Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENGANTAR STUDI PEMIKIRAN ISLAM


Tentang
FILSAFAT ISLAM DI BARAT

Disusun Oleh :
Kelompok 5
Yennita Sari : 2314070238
Arini Ewina Fatin : 2314070233
Fitri Apriani Sitompul : 2314070255
Nina Laila Husni : 2314070234

Dosen Pengampu :
Dr. Romi Yilhas,. M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
TA 2023/2024

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik guna
memenuhi tugas Pengantar Studi Pemikiran Islam Prodi Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Shalawat dan salam juga senantiasa kita
haturkan kepada junjungan kita yakni baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa
kita dari alam jahiliyah menuju alam yang terang benderang yang disinari dengan
cahaya Iman dan Islam.
Penulis berharap makalah ini bisa memberi manfaat bagi penulis dan
pembaca. Sehingga penulis dan pembaca bisa mendapatkan ilmu pengetahuan baru
terkhusus mengenai Filsafat Islam di Barat. Penulis juga mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca guna penyempurnaan penulisan makalah
diwaktu yang akan datang.

Selasa, 12 September 2023

Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat Islam di Barat


Filsafat islam merupakan sebuah realitas yang khas, yang memiliki
sejumlah perwujudan historis yang tercermin dalam cara filsafat islam yang di kaji
baik di Barat maupaun Timur. Secara historis-sosiologis, ketika masyarakat
muslim belahan Timur yang berada di bawah kekuasaan kaum Asy’ariyah dan
Hanbaliyah menolak wacana filsafat, kondisi tersebut memaksa filsafat untuk
mencari perlindungan dibagian Barat kerajaan Islam.
Sejak saat itulah mulai bermunculan sejumlah filsuf-filsuf besar muslim
yang diwilayah barat. Adapun tokoh tokoh filsuf besar di wilayah barat adalah
sebagai berikut :
1. Ibn Rusyd
a. Biodta Singkat Ibnu Rusyd
Ibn Rusyd atau nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Rusyd, berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.
IbnRusyd lahir di Andalusia (Spanyol) tepatmya di kota Kordoba tahun
526H/1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh. yahnya Ahmad
atau Abu Al Qasim seorang hakim di Kordoba demikian juga kakeknya sangat
terkenal sebagai ahli fiqh. Dengan demikian ia lahir dari keluarga terhormat alim
dan taat dalam beragama Islam, kakek dan ayahnya penganut mazhab Maliki.
b. Pemikiran Ibn Rusyd
Dominasi nalar fiqh dalam kehidupan umat Islam, khususnya pengaruh
kuat pemikiran al-Asy’ari dan al-Ghazali, menjadi latar belakang dan memicu
pemikiran rasionalistik Ibnu Rusyd. Dengan dasar kecerdasan dan pengetahuan
yang luas, serta bakat kefilsafatan yang dalam, ia merekonstruksi pemikiran
filosof sebelumnya untuk mencerahkan pemikiran umat Islam pada masanya.
Selain mengulas filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina, ia memproyeksikan
pemikirannya secara khusus kepada filsafat Aristoteles. Dengan cara ini, dominasi
ortodoksi agama serta fatalisme dalam berkeyakinan ia bantah dengan
argumentasi kekuatan penalaran yang filosofis. Bahkan, ketika pemikiran Ibnu
Rusyd ditolak dalam dunia Islam, pada saatnya justru terbukti bahwa pemikiran
Ibnu Rusyd mampu membangkitkan dunia Barat melalui gerakan renaissance.
Prestasi pemikiran Ibnu Rusyd yang radikal-rasionalistis sebenarnya dapat
dianggap puncak dari kejayaan gelombang pemikiran era skolastik di kalangan
