kata benda yang kongkret maupun abstrak (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010
: 135).
Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan
memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran,
karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau
statement (proposisi). Senada dengan Hamami, Louis Kattsoff (1996 : 178) mengatakan
kebenaran menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan (proposisi) sunggung-sungguh
merupakan halnya, bila proposisi bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa
proposisi itu sesat atau bila proposisi itu mengandung kontradiksi (bertentangan) maka kita dapat
mengatakan bahwa proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat
atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Berikut penjelasan Hamami tentang
kaitan kebenaran dengan beberapa hal di atas.
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya kebenaran itu dipengaruhi
oleh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki pengetahuan biasa atau
common sense knowledge, maka pengetahuan seperti ini akan menghasilkan kebenaran yang
bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melihat. Selanjutnya jika subjek memiliki
pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang sudah memiliki objek yang khas atau spesifik
dengan pendekatan metodologis yang khas pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang
ada. Maka kebenaran dalam konteks ini bersifat relatif, yaitu akan selalu mendapatkan revisi atau
perubahan jika ditemukan kebanaran yang baru pada penelitian-penelitian yang akhir dan
mendapat persetujuan (agreement) dari konvensi ilmuan sejenis. Kemudian jenis pengetahuan
pengetahuan filsafati, yaitu melalui pendekatan filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh
dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini bersifat
absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran ini merupakan pendapat yang selalu melekat pada
pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang
menggunakan metodologi pemikiran sama.
Jenis pengetahuan yang terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam agama,
yang memiliki sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan sesuai ajaran
agama tertentu, kemudian di yakini sesuai dengan keyakinan subjek untuk memahaminya.
Kebenaran makna kandungan kitab suci berkembang secara dinamis sesuai dengan
perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci tidak dapat dirubah dan
sifatnya absolut.
Kedua, kebanaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik tentang cara atau metode apa yang
digunakan subjek dalam membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun
pengetahuannya dengan penginderaan atau sense experience, akal pikir, ratio, intuisi, atau
keyakinan. Dimana cara atau metode yang digunakan subjek akan mempengaruhi karakteristik
kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode atau cara yang sama. Misalnya, jika
subjek memperoleh kebenaran melalui sense experiense, maka harus dibuktikan juga dengan
sense experience, bukan dengan cara yang berbeda, begitu pula dengan yang lainnya.
Ketiga, nilai kebenaran dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya
kebenaran ini berkaitan dengan relasi antara subjek dan objek. Manakala subjek memiliki
dominasi yang tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu akan bersifat
subjektif, artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu sangat bergantung
pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika objek lebih berperan maka
sifat pengetahuannya objektif, seperti ilmu alam.
Sebagai pelengkap bahasan ini, berikut kami kemukakan tiga penafsiran utama tentang
kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian (1966 : 23) adalah sebagai berikut :
1. Kebanaran sebagai sesuatu yang mutlak (absolut)
2. Kebenaran sebagai subjektivitas atau pendapat pribadi
3. Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau
Penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian merupakan polemik yang
belum terselesaikan ketika seorang filsuf membicarakan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang
bersifat mutlak atau absolut? Buktinya ilmu pengetahuan terus berkembang dan mempengaruhi
sudut pandang manusia tentang kebenaran. Atau jangan-jangan kebenaran itu hanyalah
subjektivitas seseorang atau kelompok? Bahkan jangan-jangan kebenaran merupakan hal yang
sulit dan mustahil untuk di jangkau.
