Anda di halaman 1dari 17

Makalah

PERKEMBANGAN NEO-PLATONISME DALAM FILSAFAT ISLAM;


AL-FARABI DAN IBN SINA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam

Yang dibimbing oleh

Dr. Win Ushuluddin Bernadien, M.Hum.

Dr. H. Aminullah, M.Ag.

Disusun oleh:

Mohammad Nur Hassan 204206080002

Miftahul Jannah 203206080006

Umi Latifatun Nihayah 203206080011

Fikri Amil Muttaqin 203206080012

PASCASARJANA

INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


MEI 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penyusun panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya kepada penyusun, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan Filsafat Islam “Perkembangan Neo-Platonisme
dalam Filsafat Islam; Al-Farabi dan Ibn Sina” dengan baik.

Dalam penulisan makalah ini penyusun berterima kasih kepada :

1. Dr. Win Ushuluddin Bernadien, M.Hum dan Dr. H. Aminullah, M.Ag.


selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Islam
2. Kepada teman-teman program study Studi Islam yang telah membantu
dalam hal sarana prasarana juga dukungan motifasi dalam menyelesaikan
tugas ini.

Penyusun menyadari dalam setiap penulisan tiada kata sempurna, penyusun


mohon kritik dan saran dalam hasil karya ini agar penyusun dapat lebih baik lagi
menulis karya ilmiah kedepannnnya.

Jember, 07 Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

1. BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 2
2. BAB II : PEMBAHASAN........................................................................... 3
2.1 Latarbelakangi sejarah Neo-Platonisme .................................................... 3
2.2 Perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat Islam; Al-Farabi dan
Ibn Sina ...................................................................................................... 3
3. BAB III : PENUTUP ................................................................................. 10

Kesimpulan ................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam ruang dan waktu Islam hadir dengan membawa budaya yang
dimiliki. Dengan kedatangan Islam tersebut, saat itu meluas hingga ke
daerah-daerah diluar wilayah asli. Islam melakukan interaksi, berdialektika,
dan tawar-menawar antara Islam murni-istilah untuk mmenyebut Islam
sebagaimana praktik Nabi, dengan kebudayaan lokal.
Untuk dialektika, Dalam diri umat Islam ini neoplatonisme hadir dan
memberikan daya magnet yang kuat. Neoplatonisme diresepsi secara massif
oleh umat Islam ada tiga alasan yaitu: a). Neoplatonisme menyentuh
keyakinan paling dasar yaitu ke-Esa-an Tuhan dan relasi manusia dengan
Tuhannya. b). Neoplatonisme mengisi harapan jiwa manusia yang selalu
berkeinginan pada dunia transenden, yaitu pada sebuah dunia yang
menjelaskan bahwa ada relasi antara manusia bersama Tuhannya dengan
melalui jalur hati dan ekspresi batin. c). Neoplatonisme mengatasi pemilahan
sesuatu dalam praktek ilmu fiqh; halal-haram, boleh-tidak boleh, dan lain-
lain.
Dari sini sedikit tampak secara spesifik pentingnya tulisan ini yang
bermaksud, mejelaskan lebih mengenai perkembangan Neoplatonisme dalam
filsafat islam yang pemikiran Neoplatonisme cenderung tansikh (adanya
prinsip tengah-tengah). Dalam membahas perkembangan Neoplatonisme
filsfat Islam ini tidak lupa dengan Al-Farabi dan Ibn Sina yang mempunyai
pendapat mengenai perkembangan Neoplatonisme dalam filsafat islam
tersebut.
2

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang melatarbelakangi sejarah Neo-Platonisme?
b. Bagaimana perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat Islam; Al-Arabi
dan Ibn Sina?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk menjelaskan latar belakang sejarah Neo-Platonisme dalam filsafat
Islam
b. Untuk mendeskripsikan perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat
Islam; Al-Arabi dan Ibn Sina
3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Sejarah Perkembangan Neo-Platonisme


