Anda di halaman 1dari 20

Tugas Resume 7

Rabu / 12-10-2022

RESUME FILSAFAT ILMU


“FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN”

OLEH:
Nurhamdin Putra (22175021)

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Fatni Mufit, S.Pd., M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
Filsafat Ilmu Pendidikan

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu Pendidikan


Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-
akarnya mengenal Pendidikan (Sutisna, 1990). Ada beberapa pendapat dari para ahli tentang
Filsafat pendidikan diantaranya sebagai berikut:
1. Al- syaibany
Filsafat pendidikan adalah aktivitas fikiran yang teratur yang menjadikan filasafat tersebut
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
2. Jhon dewey
Filasafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik
yang menyangkut daya fikir (intelektual) maupun daya perasaan(emosional), menuju tabiat
manusia.
3. Imam barnadid
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan dalam bidasng pendidikan baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu
analaisis filosofis terhadap bidang pendidikan.
4. Brubachen
Filsafat penddikan adalah seperti menaruh sebuah kereta didepan seekor kuda, dan filsafat
dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan berdiri
secara bebas memperoeh keuntungan karena mempunyai kaitan dengan filsafat umum.
5. Randal curren
Filsafat pendidikan adalah penerapan serangkaian keyakinan-keyakinan filsafat dalam praktik
Pendidikan.
Menurut Dictionary of Education oleh Carter V. Good, filsafat pendidikan itu adalah:
1. Suatu upaya yang hati-hati,kritis dan sistematik secara intelektual untuk melihat pendidikan
sebagai suatu keseluruhan dan sebagai satu bagian keseluruhan dari budaya manusia.
2. Suatu filsafat yang menyangkut atau yang diterapkan terhadap proses pendidikan umum atau
pendidikan swasta dan digunakan sebagi dasra bagi ketentuan umum,bagi penafsirannya dan
untuk mengevaluasi masalah-masalah pendidikan yang menyangkut tujuan,pelaksanaan
sehari-hari,hasil-hasilnya,keperluan-keperluan siswa dan masyarakat,bahan-bahan yang
digunakan dalam belajar dan semua segi yang diperlukan dilapangan.
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah
pendidikan. Filsafat akan menentukan “mau dibawa kemana” siswa kita. Filsafat merupakan
perangkat nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh
sebab itu, filsafat yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang
dianut oleh perorangan (dalam hal ini Dosen/ Guru) akan sangat mempengaruhi tujuan pendidikan
yang ingin dicapai (Kristiawan, 2016). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpilkan bahwa
yang dimaksud dengan filsafat pendidikan itu adalah usaha-usaha untuk memahami sedalam-
dalamnya hakikat pendidikan dari berbagai segi seperti eksistensi, fungsi, ciri-ciri, kegunaan,
pelaku, hasil-hasil, tujuan,kurikulum, masalah-masalah serta cara-cara memecahkan masalah itu.
Falsafah yang dianut oleh suatu Negara bagaimanapun akan mewarnai tujuan pendidikan di
negara tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan suatu negara akan berbeda dengan negara
lainnya, disesuaikan dengan falsafah yang dianut oleh negara-negara tersebut. Tujuan pendidikan
pada dasarnya merupakan rumusan yang komprehemsif mengenai apa yang seharusnya dicapai.
Tujuan itu memuat pernyataan-pernyataan (statement) mengenai berbagai kemampuan yang
diharapkan dapat dimiliki oleh siswa selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianut. Hal ini
menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara filsafat yang dianut dengan tujuan
pendidikan yang dirumuskan.
Filsafat pendidikan pada hakekatnya adalah penerapan analisa filsafat terhadap lapangan
pendidikan. John Dewey mengatakan bahwa filsafat adalah teori umum dari pendidikan, landasan
dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran sesuai cabang-cabang filsafat turut
mempengaruhi pelaksanaan pendidikan. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mengkaji
hakikat: hakikat dunia, hakikat manusia termasuk hakikat anak. Anak adalah manusia yang terdiri
dari jasmani atau rohani atau keduanya. Metafisika memiliki implikasi penting untuk pendidikan
karena kurikulum sekolah berdasarkan apa yang kita ketahui mengenai realita. Kenyataannya apa
yang harus diajarkan di sekolah, selalu memiliki pandangan mengenai realita.
a. Ontologi dan Pendidikan
1) Teologi
Masyarakat Indonesia berkeyakinan bahwa pencipta alam semesta adalah Tuhan yang
Maha Kuasa. Setiap yang hidup akan kembali kepada-Nya dan akan
mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Keyakinan seperti itu akan mempengaruhi
sistem pendidikan yang diselenggarakan masyarakat. Pendidikan akan selalu
mempertimbangkan hubungan manusia dengan Tuhannya. Sebagai implikasinya mata
pelajaran agama menjadi mata pelajaran pokok dalam kurikulum.
