Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ILMU DAN MORAL


(Problematika Ilmu Kontemporer)

Disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :
Dr. H. Husin Bafadhal, Lc., MA
Dr. Minnah Elwiddah, M.Ag

Disusun Oleh : Kelompok 11


1. Sulhi
2. Novi Sugiman

PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tentang

“ Ilmu dan Moral”. Makalah ini kami susun guna untuk memenuhi salah satu

syarat tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dan kami sebagai penulis sangat berharap

semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi

pembaca.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,

baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh

karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar

kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kemudian tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah turut memberikan kontribusi sehingga kami dapat menyusun makalah

ini khususnya kepada Bapak dan Ibu Dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah

membimbing kami pada mata kuliah ini.

Demikian, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat

untuk kita semua.

Hormat Kami,

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Ilmu ................................................................................. 3
B. Hakikat Moral ............................................................................... 8
C. Hubungan Ilmu dan Moral ............................................................ 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 20
B. Saran ............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidak bisa disangkal, berkat adanya perkembangan ilmu, manusia

memperoleh kemudahan dan kemajuan dalam menghadapi masalah-masalah

kehidupannya. Kemajuan akan fasilitas transportasi dan telekomunikasi

sangat memudahkan bagi banyak sekali orang terutama dalam melakukan

komunikasi. Contoh yang tidak kalah penting adalah fasilitas pelayanan

kesehatan yang membuat hidup lebih berkualitas dan cukup drastis

meningkatkan umur angka harapan hidup (life expectancy).

Memang benar apa yanng dikatakan filsuf dan satrawan Inggris,

Bertand Russel (1872-1970) yang mengatakan bahwa perbaikan dalam

bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini lebih

disenangi dibandingkan dengan zaman sebelumnya yang kini kadangkala

masih menjadi objek nostalgia sementara orang.

Secara keseluruhan, zaman ini ditandai oleh perbaikan dan kemajuan

dalam segala hal dibanding dengan sebelumnya. Yang terutama bertambah

dengan kemungkinan-kemungkinan ilmiah dan teknologi ini adalah

kemampuan manusia. Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1623) sudah

menyadari aspek ini dengan menekankan bahwa knowledge is

power, “pengetahuan adalah kekuasaan”. Tidak lama kemudian filsuf Prancis,

Rene Descartes (1596-1650), menulis buku kecil dimana ia menguraikan

pandangannya tentang metode ilmu baru yang sedang berkembang, didalam

1
buku tersebut ia menulis akan keyakinannya bahwa dengan demikian umat

manusia bisa menjadi maîtres et possesseurs de la nature”. penguasa dan

pemilik alam”.

Pertama-tama perlu disadari bahwa kemajuan yang dicapai berkat ilmu

dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping  banyak akibat positif

terdapat juga akibat-akibat negatif. Diantara masalah-masalah moral yang

berat yang dihadapi sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil yang dicapai

oleh perkembangan ilmu. Dibandingkan dengan generasi-generasi

sebelumnya, perkembangan ilmiah dan teknologi mengubah banyak sekali

dalam hidup manusia, antara lain juga menyajikan kehancuran tatanan

kehidupan serta masalah-masalah moral yang tidak pernah terduga

sebelumnya.

‫ْض الَّ ِذيْ َع ِملُوْ ا لَ َعلَّهُ ْم‬ ْ َ‫ظَهَ َر ْالفَ َسا ُد فِى ْالبَرِّ َو ْالبَحْ ِر ِب َما َك َسب‬
ِ َّ‫ت اَ ْي ِدى الن‬
َ ‫اس لِيُ ِذ ْيقَهُ ْم بَع‬
َ‫يَرْ ِجعُوْ ن‬
Artinya : “ Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka
merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S Ar-Ruum:41)
B. Rumusan Masalah