TEORI-TEORI KEBENARAN
Pada bagian ini akan kami bahas tentang teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran
manusia. Perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog,
kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles. Menurut seorang filsuf Jaspers sebagaimana dikutip oleh
Hammersa bahwa sebenarnya para pemikir sekarang hanya melengkapi dan menyempurnakan
filsafat Plato dan filsafat Aristoteles (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010 :
138). Hal ini tentu berdasarkan argumentasi yang kuat berdasarkan pemikiran yang mendalam,
yang berlandaskan pada data-data sejarah yang ada. Plato dianggap sebagai filsuf yang
membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang awal. Dari
pemikiran Plato kemudian muncul teori-teori pengetahuan baik sebagai kritik atau sebagai
support atas teori yang sudah dibangun Plato.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai teori-teori kebenaran yang kami coba rangkum dari
beberapa sumber ilmiah :
1. Teori kebenaran korespondensi
Kebenaran menurut persfektif teori korespondensi adalah pernyataan dikatakan benar jika
sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. George E. Moore (dalam Sahakian dan Sahakian,
1966 : 24) mengatakan kebenaran sebagai truth as the correspondence of ideas to reality, yaitu
kebenaran adalah kesesuaian antara ide atau gagasan-gagasan dengan realita. Sebaliknya, jika
pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada, maka pernyataan tersebut
dianggap sebagai penyataan yang sesat. Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Bang
Rhoma adalah seorang penyanyi dangdut. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta
yang ada di kenyataan yang sebenarnya maka itu dianggap sebagai kebenaran. Jika ternyata
Bang Rhoma bukan seorang penyanyi dangdut, melainkan seorang Presiden. Maka pernyataan
tersebut dianggap sebagai bukan kebenaran.
Makna sesuai (correspond) dalam teori ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
yang mengarah pada kritik terhadap teori kebenaran korespondensi. Kalau kebenaran selalu
diukur dengan fakta-fakta yang ada, bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah
ada fakta yang bersifat kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide
tersebut, padahal ide-ide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indera manusia.
Misalnya, Pak Soleh dikatakan sebagai seorang yang soleh, kalau pernyataan ini kemudian
dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau korespondensi, maka tentu subjek akan
melihat pada perilaku-perilaku beragama yang tampak pada Pak Soleh. Pertanyaannya, apakah
kesolehan Pak Soleh bisa sepenuhnya diukur dengan observasi?, bukankah kesolehan di
dominasi oleh aspek kejiwaan Pak Soleh?.
Mengacu pada satatus ontologis objek, menurut Hamami kebenaran dalam ilmu dibedakan
menjadi dua jenis teori, yaitu kebenaran korespondensi untuk ilmu-ilmu alam dan kebenaran
koherensi atau konsistensi untuk ilmu-ilmu sosial, kemanusian, dan logika. Kemudian hal yang
sangat penting dan perlu diperhatikan dalam hal kebenaran yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu
harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan di bidangnya.
Sehingga kebenaran-kebenaran dalam ilmu akan terus berubah dan berkembang berdasarkan
penemuan-penemuan terbaru yang mampu menentang teori-teori terdahulu dalam bidang ilmu
yang sama. Serta mendapatkan persetujuan konvensional dari para ilmuwan di bidang yang
sama.
EVALUASI KRITIS
Manusia terus berkembang dalam segala aspek kehidupannya. Perkembangan yang
dinamis tersebut tidak luput dari peran ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Tanpa
henti manusia terus belajar, dan belajar lagi, tanpa ada rasa puas. Tujuannya cuma satu yaitu
mencari kebenaran ilmiah atau ilmu yang berperan fungsional dalam kehidupan manusia.
Sepanjang sejarah pemikiran manusia dalam mencari kebenaran ilmiah atau ilmu telah
banyak yang mengungkapkan tentang kebenaran, berbagai macam argumentasi filosofi
dikemukakan tentang kebenaran. Namun, setiap argumentasi selalu diiringi dengan sanggahan
argumentasi filosofi juga. Sehingga kebenaran memiliki banyak definisi tergantung latar
belakang isme (pemahaman) yang dianut.
Beberapa teori-teori tentang kebenaran telah kami kemukakan di bagian sebelumnya.
Kritik-kritik juga telah kami kemukakan di bagian akhir pembahasan masing-masing teori yang
kami kemukakan. Sehingga pada bagian ini kami hanya mengemukakan evaluasi kritis secara
umum terhadap teori-teori kebenaran yang dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Dari berbagai teori kebenaran yang kami kemukakan di atas, kami menyimpulkan bahwa
tidak ada teori kebanaran yang bisa diterima secara global, ini terbukti dengan munculnya teoriteori kebanaran baru sebagai sanggahan atas teori kebenaran yang sudah ada. Setiap teori yang
dikemukakan terindikasi mengusung latar belakang pengetahuan yang dimiliki tokohnya. Seperti
teori kebenaran korespondensi yang dilatar belakangi oleh pemahaman empirisme, teori
kebenaran koherensi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman idealisme, kemudian teori
kebenaran semantik dan sintaksis yang berkaitan erat dengan gramatika dan analitik bahasa.