Sebaliknya pada masyarakat yang berkeyakinan bahwa manusia hanya jasad yang terdiri
dari unsur-unsur kimia dan tidak akan ada kehidupan lain setelah mati, maka pendidikan pada
masyarakat seperti itu tidak akan mempertimbangkan kehidupan rohani. Tujuan pendidikan
yang dipertimbangkan hanyalah kehidupan duniawi, tidak akan dipertimbangkan kehidupan
setelah mati.
2) Kosmologi
Implikasi kajian kosmologi terhadap pendidikan adalah kosmologi akan mengisi
kepribadian manusia dengan realita fisik. Siswa harus mengenal alam yang menjadi tempat
hidup, mengenal lingkungan, mengenal hukum-hukum alam, hukum-hukum kausal, sehingga
mengerti akan keteraturan di jagad raya ini.
3) Manusia
Metafisika mempersoalkan hakikat realita, termasuk hakikat manusia dan hakikat anak.
Pendidikan merupakan kegiatan khas manusiawi. Hanya manusia yang secara sadar
melakukan pendidikan untuk sesamanya. Pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh
manusia dan untuk manusia. Oleh karena itu pembicaraan mengenai pendidikan tidak bisa
lepas dari pembicaraan mengenai manusia.
Pendidikan dalam arti luas adalah usaha membantu manusia merealisasikan dirinya,
memanusiakan manusia. Pendidikan membantu manusia menyingkap rahasia alam,
mengembangkan fitrah yang memiliki potensi untuk dikembangkan, mengarahkan
kecendrungannya dan membimbingnya demi kebaikannya dan masyarakat. Pada akhirnya
dengan pertolongan dan bimbingan tadi, manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya,
insan kamil, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Pendidikan akan mencakup pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai. Isi pendidikan adalah
tindakan yang akan membawa peserta didik mengalami dan menghayati nilai-nilai
kemanusiaan, menghargai, dan meyakini, sehingga peserta didik membangun nilai-nilai
tersebut kedalam kepribadiannya. Pendidikan merupakan upaya membantu dan membimbing
peserta didik dalam mengembangkan dan memperkuat hati nuraninya.
Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang dimanifestasikan dalam ajaran agama, harus
memayungi segala bentuk kehidupan manusia sebagai individu maupun sosial, termasuk
pendidikan. Nilai-nilai agama bukan sekedar dipelajari, namun harus dihayati dan akhirnya
menjadi milik pribadi yang akan tercermin dalam semua tindak-tanduk sehari-hari.
b. Epistemologi dan Pendidikan
Epistemologi diperlukan dalam menyusun kurikulum. Kurikulum lazimnya diartikan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang
perlu dilewati siswa dalam usahanya mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka
berhasil dalam mencapai tujuan, perlu diperkenalkan sedikit demi sedikit tentang hakikat
pengetahuan. Epistemologi memberikan sumbangan bagi filsafat pendidikan. Pengetahuan apa
yang harus diberikan pada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan serta bagaimana
cara menyampaikan pengetahuan merupakan sumbangan epistemologi dalam pendidikan.
c. Aksiologi dan Pendidikan
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas nilai baik dan buruk serta indah dan
jelek. Nilai terkait erat dengan pendidikan. Nilai selalu menjadi pertimbangan dalam
merumuskan tujuan pendidikan. Perumusan tujuan pendidikan tanpa mempertimbangkan
nilai-nilai adalah hampa. Selain itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural
dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai.
Etika dapat membantu guru dalam cara-cara berpikir menghadapi permasalahan-
permasalahan sulit untuk menentukan tindakan yang benar. Sedangkan estetika membantu
guru meningkatkan keefektifan pembelajaran. Pada dasarnya pembelajaran dapat dipandang
sebagai suatu bentuk ekspresi artistik, dan dapat dinilai menurut standar-standar artistik dari
keindahan dan kualitas. Berkenaan dengan ini guru adalah seniman dan secara terus menerus
berusaha meningkatkan kualitas kerjanya.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik
potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya. mengatakan Pendidikan adalah upaya memulikan
kemanusiaan manusia. Undang-undang No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dasar pendidikan
adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam
keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis dan dinamis guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan. Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan
menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai
oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia
guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan
teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat
hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia
dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia (Kristiawan, 2016).
B. Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates, Plato dan Aristoteles
➢ Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates (470- 399 SM)
Smith menjelaskan bahwa dalam sejarah filsafat, Socrates adalah salah seorang pemikir besar
kuno yang gagasan filosofis dan metode pengajaraanya sangat mempengaruhi teori dan praktik
pendidikan di seluruh dunia barat. Socrates lahir di Athena, merupakan putra seorang pemahat dan
seorang bidan yang tidak begitu dikenal, yaitu Sophonicus dan Phaenarete. Prinsip dasar
pendidikan, menurut Socrates adalah metode dialektis. Meode ini di gunakan Socrates sebagai
dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seseorang berpikir cermat, untuk
menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh
memaksakan gagasan-gagasan atau pengetahuannya kepada seorang siswa, karena seorang siswa
dituntut untuk bisa mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis. Metode
ini tidak lain digunakan untuk meneruskan intelektualitas, mengembangkan kebiasaan-kebiasaan
dan kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang benar adalah untuk
merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan
intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Amka, 2019).
