Anda di halaman 1dari 16

PEMIKIRAN FILOSOF AL-FARABI DAN IBNU SINA

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Islam


Program Studi Sejarah Peradaban Islam
UIN Alauddin Makassr

Oleh :

Asnawi Hidayattullah
NIM: 80100223030

PROGRAM PASCA SARJANA


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita semua

sehingga pada kesempatan ini kita masih diberikan umur panjang sehingga kita

bisa menjalangkan aktifitas kita sehari. Dan Alhamdulillah pada kesempatan ini

saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik, dan semoga makalah ini

bermanfaat untuk teman-teman, bapak dan ibu dosen terkhususnya untuk saya

secara pribadi.

Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Saw sang maha guru bagi segenap umat yang memahami arti dari pada sebuah

perjuangan dan nilai dari pada sebuah kebenaran sehingga adanya cahaya Islam

pada saat sekaang ini, sehingga hasil dari jerih paya perjuangan yang beliau

lakukan saat itu bisa kita rasakan dampak dan manfaatnya pada saat sekarang ini.

Atas ikhtiar yang kuat dan tanggung jawab besar yang melekat dalam diri

sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini, mata kuliah PEMIKIRAN

ISLAM

Demikian, semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua

Gowa, 23 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A.Latar Belakang Masalah...........................................................................................1
B.C.Rumusan Masalah..................................................................................................3
Manfaat Penelitian.........................................................................................................3
BAB II.................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.................................................................................................................4
A.Pengertian emanasi....................................................................................................4
B.Emanasi menurut al farabi dan ibnu sina...............................................................5
BAB III..............................................................................................................................11
PENUTUP.........................................................................................................................11
A.Kesimpulan...............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................12

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Perkembanagn pemikiran Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuna tidak

pernah terlepas dari dua tokoh pemikiran yang sangat terkenal, yaitu Al farabi dan

Ibnu Sina, kedua tokoh inilah yang juga disinyalir mengilhami masa pencerahan

peradaban di Eropa terutama dalam segi ilmu pengetahuan dan sain sehingga

menjadi peradaban yang cukup maju hingga saat ini.1 Objek kajian yang menjadi

perdebatan sengit sepanjang sejarah pemikiran manusia ialah Alam semesta,

perdebatan ini lahir dari kegelisahan-kegelisahan dan rasa ingin tau manusia

terhadap Alam semesta, Pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana, kapan dan apa

saja bahan dalam penciptaan alam ini. Antropologi, teologi dan kosmologi

menjadi kajian dunia filsafat. Memunculkan persoalan-persoalan baru sehingga

jawaban-jawaban yang hadir dalam dunia filsafat bisa dipahami sampai sekarang.

Berbeda dengan filsuf pada zaman Yunani kuno, filsuf yang datang

setelahnya mengembangkan pertanyaan-pertanyaan mengenai penciptaan alam,

atau lebih jauh menganalisis unsur-unsur alam. Dengan lain kata, apakah alam itu

azali (qadim) ataukah diciptakan dari ketiadaan (muhdas).2

Filosof-filosof sesudahnya selalu berpegang teguh pada warisan filsuf

zaman klasik Yunani, dari tales sampai sekarang bahwa alam semesta ini qadim,

seperti yang dijelaskan Aristoteles. Walau begitu, bukan berati penyataan alam

bersifat qadim menurut Plato, namun tetaplah Tuhan yang tetap


1
Andi Ardiansyah pemikiran filsafat al farabi dan ibnu sina, tajdid vol 04 No 02 oktober
2020.
2
Barsihannor, Teori Emanasi Filosof Muslim dan Relevansinya dengan Sains Modern, al-
Fikr Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010, hal,. 462

1
mengendalikannya. Sedangkan filsuf yang hidup setelahnya, Plotinus tidak

memperkenalkan teori ‘penciptaan’, tetapi memperlihatkan teori pelimpahan, bisa

dibilang seperti teori Wahdat al-Wujud (Pantheisme).3

Dari sekian banyak tokoh filosof, baik yang terdahulu maupun yang

datang belakangan, tidak ada yang dapat memberikan keterangan yang memadai

tentang proses penciptaan alam. Sebab praktik penciptaan itu berada di luar

kebiasaan yang lazim dan sepenuhnya di dalam ruang lingkup metafisika yang

tidak terjangkau. Meski demikian, upaya filolosof tidak berhenti sampai di sini,

sebutlah misalnya al-Farabi dan Ibnu Sina, dua filosof muslim ini kemudian

mencoba mengembangkan teori faidh (emanasi) yang diadopsi dari teori Plato dan

Neo Platonisme.