Karenanya manusia tidak bisa mengklaim bahwa dia benar hanya dari satu paradigma saja. Akan
ada bantahan atau kritik dari pihak lain yang memiliki paradigma yang berbeda.
Disisi lain masih terjadi polemik dikalangan filsuf tentang kebenaran sebagai sesuatu
yang mutlak, kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, dan kebenaran sebagai sesuatu yang
mustahil untuk dicapai.
Tentang kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak setiap orang memiliki pemahaman
masing-masing, ada yang sepakat dan ada yang menolak. Karena terbukti, sesuatu yang telah
dianggap benar bisa menjadi tidak benar lagi karena ada temuan baru yang menentang kebenaran
yang lama. kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak juga akan berbeda-beda bagi masing-masing
orang, tergantung latar belakang pemahaman dan keyakinan yang dia anut.
Kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif, kebanyakan berpendapat bahwa objektivitas
bisa dicapai dengan konspirasi subjektif. Akan tetapi, hal ini tentu tidak bisa difahami sebagai
sesuatu kebenaran yang sesungguhnya. Karena sudah tentu ada pihak-pihak yang tidak ikut
dalam konspirasi subjektif tersebut dan menentangnya. Maka kebenaran sebagai sesuatu yang
subjektif juga masih menjadi polemik yang belum terselesaikan.
Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil untuk dicapai, hal ini juga masih menjadi
polemik dikalangan filsuf. Banyak diantara mereka yang tidak sepakat kalau kebenaran mustahil
untuk dicapai. Tapi, banyak juga diantara mereka yang setuju bahwa kebenaran yang hakiki tidak
bisa dicapai, karena kebenaran yang mereka fahami selama ini hanyalalah kebenaran sebagai
hasil dari konspirasi subjektif. Kalau di tarik lagi ke garis keyakinan atau aqidah tentu akan
memiliki penafsiran yang berbeda lagi. Orang yang berkeyakinan tentang kebenaran agamanya
tentu akan menganggap bahwa kebenaran yang hakiki atau mutlak hanyalah kebenaran dari
Tuhan yang terdapat di dalam kitab suci agama mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Sahakian, William S. & Sahakian, Mabel Lewis. (1996). Ideas of The Great Philosophers. New York :
Barnes and Nobel Books.
Tim Dosen Filsafat llmu UGM. (2010). Filsafat Ilmu : Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta : Liberti.
Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wicana Yogya.
Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Yogyakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
A. Metode Ilmiah
1. Pengertian Metode Ilmiah
Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap
penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Juga dapat diartikan
bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk
memperoleh sesuatu interelasi.2[2]
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh
para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini
menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol.
Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode
ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Berdasarkan fakta
b. Bebas dari prasangka
c. Menggunakan prinsip-prinsip analisa
d. Menggunakan hipolesa
e. Menggunakan ukuran objektif
1
2
Merumuskan
diselesaikan.
masalah.
Masalah
adalah
sesuatu
yang
harus
b.
c.
f.
g.
12
13
14
Kebenaran intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa
menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar
dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang
berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang.
Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan
rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia,
tetapi sebagian yang lain tidak. Manusia memiliki keterbatasan dalam
menangkap kebenaran dari Allah sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Al-Qur`an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw diyakini kebenarannya bagi kaum muslimin, tetapi tidak
diyakini kebenaran bagi yang non muslim. Begitu juga kebenaran pada kitab
yang lainnya.15[15]
Dengan mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non-ilmiah
paling tidak kita dapat membedakan segala kebenaran yang berada di
masyarakat tersebut tidak teruji secara ilmiah, sehingga sulit untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nah sekarang bagaimana kebenaran
ditinjau dari pendekatan ilmiah.
2. Kriteria Kebenaran Ilmiah
Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas
dalam makalah ini, adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan
beberapa patokan dan pijakan yang dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria
kebenaran ini juga tidak terlepas dari sejarah dan patokan apa yang
dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada penemuan
15
terbaru dalam bidang dan hal yang sama dapat menggantikan penemuan
sebelumnya. Dan ini juga tidak terlepas dari filsafat manusia yang
menghasilkan pada saat itu.
Menurut Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan
dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama namun semuanya
tidak dapat diukur dengan standar yang sama (incommensurable), tidak ada
satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu penyataan
adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah pada makna lainnya.