umat Islam. Jika sebelumnya dipelopori al-Farabi dan Ibnu Sina, maka pemikiran
Ibnu Rusyd berada di antara keduanya, meskipun lebih dekat kepada al-
Farabi.Namun secara keseluruhan, Ibnu Rusyd terkenal sebagai pengulas
pemikiran Aristoteles yang handal sekaligus pembela filsafatnya.
c. Rasionalisme Ibn Rasyd
Penjelasan geneologi pemikiran Ibnu Rusyd di atas, menunjukkan corak
pemikiran Ibnu Rusyd sebagai sintesis dari dialektika pemikiran Islam dengan
filsafat Yunani. Rasionalism pemikiran Ibnu Rusyd digambarkan melalui dua
pokok filsafatnya, yaitu:
1) Hubungan Akal dengan Wahyu
Menurut Ibnu Rusyd, semua persoalan agama harus dipecahkan dengan
kekuatan akal. Logika harus dipakai sebagai dasar segala penilaian tentang
kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus memikirkannya secara logika
(takwil). Ibnu Rusyd meyakini bahwa akal dan wahyu itu terkait erat dan saling
mendukung, bahkan tidak dapat dipisahkan.
Menurut Ibnu Rasyd Jika syari’at itu benar adanya serta mengajak kepada
penalaran ke arah pengetahuan kebenaran, maka dapat dipastikan bahwa
penalaran burhani tidak bertentangan dengan syari’at. Kebenaran satu tidak akan
berlawanan dengan kebenaran lainnya, bahkan akan saling mendukung, di
samping masing-masing berada pada posisi yang kokoh.
2) Dalil tentang wujud Tuhan.
Ibnu Rusyd menegaskan, bahwa untuk mengenal Sang Pencipta tidak
mungkin berhasil kecuali dengan jalan melakukan pengamatan terhadap alam
wujud yang diciptakanNya sebagai bukti adanya Sang Pencipta tersebut. Namun
sebagai orang yang berpikir rasional, Ibnu Rusyd tetap berpegang pada sumber
agama itu sendiri, yakni al-Qur’an. Untuk itu, al-Qur’an disimpulkan Ibnu Rusyd
dalam dua golongan dalam hal menunjukkan dalilnya tentang wujud Tuhan.
Kedua dalil tersebut adalah dalil inayah (pemeliharaan) dan dalil ikhtira’
(penciptaan). Berikut ini penjelasannya :
Pertama, dalil ‘inayah (dalil tentang pemeliharaan alam). Apabila alam ini
kita perhatikan, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang ada di dalamnya
sesuai sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain. Persesuaian
ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya penciptaan yang
rapi dan teratur, yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan. Siang dan malam, matahari dan bulan, empat
musim, hewan, tumbuhtumbuhan, dan hujan, kesemuanya ini sesuai dengan
kehidupan manusia, seolah-olah mereka dijadikan untuknya. Perhatian dan
kebijaksanaan Tuhan tampak jelas juga dalam susunan tubuh manusia dan hewan.
Demikianlah pandangan akal semata-mata, suatu pandangan yang sesuai pula
dengan ketentuan al-Qur’an sendiri yaitu QS. al-Naba [78]: 6-16).
Kedua, dalil ikhtira’ (dalil tentang penciptaan alam). Dalil ini sama
jelasnya dengan dalil ‘inayah, karena adanya penciptaan yang tampak jelas pada
manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Mereka memiliki gejala hidup yang
berlainan dan yang menentukan macam pekerjaannya. Semakin tinggi kualitas
makhluk, semakin tinggi pula macam pekerjaannya. Semuanya ini menunjukkan
adanya “pencipta” yang menghendaki supaya sebagian makhluk lebih tinggi
daripada sebagian lainnya. Dalil ikhtira’ seperti halnya dalil ‘inayah, yakni
mendorong untuk mengikuti jalan keilmuan sejauh mungkin. Dalil tersebut lebih
berguna dan dipakai oleh syara’ untuk menguatkan adanya kekuasaan Tuhan.

2. Ibnu Bajjah
a. Biodata Singkat Ibnu Bajjah
Abu Bakar Muhammad Ibn Yahya Ibn Bajjah dilahirkan di Saragossa
ketika serempat akhiran abad V Hijrah, kemudian meninggal di Maroko ketika
pada 533 H/1138 M. walaupun belum diketahuinya dengan jelas ketika kecilnya.
b. Pemikiran Ibnu Bajjah
Filsafat Ibn Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari kawasan
di Timur, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kita
akan dijelaskan beberapa pemikiran Ibn Bajjah:
1) Metafisika (Ketuhunan)
Menurut Ibn Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak
dan tidak bergerak. Ibn Bajjah juga mendasarkan filsafat metafisikanya pada
fisika. Ibnu Bajjah berrgumen adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di
alam ini. Jadi, Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas. Menurutu
Ibnu Bajjah Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah Pencipta dan Pengatur
alam.
2) Materi dan Bentuk
Menurut Ibn Bajjah, Materi dapat bereksistensi tanpa harus ada bentuk
(ash-shurat). Pernyataan ini menolak asumsi bahwa materi itu tidak bisa
bereksistensi tanpa ada bentuk, sedangkan bentuk bisa bereksistensi dengan
sendirinya, tanpa harus ada materi. Ibn Bajjah berargumen jika materi berbentuk,
ia akan terbagi menjadi materi dan bentuk dan begitu seterusnya. Ibn Bajjah
menyatakan bahwa Bentuk Pertama merupakan suatu bentuk abstrak yang
bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai tidak mempunyai bentuk.
3) Jiwa
Menurut pendapat Ibn Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa, jiwa
ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi
manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat
rohaniah. Jiwa menurut Ibn Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati.
Di akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan
(surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal daya berpikir bagi jiwa, adalah
satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat bersatu dengan ‘Aqal Fa’al yang di
atasnya dengan jalan ma’rifat filsafat. Filsafat Ibn Bajjah tentang jiwa pada
prinsipnya didasarkan pada filsafat Al-Farabi dan Ibn Sina.
4) Akal dan Ma’rifat (Pengetahuan)
Menurut Ibn Bajjah, akal merupakan bagian terpenting yang dimilliki oleh
manusia. Ia berpendapat bahwa ma’rifat (pengetahuan) yang benar dapat
diperoleh lewat akal. Akal ini merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya
kita mampu mencapai kemakmuran dan membangun kepribadian.
5) Akhlak
Ibn Bajah membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian.
Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain
yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan
yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemajuan yang bersih dan tinggi.
Bagian ini disebutnya perbuatan-perbuatan manusia. Pangkal perbedaan antara
kedua bagian tersebut bagi Ibn Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan
motifnya.
6) Politik
Politik (teori pemerintahan). Pandangan politik Ibn Bajjah dipengaruhi
oleh pandangan politik al-Farabi. Perbedaannya hanya terletak pada
penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibn Bajjah
titik tekannya pada warga negara (masyarakat).
7) Manusia Penyendiri (Uzlah)
Uzlah (penyendirian) yang dikemukakan oleh Ibn Bajjah bukanlah
menjauhi manusia, melainkan tetap juga berhubungan dengan masyarakat. Hanya
saja ia harus selalu bisa menguasai dirinya serta hawa nafsunya dan tidak terbawa
oleh arus keburukan-keburukan kehidupan masyarakat.
8) Teori Ittishal
Teori ittishal, kontak intelektual dengan Tuhan. Ibn Bajjah percaya bahwa
pengetahuan tidak diperoleh semata melalui Telaah indra. Pertimbangan-
pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu yang prediktif dan eksplanatif serta
landasan bagi penalaran apodeiktik (apho-deictic) tentang alam, hanya dapat
dicapai dengan bantuan Akal Aktif, intelegensi yang mengatur.
3. Ibnu Thufail
a. Biodata Singkat Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul
Malik bin Thufail. Di Barat terkenal dengan sebutan Abubacer. Ia lahir di Wady
Asy dekat Granada di Andalusia pada tahun 506 H/1100 M di kota Guadix,
provinsi Granada. Ibnu Thufail termasuk keturunan keluarga suku Arab yang
terkemuka, yaitu suku Qais.
b. Pemikiran Ibnu Thufail
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail banyak dituangkan dalam
risalah risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd),
sehingga banyak yang tidak dikenal dan tidak sampai pada tangan kita dewasa ini.
Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah
risalah Hayy ibn Yaqzhan, yang judul lengkapnya adalah Risalah Hayy Ibn
Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah.8 Yang ditulis pada abad ke 6
Hijriah (abad ke-11 M).
Kekhasan pemikiran filosofis Ibn Thufail, sebenarnya terletak pada
karyanya yaitu kisah fiksi Hayy Ibn Yaqzhan ini. Dalam kisah tersebut, dia
menyatakan pandangan filsafatnya tentang alam semesta, Tuhan, agama, moral,
manusia dan wataknya, budaya masyarakat formal serta adanya keserasian antara
agama dan filsafat. Dia juga mencoba untuk menjelaskan tentang kemampuan
manusia untuk hidup sendiri dan mandiri, tanpa adanya bantuan bahasa, agama,
budaya dan tradisi yang mewarnainya, artinya semua hal yang disebutkan diatas
itu tidak sepenuhnya selalu mempengaruhi perkembangan akal manusia. Dalam
cerita roman Hayy bin Yaqzhan tersebut, Ibn Thufail juga mencoba membuktikan
kebenaran tesis kesatuan kebijaksanaan rasional dan mistis melalui kisah fiktif,
bahwa manusia dengan segala kelemahannya dapat saja berkomunikasi dengan
Tuhan dengan kekuatan akalnya (filsafat) maupun dengan kekuatan kalbunya
(tasawuf).
Aspek terpenting yang ingin Ibnu Thufailsamapiakan adalah
penggambaran kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Pencipta (Tuhan)
merupakan bagian tepenting dari fitrah manusia, yang tidak dapat disangkal. dan
bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya
tentu akan sampai kepada Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai