Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

EPISTEMOLOGI ISLAM

DOSEN PENGAMPU: HARI BASUKI, M. A

oleh:

Ni’mah asy-Syafa

Siti Nur Viviatul Khoir

Timur Maulana

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN

UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT

MALANG

2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan


dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan


manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Rabu, 4 April 2018

Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin
tahu tentang sesuatu hal. Rasa ingin tahu ini tidak terbatas yang ada
pada dirinya, juga ingin tahu tentang lingkungan sekitar, bahkan
sekarang ini rasa ingin tahu berkembang ke arah dunia luar. Rasa ingin
tahu ini tidak dibatasi oleh peradaban. Semua umat manusia di dunia ini
punya rasa ingin tahu walaupun variasinya berbeda-beda. Orang yang
tinggal di tempat peradaban yang masih terbelakang, punya rasa ingin
yang berbeda dibandingkan dengan orang yang tinggal di tempat yang
sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam
sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks.
Rasa ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu
tentang apa (ontologi), sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat
kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan
mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa
tersebut dipelajari (aksiologi).
Ketiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi
merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga
landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat
mencapai atau memecahkan peristiwa yang terjadi di alam atau
lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil dicapai, maka
diperoleh apa yang kita katakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.
Pada makalah ini, penulis akan membahas salah satu dari
penyusunan pengetahuan yang termasuk dalam ranah filsafat ilmu yaitu
epistemologi yang akan dipadukan dalam konsep Islami, sehingga
membentuk suatu pandangan epistemologi Islam.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian dari Epistemologi Islam?
2. Bagaimanakah objek kajian ilmu menurut Epistemologi Islam?
3. Bagaimanakah cara memperoleh ilmu menurut Epistemologi
Islam?
4. Bagaimanakah tujuan ilmu menurut Epistemologi Islam?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari Epistemologi Islam.
2. Untuk mengetahui objek kajian ilmu menurut Epistemologi Islam.
3. Untuk mengetahui cara memperoleh ilmu menurut Epistemologi
Islam.
4. Untuk mengetahui tujuan ilmu menurut Epistemologi Islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DARI EPISTEMOLOGI ISLAM


Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
pemikiran sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran
yang terdapat pada suatu kajian ilmu. Apakah objek kajian ilmu itu, dan
seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran
yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran
objektif, subjektif, absolut, atau relatif.
Subjek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang
dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya, selalu
berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup
manusia sendiri, maupun batas-batas objek kajian yang menjadi
fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu
membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.1 Batas-batas waktu hidup
seseorang, berpengaruh pada kualitas kajiannya, sehingga banyak
sekali revisi dan koreksi dilakukan oleh seseorang terhadap kajiannya
yang terdahulu. Demikian juga batas-batas pendidikan yang
ditempuhnya, sehingga hasil kajian di saat ia menjalani tingkat
pendidikan S1, S2, dan S3 tentunya sedikit banyak juga berpengaruh
pada kualitas hasil kajiannya, meskipun ini tidak berlaku mutlak.
Di samping itu, kajian ilmu juga dibatasi oleh objek yang menjadi
fokus kajiannya, dan batas objek kajian, dan batas objek kajian akan
membawa pada konsekuensi terhadap pilihan metodologinya.
Metodologi sebagai jalan penalaran sebuah kajian, akan mengikuti
objek kajiannya, sehingga jika seseorang menetapkan pilihan objek
kajiannya pada satu sisi dan emosi seseorang, ini berarti menjadi kajian
psikologi, maka tentunya metode yang harus ditempuhnya adalah

1
Hans-Georg Gadainer, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence, Cambridge:
Cambridge Universty, 1993, hlm. 12

4
metode yang berlaku dalam kajian psikologi, dan dengan sendirinya,
kajian teknik mesin tidak bisa dipakai sebagai sebuah pendekatan
metodologisnya. Jika seseorang memaksakan kajian psikologi dengan
metode teknik mesin, akan berakibat pada hasil kajiannya, yang tentu
saja kemungkinan besar terjadi penyimpangan dan tingkat
kebenarannya diragukan.

2.2 OBJEK KAJIAN ILMU MENURUT EPISTEMOLOGI ISLAM


Dalam konsep filsafat Islam, objek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat
Tuhan sendiri, yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang
berisi firman-firman-Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan
terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dan diri manusia itu
sendiri.2 Kajian terhadap kitab suci dan melahirkan ilmu agama,
sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi fisik atau
materi, melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti, termasuk di dalamnya
kajian terhadap manusia dalam kaitannya dengan dimensi fisiknya, akan
tetapi pada dimensi non-fisiknya, yaitu perilaku, watak dan eksistensinya
dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan ilmu humaniora,
sedangkan kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan
pada tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya,
melahirkan ilmu filsafat.3
Oleh karena itu, jika dilihat pada objek kajiannya, maka agama,
ilmu, dan filsafat, adalah berbeda, baik dalam hal metode yang
ditempuhnya, maupun tingkat dan sifat dari kebenaran yang
dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari sumbernya, maka ketiganya
berasal dari sumber yang satu yaitu ayat-ayat-Nya. Dalam kaitan ini,
maka ketiganya pada hakikatnya saling berhubungan dan saling
melengkapi.
Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis,
filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang menyeluruh,

2
Johns. Badeau, Majid Fakhry (ed.), The Genius of Arab Civilization, Canada: MIT. Press, 1983,
hlm. 58
3
Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto,
Bandung: Mizan, 1998, hlm. 145-148

5
sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual,
memasuki dimensi yang Ilahi.
Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi
kenabian, adalah bidang kajian ilmu agama, akan tetapi jika dilihat dari
pemahaman, pemikiran dan pentafsiran manusia terhadap doktrin, kitab
suci, Tuhan dan kenabian itu, maka kajian atas pemikiran dan
pemahaman manusia tersebut dapat masuk pada kajian ilmu
humaniora.4 Sedangkan kajian filsafat dapat memberikan penjelasan
dan konsep mengenai Tuhan, doktrin dan kenabian, tetapi sifatnya
spekulatif, dan hanya agama yang dapat memberikan tata cara yang
teknis bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-
ajaran-Nya, yang dibawa oleh para Nabi utusan-Nya dan yang tertuang
dalam kitab suci.
Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya
bercorak tauhid, dan tauhid dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan
dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan
epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip
dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan
umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum atau
syariah dan non syariah,5 yang secara institusional dipisahkan
penyelenggaraannya, yang ilmu agama penyelenggaraan
pendidikannya di bawah Departemen Agama, dan yang umum
penyelenggaraan pendidikannya di bawah Departemen Pendidikan.6
Dalam al-Quran dijelaskan bahwa di dalam ayat-ayat Tuhan,
yaitu alam, manusia dan kitab suci, di dalamnya terdapat hukum-hukum
dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau memikirkannya, karena
melalui proses pemikiran keilmuan itu, maka akan tersingkap dan
diketahui makna kebenaran yang ada di dalamnya, yang me-
mungkinkan manusia memanfaatkan untuk kepentingan hidupnya. Al-
Quran surat az-Zukhruf ayat 3-4 menjelaskan tentang dirinya sebagai
objek berpikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah:

4
Ian G. Barbour, Religion in the Age of Science, London: SCM Press, 1990, hlm. 34-35
5
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986
6
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Edinburgh, 1981, hlm. 4

6
ِ َ ‫ َوإِنَّ ۥهُ فِ ٓي أ ُ ِم ۡٱل ِك َٰت‬٣ َ‫إِنَّا َجعَ ۡل َٰنَهُ قُ ۡر َٰ َءنًا َع َربِ ّٗيا لَّعَلَّ ُك ۡم ت َعۡ ِقلُون‬
‫ب‬
ٌّ ‫لَدَ ۡينَا لَ َع ِل‬
٤ ‫ي َح ِكي ٌم‬
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab
supaya kamu memahami(nya).
Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh
Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat
banyak mengandung hikmah. (Q.S. az-Zukhruf: 3-4)

Selanjutnya al-Quran surat al-Jathiyah ayat 5 mengatakan


tentang alam sebagai objek pemikiran untuk kepentingan hidup
manusia:

‫س َما ٓ ِء ِمن ِر ۡز ٖق فَأ َ ۡحيَا بِ ِه‬ َّ ‫ٱّللُ ِمنَ ٱل‬ َّ ‫ار َو َما ٓ أَنزَ َل‬ ِ َ‫ٱختِ َٰل‬
ِ ‫ف ٱلَّ ۡي ِل َوٱلنَّ َه‬ ۡ ‫َو‬
٥ َ‫ت ِلقَ ۡو ٖم َيعۡ ِقلُون‬ٞ ‫ٱلر َٰ َيحِ َءا َٰ َي‬
ِ ‫يف‬ِ ‫ض َبعۡ دَ َم ۡو ِت َها َوت َصۡ ِر‬ َ ‫ۡٱۡل َ ۡر‬
Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang
diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu
bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. (Q.S. al-Jathiyah: 5)

Pada tempat lain, al-Quran surat an-Nahl ayat 11-12 juga


menambahkan:

‫ت‬ِ ‫ب َو ِمن ُك ِل ٱلث َّ َم َٰ َر‬ َ َ‫ٱلز ۡيتُونَ َوٱلنَّ ِخي َل َو ۡٱۡل َ ۡع َٰن‬
َّ ‫ع َو‬
َ ‫ٱلز ۡر‬ َّ ‫يُ ۢن ِبتُ لَ ُكم ِب ِه‬
‫س‬ َّ ‫ار َوٱل‬
َ ۡ‫شم‬ َ ‫س َّخ َر لَ ُك ُم ٱلَّ ۡي َل َوٱلنَّ َه‬ َ ‫ َو‬١١ َ‫ِإ َّن فِي َٰذَ ِل َك َۡلٓيَ ّٗة ِلقَ ۡو ٖم يَتَفَ َّك ُرون‬
ٖ َ‫س َّخ َٰ َر ۢتُ بِأَمۡ ِر ِٓهۦ ِإ َّن فِي َٰذَ ِل َك َۡل ٓ َٰي‬
١٢ َ‫ت ِلقَ ۡو ٖم يَعۡ ِقلُون‬ َ ‫َو ۡٱلقَ َم َر َوٱلنُّ ُجو ُم ُم‬
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-
tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada

7
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya). (Q.S.
an-Nahl: 11-12)

Sedangkan mengenai manusia, al-Quran surat ar-Rum ayat 20-


21 mengatakan:

٢٠ َ‫َر تَنتَش ُِرون‬ٞ ‫اب ث ُ َّم إِذَآ أ َنتُم َبش‬


ٖ ‫َو ِم ۡن َءا َٰ َي ِت ِ ٓهۦ أ َ ۡن َخلَقَ ُكم ِمن ت ُ َر‬
‫َو ِم ۡن َءا َٰ َيتِ ِ ٓهۦ أ َ ۡن َخلَقَ لَ ُكم ِم ۡن أَنفُ ِس ُك ۡم أ َ ۡز َٰ َو ّٗجا ِلت َ ۡس ُكنُ ٓواْ ِإلَ ۡي َها‬
٢١ َ‫ت ِلقَ ۡو ٖم يَتَفَ َّك ُرون‬ ٖ َ‫َو َج َع َل بَ ۡينَ ُكم َّم َودَّ ّٗة َو َر ۡح َمةً ِإ َّن فِي َٰذَ ِل َك َۡل ٓ َٰي‬
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang
berkembang biak.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum: 20-21)

2.3 CARA MEMPEROLEH ILMU MENURUT EPISTEMOLOGI ISLAM


Setiap objek kajian keilmuan, menuntut suatu metode yang
sesuai dengan objek kajiannya itu, sehingga metode kajian selalu
menyesuaikan dengan objeknya. Metode kajian adalah jalan dan cara
yang ditempuh untuk menemukan prinsip-prinsip kebenaran yang
terkandung pada objek kajiannya, dan kemudian dirumuskan dalam
konsep teoritik, dengan menyesuaikan dengan objek kajian, sehingga
tidak terjadi kesalahan pendekatan, seperti menggergaji untuk
menumbangkan pohon jati dengan pisau silet.7
Secara umum, konsep teoritik tidak bisa dilepaskan dari suatu
metode yang menjadi bagian penting dari proses ilmu. Dalam ilmu alam,
proses itu berlangsung melalui kegiatan pengamatan untuk menyusun
hipotesis, kemudian diikuti percobaan-percobaan empirik, untuk menjadi

7
Ian G. Barbour, op. cit., hlm. 31-33

8
dasar perumusan dan penentuan suatu teori, dari susunan hukum-
hukum keilmuan (scientific laws).8 Demikian juga halnya yang berlaku
dalam ilmu humaniora (kemanusiaan), yang berusaha mengikuti cara
kerja ilmu alam, akan tetapi karena objek kajiannya adalah manusia
yang bersifat kompleks dan multi dimensi, dan pelaku atau subjek
ilmunya adalah manusia juga, sebagai individu dan warga masyarakat,
maka tidak cukup proses ilmu dijelaskan hanya dengan hukum sebab
akibat, sehingga hermeneutika diperlukan, di samping itu juga sulit
menjaga objektivitasnya. Sedangkan cara kerja filsafat, sulit dirumuskan
secara umum, karena masing-masing filosof mempunyai metodenya
sendiri-sendiri. Metode para filosof dibangun oleh pengalamannya
sendiri selama bertahun-tahun dalam perenungan dan pemikiran bebas.
Filsafat pada dasarnya bekerja mulai dengan pertanyaan dan berakhir
dengan pertanyaan. Berbeda dengan filsafat, maka agama dimulai dari
keyakinan, yang dikembangkan dalam pemikiran dari kemudian
memasuki proses pencerahan, dengan menjalani pengalaman spiritual
dalam keyakinan kegaiban.
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan
yaitu jalan kasbi atau khushuli dan jalan ladunni atau khudhuri. Jalan
kasbi atau khushuli adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang
dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan,
penelitian, percobaan, dan penemuan. Ilmu ini biasa diperoleh oleh
manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses
itu dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangkan
ilmu ladunni atau hudhuri, diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak
melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahan oleh
hadirnya cahaya Ilahi dalam qalb, dengan hadirnya cahaya Ilahi itu
semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas
dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang tersebut
memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini Tuhan bertindak
sebagai Pengajarnya.9

8
Muhammad Baqir ash-Shadr, op. cit., hlm. 208-209
9
Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri; Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin
Mohammad, Bandung: Mizan, 1994.

9
Apakah ilmu ladunni atau hudhuri itu mungkin? ya, sangat
mungkin, karena seperti dijelaskan dalam al-Quran bahwa Tuhan
bertindak sebagai Pengajar bagi Adam yang telah mengajarkan
kepadanya nama-nama benda. al-Quran surat al-Baqarah ayat 31-32
mengatakan:
ٓ
‫ض ُه ۡم َعلَى ۡٱل َم َٰلَ ِئ َك ِة فَقَا َل أ َ ۢنبِو ِني ِبأ َ ۡس َمآء‬ َ ‫َو َعلَّ َم َءادَ َم ۡٱۡل َ ۡس َما ٓ َء ُكلَّ َها ث ُ َّم َع َر‬
ٓ ‫س ۡب َٰ َحن ََك ََل ِع ۡل َم لَنَا ٓ ِإ ََّل َما َعلَّمۡ تَنَا‬
ُ ْ‫ قَالُوا‬٣١ َ‫ص ِدقِين‬ َ َٰ ‫َُل ِء ِإن ُكنت ُ ۡم‬ ٓ َ ‫ِِ َٰ َٓهؤ‬
٣٢ ‫نت ۡٱل َع ِلي ُم ۡٱل َح ِكي ُم‬
َ َ ‫ِإنَّ َك أ‬
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"
(Q.S. al-Baqarah: 31-32)

Bukan hanya kepada Adam, kepada manusia lain pun Tuhan


juga bertindak sebagai Pengajar yang mengajarkan kepada manusia
tentang apa yang tidak diketahuinya seperti yang ditegaskan oleh al-
Quran surat al-Alaq ayat 3-5:
ۡ
ِ ۡ ‫ َعلَّ َم‬٤ ‫ ٱلَّ ِذي َعلَّ َم ِب ۡٱلقَلَ ِم‬٣ ‫ۡٱق َرأ َو َرب َُّك ۡٱۡل َ ۡك َر ُم‬
َ َٰ ‫ٱۡلن‬
٥ ‫سنَ َما لَ ۡم يَعۡ لَ ۡم‬
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-Alaq: 3-5)

Dalam kaitan ini secara teknis al-Quran memperkenalkan suatu


cara membaca dengan kesadaran Bahiyah, seperti dinyatakan al-Quran
surat al-Alaq ayat 1:

ۡ ‫ۡٱق َر ۡأ ِب‬
١ َ‫ٱس ِم َر ِب َك ٱلَّذِي َخلَق‬

10
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
(Q.S. al-Alaq: 1)

Membaca yang diperintahkan Tuhan kepada Nabi Muhammad


SAW, seperti yang dijelaskan al-Quran di atas, tidak membaca deretan
huruf-huruf dan susunan kata-kata, akan tetapi membaca realitas dalam
berbagai dimensinya dalam kehidupan di sekelilingnya, dan melalui
bacaan demikian, Nabi Muhammad SAW, memperoleh wawasan
spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah. Ini dimungkinkan
karena Nabi mempunyai kecerdasan suci. Barangkali karena hikmah ini
juga yang dinasehatkan oleh gurunya Imam Syafi'i ketika ia
mengeluhkan kemampuannya menghafal yang jelek, syakautuu ila
Waqi, alasyu'ahifuzifa arsyadani ala tarkilma'aashi, dan gurunya
memberi nasehat kepadanya untuk meninggalkan atau tidak melakukan
tindakan kemaksiatan.
Dengan membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan
keakuannya ke titik nol, maka ia berdiri di hadapan Tuhan, seperti
seorang murid berhadapan dengan gurunya, Tuhan hadir membukakan
pintu kebenaran dan manusia masuk ke dalamnya, memasuki
kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu
dengan kebenaran yang telah dimasukinya.10 Dalam keadaan demikian,
ia mempunyai komitmen yang tinggi atas kebenaran yang diserapnya
dan ia melibatkan diri dalam proses menjadikan kebenaran dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mereka yang sudah mencapai
ilmu ladunni, akan ditandai oleh komitmennya yang tinggi dalam perilaku
kemanusiaan untuk membela kebenaran dan berusaha mewujudkannya
dalam kehidupan masyarakat.
Cahaya atau nur Allah hanya akan masuk ke dalam ruh dan qalb
untuk membaca, memahami dan menyerap kebenaran, jika seseorang
telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya dan egoisme, ke-aku-an,
keangkuhan, dengan keihlasan yang total dan kemudian berusaha
keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah

10
Ian C. Barbour, op. cit., hlm. 36-38

11
mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql
dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai
dimensinya dan menaikinya dalam bangunan kesadaran intelek. Proses
itu menjadi tradisi kehidupan batinnya yang terus menerus dilakukan
sepenuh hatinya dan memerlukan waktu panjang, tidak terjadi seketika,
untuk melatih ketajaman ruh agar bercahaya menerangi aql dan qalbnya
menyerap kebenaran. Proses itu berjalan tidak mulus, tetapi
menghadapi berbagai pergolakan dan konflik batin, dan hanya bisa
diatasi dengan keihlasan yang total. Pergolakan dan konflik itu terjadi,
karena ia harus mampu menekan dan mengendalikan keakuannya,
bahkan menundukkannya untuk dapat bersikap rendah hati berhadapan
dengan cahaya kebenaran.

2.4 TUJUAN ILMU MENURUT EPISTEMOLOGI ISLAM


Secara ontologis, ilmu pada dasarnya adalah manusia, ia lahir
dari manusia dan untuk manusia, ilmu merupakan proses manusia
menjawab ketidaktahuannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya.
Sebagai jawaban manusia, ilmu adalah produk manusia. Dari jurusan
ini, maka ilmu tergantung sepenuhnya pada manusia, yaitu bagaimana
keadaan manusia yang menghadapi ketidaktahuannya itu dan
bagaimana ia melihat hal yang tidak diketahuinya itu, dari sisi mana dan
bagaimana. Oleh karena itu, tujuan ilmu pada hakikatnya tidak dapat
dilepaskan dengan realitas dan tantangan yang dihadapi manusia itu
sendiri.11
Dalam kehidupan ini keadaan dan situasi hidup manusia selalu
berubah, ketika ia belum tahu hukum-hukum alam ataupun hukum-
hukum objek kajiannya yang lain, barangkali ia memandangnya dengan
berbagai perasaan, baik perasaan takut, mengagumi dan bahkan
mendapatkan tantangan yang mengasyikkan. Akan tetapi, setelah
semua perasaan itu dilaluinya dan ia menemukan hukum-hukum dan
jawaban yang dicarinya, bisa saja keadaan menjadi berubah, karena
dengan hukum-hukum dan jawaban yang diketahui dan dikuasainya itu,