Misal kata ilmu penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi bermakna
keteraturan ( kosmos) diterima sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak
ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.16[16]
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu
kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus
dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
Sebagai gambaran perhatikan tahapan dalam penelitian untuk
mendapatkan kebenaran adalah penelitian, kebenaran, ilmu pengetahuan,
proses, dan hasil
Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui
penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh
suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena
tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul
tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada
asumsi metafisis tertentu, dari metafisis ini menuntut suatu cara atau
metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang
dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Maka secara
epistemology kebenaran merupakan kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek
pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek
yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. 17[17]
Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah
baiknya kita melihat pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun
atau merangkai kata-kata yang dimilikinya menjadi suatu kalimat yang
memiliki arti. Contoh kalimat yang tidak memiliki arti adalah: 5 mencintai
7. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kalimat adalah susunan kata-kata
yang memiliki arti yang dapat berupa:
_ Pertanyataan, dengan contoh: Pintu itu tertutup,
_ Pertanyaan, dengan contoh: Apakah pintu itu tertutup?,
16
17
18
19
23
24
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian bahasan Makalah Metode Ilmiah dan kebenaran Ilmiah
dapat disimpulkan bahwa :
1. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para
ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini
menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
H.M. 1997
Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta,
Dasar
Pengetahuan:
Sebuah
Tinjauan
Miarso, Yusuf Hadi, Prof. Dr.,2004, Menyemai Benih Pendidikan, Jakarta, Pustekom
Diknas.
Mulyana, Rohmat , Dr., 2004, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta, cet2
Sudarto, Drs. M.Hum, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, Cet. 3.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., Metode Penelitian
Bandung, Remaja Rosdakarya dan Pasca Sarjana UPI.
Suriasumantri,
Jujun.S.,2010, Filsafat
Ilmu
Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet.22.
sebuah
Pendidikan,
pengantar
pendidikan
Tesis dan
Jurnal
Disusun oleh
Fasmawi Saban Sihabudin
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
Kata kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang
nyata benar-benar ada maupun tidak
berkembangnya
menyelidiki
epistimologi/cabang-cabang
sumber-sumber
serta
kebenaran
dari
filsafat
pengetahuan
yang
telaah
PEMBAHASAN
1.Teori Kebenaran Ilmiah
Kebenaran
ilmiah
berbeda
dengan
kebenaran
non-ilmiah.
Kattsof
Kebenaran Proporsi
mengandung
perubahan.contoh:Kita
suatu
makna,
tersesat
di
jika
proposisi
hutan,
itu
membuat
setelh
sejenak
B. Kebenaran Pragmatis
Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat
praktis
dan
bersifat
fungsional
dalam
kehidupan
sehari-hari.
karena
ada
manfaat
bagi
dirinya,
yaitu
mendapat
bonus
yang
dituju
oleh
pernyataan
tersebut.
Teori
koresponden
Kebenaran Performatif
bisa
membaca
Al Quran.
Ketika
Kebenaran Proporsi
2.
Kebenaran Koherensi
3.
Kebenaran Korespondensi
4.
Kebenaran Performatif
5.
Kebenaran Pragmatis
DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR. Ahmad Tafsir,Filsafat Umum, Remaja Rodaskara, Bandung,2009
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta,
2003.
Artinya
sesuatu
itu
benar,
jika
mengmbalikan
pribadi
manusia
di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia
harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4. Kebenaran Religius Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia,
karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama
untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi
rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha memeluk suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa
melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut
bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran
illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan
kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
5. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
6. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,
diolah pula dengan rasio
7. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
8. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses
dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada
tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu,
membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran Kebenarannya :
- Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran
- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
- Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran
Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani
merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal
dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini
adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status
tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat
pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak
kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia
dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide
atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka
sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).
Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan
lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel
pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah
merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai
moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan
dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam
waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya.
Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin
sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di
dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti
dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran.
Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di
dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap
benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A
= B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar
dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan
teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu
benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu
ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian
dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih
jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang
dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil
itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan
(workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu
tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.
Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya
adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada
konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak
di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi)
atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi).
Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah,
kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
Agama sebagai teori kebenaran
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai
landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran
melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab
suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas.
Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu
itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang
sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai
(norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang
mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r
asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana
masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
BAB IV
DAFTAR BACAAN
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan