lain digunakan untuk meneruskan intelektualitas, mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang benar adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Amka, 2019). ➢ Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Plato (427-347 SM) Smith menerangkan bahwa Plato dilahirkan dalam keluarga aristrokrasi di Athena, serikat 427 SM. Ayahnya Ariston, adalah keturunan dari raja pertama Athena yang pernah berkuasa pada abad ke-7 SM. Sementara ibunya, Periction adalah keturunan keluarga solon, seorang pembuat undang- undang, penyair, memimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri demokrasi Athena termuka. Raper mengungkapkan bahwa Plato berpendapat pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun sebagai warga negara. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga negaranya. Namun demikian, setiap peserta didik harus diberi kebebasan untuk mengikuti ilmu sesuai bakat, minat, dan kemampuan masing-masing jenjang usianya. Sehingga pendidikan itu sendiri memberikan dampak dan perubahan bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan negara. Menurut Plato, idealnya dalam sebuah negara pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapatkan perhatian yang sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan oleh negara. Karena pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut (Amka, 2019). ➢ Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles (367-345 SM) Aristoteles adalah murid plato. Dia adalah seorang cendikiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berutang budi padanya oleh karena banyaknya kemajuan pemikiranya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, khususnya logika, politik, etika, biologi, dan psikologi. Aristoteles lahir tahun 394 SM, di Stagira, sebuah kota kecil di semenanjung Chalcidice di sebelah barat laut Egea. Ayahnya, Nichomachus adalah dokter perawat Amyntas II, raja Macedonia, dan ibunya, Phaesta mempunyai nenek moyang terkemuka. Menurut Aristoteles, agar orang bisa hidup baik maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, melainkan soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, yaitu akal, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, sehingga ia memerlukan dukungan perasaan yang lebih tinggi agar di arahkan secara benar (Amka, 2019). C. Aliran Filsafat Pendidikan Modern 1. Aliran Idealisme a) Pengertian Idealisme Menurut Amirudin dalam Saragih, dkk. (2021) Idealisme merupakan salah satu aliran yang dianggap memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, meski demikian aliran ini kurang memiliki pengaruh langsung pada abad XX dibandingkan dengan masa sebelumnya. Akan tetapi, gagasan-gagasan idealisme masih merembes ke dalam pemikiran pendidikan barat. Idealisme ini dipopulerkan oleh plato (427-347 SM). Plato berpendapat bahwasanya kebenaran-kebenaran universal itu pada setiap aspek kehidupan, termasuk politik, agama, etika dan pendidikan. Idealisme ini merupakan sebuah aliran yang memiliki pandangan bahwa hakikat segala sesuatu ada pada tataran ide. Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam realitas ide dan pikiran bukan pada hal yang bersifat materi. Meskipun demikian, idealisme tidak mengingkari adanya materi. Materi merupakan hal luar apa yang disebut hakikat terdalam, yakni akal atau ruh, sehingga materi menjadi bungkus luar pada hakikat, pikiran, akal, budi, ruh dan nilai. Dengan demikian idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal yang abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme dipercaya bahwa watak suatu objek adalah spiritual, non material dan idealistik. Rusdi menjelaskan bahwa pemikiran idealisme selalu identik dengan Plato. Platolah yang sering dihubungkan dengan aliran filsafat idealisme. Hal demikian, karena mengingat bahwasanya Plato merupakan bapak aliran idealisme atau pencetus filsafat idealisme.menurut plato hakikat segala sesuatu yang ada dibalik materi atau bendawi, tetapi suatu yang ada dibalik materi itu yakni ide. Ide bersifat kekal, immaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide tidak ikut musnah. Dalam mencari kebenaran, Plato berpandangan bahwasanya kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia nyata, sebab dunia nyata ternyata tidak permanen dan selalu mengalami perubahan. Artinya bahwa dunia materi bukanlah dunia yang sebenarnya, tetapi merupakan analogi atau ilusi semata yang dihasilkan oleh panca indra (Saragih, dkk. 2021). b) Konsep Pendidikan Idealisme Yanuarti dalam Saragih, dkk. (2021) mengatakan tujuan pendidikan menurut aliran idealisme terbagi menjadi 3 hal, yakni tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat dan tujuan yang berkaitan dengan Tuhan. Pendidikan untuk individualisme disini antara lain agar peserta didik mampu menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermanfaat, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup yang bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk lebih baik. Tujuan untuk kehidupan masyarakat ialah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekedar menuntut hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individu dengan sosial sehingga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan. Kedudukan peserta didik menurut aliran idealisme merupakan individu yang bebas akan mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar yang sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Sehingga peserta didik merupakan orang pribadi, sebagai makhluk spiritual. Peserta didik menganut aliran idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Para filsuf idealisme memiliki harapan yang sangat tinggi bagi para guru. Keunggulan harus ada pada diri guru baik secara moral dan intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting dalam sistem sekolah selain guru. Guru memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan dan menciptakan lingkungan pendidikan serta mengembangkan kepribadian dan bakat yang dimiliki oleh peserta didik. Sehingga, peran pendidik tidak hanya cukup mengajar peserta didik saja tentang bagaimana berpikir, sangat penting bahwa apa yang siswa pikirkan menjadi kenyataan dalam perbuatan. Dari Sinilah guru dituntut memiliki keunggulan moral dan intelektualnya. Rusdi menjelaskan bahwa materi pembelajaran dalam aliran idealisme ini dapat dilihat dari sudut pandang epistemologinya. Apabila kebenaran merupakan ide gagasan, maka kurikulum yang harus disusun seputar materi kajian yang mengantar peserta didik untuk langsung terjun dengan ide dan gagasan. Oleh sebab itulah kurikulum bagi aliran idealisme menekankan pandangan humanitis. Bagi idealisme, kurikulum merupakan organ yang vital intelektual atau disiplin keilmuan yang bersifat ideal dan konseptual. Sistem konseptual yang bervariasi tersebut menjelaskan dan didasarkan pada manifestasi khusus dari yang absolut. Tujuan dan metode dapat dirumuskan sebagai penyerapan ide dan gagasan. Metodologi guru yang ada di dalam kelas seringkali dilihat dalam bentuk lecturing (penyampaian kuliah) dengan pengertian pengetahuan ditransfer dari guru ke murid. Dengan demikian bahwasanya metode pengajaran dalam pandangan idealisme salah satunya adalah penyampaian dengan menggunakan uraian kata-kata, sehingga materi yang diberikan ke peserta didik terkesan verbal dan abstrak (Saragih, dkk. 2021). 2. Aliran Konstruktivisme a) Pengertian Konstruktivisme Aliran konstruktivisme menurut Suparlan dalam Saragih, dkk. (2021) merupakan salah satu aliran yang sudah tidak asing lagi kita dengar bagi dalam dunia pendidikan. Konstruktivisme memiliki makna membangun. Dalam konteks dunia pendidikan, konstruktivisme merupakan suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Bahwasanya konstruktivisme ini sebuah teori yang sifatnya membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman dalam proses pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat diharapkan keaktifan dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya. Konstruktivisme ini merupakan aktivitas yang aktif, di mana para peserta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah dimilikinya. Dengan kata lain, memahami apa yang telah mereka pelajari dengan cara menerapkan konsep- konsep yang diketahuinya kemudian mempraktikkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Nursikin menjelaskan bahwa konstruktivisme dikembangkan oleh jean piaget dalam bidang Pendidikan dengan istilah konstruktivisme kognitif atau personal contructivisme. Jean piaget meyakini bahwasanya belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Pengetahuan bukanlah sebuah tiruan dari kenyataan (realitas), pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Seseorang dapat membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dan setiap kali akan mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Saragih, dkk. 2021). b) Konsep Pendidikan Konstruktivisme Menurut Nursikin konsep pendidikan konstruktivisme ini bahwasanya belajar merupakan suatu kegiatan yang aktif dilakukan oleh peserta didik yang membangun pengetahuannya secara mandiri. Hal ini merupakan sebuah proses penyesuaian konsep dan ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam diri peserta didik. Peserta didik harus mampu membuat hipotesis, memecahkan masalah, mencari jawaban, menggambarkan, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan dan lain-lain untuk membentuk konstruktif yang baru. Teori konstukrtivisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar seorang siswa harus memiliki penekanan. Siswa yang harus aktif dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuan, bukan guru ataupun orang lain. Kreatif dan inovatif dari peserta didik akan menghasilkan orang yang lebih kritis dalam menganalisis suatu hal karena siswa berpikir