➢ Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Plato (427-347 SM)
Smith menerangkan bahwa Plato dilahirkan dalam keluarga aristrokrasi di Athena, serikat 427
SM. Ayahnya Ariston, adalah keturunan dari raja pertama Athena yang pernah berkuasa pada abad
ke-7 SM. Sementara ibunya, Periction adalah keturunan keluarga solon, seorang pembuat undang-
undang, penyair, memimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri demokrasi Athena termuka.
Raper mengungkapkan bahwa Plato berpendapat pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya
selaku individu maupun sebagai warga negara. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap
warga negaranya. Namun demikian, setiap peserta didik harus diberi kebebasan untuk mengikuti
ilmu sesuai bakat, minat, dan kemampuan masing-masing jenjang usianya. Sehingga pendidikan
itu sendiri memberikan dampak dan perubahan bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan negara.
Menurut Plato, idealnya dalam sebuah negara pendidikan memperoleh tempat yang paling utama
dan mendapatkan perhatian yang sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan oleh negara. Karena
pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan
dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa
yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa
yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut (Amka, 2019).
➢ Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Aristoteles (367-345 SM)
Aristoteles adalah murid plato. Dia adalah seorang cendikiawan dan intelek terkemuka,
mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berutang budi padanya oleh karena banyaknya
kemajuan pemikiranya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, khususnya logika, politik, etika,
biologi, dan psikologi. Aristoteles lahir tahun 394 SM, di Stagira, sebuah kota kecil di
semenanjung Chalcidice di sebelah barat laut Egea. Ayahnya, Nichomachus adalah dokter perawat
Amyntas II, raja Macedonia, dan ibunya, Phaesta mempunyai nenek moyang terkemuka. Menurut
Aristoteles, agar orang bisa hidup baik maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan
bukanlah soal akal semata-mata, melainkan soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan
yang lebih tinggi, yaitu akal, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, sehingga ia
memerlukan dukungan perasaan yang lebih tinggi agar di arahkan secara benar (Amka, 2019).
C. Aliran Filsafat Pendidikan Modern
1. Aliran Idealisme
a) Pengertian Idealisme
Menurut Amirudin dalam Saragih, dkk. (2021) Idealisme merupakan salah satu aliran yang
dianggap memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, meski demikian aliran ini kurang
memiliki pengaruh langsung pada abad XX dibandingkan dengan masa sebelumnya. Akan
tetapi, gagasan-gagasan idealisme masih merembes ke dalam pemikiran pendidikan barat.
Idealisme ini dipopulerkan oleh plato (427-347 SM). Plato berpendapat bahwasanya
kebenaran-kebenaran universal itu pada setiap aspek kehidupan, termasuk politik, agama, etika
dan pendidikan.
Idealisme ini merupakan sebuah aliran yang memiliki pandangan bahwa hakikat segala
sesuatu ada pada tataran ide. Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam realitas
ide dan pikiran bukan pada hal yang bersifat materi. Meskipun demikian, idealisme tidak
mengingkari adanya materi. Materi merupakan hal luar apa yang disebut hakikat terdalam,
yakni akal atau ruh, sehingga materi menjadi bungkus luar pada hakikat, pikiran, akal, budi,
ruh dan nilai. Dengan demikian idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal
yang abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme dipercaya bahwa watak suatu
objek adalah spiritual, non material dan idealistik.
Rusdi menjelaskan bahwa pemikiran idealisme selalu identik dengan Plato. Platolah yang
sering dihubungkan dengan aliran filsafat idealisme. Hal demikian, karena mengingat
bahwasanya Plato merupakan bapak aliran idealisme atau pencetus filsafat idealisme.menurut
plato hakikat segala sesuatu yang ada dibalik materi atau bendawi, tetapi suatu yang ada dibalik
materi itu yakni ide. Ide bersifat kekal, immaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur,
ide tidak ikut musnah. Dalam mencari kebenaran, Plato berpandangan bahwasanya kebenaran
tidak dapat ditemukan dalam dunia nyata, sebab dunia nyata ternyata tidak permanen dan
selalu mengalami perubahan. Artinya bahwa dunia materi bukanlah dunia yang sebenarnya,
tetapi merupakan analogi atau ilusi semata yang dihasilkan oleh panca indra (Saragih, dkk.
2021).
b) Konsep Pendidikan Idealisme
Yanuarti dalam Saragih, dkk. (2021) mengatakan tujuan pendidikan menurut aliran
idealisme terbagi menjadi 3 hal, yakni tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat dan
tujuan yang berkaitan dengan Tuhan. Pendidikan untuk individualisme disini antara lain agar
peserta didik mampu menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermanfaat, memiliki
kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup yang bahagia, mampu menahan berbagai
tekanan hidup dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk lebih
baik. Tujuan untuk kehidupan masyarakat ialah perlunya persaudaraan sesama manusia.
Karena spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain.
Seseorang tidak sekedar menuntut hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan
yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa
saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara
tujuan individu dengan sosial sehingga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan
Tuhan.