11
J.W.M. Bakker, Filsafat Kehidupan, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 39

12
terbentang sejumlah kemungkinan di depan matanya, yang dapat
dimanfaatkan, untuk mengubah keadaan hidupnya.
Pada tahap ini ilmu merupakan bagian dari usaha manusia untuk
mengubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi, dan dalam
perkembangannya ilmu menjadi alat manusia mewujudkan
keinginannya, bahkan mengabdi pada kepentingannya. Dalam
masyarakat yang makin modern, di mana kapitalisme yang
menggerakkan industrialisasi makin menentukan kehidupan manusia,
maka ilmu telah bergeser kedudukannya untuk kepentingan
memperkuat kapitalisme, ilmu telah berpihak dan bekerja sama dengan
kekuasaan politik dan kekuatan militer dalam sebuah kepentingan
ekonomi dari suatu elite masyarakat baru atau kapitalisme baru.12
Akibat yang lebih jauh lagi, baik dalam proses maupun produk,
ilmu tidak netral lagi dan ilmu sepenuhnya berpihak untuk kepentingan-
kepentingan penciptanya suatu kelompok kecil yang menguasai dana
atau ekonomi kekuasaan politik dan kekuatan militer. Kesatuan dan
kerja sama ekonomi, politik dan militer ini untuk ilmu dan teknologi,
merupakan aksi penindasan elite menguasai kepentingan terhadap
rakyat yang makin tak berdaya. Oleh karena itu, munculnya konflik dari
para elite yang menguasai iptek ekonomi, politik dan militer, atau konflik
di antara mereka sendiri, telah berkembang makin kompleks dan telah
melahirkan bencana dan penderitaan di mana-mana, di mana rakyat
dan mereka yang menjadi korbannya, sama sekali tidak dapat mengerti
apa sebenarnya yang terjadi dan menimpa mereka, karena mereka
memang telah berada di luar sistem elite itu.
Ilmu untuk ilmu13 barangkali hanya mungkin menjadi dalam
kehidupan yang asketik, di mana seseorang menikmati kebahagiaan
spiritual, karena penemuan-penemuan baru dalam ilmunya, tanpa
mengaitkan dengan kepentingan dirinya dan kepentingan pihak-pihak
lain yang mungkin sangat memerlukan untuk tujuan-tujuan ekonomi,
politik dan kekuasaan. Akan tetapi dalam kehidupan yang makin

12
Soedjatmoko, Etika Pembebasan; Pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah
dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1984, hlm. 235-236
13
R. Geuss, The Idea of Critical Theory, Cambridge: Cambridge University, 1981, hlm. 12

13
materialistik ini, barangkali jumlah mereka sangat kecil dan kebanyakan
ilmu telah menjadi suatu komoditi, sehingga kalangan akademisi dan
intelektual telab terkooptasi gaya hidup baru yang materialistik itu,
mereka hidup dalam menara gading yang tenang dan ilmunya dijual
belikan untuk kepentingan elite, melalui riset-riset pesanan yang
memihak.
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu pada hakikatnya merupakan
perpanjangan dan pengembangan ayat-ayat Allah, dan ayat-ayat Allah
merupakan eksistensi kebesaran-Nya dan manusia diwajibkan untuk
berpikir tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan yang tidak bertentangan
dengan ajaran-ajaran-Nya, tidak untuk merusak dan melahirkan
kerusakan dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan
juga menimpa dirinya sendiri.14 Oleh karena itu, kebenaran yang
dibangun oleh ilmu dalam hukum hukum ilmu atau konsep teoritik tidak
boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena akibatnya dapat
merusak. al-Quran surat al-Mu’minun ayat 71 mengatakan:

ُ ‫س َٰ َم َٰ َوتُ َو ۡٱۡل َ ۡر‬


‫ض َو َمن ِفي ِه َّن َب ۡل‬ َّ ‫ت ٱل‬ َ َ‫َولَ ِو ٱتَّبَ َع ۡٱل َح ُّق أ َ ۡه َوآ َءهُ ۡم لَف‬
ِ َ ‫سد‬
٧١ َ‫أَت َ ۡي َٰنَ ُهم بِذ ِۡك ِر ِه ۡم َف ُه ۡم َعن ذ ِۡك ِر ِهم ُّمعۡ ِرضُون‬
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al
Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S. al-
Mu’minun: 71)

14
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Farhri Husein, dkk, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 46-47

14
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
pemikiran sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran
yang terdapat pada suatu kajian ilmu. Apakah objek kajian ilmu itu, dan
seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran
yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran
objektif, subjektif, absolut, atau relatif.
Objek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-
ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-
Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-
Nya yaitu alam semesta dan diri manusia itu sendiri.
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan
yaitu jalan kasbi atau khushuli dan jalan ladunni atau khudhuri.
Ilmu pada hakikatnya merupakan perpanjangan dan
pengembangan ayat-ayat Allah, dan ayat-ayat Allah merupakan
eksistensi kebesaran-Nya dan manusia diwajibkan untuk berpikir
tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran-Nya, tidak untuk merusak dan melahirkan kerusakan
dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan juga menimpa
dirinya sendiri.

15
DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie, Musa. 2010. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta:
Lesfi

16

Anda mungkin juga menyukai