Secara tidak langsung al-Farabi dan Ibnu Sina seorang filosof Muslim

yang oleh sebagian orang dikritisi hanya sebagai meniru atau plagiat dari filsafat

Yunani (Hellenisme) yang dinilainya tidak memperlihatkan pemikiran Islam.

Tuduhan itu tidak mendasar sama sekali. Pasalnya bahwa filosof yang pada

dasarnya melahirkan studi filsafat yang bernuansa Islam tersebut, berusaha dan

berhasil menggabungkan wahyu dan akal, antara hikmah dengan akidah, antara

filsafat dan agama dan berusaha memberi penjelasan pada manusia bahwa wahyu

tidak sama sekali bertolak belakang dengan akal.

Salah satu filsuf tersebut, Ibn Sina membikin sintetis tentang wahyu

(islam) dengan filsafat Neoplatonisme dan Aristotelianisme mejadi dimensi

3
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, diterjemahkan Pustaka Firdaus (Cet. I; Jakarta:
Pustaka Firdaus,1985), hal 110.

2
intelektual permanen dalam cakrawala Islam dan tetap bertahan dalam sebagai

ajaran filsafat yang berkembang sampai saat ini. Kurang lebih kitar satu setengah

abad setelah filsafat masyai, wacana itu mengantarkan Shihabuddin ke dalam

cakrawala filsafat al-ishraq (iluminasi). Ibnu Sina menggali dengan sempurna

dalam teori filsafat iluminasi dan seorang penerjemah sejati dan abadi dalam

filsafast paripatetik. Ibnu Sina memperlihatkan sampai ke jendela filsafat teosofi-

iluminasi yang memberi tanda penyatuan spiritual dan filsafat secara integral.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan teori emanasi.?

2. Bagaimana pandangan al farabi dan ibnu sina tentang teori emanasi.?

C. Manfaat Penelitian
1. Menganalisis tentang konsep emansi.

2. Memahami dan menganalisi pandangan al farabi dan ibnu sina tentang

teori emanasi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian emanasi

3
Dalam penciptaan alam semesta banyak para ahli berbeda pandangan,

perbedaan pandangan itu terletak pada dua persoalan yakni alam ini ada karena

memang sudah ada dan ada karena ada yang menciptakan. Apabila ada yang

menciptakan bagaimanakah proses penciptaannya itu, tentu ini menjadi hal yang

menarik dikalangan para pemikir filsafat, sebab hal ini menjadi satu soal yang

harus dikaji kebenarannya.

Banyak para filosof barat yang memberikan pandangannya mengenai

penciptaan alam semesta ini, hingga muncul-lah beberapa teori salah satunya yang

paling menarik dan terkenal dalam dunia filsafat adalah teori emanasi. Teori ini,

menarik banyak perhatian para filosof muslim, karena konsep sederhananya

tidaklah menyimpang dari ajaran Islam meskipun argumennya sangat sulit

dipahami bagi manusia awam.

Secara etimologi. Emanasi berasal dari bahasa yunani emation Yang berarti

ajaran, bahwa dunia berasal dari pancaran yang berasal dari prinsip pertama atau

realitas pertama.4 Biasanya disebut sang absolud atau tuhan. Dalam bahasa inggris

disebut emanation, yang berarti proses munculnyan sesuatu dari pancaran, bahwa

yang dipancarkan substansinya sama dengan yang memancarkan. Dengan begitu,

emanasi berarti realitas yang keluar dari sumber, contoh yang sangat dekat dengan

pengertian tersebut adalah seperti matahari memancarkan sinar pada sudut-sudur

bumi.5

4
.https://id.wikipedia.org/wiki/Emanasi#:~:text=Emanasi%20berasal%20dari%20bahasa
%20Yunani,Absolut%22%20atau%20%22Tuhan%22.
5
Grald Collins, dan Edward E Ferrugi, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hal,
69

4
Menurut KBBI emanasi memiliki pengertian sesuatu yang memancar

(mengalir); pancaran, yaitu hasil pancaran berupa gas yang timbul pada

disintegrasi unsur radioaktif.6

B. Emanasi menurut al farabi dan ibnu sina


Al-Farabi memahami penciptaan alam oleh Tuhan melalui proses emanasi

sejak zaman azali sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan bukan

dari tidak ada menjadi ada. Menurut Al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan

sendiri-Nya tanpa sebab dari luar diri-Nya, dan karena itu ia sebut Waajib al-

Wujuud li zaatih, (yang mesti ada karena diri-Nya sendiri). Dari-Nya memancar

segenap alam ciptaan-Nya, baik yang bersifat rohani (imateri) maupun yang

bersifat jasmani (materi).

Bagaimana emanasi itu terjadi.? Menurut Al farabi Al-Farabi mengatakan

bahwa Tuhan itu benar– benar Esa sama sekali. Karena itu, yang keluar dari pada–

Nya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu

terbilang, maka berarti zat Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar adanya

emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal –yang

timbul dari Tuhan– terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Al farabi

merupakan filsuf yang pertama yang menyesuaikan antara filsafat aristotelian dan

neoplatonisme atau antara filsafat wujud dan filsafat yang esa.

Al-farabi berpendapat Allah adalah Maujud Yang Pertama Pengertian

Yang Pertama adalah dasar pertama dari semua yang maujud dan sebab pertama

6
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/emanasi

5
bagi wujudnya. Maujud pertama itu adalah sebab pertama dari wujud semua yang

maujud. Adapun Ibn Sina menempuh jalan lain. Ia mengikuti Aristoteles dalam

mendefinisikan metafisika sebagai ilmu mengenai yang maujud sebagai yang

maujud, maujud pertama yang merupakan wujud wajib ialah Allah. Ibnu Sina

menyebut Allah ”Yang Wajib“, sedangkan Al-Farabi memilih sebutan ”Yang

Pertama“. Oleh karena itu, sama halnya dengan Al-Kindi, Al-Farabi berpendapat

bahwa alam ini adalah”baharu“. Keduanya pun menyetujui teori emanasi

Neoplatonisme tentang kejadian alam dan hubungan Khalik dengan makhluk.7

Dalam prinsip Aristoteles, Tuhan itu adalah Akal yang Berpikir, yang

dinamakan Al-Farabi dengan sebutan Akal Murni. Prinsip ini dikembangkan

dengan teori emanasi Neoplatoniosme dan Plotinus. Akal murni itu esa adanya,

dalam arti bahwa akal itu berisi satu fikiran saja, yakni senantiasa memikirkan

dirinya sendiri. Jadi, Tuhan itu adalah akal yang aqil (berfikir) dan ma'qul

(difikirkan). Dengasn ta’aqqul ini mulailah ciptaanTuhan. Tatkala Tuhan

memikirkan itu, timbullah suatu wujud baru atau terciptalah suatu akal baru yang

dinamakan al-Farabi al-aqlul al-awwal (akal pertama), begitu seterusnya sampai

al-aqlul al-'asyir (akal kesepuluh) tentang langit dan bulan.

Menurut ibnu sina dalam teori emanasinya. Ibnu sina mengadakan sintesis

antara teori filsafat dengan teori ilmu kalam. Misalnya, teori Aristoteles yang

berpendapat bahwa alam dunia adalah azali dan tidak ada dalil akal yang dapat

membuktikan bahwa dunia kita ini ada permulaannya. Alam dunia dianggap abadi

7
Montgomery Watt, The Majesty that was Islam, (London, Sidgwich & Jackson, 1976),
h. 231

6
dan tidak akan binasa. Sebaliknya, menurut Islam, alam ini adalah baharu, fana,

dan akan binasa. Oleh karena itu, Ibnu Sina berpendapat, bahwa terjadinya alam

ini adalah dengan cara melimpah,seperti melimpahnya cahaya dari matahari atau

melimpahnya panas dari api, hal mana sudah menjadi tabi’atnya. Berbeda dengan

Aristoteles, Ibnu sina berpendapat bahwa alam ini bukan azali, tetapi didahului

oleh keadaan tidak ada, yang berarti baharu.

Menurut Ibnu Sina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari

berbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan sajalah satu-

satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di luar diri-Nya. Tuhan adalah

sebab pertama yang dari serangkaian sebab akibat yang membentuk struktur

realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipso

facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya, dan dengan mengetahui diri-Nya

maka tidak perlu lagi mengetahui segala maujud di luar diri-Nya. Bagi Ibnu Sina,

Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-universal), bukan pada

maujud-maujud khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara

inderawi.8

Dalam teori emanasi, Ibn Sina berpendapat bahwa alam diciptakan oleh

Tuhan dalam keadaan ada bukan adanya alam dari ketidakadaan. Dengan kata lain

dipahami bahwa alam ini adalah diciptakan. Seandainya alam diciptakan dari

kondisi tidak ada maka maksud untuk mengatakan alam ini diciptakan tidak akan

memenuhi syarat-syarat logika. Sesuatu ada secara logika haruslah berdasarkan

kepada yang sudah ada. Empat aspek yang menjadi implikasi dari konsep
8
Abdul Hasan Ali Al-Hasni An-Nadwy, Rijal Al-Fikri wa Al-Dakwah fi Al-Islam,
(Damaskus: Dar AlFath, 1965), cet. Ke-2, h. 153.

7
penciptaan alam secara emanasi yang dikemukakan oleh filosof muslim, dalam

hal ini khususnya Ibn Sina dan Al-Farabi menjadi sasaran kritik Al-Ghazali.

Bagi al-Hujjat al-Islam ini teori emanansinya Ibn Sina membawa implikasi

kepada: Qadim-nya alam, menghilangkan kesan Tuhan sebagai pencipta,

menempatkan Tuhan lebih rendah dari makhluk-Nya dan teori emanasi ini akan

membawa kepada paham panteisme. Qadim menurut penulis maqasid al- falasifah

ini diartikan ada sejak zaman tak bermula, bisa mengandung arti tidak diciptakan.

Kalau alam tidak diciptakan, seperti pandangan kaum filosof, maka bisa berarti

alam sendiri adalah pencipta. Bagi Al-Ghazali, Pencipta adalah sesuatu yang

berasal dari tidak ada kemudian menjadi ada. Sedangkan bagi filosof, penciptaan

bagi mereka hanya sebatas perubahan dari satu bentuk kepada bentuk lain.9

Hal ini berakibat, menurut Al-Ghazali, filsafat Aristotelian yang

dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina terbagi ketiga kelompok. Pertama,

filsafatnya yang tidak perlu disangkal dengan arti dapat diterima. Kedua,

filsafatnya yang harus dipandang bid’ah (heterodoksi). Dan ketiga, filsafatnya

yang harus dipandang kafir. Dalam bidang ketuhanan, tertulis dalam Tahafut al-

Falasifah, Al-Ghazali memandang para filosof ahli bid’ah dan kafir. Jelaslah

bahwa teori emanasi Ibnu Sina mengikuti dan mengambil bahan-bahan dari teori

Al-Farabi dan Neoplatonisme.

Dalam menjelaskan teori emanasi, Harun Nasution menjelaskan bahwa

Yang Maha Esa berfikir tentang diri-Nya yang Esa, dan pemikiran merupakan

9
Imam Munawir, Kebangkitan Islam dari Masa ke Masa, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1980), h. 389.

8
daya atau energi.10 Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya

yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran

Tuhan tentang dirinya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang

Esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek

pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan

menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit

Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan Dirinya

sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya

tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya

berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal. dan berpikir tentang dirinya

sendiri dan menghasilkan planet-planet.Dengan demikian diperolehlah gambaran

berikut : Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus. Akal IV menghasilkan Akal

V dan Yupiter. Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars. Akal VI menghasilkan

Akal VII dan Matahari. Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus. Akal VIII

menghasilkan Akal IX dan Merkuri. Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.

Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk

menghasilkanAkal.11

Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di

zaman Aristoteles dan zamanAl-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh

falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena

10
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
h. 101.

11
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 102.

9
tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu

mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam

adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat

emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi

melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III

dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.

Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal

atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid

yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang

menganut paham emanasi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Al farabi Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar–

benar Esa sama sekali. Karena itu, yang keluar dari pada–Nya juga tentu

harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka

berarti zat Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar adanya emanasi

ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal –yang timbul

10
dari Tuhan– terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Al farabi merupakan

filsuf yang pertama yang menyesuaikan antara filsafat aristotelian dan

neoplatonisme atau antara filsafat wujud dan filsafat yang esa.

DAFTAR PUSTAKA
.https://id.wikipedia.org/wiki/Emanasi#:~:text=Emanasi%20berasal
%20dari%20bahasa%20Yunani,Absolut%22%20atau%20%22Tuhan%22.
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, diterjemahkan Pustaka
Firdaus (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus,1985)
Andi Ardiansyah, pemikiran filsafat al farabi dan ibnu sina, tajdid
vol 04 No 02 oktober 2020.
Barsihannor, Teori Emanasi Filosof Muslim dan Relevansinya
dengan Sains Modern, al- Fikr Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010
Grald Collins, dan Edward E Ferrugi, Kamus Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991)
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992),

11
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/emanasi
Imam Munawir, Kebangkitan Islam dari Masa ke Masa, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1980),
Montgomery Watt, The Majesty that was Islam, (London, Sidgwich
& Jackson, 1976),

12

Anda mungkin juga menyukai