Kedudukan peserta didik menurut aliran idealisme merupakan individu yang bebas akan
mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar yang sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Sehingga peserta didik merupakan orang
pribadi, sebagai makhluk spiritual. Peserta didik menganut aliran idealisme senantiasa
memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya
sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual.
Para filsuf idealisme memiliki harapan yang sangat tinggi bagi para guru. Keunggulan
harus ada pada diri guru baik secara moral dan intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih
penting dalam sistem sekolah selain guru. Guru memiliki tanggung jawab untuk
menghidupkan dan menciptakan lingkungan pendidikan serta mengembangkan kepribadian
dan bakat yang dimiliki oleh peserta didik. Sehingga, peran pendidik tidak hanya cukup
mengajar peserta didik saja tentang bagaimana berpikir, sangat penting bahwa apa yang siswa
pikirkan menjadi kenyataan dalam perbuatan. Dari Sinilah guru dituntut memiliki keunggulan
moral dan intelektualnya.
Rusdi menjelaskan bahwa materi pembelajaran dalam aliran idealisme ini dapat dilihat
dari sudut pandang epistemologinya. Apabila kebenaran merupakan ide gagasan, maka
kurikulum yang harus disusun seputar materi kajian yang mengantar peserta didik untuk
langsung terjun dengan ide dan gagasan. Oleh sebab itulah kurikulum bagi aliran idealisme
menekankan pandangan humanitis. Bagi idealisme, kurikulum merupakan organ yang vital
intelektual atau disiplin keilmuan yang bersifat ideal dan konseptual. Sistem konseptual yang
bervariasi tersebut menjelaskan dan didasarkan pada manifestasi khusus dari yang absolut.
Tujuan dan metode dapat dirumuskan sebagai penyerapan ide dan gagasan. Metodologi
guru yang ada di dalam kelas seringkali dilihat dalam bentuk lecturing (penyampaian kuliah)
dengan pengertian pengetahuan ditransfer dari guru ke murid. Dengan demikian bahwasanya
metode pengajaran dalam pandangan idealisme salah satunya adalah penyampaian dengan
menggunakan uraian kata-kata, sehingga materi yang diberikan ke peserta didik terkesan
verbal dan abstrak (Saragih, dkk. 2021).
2. Aliran Konstruktivisme
a) Pengertian Konstruktivisme
Aliran konstruktivisme menurut Suparlan dalam Saragih, dkk. (2021) merupakan salah
satu aliran yang sudah tidak asing lagi kita dengar bagi dalam dunia pendidikan.
Konstruktivisme memiliki makna membangun. Dalam konteks dunia pendidikan,
konstruktivisme merupakan suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya
modern. Bahwasanya konstruktivisme ini sebuah teori yang sifatnya membangun, membangun
dari segi kemampuan, pemahaman dalam proses pembelajaran. Sebab dengan memiliki sifat
membangun maka dapat diharapkan keaktifan dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya.
Konstruktivisme ini merupakan aktivitas yang aktif, di mana para peserta didik membina
sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan proses
menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah dimilikinya.
Dengan kata lain, memahami apa yang telah mereka pelajari dengan cara menerapkan konsep-
konsep yang diketahuinya kemudian mempraktikkannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
Nursikin menjelaskan bahwa konstruktivisme dikembangkan oleh jean piaget dalam
bidang Pendidikan dengan istilah konstruktivisme kognitif atau personal contructivisme. Jean
piaget meyakini bahwasanya belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Pengetahuan bukanlah sebuah tiruan dari kenyataan
(realitas), pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan
seseorang. Seseorang dapat membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan
yang diperlukan untuk pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dan setiap
kali akan mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Saragih, dkk. 2021).
b) Konsep Pendidikan Konstruktivisme
Menurut Nursikin konsep pendidikan konstruktivisme ini bahwasanya belajar merupakan
suatu kegiatan yang aktif dilakukan oleh peserta didik yang membangun pengetahuannya
secara mandiri. Hal ini merupakan sebuah proses penyesuaian konsep dan ide baru dengan
kerangka berpikir yang telah ada dalam diri peserta didik. Peserta didik harus mampu membuat
hipotesis, memecahkan masalah, mencari jawaban, menggambarkan, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan dan lain-lain untuk membentuk
konstruktif yang baru. Teori konstukrtivisme berpandangan bahwa dalam proses belajar
mengajar seorang siswa harus memiliki penekanan. Siswa yang harus aktif dalam
mengembangkan wawasan dan pengetahuan, bukan guru ataupun orang lain. Kreatif dan
inovatif dari peserta didik akan menghasilkan orang yang lebih kritis dalam menganalisis suatu
hal karena siswa berpikir bukan meniru saja.