bukan meniru saja. Mengajar juga demikian tidak hanya mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah mengerti (guru) kepada yang belum mengerti (peserta didik), melainkan membantu seseorang agar mampu mengkonstruksi pengetahuan lewat kegiatan terhadap berbagai macam fenomena dan objek yang diketahui oleh peserta didik. Oleh sebab itu, menurut aliran konstruktivisme guru hanya sebatas mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Pendekatan kepada peserta didik yang belajar, dan bukan pada guru yang mengajar. Penekanan pada siswa ini belakangan mengakibatkan konsep learning centered yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Tugas guru dalam proses ini adalah merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan konsepnya (Saragih, dkk. 2021). c) Kelebihan dan Kekurangan Aliran Filsafat Kontruktivisme Menurut Suparlan kelebihan konstruktivisme yang dimiliki adalah sebagai berikut: 1. Guru bukan satu-satunya sumber belajar 2. Siswa lebih aktif dan kreatif 3. Pembelajaran menjadi lebih bermakna 4. Pembelajaran memiliki kebebasan dalam proses kegiatan belajar mengajar Adapun Kekurangan konstruktivisme menurut Suparlan, di antaranya sebagai berikut: 1. Belajar konstruktivisme secara konseptual adalah proses belajar yang bukan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa kepada pengalaman melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitif 2. Peran siswa, menurut pandangan ini, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. 3. Peran guru tidak menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri 4. Sarana belajar, pendekatan ini menekankan bahwa peran utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. 5. Evaluasi, pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan serta aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman (Saragih, dkk. 2021). 3. Aliran Realisme a) Pengertian Realisme Menurut Kristiawan dalam Saragih, dkk. (2021) Realisme merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian yakni subyek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak yang lainnya adalah adanya realitas diluar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Asristoteles (384-322 SM) merupakan murid plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari. Aliran realisme ini bersanding dekat dengan aliran idealisme meski dalam posisi yang dikotomik. Realisme menegaskan bahwasanya sikap common sense yang diterima orang secara luas dan benar, artinya bahwa bidang alam atau objek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa pengalaman kita tidak mengubah fakta benda yang kita rasakan. Realisme mencerminkan objektivisme yang mendasari dan menyokong sains modern. Realisme menerima kenyataan bahwa dunia ini berbeda-beda tergantung kepada pengalaman masing- masing subjek. Realisme bertentangan secara tajam dengan idealisme, realisme merupakan sikap untuk menjaga subjek dari penilaiannya terhadap benda-benda, dengan membiarkan objek-objek berbicara sendiri kepada subjek. Realisme melukiskan dunia ini sebagaimana adanya dan tidak menurut keinginannya. Penekanannya kepada dunia luar yang berdiri sendiri. b) Pandangan dalam Pendidikan Sutono dalam Saragih, dkk. (2021) Pendidikan merupakan sebuah kajian atau pembelajaran terkait disiplin keilmuan yang melaluinya kemudian kita mendapatkan definisi dan juga pengelompokannya. Sejarah sains dan matematika merupakan tubuh dari pengetahuan. Apabila kita memahami maka kita akan lebih luas lagi untuk mengetahui tentang dunia di mana kita tinggal ini. Pengetahuan merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk menuntun dan mengenal lingkungan. Dalam mata ajar yang diberikan, kaum realis banyak menggunakan metode-metode yang memungkinkan siswa melakukan percobaan sehingga pada gilirannya akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Demonstrasi di laboratorium juga menjadi salah satu metode pembelajaran yang efektif dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator, yang memberikan serangkaian ide dasar dan kemudian memberikan kesempatan bagi siswa untuk mempraktekkan subjek atau bahan ajar yang tengah dilakukan. Aktivitas diskusi juga menjadi sangat efektif dalam kegiatan kelas bagi penganut aliran realisme. Ide dasar dari pandangan kaum realis sangat berbeda ketika disandingkan dengan apa yang diajarkan oleh aliran idealisme. Aliran idealisme memiliki kepercayaan bahwa seorang siswa diharapkan selalu memiliki keinginan untuk menjadi sempurna. Dalam alam semesta yang realitasnya terpusat pada ide gagasan dan akan pikiran kejiwaan maka aspek paling penting dari pelajar adalah intelektualnya, karena peserta didik merupakan sebuah akal pikir mikroskosmik. Pada akal dan pikiranlah usaha serius pendidikan harus diarahkan, karena pengetahuan yang benar dapat dicapai hanya melalui akal dan pikir. Atas dasar itu, tujuan pendidikan sebenarnya adalah memfokuskan pada perkembangan mental peserta didik (Saragih, dkk. 2021). 4. Aliran Progresivisme a) Pengertian Progresivisme Aliran progresivisme menurut Anwar dalam Saragih, dkk. (2021) merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang pada abad ke XX dan memiliki pengaruh dalam pembaharuan dunia pendidikan. Perkembangan tersebut didorong oleh aliran naturalisme dan eksperimentalisme, isntrumentalisme, evironmentalisme dan pragmatisme sehingga aliran progresivisme ini disebut sebagai salah satu dari aliran tadi. Progresivisme disebut sebagai naturalisme yang memiliki pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta ini. Nursikin dalam Saragih, dkk. (2021) mengatakan bahwa Pencetus aliran progresivisme yang paling populer ialah jhon dewey. Aliran ini sebenarnya bermuara pada aliran filsafat pragmativisme yang diperkenalkan oleh William james (1842-1910) dan jhon dewey (1859- 1952) yang menitikberatkan pada manfaat praktis. Filsafat pragmativisme dipengaruhi oleh ide-ide filsafat pragmativisme yang telah memberikan konsep-konsep dasar dengan asas yang utama, bahwa manusia mampu survive menghadapi tantangan hidup, bahwasanya manusia harus mampu bersikap pragmatis dalam memandang sebuah kehidupan. Menurut Amka dalam Saragih, dkk. (2021) hal itu disebabkan manusia memiliki naluri selalu menginginkan perubahan-perubahan. Menurut imam bernadib, bahwasanya progresivisme menghendaki pendidikan harus progresif atau maju, semua dilakukan oleh pendidikan agar manusia mampu mengalami kemajuan, sehingga orang yang akan bertindak dengan intelegensinya sesuai dengan tuntutan dan lingkungan. Pertumbuhan masyarakat maju melahirkan kelompok- kelompok masyarakat yang mandiri. Hal ini didorong oleh fitrah manusia yang membutuhkan pengakuan atas kehadirannya di tengah masyarakat. Semakin besar kompleksitas masyarakat akibat pembangunan, semakin kuat hasrat memperoleh pengakuan terhadap kehadiran diri sebagai anggota masyarakat. Budiwibowo menjelaskan bahwa Progresivisme memiliki sebuah konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia memiliki kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi problematika yang bersifat menekan dan mengancam adanya manusia itu sendiri. Sehubungan dengan hal demikian progresivisme menolak adanya pendidikan yang bersifat otoriter. Alasan penolakannya didasarkan bahwa pendidikan yang bersifat otoriter dapat diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan pendidikan. Karena dianggap kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada siswa dalam proses pendidikannya. Inti perhatian dari progresivisme adalah untuk mendorong kemajuan atau progress dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang progresivisme merupakan bagian utama dari suatu budaya. Disamping kemajuan atau progres yang menjadi inti perhatian, progresivisme juga memperhatikan lingkungan dan pengalaman. Berkaitan dengan inti utama perhatian progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita hanya cukup diakui sebagai hal yang ada, tetapi yang ada itu harus dicari artinya bagi suatu kemajuan demi kebaikan (Saragih, dkk. 2021). b) Pandangan Tentang Pendidikan Progresivisme merupakan sebuah teori yang muncul dalam reaksi terhadap pendidikan tradisional yang selalu menekankan kepada metode formal pengajaran. Pada dasarnya teori ini menekankan kepada beberapa prinsip di antaranya ialah: 1) proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik, 2) peserta didik adalah sesuatu yang aktif bukan pasif, 3) peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing dan pengarah, 4) sekolah harus menciptakan iklim yang bersifat kooperatif dan demokratif, 5) aktivitas pembelajaran lebih fokus pada pemecahan masalah bukan untuk mengajarkan materi kajian. Yunus menjelaskan bahwa progresivisme berpendapat sebuah proses pendidikan memiliki dua bidang yang harus digarap, di antaranya dari segi psikologis dan sosiologis. Dilihat dari segi psikologis, seorang pendidik harus mampu mengetahui potensi dan daya yang ada pada peserta didik untuk dikembangkan. Dengan mengenal hal tersebut, Pendidik dapat memilih cara yang tepat dan landasan apa yang akan digunakan. Sedangkan dilihat dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana potensi dan daya itu harus dibimbing agar potensi yang dimiliki peserta didik dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna bagi anak tersebut (Saragih, dkk. 2021). 5. Aliran Perenialisme a) Pengertian Perenialisme Aliran perenialisme ini dipengaruhi oleh berbagai macam para tokoh, di antaranya ialah plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Asas yang dianut pada aliran perenialisme ini mengacu pada dua arah kiblat, yaitu perenialisme yang theologis bernaung dibawah supremasi gereja katolik, yang berorientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas dan perenialisme sekuler yang berpegang teguh pada ide dan cita-cita plato dan Aristoteles. Pokok dari pemikiran plato terkait ilmu pengetahuan dan nilai-nilai manifestasi pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama dari sebuah pendidikan adalah untuk membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan. Muttaqin dalam Saragih, dkk. (2021) menjelaskan Perenialisme memandang bahwa akibat dari kehidupan di zaman modern telah menimbulkan berbagai macam krisis diberbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis perenialisme memberikan sebuah jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme ini mengambil jalan regresif dikarenakan memiliki pandangan bahasanya tidak ada jalan lain kecuali dengan kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman Yunani kuno dan abad pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas dan nilai-nilai zaman tersebut. Menutut Budiwibowo dalam Saragih, dkk. (2021) Perenialisme merupakan filsafat yang susunan bangunan ilmunya merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu premis-premis yang disusun merupakan hasil pikiran yang memberi kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan jujur. Dengan demikian perenialisme ini tidak sepaham dengan prinsip-prinsip yang evolusionistis dan naturalistis. Menurut Siregar Perenialisme sebagai salah satu aliran filsafat pendidikan yang mendasari dirinya pada keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang dan waktu mestilah membentuk dasar pendidikan seseorang. Oleh sebab itu tugas pendidikan itu mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang mana pengetahuan termasuk kebenaran. Kebenaran tersebut di mana-mana sama, sedemikian rupa menjadikan pendidikan itu di manapun mesti sama. Sedangkan peserta didik sebagai individu yang dipandang oleh kelompok adalah makhluk yang rasional dan spiritual. Pendidikan menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan (Saragih, dkk. 2021). b) Konsep Pendidikan Perenialisme Sebagaimana dijelaskan bahwasanya perenialisme merupakan aliran yang menempatkan nilai pada supremasi kebenaran tertinggi yang bersumber pada Tuhan. Sasaran utama yang akan dicapai adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi tak terikat waktu dan ruang”. Penyadaran nilai dalam pendidikan harus didasarkan pada nilai kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari wahyu dan hal yang dilakukan melalui proses penanaman nilai pada peserta didik. Mu’ammar dalam Saragih, dkk. (2021) menjelaskan Perenialisme memandang peserta didik sebagai makhluk rasional sehingga guru memiliki posisi dominan dalam kegiatan proses pembelajaran di kelas dan membimbing diskusi agar memudahkan peserta didik. Setiap peserta didik dianggap telah memiliki potensi yang harus diarahkan sehingga memiliki kebenaran- kebenaran secara tepat. Dorongan mencari pengetahuan atau dorongan ada dalam diri manusia untuk memunculkan sikap selalu ingin tahu dan mempelajari hal-hal yang ada di sekitarnya. Pendidikan juga demikian, orang yang memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi peserta didik baik dari segi aspek kognitif, afektif maupun psikomotoriknya. Kurikulum yang digunakan oleh aliran perenialisme berorientasi pada mata pelajaran. Bentuk kurikulum ini merupakan desain paling populer, paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subjek centered, kurikulum dipusatkan pada isi/ materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata pelajaran dan mata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Karena lebih mengutamakan isi atau bahan ajar kurikulum subject centered ini disebut sebagai subject academic curriculum. Menurut Mu’ammar Aliran perenialisme membedakan kurikulum sesuai dengan berdasarkan tingkatannya, yaitu: 1. Pendidikan dasar, sebagai persiapan bagi kehidupan di dalam masyarakat, dengan kurikulum utama membaca, menulis dan berhitung. 2. Pendidikan menengah, pada tahap ini menekankan adanya kurikulum tertentu yang digunakan sebagai latihan berpikir, seperti bahasa asing, logika, retorika dan lain sebagainya. 3. Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi sebagai lanjutan dari pendidikan menengah memiliki prinsip untuk mengarahkan dalam mencapai tujuan kebajikan intelektual. 4. Pendidikan orang dewasa, bertujuan meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan sebelumnya. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana, agar orang dewasa dapat memerankan perannya sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Sedangkan metode pendidikan yang dilakukan oleh aliran perenialisme menggunakan metode bentuk diskusi untuk menganalisis buku-buku yang tergolong karya besar, terutama karya filosof terkemuka seperti plato, Aristoteles dan lain sebagainya. Metode ini dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa akal pikiran memiliki kemampuan analisis induktif dan sintesis deduktif (Saragih, dkk. 2021). 6. Aliran Esensialisme a) Pengertian Esensialisme Budiwibowo dalam Saragih (2021) menjelaskan Esensialisme memiliki tinjauan mengenai kultur dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Progresivisme memandang bahwasanya sesuatu hal memiliki sifat yang serba fleksibel dan bahwa nilai-nilai itu dapat berubah dan berkembang. Esensialisme menganggap bahwa dasar berpijak semacam itu dianggap kurang. Fleksibilitas dalam pendidikan, segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu. Sehubungan dengan hal demikian pendidikan harus bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Oleh sebab itulah agar memenuhi maksud tersebut nilai-nilai tersebut harus dipilih yaitu nilai-nilai yang memiliki tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-Nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif. Idealisme dan realisme merupakan aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing bersifat eklektik. Artinya dua aliran filsafat ini bertemu dengan pendukung esensialisme, tetapi tidak merger menjadi satu, sehingga tidak melepaskan sifat utama masing-masing aliran. Menurut Muttaqin pada aliran esensialisme ini menitikberatkan pada tujuan pewarisan nilai-nilai kultural historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif dan terbukti mampu bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh seluruh khalayak umum. Pengetahuan ini dilaksanakan dengan memberikan skill, sikap dan nilai-nilai yang tepat, yang merupakan bagian esensi dari unsur-unsur pendidikan. Tujuan umum esensialisme ini merupakan untuk membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang dapat menggerakkan kehendak manusia (Saragih, dkk. 2021). b) Karakteristik Esensialisme Menurut Budiwibowo dalam Saragih, dkk. (2021) Esensialisme memiliki tinjauan mengenai kultur dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Progresivisme memandang bahwa suatu hal itu bersifat yang serba fleksibel dan bahwa nilai-nilai itu pada hakikatnya berubah dan berkembang. Esensialisme menganggap bahwa dasar berpijak yang semacam itu dianggap kurang tepat. Fleksibilitas dalam dunia pendidikan, segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu. Sehubungan dengan hal ini pendidikan harus bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Oleh sebab itu, untuk memenuhi maksud tersebut nilai-nilai harus dipilih, yaitu nilai-nilai yang memiliki taat dan aturan yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Pada dasarnya filsafat pendidikan aliran esesnsialisme bertitik tolak dari kebenaran yang dianggap telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Jika dilihat dari segi proses perkembangannya, esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan realisme, aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya akan ide-ide, apabila hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan dua aliran tersebut bersifat elektik yakni keduanya berposisi sebagai pendukung, tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-masing (Saragih, dkk. 2021). c) Konsep Pendidikan Esensialisme Konsep pendidikan esensialisme menurut Yunus dalam Saragih, dkk. (2021) bahwasanya sekolah harus melatih, mengajar atau mendidik peserta didik agar memiliki komunikasi dengan jelas dan logis. Keterampilan inti kurikulum harus berupa membaca, menulis, berbicara dan berhitung. Selain itu juga, sekolah memiliki tanggungjawab untuk memperhatikan penguasaan peserta didik terhadap keterampilan tersebut, karena implementasi kurikulum membutuhkan dukungan media, sarana, dan lingkungan yang memadai. Menurut filsafat esensialisme, pendidikan sekolah bersifat praktis dan memberi pengajaran yang logis dan mampu mempersiapkan suatu keterampilan bagi para peserta didik. Dalam hal ini, sekolah tidak boleh memengaruhi atau menetapkan kebijakan sosial. Yunus menjelaskan dalam konsep esensialisme pendidikan bertujuan untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berpusat pada mata pelajaran dan berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Penguasaan materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang bersifat esensialisme genarl education yang diperlukan dalam hidup. Peran sekolah adalah untuk memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi muda dewasa ini, melalui hikmat dan pengalaman yang terakumulasi dari disiplin tradisional. Guru memiliki peran lebih khusus, di mana guru dianggap sebagai seorang yang menguasai lapangan, subjek khusus dan merupakan model yang baik untuk digugu dan ditiru (Saragih, dkk. 2021). DAFTAR PUSTAKA
Carter V. Good. (1959). Dictionary of Education. New York: Grew Hill Book. Kristiawan, Muhammad. (2016). Filsafat Pendidikan; The Choice Is Yours. Yogjakarta: Valia Pustaka. Saragih, Hisarma. dkk. (2021). Filsafat Pendidikan. Medan: Yayasan Kita Menulis. Sutisna, Oteng. (1990). Filsafat dan Ilmu Pendidikan. Jurnal Pendidikan. Nomor 4, Volume 9.