EPISTEMOLOGI ISLAM
oleh:
Ni’mah asy-Syafa
Timur Maulana
MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian dari Epistemologi Islam?
2. Bagaimanakah objek kajian ilmu menurut Epistemologi Islam?
3. Bagaimanakah cara memperoleh ilmu menurut Epistemologi
Islam?
4. Bagaimanakah tujuan ilmu menurut Epistemologi Islam?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari Epistemologi Islam.
2. Untuk mengetahui objek kajian ilmu menurut Epistemologi Islam.
3. Untuk mengetahui cara memperoleh ilmu menurut Epistemologi
Islam.
4. Untuk mengetahui tujuan ilmu menurut Epistemologi Islam.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hans-Georg Gadainer, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence, Cambridge:
Cambridge Universty, 1993, hlm. 12
4
metode yang berlaku dalam kajian psikologi, dan dengan sendirinya,
kajian teknik mesin tidak bisa dipakai sebagai sebuah pendekatan
metodologisnya. Jika seseorang memaksakan kajian psikologi dengan
metode teknik mesin, akan berakibat pada hasil kajiannya, yang tentu
saja kemungkinan besar terjadi penyimpangan dan tingkat
kebenarannya diragukan.
2
Johns. Badeau, Majid Fakhry (ed.), The Genius of Arab Civilization, Canada: MIT. Press, 1983,
hlm. 58
3
Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto,
Bandung: Mizan, 1998, hlm. 145-148
5
sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual,
memasuki dimensi yang Ilahi.
Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi
kenabian, adalah bidang kajian ilmu agama, akan tetapi jika dilihat dari
pemahaman, pemikiran dan pentafsiran manusia terhadap doktrin, kitab
suci, Tuhan dan kenabian itu, maka kajian atas pemikiran dan
pemahaman manusia tersebut dapat masuk pada kajian ilmu
humaniora.4 Sedangkan kajian filsafat dapat memberikan penjelasan
dan konsep mengenai Tuhan, doktrin dan kenabian, tetapi sifatnya
spekulatif, dan hanya agama yang dapat memberikan tata cara yang
teknis bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-
ajaran-Nya, yang dibawa oleh para Nabi utusan-Nya dan yang tertuang
dalam kitab suci.
Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya
bercorak tauhid, dan tauhid dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan
dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan
epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip
dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan
umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum atau
syariah dan non syariah,5 yang secara institusional dipisahkan
penyelenggaraannya, yang ilmu agama penyelenggaraan
pendidikannya di bawah Departemen Agama, dan yang umum
penyelenggaraan pendidikannya di bawah Departemen Pendidikan.6
Dalam al-Quran dijelaskan bahwa di dalam ayat-ayat Tuhan,
yaitu alam, manusia dan kitab suci, di dalamnya terdapat hukum-hukum
dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau memikirkannya, karena
melalui proses pemikiran keilmuan itu, maka akan tersingkap dan
diketahui makna kebenaran yang ada di dalamnya, yang me-
mungkinkan manusia memanfaatkan untuk kepentingan hidupnya. Al-
Quran surat az-Zukhruf ayat 3-4 menjelaskan tentang dirinya sebagai
objek berpikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah:
4
Ian G. Barbour, Religion in the Age of Science, London: SCM Press, 1990, hlm. 34-35
5
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986
6
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Edinburgh, 1981, hlm. 4
6
ِ َ َوإِنَّ ۥهُ فِ ٓي أ ُ ِم ۡٱل ِك َٰت٣ َإِنَّا َجعَ ۡل َٰنَهُ قُ ۡر َٰ َءنًا َع َربِ ّٗيا لَّعَلَّ ُك ۡم ت َعۡ ِقلُون
ب
ٌّ لَدَ ۡينَا لَ َع ِل
٤ ي َح ِكي ٌم
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab
supaya kamu memahami(nya).
Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh
Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat
banyak mengandung hikmah. (Q.S. az-Zukhruf: 3-4)
س َما ٓ ِء ِمن ِر ۡز ٖق فَأ َ ۡحيَا بِ ِه َّ ٱّللُ ِمنَ ٱل َّ ار َو َما ٓ أَنزَ َل ِ َٱختِ َٰل
ِ ف ٱلَّ ۡي ِل َوٱلنَّ َه ۡ َو
٥ َت ِلقَ ۡو ٖم َيعۡ ِقلُونٞ ٱلر َٰ َيحِ َءا َٰ َي
ِ يفِ ض َبعۡ دَ َم ۡو ِت َها َوت َصۡ ِر َ ۡٱۡل َ ۡر
Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang
diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu
bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. (Q.S. al-Jathiyah: 5)
تِ ب َو ِمن ُك ِل ٱلث َّ َم َٰ َر َ َٱلز ۡيتُونَ َوٱلنَّ ِخي َل َو ۡٱۡل َ ۡع َٰن
َّ ع َو
َ ٱلز ۡر َّ يُ ۢن ِبتُ لَ ُكم ِب ِه
س َّ ار َوٱل
َ ۡشم َ س َّخ َر لَ ُك ُم ٱلَّ ۡي َل َوٱلنَّ َه َ َو١١ َِإ َّن فِي َٰذَ ِل َك َۡلٓيَ ّٗة ِلقَ ۡو ٖم يَتَفَ َّك ُرون
ٖ َس َّخ َٰ َر ۢتُ بِأَمۡ ِر ِٓهۦ ِإ َّن فِي َٰذَ ِل َك َۡل ٓ َٰي
١٢ َت ِلقَ ۡو ٖم يَعۡ ِقلُون َ َو ۡٱلقَ َم َر َوٱلنُّ ُجو ُم ُم
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-
tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada
7
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya). (Q.S.
