Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah : Filsafat Islam

Dosen pengampu : Dr. Tri Astutik Haryati, M.Ag

DISUSUN OLEH :

1. Istikomah (3619051)

2. M. Diki Royani (3619053)

Kelas B

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN 2021

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berfilsafat merupakan bagian dari peradaban umat manusia. Seluruh peradaban yang pernah
ada di dunia pasti mempunyai filsafatnya tersendiri. Kenyataan ini sekaligus menentang
pandangan bahwa yang berfilsafat itu untuk orang-orang barat saja terkhusus orang Yunani.
Selain filsafat Yunani ada beberapa filsafat yang pernah berkembang diantaranya yaitu
filsafat Cina, Persia, India, dan juga filsafat Islam. Sebagai seorang muslim kita telah
mengetahui dan mengenal berbagai tokoh-tokoh Islam.  Dari tokoh-tokoh Islam tersebut ada
beberapa yang menjadi tokoh filsafat Islam.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang pemikiran filsafat Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd
adalah intelektul muslim yang dibesarkan di Cordova dan beliau adalah filosof ternama yang
terkenal dikalangan pemikir-pemikir barat tidak hanya dikalangan Islam sendiri. Ibnu Rusyd
sebagai seorang filosof memberikan banyak sumbangan didalam khasanah dunia filsafat,
baik dari filosof-filosof muslim sebelumnya maupun filsafat yang berasal dari Yunani. Tokoh
Ibnu Rusyd ini juga memiliki metode pembuktian kebenaran, pandangan tentang metafisika
serta sanggahannya terkait karya dari pemikiran al-Ghazali yang berjudul tahafut al-falasifah,
kesesatan atau keracuhan para filusuf.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Riwayat Hidup Ibnu Rusyd ?
2. Bagaimana Metode Pembuktian Kebenaran Ibnu Rusyd?
3. Bagaimana Metafisika Menurut Ibnu Rusyd?
4. Bagaimana Sanggahan Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali?
5. Bagaimana Averroisme Ibnu Rusyd?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Memahami dan Mengetahui Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
2. Untuk Memahami dan Mengetahui Metode Pembuktian Kebenaran
3. Untuk Memahami dan Mengetahui Metafisika Ibnu Rusyd
4. Untuk Mengetahui Sanggahan Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali
5. Untuk Memahami Averroisme Ibnu Rusyd

BAB II
1 Ibn Rusyd, Ter, Khalifurrahman Fath, Tahafut At-Tahafut (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. v.

2
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd mempunyai nama lengkap yaitu Abu Al-Walid Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd. Beliau lahir di Cordova, Andalusia pada tahun 510
H/1126 M.2 Ayah Ibnu Rusyd bernama Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H). Beliau
adalah seorang ahli hukum Islam (faqih) dan pernah menjadi hakim di Cordova.
Sedangkan kakeknya yang bernama Muhammad bin Ahmad (wafat 520 H-1126 M)
adalah ahli fiqh madzhab Maliki dan pernah menjadi hakim agung di Spanyol. Sama
seperti kakek dan ayahnya Ibnu Rusyd sendiri juga pernah menjadi hakim agung di
Spanyol.
Pendidikan yang ditempuh Ibnu Rusyd dimulai dari belajar Al-Qur’an bersama
ayahnya sendiri. Kemudian beliau belajar dasar-dasar ilmu keislaman seperti Ushul Fiqh,
Fiqh, Hadits, Bahasa Arab, Sastra dan ilmu kalam. Dalam ilmu Fiqh beliau belajar dan
menguasai kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Beliau juga belajar kepada Abu
Muhammad bin Rizq dalam ilmu fiqh ikhtilaf (perbandingan hukum Islam) serta di
bidang hadits beliau belajar dengan Ibn Basykual. Dalam bidang ilmu filsafat dan
kedokteran beliau belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli yang berasal dari Trujillo
serta Ibn Zhuhr yang merupakan gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran.3
Ibnu Rusyd awalnya mendapatkan posisi yang baik dari Khalifah Abu Yusuf Al-
Mansur (masa kekuasaan 1148-1194 M), sehingga Ibnu Rusyd menjadi raja semua
pikiran. Akan tetapi keadaan itu segera berubah karena beliau diasingkan oleh Al-
Mansur akibat fitnah yang dilancarkan kelompok penentang filsafat. Keadaan tersebut
tidak berlangsung lama, Ibnu Rusyd dapat kembali menghirup udara bebas. Namun
muncul kembali fitnah yang dilemparkan kepada Ibnu Rusyd yang mengakibatkan beliau
diasingkan ke Maroko serta buku-buku karangannya di bakar dan ilmu filsafat tidak
boleh lagi dipelajari.4 Ibnu Rusyd meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9 Shafar
595 H di Marakesh pada usia 72 tahun. Marakesh adalah kota ketiga terbesar di Maroko
setelah metropolitan modern Casablanca, dan ibu kota Rabat.5