1. Apa hakikat ilmu ?

2. Apa hakikat moral ?

3. Apa hubungan antara ilmu dan moral ?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan tentang hakikat ilmu

2. Menjelaskan tentang hakikat moral

3. Menjelaskan tentang hubungan ilmu dan moral

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Ilmu

Sepanjang hidup manusia dirangsang alam sekitarnya untuk mencari

tahu segala sesuatu. Yang terutama terkena rangsangan adalah indranya;

penglihatan, penciuman, perabaan, pendengaran serta pengecapan. Hasil

persentuhan alam dengan pancra indra disebut pengalaman. Ketika tersentuh

rangsang, manusia bereaksi mencari tahu. Untuk mencari tahu sesuatu maka

manusia berpikir. Karena berpikir itulah manusia dapat dikatakan sebagai

manusia. Menurut Jujun S.Suriasumantri (2003:42) berfikir pada dasarnya

merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini

merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran

tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa

pengetahuan. Pengetahuan  dapat diartikan sebagai keadaan tahu atau secara

filsafat pengetahuan adalah kontak antara dua  besaran; yakni subjek yang

mengetahui dan objek yang diketahui. Terdapat tiga jenis pengetahuan

manusia, yaitu pengetahuan filsafat, ilmu dan agama. Ketiga pengetahuan ini

memiliki batas-batas penjelajahannya masing-masing. Dalam makalah ini,

penulis hanya fokus membahas mengenai ilmu.

1. Pengertian Ilmu

Secara etimologis, kata ilmu dalam Bahasa Indonesia sama dengan

pengertian dalam serapan kata dari Bahasa Arab yaitu “ilm” yang berarti

memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan

3
katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan

(knowledge), dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah

sosial,dan lain sebagainya. Dalam Bahasa Inggris, ilmu seringkali

diterjemahkan dengan kata science (2008:99).

Di dalam situs ensiklopedi wikipedia, Ilmu adalah seluruh usaha sadar

untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman dari

berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar

dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian

dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu diperoleh

dari keterbatasannya.

Mohammad Hatta (dalam Ahira : 2008) mendefinisikan bahwa ilmu

adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat

dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut

kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya

(jika dilihat dari dalam).

Secara terminologis, ilmu dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas

manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa

prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan

yang sistematis. Atau singkatnya ilmu merupakan kumpulan pengetahuan

yang bersifat logis, empiris, metodis dan sistematis.

2. Syarat-syarat Ilmu
Dari pengertian ilmu diatas, suatu pengetahuan dapat dikatakan Ilmu

jika memenuhi syarat-syarat keilmuwan. Persyaratan ini disebut sifat

ilmiah, yaitu :

4
a. Objektif.

Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari golongan

masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun

bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada

karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengnkaji objek,

yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian tahu dengan objek,

dan karenanya disebut kebenaran objektif, bukan subjektif

berdasarkan peneliti atau subjek penunjang penelitian.

b. Metodis.

Dalam upaya mencapai kebenaran selalu terdapat kemungkinan

penyimpanan, karena itu harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus

terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Cara ini

disebut metode. Dalam bahasa umum; metodis, yakni metode tertentu

yang disebut metode ilmiah.

c. Sistematis.

Karena mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu

harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang logis dan teratur

sehingga membentuk sistem (dari kata Yunani; sustema) yang berarti ;

utuh, menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian kegiatan sebab

akibat menyangkut objeknya.

d. Universal.

Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan

bersifat umum.

5
3. Landasan Ilmu

Sebagai suatu kajian filsafat, ilmu memiliki tiga landasan, yakni :

a. Landasan ontologi.

Landasan ini membahas mengenai objek apa yang dikaji ilmu.

Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan

berhenti di batas manusia (empiris). Objek kajian ilmu mutlak

berangkat dari fakta yang empirik sensual tertangkap indra, dalam arti

pancaindra mampu menangkap gejalanya. Kemudian dalam tataran

berikutnya ia bersifat empirik logik, yakni bahwa logika mampu

menalarnya.

Karenanya, formula dasar ilmu adalah ; tunjukkan bahwa fakta itu

ada, tertangkap indra serta tunjukkan pula bahwa fakta itu logik dan

rasional.

b. Landasan epistemologi,

Yaitu landasan yang membahas bagaimana proses yang

memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu;

Bagaimana prosedurnya?, Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar

mendapatkan pengetahuan yang benar?, Apakah kriterianya?, Apa

yang disebut kebenaran itu?, Adakah kriterianya?, Cara/teknik/sarana

apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang

berupa ilmu?.

Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata

lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu untuk menyusun

6
kebenaran. Metode ilmiah terdiri dari langkah-langkah, perumusan

masalah, penyusunan kerangka bepikir, perumusan hipotesis,

pengujian hippotesis dan penarikan kesimpulan.

c. Landasan aksiologi

Adalah landasan yang membahas untuk apa penciptaan ilmu itu

sendiri. Landasan aksiologi membahas tentang nilai yang

berhubungan dengan moral. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari

kebenaran yag absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi

manusia dalam menghadapi masalah kehidupan di dunia.

Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang

menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia

melakukan serangkaian tindakan ntuk menguasai gejala tersebut

berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkin

manusia meramalkan kemungkinan yang akan terjadi dan berdasarkan

ramalan tersebut manusia bisa melakukan upaya untuk mengontrol

agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi ilmu memiliki tiga

fungsi, yaitu; menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.

Sebagaiman diutarakan Poejawijatna (1983) ilmu tidak terlalu

menghiraukan kegunaan, hanya hendak tahu semata. Kalau

pengetahuan yang disebut ilmu itu menghasilkan manfaat, syukurlah.

Tapi tujuan pertamanya ialah tahu yang mendalam, sedapat mungkin

benar-benar tahu apa sebabnya demikian dan mengapa demikian. Ilmu

berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein),

7
sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa

yang seharusnya dilakukan oleh manusia (das sollen). Ilmu juga

memiliki sisi negatif. Untuk mencegah penggunaan negatif dari Ilmu,

etika bagaimana ilmu itu digunakan menjadi penting.

B. Hakikat Moral

1. Moral dan Etika

Secara etimologis, kata moral sama dengan kata etika, keduanya berarti

adat kebiasaan. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos (jamak :

mores), sedangkan kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ta etha, yakni

bentuk jamak dari ethos.

Dari kata ethos terbentuk istilah etika yang digunakan Aristoteles untuk

menunjukan filsafat moral. Etika merupakan salah satu dari tiga cabang

filsafat yang membicarakan tentang nilai (axiologi), ukuran baik dan buruk

perbuatan.

Pengertian moral secara terminologi dikemukakan sebagai berikut;

a. Menurut W.J.S Poerwadarminta dalam  Kamus Umum Bahasa

Indonesia (2000:654)  moral berarti ajaran tentang baik dan buruk

perbuatan dan kelakuan.

b. Menurut Zakiah Daradjat (1983:63) moral adalah kelakuan yang sesuai

dengan ukuran ( nilai-nilai ) masyarakat, yang timbul dari hati dan

bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggug jawab atas

tindakan tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan

umum daripada kepentingan pribadi.

8
c. Menurut K.Bertens (2004:11) moral adalah nilai-nilai dan norma-norma

yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam

mengatur tingkah lakunya.

Singkatnya, secara etimologis moral dan etika sama artinya, tetapi dalam

penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai

untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian

sistem nilai yang ada.

Frans Magnis Suseno sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo (2009:83)

membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan,

khutbah peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup

dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran

moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang

tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para orang

bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau

pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.

Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi, etika  dan ajaran moral tidak

berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup,

bukan etika melainkan moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau

bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan

dengan berbagai ajaran moral.

2. Moralitas : ciri khas manusia

Ukuran baik dan buruk perbuatan dalam arti etis memainkan peranan

dalam hidup setiap manusia. Bukan saja sekarang ini tapi juga di masa

9
lampau. Ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan

bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan

tentang baik dan buruk, tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak

boleh dilakukan. Akan tetapi segera perlu ditambah, bahwa tidak semua

bangsa dan semua zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan

buruk.

Ada bangsa atau kelompok sosial yang mengenal “tabu”, sesuatu yang

dilarang keras (misalnya membunuh binatang tertentu), sedangkan pada

bangsa atau kelompok sosial lainnnya perbuatan-perbuatan yang sama tidak

terkena larangan apa pun, dan sebaliknya ada hal-hal yang di zaman dulu

sering dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak

etis oleh semua hampir bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat

disebut; kolonialisme, perbudakan dan diskriminasi terhadap wanita.

Jadi semua bangsa memiliki pengalaman tentang baik dan buruk, tetapi

tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik

dan buruk. Dengan kata lain, moralitas merupakan suatu fenomena

manusiawi yang universal. Moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam

hidup setiap manusia, baik pada tahap perorangan ataupun pada tahap sosial.

Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk

lain. Makhluk yang paling dekat dengan manusia tentunya binatang. Karena

itu dalam filsafat di masa lampau acapkali diusahakan untuk menentukan

kekhususan manusia dengan jalan membandingkannya dengan binatang.

10
Banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang plus, binatang

dengan ditambah suatu perbedaan khas. Apakah perbedaan khas itu?

Pertanyaan ini oleh berbagai filsuf dijawab dengan cara yang berbeda-beda.

Diantara jawaban-jawaban yang pernah diberikan dapat didengar; perbedaan

khas itu adalah rasio, bakat untuk menggunakan bahasa (simbol),

kesanggupan untuk tertawa, membuat alat-alat dan sebagainya. Mungkin

semua ciri ini dapat diterima sebagai sifat-sifat ciri khas manusiawi, tapi

sekurang-kurangnya harus ditambah satu lagi; manusia adalah binatang plus

karena memiliki kesadaran moral.

Moralitas adalah suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada

makhluk dibawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang, tidak ada

kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang,

tenntang yang harus dilakukan dan yang pantas dilakukan.

C. Hubungan Ilmu dan Moral

1. Ambivalensi Kemajuan Ilmu

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban

manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam

bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih

cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam

bidang kesehatan, transpotasi, pendidikan, komunikasi, dan pemukiman.

Seorang filsuf dan sastrawan Inggris, Bertand Russel, sebagaimana dikutip

oleh K. Bertens (2004:284) mengatakan bahwa perbaikan dalam bidang

11
kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini lebih disenangi

dibanding waktu-waktu sebelumnya.

Mula-mula perkembangan ilmu dan teknologi itu dinilai sebagai kemajuan

belaka. Manusia hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang

terbuka luas bagi manusia. Pandangan optimistis itu berlangsung terus dan

mencapai puncaknya dalam abad-abad ke-19. Ilmu dan teknologi dianggap

sebagai kunci untuk memecahkan semua kesulitan yang mengganggu umat

manusia. Kepercayaan akan kemajuan itu menjadi tampak sekali dalam

pemikiran filsuf Prancis, Auguste Comte, yang memandang zaman ilmiah

yang disebutnya zaman positif yang mana sebagai puncak dan titik akhir

seluruh sejarah.

Pandangan yang begitu optimistis kini tampaknya agak naif. Kemajuan

yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping

banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Disamping

kemajuan yang luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-masalah yang

baru.

Science is power, Ilmu adalah kekuasaan. Kalimat yang keluar dari mulut

filsuf Inggris, Francis Bacon ini benar adanya. Sejak dalam tahap-tahap

pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang.

Penciptaan ilmu yang pada hakikatnya digunakan untuk menguasai alam

demi pemenuhan kebutuhan manusia, juga digunakan untuk menguasai dan

memerangi sesama manusia. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh

berhasil dikembangkan  namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara

12
memperbudak massa. Di pihak lain, kemajuan ilmu sering melupakan faktor

manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan

perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusia lah

yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi.

Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan

bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya

sendiri. Manusia sering berada dalam situasi yang tidak bersifat manusiawi ,

terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan

kebahagiaannya. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan

yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri.

Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan

kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Menghadapi

kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam

sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat

seharusnya; Untuk apa sebenarnya ilmu itu digunakan? Dimana batas

wewenang penjelajahan keilmuwan? Ke arah mana kemajuan ilmu harus

diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi

ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan Ilmuwan seangkatannya. Namun

bagi Ilmuwan yang  hidup dalam abad ke dua puluh yang telah mengalami

dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia

ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan, dan untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.