an-Nahl: 11-12)
7
Ian G. Barbour, op. cit., hlm. 31-33
8
dasar perumusan dan penentuan suatu teori, dari susunan hukum-
hukum keilmuan (scientific laws).8 Demikian juga halnya yang berlaku
dalam ilmu humaniora (kemanusiaan), yang berusaha mengikuti cara
kerja ilmu alam, akan tetapi karena objek kajiannya adalah manusia
yang bersifat kompleks dan multi dimensi, dan pelaku atau subjek
ilmunya adalah manusia juga, sebagai individu dan warga masyarakat,
maka tidak cukup proses ilmu dijelaskan hanya dengan hukum sebab
akibat, sehingga hermeneutika diperlukan, di samping itu juga sulit
menjaga objektivitasnya. Sedangkan cara kerja filsafat, sulit dirumuskan
secara umum, karena masing-masing filosof mempunyai metodenya
sendiri-sendiri. Metode para filosof dibangun oleh pengalamannya
sendiri selama bertahun-tahun dalam perenungan dan pemikiran bebas.
Filsafat pada dasarnya bekerja mulai dengan pertanyaan dan berakhir
dengan pertanyaan. Berbeda dengan filsafat, maka agama dimulai dari
keyakinan, yang dikembangkan dalam pemikiran dari kemudian
memasuki proses pencerahan, dengan menjalani pengalaman spiritual
dalam keyakinan kegaiban.
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan
yaitu jalan kasbi atau khushuli dan jalan ladunni atau khudhuri. Jalan
kasbi atau khushuli adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang
dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan,
penelitian, percobaan, dan penemuan. Ilmu ini biasa diperoleh oleh
manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses
itu dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangkan
ilmu ladunni atau hudhuri, diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak
melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahan oleh
hadirnya cahaya Ilahi dalam qalb, dengan hadirnya cahaya Ilahi itu
semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas
dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang tersebut
memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini Tuhan bertindak
sebagai Pengajarnya.9
8
Muhammad Baqir ash-Shadr, op. cit., hlm. 208-209
9
Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri; Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin
Mohammad, Bandung: Mizan, 1994.
9
Apakah ilmu ladunni atau hudhuri itu mungkin? ya, sangat
mungkin, karena seperti dijelaskan dalam al-Quran bahwa Tuhan
bertindak sebagai Pengajar bagi Adam yang telah mengajarkan
kepadanya nama-nama benda. al-Quran surat al-Baqarah ayat 31-32
mengatakan:
ٓ
ض ُه ۡم َعلَى ۡٱل َم َٰلَ ِئ َك ِة فَقَا َل أ َ ۢنبِو ِني ِبأ َ ۡس َمآء َ َو َعلَّ َم َءادَ َم ۡٱۡل َ ۡس َما ٓ َء ُكلَّ َها ث ُ َّم َع َر
ٓ س ۡب َٰ َحن ََك ََل ِع ۡل َم لَنَا ٓ ِإ ََّل َما َعلَّمۡ تَنَا
ُ ْ قَالُوا٣١ َص ِدقِين َ َٰ َُل ِء ِإن ُكنت ُ ۡم ٓ َ ِِ َٰ َٓهؤ
٣٢ نت ۡٱل َع ِلي ُم ۡٱل َح ِكي ُم
َ َ ِإنَّ َك أ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"
(Q.S. al-Baqarah: 31-32)
ۡ ۡٱق َر ۡأ ِب
١ َٱس ِم َر ِب َك ٱلَّذِي َخلَق
10
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
(Q.S. al-Alaq: 1)
10
Ian C. Barbour, op. cit., hlm. 36-38
11
mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql
dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai
dimensinya dan menaikinya dalam bangunan kesadaran intelek. Proses
itu menjadi tradisi kehidupan batinnya yang terus menerus dilakukan
sepenuh hatinya dan memerlukan waktu panjang, tidak terjadi seketika,
untuk melatih ketajaman ruh agar bercahaya menerangi aql dan qalbnya
menyerap kebenaran. Proses itu berjalan tidak mulus, tetapi
menghadapi berbagai pergolakan dan konflik batin, dan hanya bisa
diatasi dengan keihlasan yang total. Pergolakan dan konflik itu terjadi,
karena ia harus mampu menekan dan mengendalikan keakuannya,
bahkan menundukkannya untuk dapat bersikap rendah hati berhadapan
dengan cahaya kebenaran.