Neo-Platonisme adalah suatu dari pemikiran filsafat yang hadir pada
rangkaian terakhir dari filsafat Hellenisme Romawi. Nama Neo-Platonisme
ini sesuai dengan tujuannya yakni menghidupkan kembali ajaran Plato untuk
keselamatan dunia caranya dengan memperbanyaknya dengan unsur-unsur
yang paling baik dari sistem setelahnya, dan bisa menjawab kebutuhan
zaman. Unsur-unsur yang ada di dalamnya diantaranya adalah : ajaran Plato,
Aristoteles, Stoa, dan Philo. Usaha ini punya tujuan yakni mengembalikan
roh Plato pada kemurniannya secara sempurna kemudian menaikkan
dualisme Plato kepada tingkatan yang tinggi. Agar bisa mendapatkan
maksudnya maka disebutlah “Yang Satu” menjadi asas segala “Yang Ada”
yang kemudian menjadi dasar dari segala sesuatu, baik yang bisa diamati
maupun tidak, serta menjadi tujuan terakhir bagi segala sesuatu tersebut.1
Neo-Platonisme tidak hanya lahirnya kembali filsafat Plato, tapi juga
sebagai sistem filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang besar. Selain
memadukan filsafat Plato dengan trend-trend utama lain dari filsafat kuno
kecuali Epikuros, sistem ini isinya unsur-unsur religius dan mistik yang
diambil dari filsafat Timur.2 Unsur mistik adalah perkembangan baru pada
sejarah filsafat Yunani saat itu, karena sebelumnya belum ada sistem filsafat
yang menggunakannya. Interpretasi yang dilakukan dalam Neo-Platonisme
cenderung mengkaitkan Allah dengan prinsip kesatuan, dengan membuat-
Nya sama sekali transenden, dan dikaitkan dengan dunia melalui deretan
perantara-perantara yang turun dari “Yang Satu” oleh prinsip emanasi.
Menurut pandangan ini realitas merupakan rangkaian atau urutan bertingkat-
tingkat mulai dari Ilahiah sampai yang material. Karena manusia memiliki
unsur Ilahiah, maka ia akan merindu kepada Sang Sumber-nya. Maka dengan

1
Harun Nasution, Sari Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 66.
2
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 701.
4

demikian sistem ini memmiliki implikasi-implikasi spiritual maupun


intelektual.3
Dari banyak data yang ada, memberitahukan bahwa tokoh pendiri yang
juga menjadi tokoh yang paling populer dalam Neo-Platonisme adalah
Plotinus (205–270). Bahkan karena Plotinus sangatlah identik dengan Neo-
Platonisme, tokoh Plotinus tidak dapat ditinggalkan. Padahal walaupun
berhubungan erat dengan Plotinus, dasar-dasar gerakan Neo-Platonisme,
menurut Lorens Bagus, bisa diurut dan ditemukan dalam akademi Plato, yang
adanya tidak lama setelah meninggalnya Plato.
Lalu pada abad pertama Masehi, Philo Judaeus juga mulai terjun ke aliran
NeoPlatonisme dengan beberapa cara dengan konsepsinya mengenai Allah
yang mutlak transenden dan pandangannya tentang hirarki bersusun perantara
antara Allah dan dunia. Pada abad 2 M, Numenius dari Apamea seorang
NeoPhytagorean yang menggabungkan tema khas Neo-Platonisme diklaim
sebagai pendiri aliran ini sebelum Plotinus. Selain itu, Ammonius Saccas,
yang merupakan guru dari Plotinus pada abad 3 M juga diklaim sebagai
pendiri aliran pemikiran ini.4
2.2 Perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat Islam menurut Al-Farabi
dan Ibn Sina
a. Neoplatonisme dalam pemikiran Islam
Dalam pemikiran Islam yang dimaksud disini ialah Filsafat Islam,
Teologi dan tasawuf. Neoplatonisme kurang mendapat tempat mengenai
keilmuan semisal ilmu fiqh, karena logika ilmu fiqh yang digunakan
bersifat hitam-putih, benar-salah, sedangkan Neoplatonisme cenderung
tasikh. Dengan begitu untuk kajian fiqh lebih ke logika aristotelian yang
distigtif.
 Filsafat Islam
Sejarah filsafat Islam diawali oleh al-Kindi ialah seorang filsuf
yang hidup antara tahun 796-873 yang merupakan filsuf Islam

3
Ibid
4
Ibid., 702.
5

pertama. Kemudian untuk filsuf setelah al-kindi ialah al-Farabi (870-


950) yaitu filsuf yang memiliki warna berbeda karena dikenal
sebagai Neoplatonisme Muslim pertama. Gagasannya mengenai
Tuhan dan relasi manusia dengan-Nya serta konsep-konsep
kebahagiannya yang banyak dipengaruhi oleh Neoplatonisme.
Penjelasan Al-Farabi bahwasannya Tuhan ialah Esa dari
segalanya. Kehadirannya dianggap suatu wujud yang wajib ada ialah
wajib al-wujud (niscaya ada) yang sehingga ia tidak bisa dikatakan
tidak ada. Suatu kemustahilan jika mengatakan tidak ada pada
wujudnya. Ia (wajib al-wujud bin dhatib) ada dengan sendirinya
tanpa ada yang menjadikan-Nya.5 ia adapun tanpa didahului oleh
tiada. Adanya wujud ini yang menyebabkan adanya wujud-wujud
lain. Karena wujud selainnya tergantung adanya wujud ini. Ia ada
untuk selamanya. Mumkin al-wujud (wujud potensial) yaitu wujud
yang antara ada dan tidak adanya masih bersifat kemungkinan.
Karena ada dan tidaknya bukanlah suatu keharusan dan kewajiban.
Dengan begitu semuanya digantungkan pada wajib alwujud. Ia
membutuhkan wajib alwujud, ia juga tidak bisa muncul dengan
sendirinya. Artinya kehadiran mumkin al-wujud ini bisa disebakan
oleh sebab lain.
Kerumitan dari pemikiran al-Farabi ini terletak pada pembagian
wujud bahwa mumkin al-wujud harus ada disebabkan kewajiban
adanya wajib al-wujud. Hubungan wajib al-wujud dengan mumkin
al-wujud seperti halnya hubungan matahari dengan sinar matahari.
Maksudnya sinar tersebut wajib ada karena adanya matahari.
Jika disimpulkan pemikiran al-Farabi dengan menyatakan
bahwa mumkin al-wujud ini menjadi wajib ada, hanya saja
tergantung pada wajib al-wujud, sedangkan wajib al-wujud ada
bukan karena yang lain tapi karena dengan diri-Nya sendiri. Oleh

5
Iswahyudi, Implikasi Neoplatonisme dam pemikiran Islam dan penelusuran Epistemologi Paham
Pluralisme, Teosofi: jurnal tasawuf dan pemikiran islam, Vol. 5, No 2, Desember 2015; p-ISSN, 382.
6

karena itu, al-Farabi menyebut Tuhan sebagai wajib al-wujud bi


dhatihi sedangkan alam semesta disebut dengan wajib al-wujud bi
ghayrib.
Penjelasan terhadap aktifitas Tuhan dengan hubungannya alam
semesta, al-Farabi disini menjelaskan bahwa
 Tuhan (Allah) adalah „aql murni.
 Aktivitasnya adalah ber-ta‟aqqul (berfikir),
 objek pemikirannya adalah substansinya sendiri.6

Dari sini, Allah adalah „aqil (yang berfikir), „aql (pikiran), dan
ma‟qul (yang difikiran). Karena itu, aktivitas Allah itu mengetahui
segala hal dengan substansinya, karena Ia zat yang maha
mengetahui dan juga yang diketahui. Dengan aktivitas Allah yang
demikian, menimbulkan energi yang besar yang disebut dengan
menghasilkan akal pertama yang dikenal dengan nous. Nous
beraktivitas memikirkan „aql murni dan dirinya sendiri. Dari ta‟aqul
tersebut kemudian lahirlah teori emanasi.7

b. Faham Emanasi Tentang Ke-esa-an Tuhan; Al-Farabi


Penyusun akan membahas tentang ke-esa-an Tuhan sebagai
pengantar sebelum membahas tentang proses penciptaan alam semesta.
Tuhan menurut Abu Yusuf Ya‟qub Ibn Ishaq al-Kindi ialah tidak
mempunyai hakekat dalam arti aniah dan mahiah. Tuhan tidak termasuk
ke dalam benda-benda yang ada dalam alam karena Tuhan bukanlah
aniah akan tetapi Ia adalah pencipta alam. Tuhan bukanlah genus dan
species karena Tuhan tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiah,.
Karena Tuhan itu unik, yang benar, yang pertama dan yang benar
tunggal. Hanya Dialah semata-semata satu dan hanya Dialah Yang Satu.

6
Iswahyudi, Implikasi Neoplatonisme dam pemikiran Islam dan penelusuran Epistemologi Paham
Pluralisme, Teosofi: jurnal tasawuf dan pemikiran islam, Vol. 5, No 2, Desember 2015, 383.
7
Iswahyudi, Implikasi Neoplatonisme dam pemikiran Islam dan penelusuran Epistemologi Paham
Pluralisme, Teosofi: jurnal tasawuf dan pemikiran islam, Vol. 5, No 2, Desember 2015; p-ISSN 2088-7957;
e-ISSN 2442-871X; 376-403, 384.
7

Sebagaiamana paham yang ada dalam Islam, Tuhan menurut al-


Kindi ialah yang menciptakan bukan yang menggerakkan pertama
sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles. Menurut al-kindi alam bukanlah
yang kekal dizaman lampau, tetapi mempunyai permulaan. Karena hal
itu, al-Kindi memang lebih dekat pada Filsafat Plotinius dengan
mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Satu yang sehingga Tuhan itu
sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Al-Kindi
megatakan Alam ini merupakan emanasi dari Yang Maha Satu. Namun,
dari pertanyaan tersebut mengenai emanasi masih perlu dijelaskan lebih
lanjut. Karena keaslian dari filsafat al-Kindi ini terletak pada upayanya
dalam mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan-
gagasan filosof Neo-Platonis terkemudian.8
Dasar Islam terkait gagasannya tentang Tuhan adalah Keesaan-
Nya, dan semua penciptaan dari-Nya dari ketidakadaan dan
ketergantungan semua ciptaan kepada-Nya. Al-Kindi memberi pendapat,
bahwa Tuhan adalah yang benar, yang tinggi atau Tuhan bisa diartikan
Tuhan bukan materi, tidak berbentuk, dan juga tidak berjumlah jika itu
disifati dengan sebutan-sebutan yang negatif. Tuhan tidak bisa disifati
dengan ciri-ciri yang ada di alam karena Tuhan tidak berjenis, tidak
berbagi dan juga tidak berkejadian karena Dia abadi, dan oleh karena itu
Dia Maha Esa.
Filosof Muslim yaitu Abu Nasr al-Farabi berupaya untuk
membuktikan ke-esa-an Tuhan dengan teori emanasinya. Menurutnya,
alam ini memancar dari Tuhan dengan melalui akal-akal yang jumlahnya
sepuluh.
Menurutnya, yang Esa itu Tuhan, karena Dia ada dengan
sendirinya. Dengan itu, Tuhan tidak memerlukan yang lain lagi untuk
ada-Nya atau keperluan-Nya. Dia sangatlah unik karena Dia mampu
mengetahui dirinya sendiri dan juga mampu mengerti dan dapat

8
Muhammad Hasbi, Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan sains Modern, AL-
FIKR Volume 14 Nomor 3 tahun 2010, 367.
8

dimengerti, sehingga sifat yang demikianlah yang membuat-Nya unik.


Tidak ada yang bisa menyamakan-Nya, karena Dia tidak mempunyai
lawan ataupun persamaan.
Terkenalnya al-Farabi dengan “Teori pemancaran” yang ia
perkenalkan. Pendapatnya bahwa apa yang dari Yang Esa itu memancar
yang lain, berkat kebaikan dan pengetahuannya sendiri. Yang dimaksud
pemancaran ialah kecerdasan pertama. Dengan itu, apa yang disebut
pengetahuan termasuk salah satu ciptaan-Nya. Tuhan merupakan satu
dalam diri-Nya.
Kemudian dari sini al-farabi membahas lebih lanjut mengenai arah
pelimpahan wujud dan kesempurnaan-Nya yang mewujudkan seluruh
tatanan yang ada di alam semesta ini. Dan alam ini merupakan alam hasil
dari kemurahan-Nya yang melipah dari yang pertama, dan alam semesta
ini juga tidak menambah satu apapun terhadap wujud tertinggi dan tidak
menentukan secara finalistik.9
Lahirnya intelegensi lainnya karena adanya dari pemikir
intelegensi pertama yang Esa itu. Pemancaran materi dan bentuk langit
pertama dapat terjadi pada diri-Nya ketika pemikirannya tentang dirinya
sendiri, sebab setiap lingkunga mempunyai pengaruh tersendiri dalam
dirinya, yang disebut ialah ruh-Nya. Sehingga begitulah yang dimaksud
dengan rantai pemancaran, dan pemancaran itu terus berlangsung hingga
melengkapi sepuluh intelegensi. Untuk intelegensi yang kesepuluh ialah
yang mengatur dunia yang fana ini, intelegensi yang kesepuluh inilah
yang mengatur ruh-ruh manusia dan empat unsur alam, empat unsur alam
tersebut yaitu air, udara, api dan tanah.10

9
Aziza Aryati, M. Ag, Rekonsiliasi Antara Filsafat Islam dan Agama Telaah Pemikiran Filsafat Islam Al-
Farabi, Syi‟ar Vol. 12 No. 2 Agustus-Desember 2018, 7.
10
Muhammad Hasbi, Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan sains Modern,
AL-FIKR Volume 14 Nomor 3 tahun 2010, 368.
9

Teori emanasi ini bukan hanya al-Kindi dan al-Farabi saja yang
menjelaskan mengenai ke-Esa-an Tuhan, melainkan Abu „Ali al-Husayn
Ibn Sina juga melanjutkan menjelaskan teori emanasi.11
c. Teori Emanasi; Ibn Sina
Dalam teori emanasi (Nadhariatul-faid) Ibn sina mengadakan
sintesis antara teori filsafat dengan teori ilmu kalam. Seperti halnya,
Pendapat dari Teori Aristoteles bahwa Alam dunia adalah azali dan tidak
ada dalil akal yang dapat membuktikan bahwa dunia kita ada
permulaannya. Dan ia menganggap alam dunia ini abadi dan tidak akan
binasa. Pendapat tersebut berbanding sebaliknya menurut islam, yang
menurut islam mengatakan bahwa alam ini ialah baharu, fana, dan akan
binasa. Mengenai hal itu, Ibn Sina mengutarakan pendapatnya bahwa
alam ini terjadi dengan cara melimpah, seperti melimpahnya panas dari
api, cahaya dari matahari, hal tersebut memang sudah menjadi tabi‟atnya.
Ibnu Sina juga berpendapat bahwa alam ini bukan azali, akan tetapi
didahuli keadaan tidak ada, yang berarti baharu. Sehingga pendapat Ibn
Sina inipun berbeda dengan Aristoteles.12
Teori emanasi yang digunakan oleh Ibn Sina itu mengenai proses
kejadian alam. Menurutnya, alam semesta (selain Tuhan) yang
merupakan sepenuhnya terdiri dari berbagai peristiwa yang ditentukan
dan juga yang dipastikan. Sesuatu yang terjadi diluar diri-Nya, Tuhan
merupakan satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh-Nya.
Menurutnya, pengetahuan Tuhan merupakan pengetahuan yang faktanya
itu sendiri mengenai tentang segala sesuatu di luar diri-Nya maka tidak
salah lagi mengetahui segala maujud diluar diri-Nya. Ibnu mengatakan,
baginya Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi bukan pada maujud-
maujud yang khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara
inderawi.

11
Aziza Aryati, M. Ag, Rekonsiliasi Antara Filsafat Islam dan Agama Telaah Pemikiran Filsafat Islam Al-
Farabi, Syi‟ar Vol. 12 No. 2 Agustus-Desember 2018, 7.
12
Hadi Suprapto, Al-Farabi dan Ibn Sina (kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa dengan pendekatan Psikolog),
Volume II No 02 Edisi januari-juni 2017, 448.
10

Ibn Sina berpendapat dalam teori emanasinya, bahwa alam


diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan ada bukan adanya alam itu dari
ketidakadaan. Dengan kata lain, bahwa alam ini merupakan alam yang
diciptakan. Jika seadainya alam ini diciptakan dari kondisi tidak ada
maka untuk mengatakan alam ini diciptakan tidak akan memenuhi syarat-
syarat logika. Karena sesuatu yang bisa dilogikakan haruslah berdasarkan
pada sesuatu yang sudah ada. Filosof muslim yang menjadi aspek
implikasi dari konsep penciptaan alam secara emanasi, dalam hal ini
khususnya Ibn Sina dan al-Farabi yang menjadi sasaran kritik al-Ghazali.
Menurut al-Hujjat al-Islam ini mengenai teori emanasinya Ibn Sina
membawa implikasi kepada: Qadim-nya alam, menghilangkan kesan
Tuhan sebagai pencipta dan juga menempatkan Tuhan lebih rendah dari
makhluk-Nya yang sehingga teori ini akan membawa pada paham
panteisme. Qadim menurut penyusun bisa diartikan ada sejak zaman tak
bermula atau juga bisa diartikan tidak diciptakan (maqasid al-falasifah).
Menurut pandangan kaum filosof jikalau alam diciptakan, maka bisa
berarti alam sendirilah yang menciptakan. menurut al-Ghazali, pencipta
merupakan sesuatu yang berasal dari tidak ada kemudian menjadi ada.
Sedangkan menurut filosof, pencipta merupakan hanya sebatas
perubahan dari satu bentuk kepada bentuk lain.13
Menurut al-Ghazali Hal ini kemudian bisa menjadi akibat, jika
filsafat Aristotelian yang dikembang oleh Al-Farabi dan Ibn Sina terbagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Filsafatnya dapat diterima dalam arti tidak perlu disangkal
2. Filsafatnya yang harus dipandang bid‟ah
3. Filsafatnya yang harus dipandang kafir

Tertulis dalam Tahafut al-Falasifah, dalam bidang ketuhanan, al-


Ghazali memandang para filosof dengan pandangannya bahwa mereka
itu ahli bid’ah dan kafir. karena sudah jelas bahwa teori emanasi Ibn

13
Hadi Suprapto, Al-Farabi dan Ibn Sina (kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa dengan pendekatan Psikolog),
Volume II No 02 Edisi januari-juni 2017, 448.
11

Sina ini mengikuti dan mengambil bahan-bahan dari teori al-Farabi dan
Neoplatonisme.

Harun Nasution menjelasakan teori emanasi ialah bahwa Yang


Maha Esa berfikir tentang diri-Nya yang Esa, berfikir disinidisebut
sebagai daya atau energi. Kemudian, karena pemikiran Tuhan tentang
diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, sehingga daya itu menciptakan
sesuatu. Tuhan menciptakan pemikiran-Nya tentang dirinya itu disebut
akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Akal I atau (dalam
diri yang Esa) inilah mulai terdapat arti banyak. akal I merupakan Objek
pemikiran, objek pemikiran tersebut ialah Tuhan dan dirinya sendiri.
Pemikiran tentang Tuhan menghasilkan akal II dan pemikirannya
tentang dirinya menghasilkan langit pertama. Akal II juga mempunyai
objek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri, pemikirannya tentang
Tuhan menghasilkan akal ke III dan pemikirannya tentang dirinya
sendiri menghasilkan Alam Bintang. Demikanlah untuk Akal-akal yang
selanjutnya yang berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan
berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet.14
Dengan demikian maka diperolehlah gambaran berikut: untuk Akal ke
III akan menghasilkan Akal IV dan Saturnus. Untuk Akal ke IV akan
menghasilkan Akal ke V dan Yupiter. Untuk Akal ke V akan
menghasilkan Akal ke VI dan Mars. Untuk Akal VI akan menghasilkan
Akal ke VII Matahari. Untuk Akal yang ke VII akan menghasilkan Akal
VIII dan Venus. selanjutnya Akal ke VIII akan menghasilkan akal ke IX
dan Merkuri. Untuk Akal IX akan menghasilkan Akal X dan Bulan.
Untuk Akal yang ke X hanya akan menghasilkan Bumi. Pemikiran Akal
yang ke X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan maka hanya cukup
menghasilkan Bumi.

14
Hadi Suprapto, Al-Farabi dan Ibn Sina (kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa dengan pendekatan Psikolog),
Volume II No 02 Edisi januari-juni 2017, 449.
12

Gambaran alam dalam astronomi yang demikian yang diketahui di


zaman Aristoteles dan zaman Al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas
sepuluh falak. Untuk pemikiran Akal yang ke X memang tidak lagi
menghasilkan Akal karena pemikiran akal ke X mengenai Tuhan, dan
karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Dari akal-akal tersebut
memang setiap akal mengurus planet yang diwujudkannya. Karena akal
menurut pendapat filsuf ialah malaikat. Beigtulah Tuhan menciptakan
alam semesta ini dalam falsafat al-Farabi. Tuhan memang tidak
langsung menciptakan semua Akal, tetapi dengan melalui Akal I yang
Esa, Akal I melalui II, dan begitulah demikian yang seterusnya hingga
sampai ke penciptaan Bumi melalui akal X. Karena Tuhan tidak
langsung berhubungan dengan banyak Akal, tetapi melalui Akal atau
disebut dengan malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti yang
banyak, dan inilah yang disebut tauhid yang murni dalam pendapat al-
Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Muslim yang menganut paham
emanasi.15

15
Hadi Suprapto, Al-Farabi dan Ibn Sina (kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa dengan pendekatan Psikolog),
Volume II No 02 Edisi januari-juni 2017, 449.
13

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Neo-Platonisme adalah suatu dari pemikiran filsafat yang hadir pada


rangkaian terakhir dari filsafat Hellenisme Romawi. Neo-Platonisme tidak hanya
lahirnya kembali filsafat Plato, tapi juga sebagai sistem filsafat yang mempunyai
daya spekulatif yang besar. Selain memadukan filsafat Plato dengan trend-trend
utama lain dari filsafat kuno kecuali Epikuros, sistem ini isinya unsur-unsur
religius dan mistik yang diambil dari filsafat Timur. Interpretasi yang dilakukan
dalam Neo-Platonisme cenderung mengkaitkan Allah dengan prinsip kesatuan,
dengan membuat-Nya sama sekali transenden, dan dikaitkan dengan dunia
melalui deretan perantara-perantara yang turun dari “Yang Satu” oleh prinsip
emanasi.

Filosof Muslim yaitu Abu Nasr al-Farabi membuktikan ke-esa-an Tuhan


dengan teori emanasinya. Menurutnya, alam ini memancar dari Tuhan dengan
melalui akal-akal yang jumlahnya sepuluh. Sedangkan Ibn Sina berpendapat
dalam teori emanasinya, bahwa alam diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan ada
bukan adanya alam itu dari ketidakadaan.

Saran

Penyusun menyadari banyak kekurangan dalam tulisan makalah ini,


sehingga hasilnya kurang maksimal. Untuk itu, diharapkan kepada penyusun
selanjutnya agar dapat mengkaji lebi dalam lagi terkait Perkembangan Neo-
Platonisme dalam Filsafat Islam; Al-Farabi dan Ibn Sina, baik di dalam literatur
cetak maupun artikel ilmiah berupa jurnal dan semacamnya.
14

DAFTAR PUSTAKA

Aryati, Aziza. 2018. Rekonsiliasi Antara Filsafat Islam dan Agama Telaah
Pemikiran Filsafat Islam Al-Farabi. Syi‟ar Vol. 12 No. 2 Agustus-Desember.

Bagus. 1996. Lorens Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Hasbi, Muhammad. 2010. Pemikiran Emanasi Dalam Filsafat Islam dan


Hubungannya dengan sains Modern. AL-FIKR Volume 14 Nomor 3.

Iswahyudi. 2015. Implikasi Neoplatonisme dam pemikiran Islam dan penelusuran


Epistemologi Paham Pluralisme. Teosofi: jurnal tasawuf dan pemikiran
islam, Vol. 5, No 2, Desember; p-ISSN.

Nasution, Harun Sari Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta : Kanisius, 1980)


Suprapto, Hadi. 2017. Al-Farabi dan Ibn Sina (kajian Filsafat Emanasi dan Jiwa
dengan pendekatan Psikolog). Volume II No 02 Edisi januari-juni.

Anda mungkin juga menyukai