Mengajar juga demikian tidak hanya mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah
mengerti (guru) kepada yang belum mengerti (peserta didik), melainkan membantu seseorang
agar mampu mengkonstruksi pengetahuan lewat kegiatan terhadap berbagai macam fenomena
dan objek yang diketahui oleh peserta didik. Oleh sebab itu, menurut aliran konstruktivisme
guru hanya sebatas mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik
berjalan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Pendekatan kepada peserta didik yang belajar,
dan bukan pada guru yang mengajar. Penekanan pada siswa ini belakangan mengakibatkan
konsep learning centered yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Tugas guru
dalam proses ini adalah merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid
mengungkapkan gagasan dan konsepnya (Saragih, dkk. 2021).
c) Kelebihan dan Kekurangan Aliran Filsafat Kontruktivisme
Menurut Suparlan kelebihan konstruktivisme yang dimiliki adalah sebagai berikut:
1. Guru bukan satu-satunya sumber belajar
2. Siswa lebih aktif dan kreatif
3. Pembelajaran menjadi lebih bermakna
4. Pembelajaran memiliki kebebasan dalam proses kegiatan belajar mengajar
Adapun Kekurangan konstruktivisme menurut Suparlan, di antaranya sebagai berikut:
1. Belajar konstruktivisme secara konseptual adalah proses belajar yang bukan perolehan
informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa kepada pengalaman
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur
kognitif
2. Peran siswa, menurut pandangan ini, belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan.
3. Peran guru tidak menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri
4. Sarana belajar, pendekatan ini menekankan bahwa peran utama dalam kegiatan belajar
adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
5. Evaluasi, pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan
serta aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman (Saragih, dkk. 2021).
3. Aliran Realisme
a) Pengertian Realisme
Menurut Kristiawan dalam Saragih, dkk. (2021) Realisme merupakan aliran filsafat yang
berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme
membagi realitas menjadi dua bagian yakni subyek yang menyadari dan mengetahui di satu
pihak dan di pihak yang lainnya adalah adanya realitas diluar manusia, yang dapat dijadikan
objek pengetahuan manusia. Asristoteles (384-322 SM) merupakan murid plato, namun dalam
pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya
disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat
pada alam kehidupan manusia sehari-hari.
Aliran realisme ini bersanding dekat dengan aliran idealisme meski dalam posisi yang
dikotomik. Realisme menegaskan bahwasanya sikap common sense yang diterima orang
secara luas dan benar, artinya bahwa bidang alam atau objek fisik itu ada, tak bersandar kepada
kita, dan bahwa pengalaman kita tidak mengubah fakta benda yang kita rasakan. Realisme
mencerminkan objektivisme yang mendasari dan menyokong sains modern. Realisme
menerima kenyataan bahwa dunia ini berbeda-beda tergantung kepada pengalaman masing-
masing subjek. Realisme bertentangan secara tajam dengan idealisme, realisme merupakan
sikap untuk menjaga subjek dari penilaiannya terhadap benda-benda, dengan membiarkan
objek-objek berbicara sendiri kepada subjek. Realisme melukiskan dunia ini sebagaimana
adanya dan tidak menurut keinginannya. Penekanannya kepada dunia luar yang berdiri sendiri.
b) Pandangan dalam Pendidikan
Sutono dalam Saragih, dkk. (2021) Pendidikan merupakan sebuah kajian atau
pembelajaran terkait disiplin keilmuan yang melaluinya kemudian kita mendapatkan definisi
dan juga pengelompokannya. Sejarah sains dan matematika merupakan tubuh dari
pengetahuan. Apabila kita memahami maka kita akan lebih luas lagi untuk mengetahui tentang
dunia di mana kita tinggal ini. Pengetahuan merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk
menuntun dan mengenal lingkungan. Dalam mata ajar yang diberikan, kaum realis banyak
menggunakan metode-metode yang memungkinkan siswa melakukan percobaan sehingga
pada gilirannya akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Demonstrasi di laboratorium
juga menjadi salah satu metode pembelajaran yang efektif dalam mentransfer pengetahuan
kepada siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator, yang memberikan serangkaian ide dasar
dan kemudian memberikan kesempatan bagi siswa untuk mempraktekkan subjek atau bahan
ajar yang tengah dilakukan. Aktivitas diskusi juga menjadi sangat efektif dalam kegiatan kelas
bagi penganut aliran realisme.
Ide dasar dari pandangan kaum realis sangat berbeda ketika disandingkan dengan apa yang
diajarkan oleh aliran idealisme. Aliran idealisme memiliki kepercayaan bahwa seorang siswa
diharapkan selalu memiliki keinginan untuk menjadi sempurna. Dalam alam semesta yang
realitasnya terpusat pada ide gagasan dan akan pikiran kejiwaan maka aspek paling penting
dari pelajar adalah intelektualnya, karena peserta didik merupakan sebuah akal pikir
mikroskosmik. Pada akal dan pikiranlah usaha serius pendidikan harus diarahkan, karena
pengetahuan yang benar dapat dicapai hanya melalui akal dan pikir. Atas dasar itu, tujuan
pendidikan sebenarnya adalah memfokuskan pada perkembangan mental peserta didik
(Saragih, dkk. 2021).