B. Metode Pembuktian Kebenaran

2 Khudori Soleh, Filsafat Islam, (jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 154.
3 Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 21-22.
4 Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 94-95.
5 Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta: Triputra Masa, 1984), hlm. 127.

3
Metode burhani ini dapat ditemukan dan digunakan dalam filsafat paripatetik
yang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional dengan memakai silogisme yang
mana terdiri dari konklusi dan premis-premis. Metode ini dikembangkan oleh al-Farabi,
al-Kindi, Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina.6
Teori  pengetahuan dalam perspektif burhani dipresentasikan oleh Ibn Rusyd.
Sedangkan perspektif bayani dikemukakan oleh para fuqaha, yang terlembaga dalam diri
Al-Ghazali. Epistemologi irfani dimunculkan oleh para pemikir tasawuf falsafi seperti Al-
Shuhrawardi. Burhani menurut bahasa yaitu argumentasi atau pendapat yang jelas dan
kuat. Didalam istilah logika, burhani merupakan kegiatan intelektual guna membuktikan
kebenaran suatu proposisi melalui pendekatan deduksi dengan menyambungkan proposisi
yang satu yang sudah terbukti secara aksiomatik. Burhani adalah kegiatan intelektual
guna menentukan suatu proposisi tertentu.7 Al-burhan sendiri menurut ulama Ushul
merupakan sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang
benar dari yang salah melalui penjelasan. 8 Epistemologi burhan dalam visinya
menitikberatkan pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, eksperimentasi, inderawi
dan konseptualisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi burhani merupakan
epistemologi yang memiliki pandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan yaitu akal.
Menurut epistemologi ini akal memiliki kemampuan untuk menjumpai berbagai
pengetahuan, bahkan dalam bidang agama pun akal mampu untuk mengetahuinya,
misalnya masalah buruk dan baik.

Nalar burhani bertumpu pada kekuatan natural manusia yang berupa otoritas
akal dan indera dalam mendapatkan pengetahuan. Dari pengertian tersebut nalar burhani
identik dengan filsafat, yang masuk kedunia Yunani dan Islam. Dalam filsafat, baik
filsafat Barat maupun filsafat Islam istilah yang seringkali dipakai yaitu rasionalisme yang
mana aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) adalah kebenaran pengetahuan dan dasar
kepastian, walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Gottried
Leibniz (1646 –1716), Rene Descartes (1596–1650 dan Baruch Spinoza (1632 –1677).9

Dalam metode demonstratif atau burhani adalah bentuk inferensi rasional,


yakni pengalihan premis-premis yang membentuk konklusi yang bernilai. Metode

6 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta, Gre Publising, 2011), Hlm 77
7 Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi,1991), hlm. 46
8 Muhammad ‘Abd Rauf al-Manawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif (Cet. I ; Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir,
1410 H.), hlm. 123
9 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), hlm. 136.

4
demonstratif atau burhani ini berasal dari Ariestoteles. Metode burhani yang
dimaksud Aristoteles yaitu silogisme ilmiah yang merupakan silogisme yang apabila
seseorang mempunyainya, maka orang tersebut akan mempunyai pengetahuan.
Ariestoteles berpendapat bahwa silogisme adalah seperangkat metode berfikir yang
dengan silogisme tersebut, bisa menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan
sebelumnya. dengan kata lain, pengetahuan ini didapat sebagai bentuk kesimpulan
dari berbagai premis, terlepas dari apakah pengetahuan tersebut salah atau benar
ataukah pengetahuan tersebut sesuai dengan realitas atau tidak.10
Oleh karena itu dalam silogisme harus terpenuhi tiga hal, yakni pertama,
silogisme harus mempunyai dua premis, dengan premis kedua merupakan bagian
dan tidak mungkin keluar dari cakupan premis pertama, serta konklusinya tidak
mungkin melebihi cakupan yang ada di premis pertama tersebut. Kedua, silogisme
terbentuk dari dua premis yang mengandung tiga term, yaitu term mayor yang
ada pada premis mayor, term tengah yang ada pada kedua premis dan term minor
yang ada pada premis minor. Ketiga, silogisme pasti mengandung term tengah
yang ada pada kedua premis, yang berfungsi menjadi sebab yang melegitimasi
predikat dapat bersandar pada subyeknya dalam konklusi. Dari sini Aristoteles
berkata bahwa ilmu merupakan usaha menemukan sebab.11
Tidak semua silogisme bisa dengan dmonstratif atau burhani. Silogisme baru
bisa dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasar bukan dari pendapat
atau opini, tetapi didasarkan pada kebenaran utama atau kepada kebenaran yang telah
diuji sehingga jika premis-premisnya benar, kesimpulanya pun pasti akan benar.
Namun lain halnya jika premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang
sudah teruji, maka kesimpulannya akan meragukan, bahkan bisa mungkin salah.12
Silogisme bisa menjadi ilmu burhani bila berupa silogisme atau analogi
ilmiah yang mana harus memenuhi tiga syarat, yakni pertama, hubungan yang
konsisten antara akibat dan sebab (antara konklusi dan term tengah). Kedua,
mengetahui term tengah yang menjadi sebab atau ‘illah adanya konklusi. Ketiga,
konklusi harus bersifat pasti, sehingga sesuatu yang lain tidak tercakup dalam
konklusi tersebut. Menurut Aristoteles Untuk memenuhi syarat ketiga ini premis-

10 Muhammad Abid Al-Jabiri, Tragedi Intlektual, Terj, Afandi Abdillah (Yogyakarta, Pustaka Alief, 2003), hlm
247
11 Muhammad Agus Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal), Hermenia :
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2 (Juli-Desember 2003), hlm 225
12 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, .... hlm 76

5
premis yang dijelaskan dalam silogisme tersebut harus berupa aksioma-aksioma
yang kebenarannya tidak bisa dibantah dan tidak membutuhkan pembuktian lagi.
Aksioma-aksioma ini biasanya mengandung prinsip-prinsip antara lain “sesuatu
yang bertentangan tidak mungkin untuk disatukan”, tidak ada suatu peristiwa
kecuali mempunyai sebab dan tidak ada jalan tengah bagi dua hal yang
bertentangan .13
C. Metafisika
Dalam permasalahan ketuhanan, Ibnu Rusyd memiliki pendapat bahwa Allah
merupakan Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif yang dapat
diberikan kepada Allah yaitu “Maqqul” dan “Akal”. Wujud Allah yakni Esa-Nya.
Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.14
Ibnu Rusyd dalam bukunya yang berjudul al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah,
menemukan jalan menuju Tuhan, yakni metode-metode yang terdapat di dalam Al-
Qur’an untuk mencapai kepercayaan akan eksistensi (keberadaan) Tuhan dan
pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya. Menurut makna tersurat itu, sebab pengetahuan
pertama yang bisa dimiliki oleh setiap orang yang berakal yakni pengetahuan
mengenai hal-hal yang akan membuatnya percaya akan eksistensi Sang Pencipta.15
Ada beberapa madzab pemikiran Islam yang sudah berupaya memahami
eksistensi Tuhan seperti Asy’ariyah, Hasyawiah, Mu’tazilah, Sufi dan Batiniyah.
Menurut Asy’ariyah mereka menyakini bahwa jalan menuju Tuhan yaitu melalui
rasio. Sedangkan menurut Hasyawiah, jalan menuju Tuhan melalui pengajaran kesan
dan tidak melalui nalar. Maksudnya, untuk mengerti Tuhan didapat dengan
mendengar informasi yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dan nalar tidak ada
hubungannya dengan masalah ini. Sementara itu, kaum Sufi mencapai Tuhan melalui
jalan mistis. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan mengenai Tuhan itu datang
sendiri dari atas kemudian masuk ke dalam hati, setelah kita meninggalkan semua
kemauan duniawi.16
Setelah menyampaikan kelemahan-kelemahan bukti golongan-golongan
tersebut diatas, Ibnu Rusyd menjelaskan dalil-dalil yang meyakinkan yaitu:

13 Ibid.
14 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) hlm. 117.
15 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 207.
16 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 108.

6
1. Dalil inayah al-Ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Disampaikan bahwa alam ini
semuanya sangat sesuai dengan kehidupan manusia. Kesesuaian ini tidak mungkin
terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang sangat
bijaksana. Semua kejadian yang ada di alam sangat sesuai dengan fitrah manusia.
Adapun ayat yang mendukung dalil ini QS. An-Naba’: 6-7.
2. Dalil ikhtira’ (dalil ciptaan). Yang termasuk dalam dalil ini yaitu wujud segala
macam tumbuhan, hewan, bumi dan langit. Segala yang maujud di alam ini adalah
diciptakan dan segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan. Ayat yang
mendukung dalil ini yaitu QS. Hajj : 73.
3. Dalil harkah (gerak). Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang
abadi. Gerakan ini menunjukkan terdapat penggerak pertama yang tidak bergerak
dan bukan benda, yakni Tuhan.
D. Kritik Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali
Sanggahan yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd terhadap kritikan yang dilontarkan Al-
Ghozali kepada kaum filosof muslim, krtitikan-kritikan tersebut yaitu :
1. Qadimnya Alam.
Berdasarkan pendapat Al-Ghazali, para kaum teolog berkeyakinan bahwa alam
ini diciptakan oleh Tuhan dari tidak ada. Dalam hal ini, pemakalah dapat
memaknainya bahwa mereka percaya alam dibuat oleh Tuhan dan tidak adanya
suatu wujud lainnya, atau hanya ada Tuhan sendiri. Sedangkan pendapat kaum
filosof Islam yang menyatakan bahwa alam ini qadim, yang maksudnya alam
dibuat dari materi yang sudah ada.17 Dari materi yang sudah ada itu diciptakan
Allah berupa alam. Para kaum filosof juga menegaskan bahwa qadim-Nya alam
itu bukan berarti bahwa alam ini jadi secara sendirinya atau tidak dibuat oleh
Tuhan. Maksud qadimnya alam ini karena diciptakan tuhan sejak qidam/azali.
Sehingga karena alam ini diciptakan sejak qidam, maka alam itu bersifat qidam .
Sehingga perlu ditegasi pula bahwa qadimnya Tuhan tidak sama dengan
qadimnya alam, karena Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedangkan alam
adalah qadim yang dicipta.18

17 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2014), hlm 232
18 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf, Dan Ajaranya, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm
232

7
Berdasarkan pendapat Ibnu Rusyd, kesimpulan yang keliru yang
dinyatakan oleh Al-Ghazali, yang mana ia memberi kesimpulan yaitu tidak ada
filosof muslim yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya
Tuhan. Namun, yang mereka maksud adalah yang ada berubah bentuk menjadi
ada dalam bentuk lain. Pendapat filosof muslim bahwa penciptaan sesuatu dari
ketiadaan tentu tidak mungkin terjadi, dan dari tidak ada tidak dapat terjadi
apapun. Sehingga materi asal alam ini pasti qadim.19
Sebagai penunjang pendapatnya, Ibnu Rusyd menyatakan beberapa ayat
dalam Al-Qur’an yaitu : QS Al-Anbiya’: 30, Hud: 7, Fushshilat: 11 dan Al-
Mu’minun: 12-14. Ayat tersebut memberikan keterangan, sebelum alam ini
ciptakan sudah ada materi atau suatu wujud yakni berupa ma’ (air) dan dukhan
(uap).
2. Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyyat (Perkara Kecil)
Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim memiliki pendapat bahwa Allah
tidak mengetahui perincian yang ada di alam. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa Al-
Ghazali telah melakukan kesalahpahaman, karena tidak ada kaum filosof muslim
yang menyampaikan seperti hal itu. Maksud dari para filosof Muslim adalah tidak
sama antara pengetahuan Allah terhadap perincian yang ada di alam dan
pengetahuan manusia terhadap perincian yang ada di alam. Pengetahuan Allah
bersifat qadim sejak azali. Allah mengetahui seluruh kejadian yang ada di alam
ini, walaupun itu kecil, sedangkan sifat pengetahuan manusia itu baharu. Begitu
pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan manusia berbentuk akibat.
3. Kebangkitan Jazmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd, pernyataan yang tidak benar dari Al-Ghazali
terhadap para filosof muslim yang menyatakan tidak adanya kebangkitan
jasamani di akhirat. Mereka tidak mengatakan demikian. Sanggahan Al-Ghazali
tentang kebangkitan rohani ketika manusia dibangkitkan nanti, Al-Ghazali
berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani, Al-Ghazali
berkata:
“... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan
mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan

19 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2014), hlm 233

8
dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang
akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan
bersifat spiritual dan bukan hanya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka
itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat
spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah mereka
menolak adanya pahala dan hukuman bersifat jasmani dan mereka dikutuk oleh
hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.” 20
Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat bahwa semua agama mengakui
adanya kehidupan yang kedua di Akhirat, tetapi mereka berbeda dalam
menginterpretasi mengenai wujudnya. ada yang berpendapat bahwa yang akan
di bangkitkan hanya rohani dan ada yang mengatakan rohani dan jasmani.
Namun yang jelas, kehidupan akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia
ini.21 Berdasarkan pendapat Ibnu Rusyd, tidak kekonsistenan Al-Ghazali dalam
bersikap, apa yang dikatakannya saling bertentangan. Sebagaimana pada buku
tahafut al-falasifah karya Al-Ghazali, dimana dalam bukunya ini ia mengatakan
bahwa tidak ada seorang muslim yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani
tidak ada. Namun ditemukan pada buku lainnya mengenai tasawuf, ia
mengatakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya kebangkitan
rohani.22
E. Averroisme di Barat
Beredarnya pemikiran Ibnu Rusyd tidak hanya memiliki pengaruh hanya
kepada golongan orang muslim. Namun, Pada abad pertengahan munculah
gerakan kefilsafatan yang dibentuk kaum muda benua Eropa, yang didalam
gerakan tersebut mempelajari hasil pemikiran Ibnu Rusyd. Sehingga dengan hal
tersebut, gerakan ini dinamakan gerakan Averroisme.23
Di Barat, Averroisme ini merupakan ajaran dalam berfilsafat di abad
pertengahan yang diambil dari pemikiran dan karya Ibnu Rusyd pada abad ke 12.
Pada abad ke 13, Dapat ditemukan karya-karya dari Ibnu Rusyd yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa latin di perguruan-perguruan tinggi di Eropa.

20Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2014), hlm 234
21 Ibid, hlm236-237
22 Ibid, hlm 237
23 Aminullah Elhady, Averroisme Dimensi-Dimensi Pemikiran Ibnu Rusyd ( Yogyakarta: Bildung, 2018),
hlm. 58-59

9
Pengembangan dan pembawaan filsafat Ibnu Rusyd oleh kaum skolastik Kristen
yaitu oleh Siger de Brabant dan Boetius de Dacia yang melakukan pengujian
terhadap doktrin-doktrin Kristen dengan penalaran dan analisis keilmuan. Selain
istilah Averroisme tadi, terdapat istilah yang muncul yaitu Averroist yang
merupakan istilah yang ditujukan kepada pengagum Ibnu Rusyd. Istilah ini dibawa
oleh Thomas Aquinas. Beliau juga mengemukakan pendapat, bahwa sejarah
Averroisme merupakan sejarah kesalahpahaman, dimana dalam menerjemahan dari
bahasa Arab adanya banyak kesalahan karena ketidakpahaman tentang
terminologi.24
Istilah Averroism dalam bahasa Arab yaitu Al-Rusydiyyah al-Latiniyyah.
Averroisme ini digagas awal mulanya oleh Ernest Renan (1823-1893) dari
bukunya yang berjudul Averroes et I’Averroisme : Essai Historique yang
membahas pandangan-pandangan Aristotelianisme.
Perkembangan Averroisme di Eropa ini karena pengaruh dari Ibnu Rusyd,
yang memiliki tujuan untuk kembali pada pemikiran-pemikiran rasional Ibnu
Rusyd. Dalam gerakan Averroisme di Barat ini merupakan suatu gerakan yang
didalamnya merupakan tafsir dari pemikiran Aristoteles, yang disampaikan Ibnu
Rusyd melalui karya-karyanya. Di Barat Averroisme telah berkembang selama
empat abad (1250-1650) Ciri atau karakter yang ada dalam pemikiran Ibnu Rusyd
yaitu rasionalisme, karena pemikiran ini dapat menggerakkan kaum muda Eropa
untuk keluar dari doktrin teologis mereka untuk berpikir rasional atau terbuka.
Dengan perkembangannya orang-orang Barat merasa keberatan atau dapat pula
dimaknai tidak setuju dalam menerima masuknya pemikiran rasional karena
bertentangan dengan doktrin-doktrin teologi dan karena hal ini sudah berpedoman
dalam kehidupan bermasyarakat. Pada masa itu pun kekuasaan keagamaan Eropa
tidak memperbolehkan mengembangkan pemikiran Ibnu Rusyd itu, karena
pemikiran tersebut dipandang dapat mempengaruhi perkembangan agama
masyarakat. Sehingga kekuasaan Gereja memberikan hukuman bagi mereka yang
membaca dan mengembangkan pemikiran Ibnu Rusyd.25
Secara bertahap gerakan pemikiran Averroisme (Filsafat dengan pemikiran
Ibnu Rusyd) dapat berkembang, yang mana perkembangan ini masuk dalam
pembelajaran di Universitas Paris pada tahun 1255 oleh tokoh bernama Siger de

24 Ibid., hlm. 59-60


25 Ibid., hlm. 60-61

10
Brabant (1235-1282) dan murid-muridnya yakni Boethius de Dacie, Berner van
Nijvel dan Antonious van Parma, dimana mereka melakukan pengkajian,
menelaah serta meneliti karya-karya Ibnu Rusyd. Terutama pada pemikiran
rasionalisme.26 Dari golongan terpelajar ini Pemikiran Ibnu Rusyd bisa
berkembang di Eropa. Namun, dalam perkembangannya hanya mengkaji terkait
pemikiran rasionalisme dan tidak sampai kepada pandangan-pandangan
teologinya. 27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibnu Rusyd memiliki nama lengkap Abu Al-Walid muhammad ibn Ahmad ibn
rusyd. Beliau lahir di kota kordoba pada tahun 1126 M. Dan meninggal pada
tahun 595 H/1198 M di Marakesh. Metode pembuktian kebenaran yang
diterapkan oleh Ibnu Rusyd dalam merumuskan masalah dan mempertimbangkan
teori yaitu dengan metode demonstratif atau burhani. Metode burhani ini
merupakan silogisme ilmiah yakni silogisme yang apabila seseorang
mempunyainya, maka orang tersebut akan mempunyai pengetahuan. Dari tinjauan
Metafisika, dalam permasalahan ketuhanan ibnu Rusyd memiliki pendapat bahwa
Allah merupakan Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Ada beberapa madzab
pemikiran Islam yang sudah berupaya memahami eksistensi Tuhan dengan
memiliki pandangannya sendiri seperti Asy’ariyah, Hasyawiah, Mu’tazilah, Sufi
dan Batiniyah. Adapun sanggahan Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali yaitu pertama
Qadimya Alam. Alam diciptakan Tuhan bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang
sudah ada, hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an. Kedua mengenai pengetahuan
Tuhan. Pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang bersifat juz’i itu tidaklah
seperti pengetahuan manusia karena pengetahuan manusia mengambil bentuk
efek, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi munculnya berbagai
hal-hal yang bersifat juz’i. Ketiga terkait kebangkitan jasmani. Menurut Ibnu
Rusyd, tidaklah ada ijma’ ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari kiamat,
dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya rohani saja,
tidak dapat dikafirkan dengan alasan ada ijma’. Munculnya Averroisme yang

26 Ibid, hlm. 61
27 Ibid.,hlm. 62

11
merupakan gerakan berfilsafat yang mana dalam gerakan tersebut mempelajari
hasil pemikiran Ibnu Rusyd. Perkembangan Averroisme di Eropa ini karena
pengaruh dari Ibnu Rusyd, yang memiliki tujuan untuk kembali pada pemikiran-
pemikiran rasional Ibnu Rusyd. Secara bertahap gerakan pemikiran Averroisme
(Filsafat dengan pemikiran Ibnu Rusyd) dapat berkembang, yang mana
perkembangan ini masuk dalam pembelajaran di Universitas Paris pada tahun
1255 oleh tokoh bernama Siger de Brabant (1235-1282) serta murid-muridnya.

DAFTAR PUSTAKA

al-Jabiri, Muhammad Abed. 1991. Bunyah al-Aql al-Arabi. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al- Arabi.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2003. Tragedi Intlektual, Terj, Afandi Abdillah. Yogyakarta:
Pustaka Alief.
al-Manawi, Muhammad ‘Abd Rauf. 1410. al-Tauqif ‘ala Muhimmat al-Ta’arif .Cet. I ;
Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir.
Elhady, Aminullah. 2018. Averroisme Dimensi-Dimensi Pemikiran Ibnu Rusyd . Yogyakarta:
Bildung.
Iqbal, Muhammad. 2004. Ibnu Rusyd dan Averroisme. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Naim, Ngainun. 2011. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta : Gre Publising.
Najib, Muhammad Agus . 2003. Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah
Penelusuran Awal), Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2
Juli-Desember.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Rusyd, Ibn, Ter, dan Fath, Khalifurrahman. 2004. Tahafut At-Tahafut. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Saifullah, Ali. 1989. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf, Dan Ajaranya. Bandung:
Pustaka Setia.
Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Siddik, Abdullah. 1984. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra Masa.
Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soleh, Khudori. 2013 . Filsafat Islam. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Syarif, M.M. 1996. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

12

Anda mungkin juga menyukai