11
J.W.M. Bakker, Filsafat Kehidupan, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 39
12
terbentang sejumlah kemungkinan di depan matanya, yang dapat
dimanfaatkan, untuk mengubah keadaan hidupnya.
Pada tahap ini ilmu merupakan bagian dari usaha manusia untuk
mengubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi, dan dalam
perkembangannya ilmu menjadi alat manusia mewujudkan
keinginannya, bahkan mengabdi pada kepentingannya. Dalam
masyarakat yang makin modern, di mana kapitalisme yang
menggerakkan industrialisasi makin menentukan kehidupan manusia,
maka ilmu telah bergeser kedudukannya untuk kepentingan
memperkuat kapitalisme, ilmu telah berpihak dan bekerja sama dengan
kekuasaan politik dan kekuatan militer dalam sebuah kepentingan
ekonomi dari suatu elite masyarakat baru atau kapitalisme baru.12
Akibat yang lebih jauh lagi, baik dalam proses maupun produk,
ilmu tidak netral lagi dan ilmu sepenuhnya berpihak untuk kepentingan-
kepentingan penciptanya suatu kelompok kecil yang menguasai dana
atau ekonomi kekuasaan politik dan kekuatan militer. Kesatuan dan
kerja sama ekonomi, politik dan militer ini untuk ilmu dan teknologi,
merupakan aksi penindasan elite menguasai kepentingan terhadap
rakyat yang makin tak berdaya. Oleh karena itu, munculnya konflik dari
para elite yang menguasai iptek ekonomi, politik dan militer, atau konflik
di antara mereka sendiri, telah berkembang makin kompleks dan telah
melahirkan bencana dan penderitaan di mana-mana, di mana rakyat
dan mereka yang menjadi korbannya, sama sekali tidak dapat mengerti
apa sebenarnya yang terjadi dan menimpa mereka, karena mereka
memang telah berada di luar sistem elite itu.
Ilmu untuk ilmu13 barangkali hanya mungkin menjadi dalam
kehidupan yang asketik, di mana seseorang menikmati kebahagiaan
spiritual, karena penemuan-penemuan baru dalam ilmunya, tanpa
mengaitkan dengan kepentingan dirinya dan kepentingan pihak-pihak
lain yang mungkin sangat memerlukan untuk tujuan-tujuan ekonomi,
politik dan kekuasaan. Akan tetapi dalam kehidupan yang makin
12
Soedjatmoko, Etika Pembebasan; Pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah
dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1984, hlm. 235-236
13
R. Geuss, The Idea of Critical Theory, Cambridge: Cambridge University, 1981, hlm. 12
13
materialistik ini, barangkali jumlah mereka sangat kecil dan kebanyakan
ilmu telah menjadi suatu komoditi, sehingga kalangan akademisi dan
intelektual telab terkooptasi gaya hidup baru yang materialistik itu,
mereka hidup dalam menara gading yang tenang dan ilmunya dijual
belikan untuk kepentingan elite, melalui riset-riset pesanan yang
memihak.
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu pada hakikatnya merupakan
perpanjangan dan pengembangan ayat-ayat Allah, dan ayat-ayat Allah
merupakan eksistensi kebesaran-Nya dan manusia diwajibkan untuk
berpikir tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan yang tidak bertentangan
dengan ajaran-ajaran-Nya, tidak untuk merusak dan melahirkan
kerusakan dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan
juga menimpa dirinya sendiri.14 Oleh karena itu, kebenaran yang
dibangun oleh ilmu dalam hukum hukum ilmu atau konsep teoritik tidak
boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena akibatnya dapat
merusak. al-Quran surat al-Mu’minun ayat 71 mengatakan:
14
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Farhri Husein, dkk, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 46-47
14
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
pemikiran sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran
yang terdapat pada suatu kajian ilmu. Apakah objek kajian ilmu itu, dan
seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran
yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran
objektif, subjektif, absolut, atau relatif.
Objek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-
ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-
Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-
Nya yaitu alam semesta dan diri manusia itu sendiri.
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan
yaitu jalan kasbi atau khushuli dan jalan ladunni atau khudhuri.
Ilmu pada hakikatnya merupakan perpanjangan dan
pengembangan ayat-ayat Allah, dan ayat-ayat Allah merupakan
eksistensi kebesaran-Nya dan manusia diwajibkan untuk berpikir
tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran-Nya, tidak untuk merusak dan melahirkan kerusakan
dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan juga menimpa
dirinya sendiri.
15
DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa. 2010. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta:
Lesfi
16