4. Aliran Progresivisme
a) Pengertian Progresivisme
Aliran progresivisme menurut Anwar dalam Saragih, dkk. (2021) merupakan salah satu
aliran filsafat pendidikan yang berkembang pada abad ke XX dan memiliki pengaruh dalam
pembaharuan dunia pendidikan. Perkembangan tersebut didorong oleh aliran naturalisme dan
eksperimentalisme, isntrumentalisme, evironmentalisme dan pragmatisme sehingga aliran
progresivisme ini disebut sebagai salah satu dari aliran tadi. Progresivisme disebut sebagai
naturalisme yang memiliki pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta
ini. Nursikin dalam Saragih, dkk. (2021) mengatakan bahwa Pencetus aliran progresivisme
yang paling populer ialah jhon dewey. Aliran ini sebenarnya bermuara pada aliran filsafat
pragmativisme yang diperkenalkan oleh William james (1842-1910) dan jhon dewey (1859-
1952) yang menitikberatkan pada manfaat praktis. Filsafat pragmativisme dipengaruhi oleh
ide-ide filsafat pragmativisme yang telah memberikan konsep-konsep dasar dengan asas yang
utama, bahwa manusia mampu survive menghadapi tantangan hidup, bahwasanya manusia
harus mampu bersikap pragmatis dalam memandang sebuah kehidupan. Menurut Amka dalam
Saragih, dkk. (2021) hal itu disebabkan manusia memiliki naluri selalu menginginkan
perubahan-perubahan. Menurut imam bernadib, bahwasanya progresivisme menghendaki
pendidikan harus progresif atau maju, semua dilakukan oleh pendidikan agar manusia mampu
mengalami kemajuan, sehingga orang yang akan bertindak dengan intelegensinya sesuai
dengan tuntutan dan lingkungan. Pertumbuhan masyarakat maju melahirkan kelompok-
kelompok masyarakat yang mandiri. Hal ini didorong oleh fitrah manusia yang membutuhkan
pengakuan atas kehadirannya di tengah masyarakat. Semakin besar kompleksitas masyarakat
akibat pembangunan, semakin kuat hasrat memperoleh pengakuan terhadap kehadiran diri
sebagai anggota masyarakat.
Budiwibowo menjelaskan bahwa Progresivisme memiliki sebuah konsep yang didasari
oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia memiliki kemampuan yang wajar dan dapat
menghadapi dan mengatasi problematika yang bersifat menekan dan mengancam adanya
manusia itu sendiri. Sehubungan dengan hal demikian progresivisme menolak adanya
pendidikan yang bersifat otoriter. Alasan penolakannya didasarkan bahwa pendidikan yang
bersifat otoriter dapat diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan
pendidikan. Karena dianggap kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada
siswa dalam proses pendidikannya.
Inti perhatian dari progresivisme adalah untuk mendorong kemajuan atau progress dari
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan dipandang progresivisme merupakan bagian utama dari suatu budaya. Disamping
kemajuan atau progres yang menjadi inti perhatian, progresivisme juga memperhatikan
lingkungan dan pengalaman. Berkaitan dengan inti utama perhatian progresivisme, ide-ide,
teori-teori atau cita-cita hanya cukup diakui sebagai hal yang ada, tetapi yang ada itu harus
dicari artinya bagi suatu kemajuan demi kebaikan (Saragih, dkk. 2021).
b) Pandangan Tentang Pendidikan
Progresivisme merupakan sebuah teori yang muncul dalam reaksi terhadap pendidikan
tradisional yang selalu menekankan kepada metode formal pengajaran. Pada dasarnya teori ini
menekankan kepada beberapa prinsip di antaranya ialah:
1) proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik,
2) peserta didik adalah sesuatu yang aktif bukan pasif,
3) peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing dan pengarah,
4) sekolah harus menciptakan iklim yang bersifat kooperatif dan demokratif,
5) aktivitas pembelajaran lebih fokus pada pemecahan masalah bukan untuk mengajarkan
materi kajian.
Yunus menjelaskan bahwa progresivisme berpendapat sebuah proses pendidikan memiliki
dua bidang yang harus digarap, di antaranya dari segi psikologis dan sosiologis. Dilihat dari
segi psikologis, seorang pendidik harus mampu mengetahui potensi dan daya yang ada pada
peserta didik untuk dikembangkan. Dengan mengenal hal tersebut, Pendidik dapat memilih
cara yang tepat dan landasan apa yang akan digunakan. Sedangkan dilihat dari segi sosiologis,
pendidik harus mengetahui kemana potensi dan daya itu harus dibimbing agar potensi yang
dimiliki peserta didik dapat diubah menjadi sesuatu yang berguna bagi anak tersebut (Saragih,
dkk. 2021).
5. Aliran Perenialisme
a) Pengertian Perenialisme
Aliran perenialisme ini dipengaruhi oleh berbagai macam para tokoh, di antaranya ialah
plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Asas yang dianut pada aliran perenialisme ini mengacu
pada dua arah kiblat, yaitu perenialisme yang theologis bernaung dibawah supremasi gereja
katolik, yang berorientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas dan perenialisme sekuler
yang berpegang teguh pada ide dan cita-cita plato dan Aristoteles.
Pokok dari pemikiran plato terkait ilmu pengetahuan dan nilai-nilai manifestasi pada
hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban sosial hanya akan
mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan
utama dari sebuah pendidikan adalah untuk membina pemimpin yang sadar dan
mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Muttaqin dalam Saragih, dkk. (2021) menjelaskan Perenialisme memandang bahwa akibat
dari kehidupan di zaman modern telah menimbulkan berbagai macam krisis diberbagai bidang
kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis perenialisme memberikan sebuah jalan
keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme ini mengambil jalan
regresif dikarenakan memiliki pandangan bahasanya tidak ada jalan lain kecuali dengan
kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman
Yunani kuno dan abad pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan aksiomatis
mengenai pengetahuan, realitas dan nilai-nilai zaman tersebut. Menutut Budiwibowo dalam
Saragih, dkk. (2021) Perenialisme merupakan filsafat yang susunan bangunan ilmunya
merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu premis-premis yang disusun merupakan hasil pikiran
yang memberi kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan jujur. Dengan demikian
perenialisme ini tidak sepaham dengan prinsip-prinsip yang evolusionistis dan naturalistis.
Menurut Siregar Perenialisme sebagai salah satu aliran filsafat pendidikan yang mendasari
dirinya pada keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang dan waktu
mestilah membentuk dasar pendidikan seseorang. Oleh sebab itu tugas pendidikan itu
mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang mana pengetahuan termasuk kebenaran.
Kebenaran tersebut di mana-mana sama, sedemikian rupa menjadikan pendidikan itu di
manapun mesti sama. Sedangkan peserta didik sebagai individu yang dipandang oleh
kelompok adalah makhluk yang rasional dan spiritual. Pendidikan menurut aliran ini bukanlah
semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan
(Saragih, dkk. 2021).
b) Konsep Pendidikan Perenialisme
Sebagaimana dijelaskan bahwasanya perenialisme merupakan aliran yang menempatkan
nilai pada supremasi kebenaran tertinggi yang bersumber pada Tuhan. Sasaran utama yang
akan dicapai adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai
yang abadi tak terikat waktu dan ruang”. Penyadaran nilai dalam pendidikan harus didasarkan
pada nilai kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari wahyu dan hal yang dilakukan melalui
proses penanaman nilai pada peserta didik.
Mu’ammar dalam Saragih, dkk. (2021) menjelaskan Perenialisme memandang peserta
didik sebagai makhluk rasional sehingga guru memiliki posisi dominan dalam kegiatan proses
pembelajaran di kelas dan membimbing diskusi agar memudahkan peserta didik. Setiap peserta
didik dianggap telah memiliki potensi yang harus diarahkan sehingga memiliki kebenaran-
kebenaran secara tepat. Dorongan mencari pengetahuan atau dorongan ada dalam diri manusia
untuk memunculkan sikap selalu ingin tahu dan mempelajari hal-hal yang ada di sekitarnya.
Pendidikan juga demikian, orang yang memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi peserta didik baik dari segi aspek kognitif,
afektif maupun psikomotoriknya.
Kurikulum yang digunakan oleh aliran perenialisme berorientasi pada mata pelajaran.
Bentuk kurikulum ini merupakan desain paling populer, paling tua dan paling banyak
digunakan. Dalam subjek centered, kurikulum dipusatkan pada isi/ materi yang akan diajarkan.
Kurikulum tersusun atas sejumlah mata pelajaran dan mata pelajaran tersebut diajarkan secara
terpisah-pisah. Karena lebih mengutamakan isi atau bahan ajar kurikulum subject centered ini
disebut sebagai subject academic curriculum.
Menurut Mu’ammar Aliran perenialisme membedakan kurikulum sesuai dengan
berdasarkan tingkatannya, yaitu:
1. Pendidikan dasar, sebagai persiapan bagi kehidupan di dalam masyarakat, dengan
kurikulum utama membaca, menulis dan berhitung.
2. Pendidikan menengah, pada tahap ini menekankan adanya kurikulum tertentu yang
digunakan sebagai latihan berpikir, seperti bahasa asing, logika, retorika dan lain
sebagainya.
3. Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi sebagai lanjutan dari pendidikan menengah memiliki
prinsip untuk mengarahkan dalam mencapai tujuan kebajikan intelektual.
4. Pendidikan orang dewasa, bertujuan meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya
dalam pendidikan sebelumnya. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah
mengembangkan sikap bijaksana, agar orang dewasa dapat memerankan perannya sebagai
pendidik bagi anak-anaknya.
Sedangkan metode pendidikan yang dilakukan oleh aliran perenialisme menggunakan
metode bentuk diskusi untuk menganalisis buku-buku yang tergolong karya besar, terutama
karya filosof terkemuka seperti plato, Aristoteles dan lain sebagainya. Metode ini
dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa akal pikiran memiliki kemampuan analisis
induktif dan sintesis deduktif (Saragih, dkk. 2021).
6. Aliran Esensialisme
a) Pengertian Esensialisme
Budiwibowo dalam Saragih (2021) menjelaskan Esensialisme memiliki tinjauan
mengenai kultur dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Progresivisme
memandang bahwasanya sesuatu hal memiliki sifat yang serba fleksibel dan bahwa nilai-nilai
itu dapat berubah dan berkembang. Esensialisme menganggap bahwa dasar berpijak semacam
itu dianggap kurang. Fleksibilitas dalam pendidikan, segala bentuk dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Sehubungan dengan hal demikian pendidikan harus bersendikan atas nilai-nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan. Oleh sebab itulah agar memenuhi maksud tersebut nilai-nilai
tersebut harus dipilih yaitu nilai-nilai yang memiliki tata yang jelas dan yang telah teruji oleh
waktu. Nilai-Nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif. Idealisme dan realisme merupakan aliran filsafat yang membentuk corak
esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing bersifat eklektik. Artinya dua
aliran filsafat ini bertemu dengan pendukung esensialisme, tetapi tidak merger menjadi satu,
sehingga tidak melepaskan sifat utama masing-masing aliran.
Menurut Muttaqin pada aliran esensialisme ini menitikberatkan pada tujuan pewarisan
nilai-nilai kultural historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif dan
terbukti mampu bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh seluruh khalayak umum.
Pengetahuan ini dilaksanakan dengan memberikan skill, sikap dan nilai-nilai yang tepat, yang
merupakan bagian esensi dari unsur-unsur pendidikan. Tujuan umum esensialisme ini
merupakan untuk membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup
ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang dapat menggerakkan kehendak manusia
(Saragih, dkk. 2021).
b) Karakteristik Esensialisme
Menurut Budiwibowo dalam Saragih, dkk. (2021) Esensialisme memiliki tinjauan
mengenai kultur dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Progresivisme
memandang bahwa suatu hal itu bersifat yang serba fleksibel dan bahwa nilai-nilai itu pada
hakikatnya berubah dan berkembang. Esensialisme menganggap bahwa dasar berpijak yang
semacam itu dianggap kurang tepat. Fleksibilitas dalam dunia pendidikan, segala bentuk dapat
menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan
tidak menentu. Sehubungan dengan hal ini pendidikan harus bersendikan atas nilai-nilai yang
dapat mendatangkan kestabilan. Oleh sebab itu, untuk memenuhi maksud tersebut nilai-nilai
harus dipilih, yaitu nilai-nilai yang memiliki taat dan aturan yang jelas dan yang telah teruji
oleh waktu.
Pada dasarnya filsafat pendidikan aliran esesnsialisme bertitik tolak dari kebenaran yang
dianggap telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Jika dilihat dari segi proses
perkembangannya, esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan
realisme, aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya akan ide-ide, apabila hanya
mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak. Pertemuan dua aliran tersebut bersifat
elektik yakni keduanya berposisi sebagai pendukung, tidak ada yang melebur menjadi satu
atau tidak melepaskan identitas dan ciri masing-masing (Saragih, dkk. 2021).
c) Konsep Pendidikan Esensialisme
Konsep pendidikan esensialisme menurut Yunus dalam Saragih, dkk. (2021) bahwasanya
sekolah harus melatih, mengajar atau mendidik peserta didik agar memiliki komunikasi dengan
jelas dan logis. Keterampilan inti kurikulum harus berupa membaca, menulis, berbicara dan
berhitung. Selain itu juga, sekolah memiliki tanggungjawab untuk memperhatikan penguasaan
peserta didik terhadap keterampilan tersebut, karena implementasi kurikulum membutuhkan
dukungan media, sarana, dan lingkungan yang memadai. Menurut filsafat esensialisme,
pendidikan sekolah bersifat praktis dan memberi pengajaran yang logis dan mampu
mempersiapkan suatu keterampilan bagi para peserta didik. Dalam hal ini, sekolah tidak boleh
memengaruhi atau menetapkan kebijakan sosial.
Yunus menjelaskan dalam konsep esensialisme pendidikan bertujuan untuk meneruskan
warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah
bertahan dalam kurun waktu yang lama. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
berpusat pada mata pelajaran dan berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat.
Penguasaan materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang bersifat esensialisme genarl
education yang diperlukan dalam hidup. Peran sekolah adalah untuk memelihara dan
menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi muda dewasa ini, melalui hikmat
dan pengalaman yang terakumulasi dari disiplin tradisional. Guru memiliki peran lebih khusus,
di mana guru dianggap sebagai seorang yang menguasai lapangan, subjek khusus dan
merupakan model yang baik untuk digugu dan ditiru (Saragih, dkk. 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Amka. (2019). Filsafat Pendidikan. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.


Carter V. Good. (1959). Dictionary of Education. New York: Grew Hill Book.
Kristiawan, Muhammad. (2016). Filsafat Pendidikan; The Choice Is Yours. Yogjakarta: Valia
Pustaka.
Saragih, Hisarma. dkk. (2021). Filsafat Pendidikan. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Sutisna, Oteng. (1990). Filsafat dan Ilmu Pendidikan. Jurnal Pendidikan. Nomor 4, Volume 9.

Anda mungkin juga menyukai