13
2. Masalah bebas nilai

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan

teknologi  yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua

golongan pendapat.

Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral

terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap

ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang

lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu

dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.

Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu

terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan

dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-

asas moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,

yakni:

a. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia

yang dibuktikan  adanya dua perang dunia yang mempergunakan

teknologi-teknologi keilmuan.

b. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum

ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi

bila terjadi salah penggunaan.

Ilmu telah berkembang sedemikianrupa sehingga terdapat kemungkinan

bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki

seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan

14
ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral

harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau

mengubah hakikat kemanusiaan.

Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik

berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori

etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk

mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika

memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar

penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.

3. Peran Moral Terhadap Ilmu

Adapun peran moral terhadap ilmu adalah :

a. Mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal, tetapi

ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus

memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun

kelompok. 

b. Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni

tanggung jawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggung jawab

moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari

tanggung jawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu

tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk

merusak manusia.

15
c. Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami

secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang

hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.

d. Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang

dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring.

Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam

format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan

mengikuti atau mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi

kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan.

4. Ilmu, Moral dan Agama

Bila hubungan antara hati dan akal telah diputuskan maka manusia akan

menghadapi kenyataan bahwa pertanyaan tentang hidup ideal tidak akan

pernah akan terjawab. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali

melakukan prostitusi intelektual. Mereka memilih ilmu dan teknologi sebagai

gantungan hidup, padahal meletakkan ilmu dan teknologi sebagai pemegang

otoritas tertinggi dalam kehidupan berarti ia telah menyerahkan kehidupan

manusia kepada alat yang dibuatnya sendiri.

Salah seorang tokoh pembuat kebudayaan Islam yang terkenal, Nurcholish

Majid, menyimpulkan bahwa paham Humanisme yang dijadikan pegangan

masyarakat barat yang menyatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya

dan alam akan meneruskan pengaruhnya melalui rasionalisme, selanjutnya

rasionalisme akan berpengaruh melalui sekularisme.

16
Paham sekularisme itulah yang pada akhirnya menyebabkan manusia

menyerahkan nasibnya pada alat yang dibuatnya sendiri dan kondisi inilah

yang meghasilkan keterasingan, ketidakbermaknaan, ketidakstabilan hidup

dan bermacam-macam penderitaan (1990:91).

Soedjatmoko (1984:202) menyatakan bahwa Ilmu dan teknologi sekarang

ini berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh

selanjutnya; pertanyaan itu sebenarnya berkisar pada ketidakmampuan

manusia dalam menngendalikan ilmu dan teknologinya itu. Pertanyaan-

pertanyaan mengenai dirinya sendiri, mengenai tujuan dan mengenai cara-

cara pengembangannya, tidak akan dapat dijawab oleh ilmu dan teknologi

tanpa menoleh pada patokan-patokan mengenai moralitas, makna dan tujuan

hidup manusia, termasuk apa baik apa buruk bagi manusia modern. Patokan-

patokan tentang moralitas, makna dan tujuan hidup ternyata berakar pada

agama, demikian dikatakan Soedjatmoko.

Herman Suwardi, guru besar Filsafat Ilmu pada Pascasarjana Universitas

Padjadjaran Bandung, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir (2006:63)

dengan geram mengecam paradigma ilmu yang digunakan di barat. Filsafat

ilmu di barat hanya mengandalkan satu paradigma ilmu yaitu paradigma ilmu

warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini tidak mampu melihat alam

secara keseluruhan.

Capra dalam buku Titik Balik Peradaban yang membahas mengenai

kebudayaan barat, menyatakan bahwa pada awal dua dasawarsa terakhir abad

kedua puluh, dibalik kemudahan hidup yang ditawarkan oleh kemajuan Ilmu

17
dan teknologi, manusia modern berada dalam suatu keadaan krisis global

yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multi dimensional yang segi-

seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan, mata pencaharian,

kualitas lingkungan hidup hubungan sosial ekonomi dan politik.

Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual

yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Untuk pertama

kalinya manusia dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia di planet

bumi ini. Bermacam-macam kehancuran dan kekacauan, kerusakan

lingkungan, polusi, kejahatan kemanusiaan, kehabisan sumber energi,

ancaman bahaya nuklir, kemiskinan, serta kehancuran-kehancuran sosial

lainnya yang tentu tidak cukup untuk menuliskan semuanya di makalah ini.

Dinamika yang mendasari masalah-masalah itu sebenarnya sama, demikian

kata Capra (1998:3-10).

Selanjutnya Capra melakukan analisis sagat tajam untuk menemukan

penyebab pertama kehancuran itu. Menurutnya, penyebab awal dari

kehancuran itu adalah kekeliruan pemikiran, yaitu kekeliruan paradigma

dalam membangun kebudayaan. Kekeliruan dalam membangun kebudayaan

barat ialah karena kebudayaan itu dibangun hanya dengan menggunakan satu

paradigma, yaitu paradigma ilmu. Paradigma ini adalah paradigma warisan

Descartes dan Newton. Paradigma ini, kata Capra, tidak mampu melihat alam

semesta secara keseluruhan, paradigma ini hanya mampu melihat sebagian

dari alam, yaitu bagian yang empiriknya saja.

18
Harus ada paradigma baru, kata Capra, yaitu mampu melihat alam semesta

ini sebagai suatu sistem secara keseluruhan. Sementara itu Islam selain ia

mengandung ajaran yang mampu melihat alam semesta secara meyeluruh

sebagai suatu sistem dan dalam kenyataannya Islam telah mampu

menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi sebagaimana diperlihatkan

pada negara Madinah pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar,

paradigma baru yang mungkin dimaksud Capra itu adalah paradigma baru

yang berdasarkan Islam. Mungkin Capra belum mengenal Islam.

Jika menilik sejarah gemilang keilmuwan muslim pendahulu yang

merupakan pendorong masa keemasaan di barat, mereka menempatkan

pengetahuan ilmu dan agama secara terintegrasi, tidak ada dikotomi terhadap

pengetahuan yang mereka jelajahi.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologis, pengertian Ilmu  dalam bahasa Indonesia sama dengan

pengertian al-‘ilm dalam bahasa Arab. Kata al-‘Ilm itu lebih tepat

diterjemahkan menjadi pengetahuan (knowledge) dalam bahasa Indonesia.

Secara terminologis, ilmu dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas manusia

yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa prosedur dan tata

langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis.

Suatu ilmu harus memenuhi syarat-syarat agar suatu ilmu itu dapat

dikatakan memiliki sifat ilmiah yang merupakan sifat dari ilmu itu sendiri

yakni objektif, sistematis, metodis dan universal yang memiliki landasan

ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Secara etimologis, moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian

sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk

perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem

nilai yang ada.

Kemajuan yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya

disamping banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif.

Disamping kemajuan yang luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-

masalah yang baru. Masalah-masalah baru yang ditimbulkan ilmu mencakup

masalah segi multidimensial.

20
Hal ini terjadinya karena kekeliruan paradigma ilmu itu sendiri yang hanya

melihat alam semesta ini tidak secara keseluruhan. Dengan landasan moral

dan agama yang merupakan sumber moral, ilmuwan dapat terhindar dari

sikap prostitusi intelektual dan kemungkinan-kemungkinan masalah etis ilmu.

B. Saran

Diharapkan setelah mengkaji makalah ini mahasiswa mampu

menempatkan ilmu dan landasan moral secara beriringan, tidak mengindahkan

satu sama lain. Seperti paradigma ilmuwan muslim terdahulu yang

menempatkan pengetahuan ilmu sejajar dengan pengetahuan filsafat dan

agama. Tidak ada dikotomi dalam penjelajahan dan penerapan pengetahuan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Suriasumantri,Jujun. 2003. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya

Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT Indeks

22

Anda mungkin juga menyukai