Filsafat Islam
Filsafat Islam
Disusun Oleh :
1. NURHIKMAH
2. TUTI SUGIARTI
Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini
dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Filsafat Islam yang
membahas “Aliran-aliran filsafat islam dan Tokoh-tokoh Filusuf Muslin dan
Pemikiranya”.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa
sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas
atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan
bimbingan, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami
mengucapkan terimakasih kepada: Bapak Sahrudin,S.Pd.I ,M.Pd.I
yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi
dan menyelesaikan tugas ini.
Kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan,untuk itu
kami meminta maaf atas kekurangan dalam pembuatan makalah ini.Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca.
DAFAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................3
C. Tujuan......................................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A.Aliran-aliran Filsafat Islam........................................................................................................4
1.Aliran Parepatik..........................................................................................................................4
2.Aliran Illuminasionis....................................................................................................................6
3. Aliran Irfani...............................................................................................................................8
4. Aliran Hikmah Muta’aliy.........................................................................................................10
B.Tokoh-tokoh Filusuf Muslim........................................................................................................13
1. Al-Kindi (803-873 M)...........................................................................................................13
2. Al-Farabi (872-950M)..........................................................................................................14
3. Ibn Sina (980-1037 M).........................................................................................................15
4. Ibnu Miskawaih (932-1030M)..............................................................................................16
5 Al-Razi (863-925M)............................................................................................................17
6. Ibn Rusyd (1126-1198M).....................................................................................................17
BAB III...............................................................................................................................................18
PENUTUP..........................................................................................................................................18
A. Kesimpulan............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan tetap menjadi aktual, karena
berbagai persoalan-persoalan dari sejumlah disiplin ilmu zaman modern ini, arus
dasarnya adalah masalah filsafat Aliran-aliran filsafat dan kaitanya dengan ilmu
pengetahuan, merupakan penelahan dua aspek sekaligus menyangkut paham dan
pandangan para ahli pikir atau filsafat. Filsafat merupakan hasil pemikiran filosof-
filosof sepanjang zaman diseluruh dunia. Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil
pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara
fundamental. Sebagai ilmu tersendiri filsafat tidak saja telah menarik minat dan perhatian
para pemikir, tetapi bahkan filsafat telah amat banyak mempengaruhi perkembangan
keseluruh budaya umat manusia. Dengan adanya filsafat telah mempengaruhi sikap
hidup, cara berpikir, kepercayaan atau ideologinya.
Memahami sistem filsafat berarti menelusuri dan mengkaji suatu pemikiran
mendasar dan tertua yang mengawali kebudayaan manusia. Suatu sistem, filsafat
berkembang berdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh pemikir
filsafat. aliran-aliran filsafat mempunyai kaitan dengan ilmu pengetahuan terutama aliran
rasionalisme, aliran empirisme, aliran intuisionisme, dan aliran materialisme kemudian
berkembang mengikuti aliran filsafat lainnya yang memandang aliran dalam Filsafat
secara berbeda.
B. Rumusan Masalah
1.Apa saja Aliran-aliran filsafat islam?
2.Siapa tokoh –tokoh filusuf muslim dan pemikiranya ?
C. Tujuan
1.Aliran Parepatik
Aliran Peripatetic merupakan aliran yang pertama muncul di dunia filsafat. Hal ini
sangat menarik untuk di kaji mengingat dalam Aliran-aliran ini terdapat berbagai
masalah yang perlu di kritisi. Awal mula dikenalnya istilah filsafat peripatetik, adalah
setelah meninggalnya salah satu tokoh besar filsafat yunani kuno, yaitu Aristoteles atau
dengan kata lain orang-orang biasa menyebutnya dengan pasca Aristoteles. Yang dimana
setelah meninggalnya Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajarannya adalah para
muridnya, kemudian dinamakan kelompok peripatetik. Istilah peirpatetik ini merujuk
pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya.
Dalam bahasa arab peripatetik disebut dengan istilah masya’i atau masya’iyin, yang
berarti ia yang berjalan memutar atau berkeliling. Adapun yang mengatakan bahwa
istilah peripatetik dalam nuansa sejarahnya lebih menunjukan kepada pengertian tempat
Aristoteles mengajar, bukan kepada kebiasaan Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan
Aliran Peripatetic ini tidak hanya dikalangan barat saja, melainkan di dunia Islam
memiliki tokoh-tokoh yang sangat luar biasa yang cukup berpengaruh di dunia, seperti
Al-Kindi, Al-Farobi, Ibnu Sina dan para-pemikir-pemikir yang lain yang termasuk
dalam Aliran filsafat peripatetic.Ada berbagai masalah yang di kritisi Oleh Al-Ghazali
mengenai pemikiran Peripatetik yang memahami tentang Keabadian alam, Tentang tuhan
tidak mengetahui hal-hal yang juz’I atau yang particular, dan juga pemahaman tentang
kebangkitan kembali jasad manusia di alam yang baru atau di Alam akhirat. Al-Gozali
memiliki banyak argument untuk menanggapi permasalahan ini.Namun Dalam makalah
ini mungkin tidak banyak yang di bahas, namun pemakalah berusaha untuk
memunculkan ide-ide baru bagi siapa yang membacanya sehingga timbul gagasan-
gagasan baru yang lebih baik. dan bisa termotifasi.Awal mula dikenalnya istilah filsafat
peripatetik, adalah setelah meninggalnya salah satu tokoh besar filsafat yunani kuno,
yaitu Aristoteles atau dengan kata lain orang-orang biasa menyebutnya dengan pasca
Aristoteles. Yang dimana setelah meninggalnya Aristoteles yang meneruskan ajaran-
ajarannya adalah para muridnya, kemudian dinamakan kelompok peripatetik. Istilah
peirpatetik ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada
murid-muridnya. Dalam bahasa arab peripatetik disebut dengan
istilah masya’i atau masya’iyin, yang berarti ia yang berjalan memutar atau berkeliling.
Adapun yang mengatakan bahwa istilah peripatetik dalam nuansa sejarahnya lebih
menunjukan kepada pengertian tempat Aristoteles mengajar, bukan kepada kebiasaan
Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan.
Jadi madzhab peripatetik ini adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”
dengan Aristoteles. Karena kelahiran ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan
menghidupkan filsafat Aristoteles. Sebagaimana dengan Akademia Plato yang
melahirkan Neo-Platonisme pada akhir abad keempat Masehi
2.Aliran Illuminasionis
Mulla Sadra lahir di Syiraz, Persia Selatan, pada 979 H/1572 M dari sebuah
keluarga yang terpandang. Ayahnya, konon merupakan menteri di lingkungan istana
Shafawiyyah yang juga berperan sebagai ulama. Sebelum pada akhirnya menjadi seorang
pakar dalam ilmu-ilmu agama dan filsafat, masa muda Mulla Sadra dihabiskan untuk
menuntut ilmu. Setelah menyelesaikan pendidikan elementer di kota kelahirannya,
Syiraz, Mulla Sadra memutuskan untuk pergi ke Isfahan, pusat kekuasaan Shafawiyyah
sekaligus sebagai pusat paling penting pendidikan Islam pada abad ke-10 H/16 M. Di
sana Mulla Sadra mengawali pelajarannya dengan mendalami ilmu-ilmu Islam
tradisional yang biasanya disebut al-‘ulum al-naqliyyah, yang di dalamnya terdapat
Baha’ Al-Din Muhammad Al-‘Amili (w. 1031 H/1622 M), seorang mahaguru yang
meletakkan landasan bagi fikih Syiah yang baru dan yang didefinisakannya dengan baik.
Di bawah bimbingan Al-‘Amili, Mulla Sadra banyak belajar tentang fikih, ilmu hadis,
dan tafsir Alquran dalam kerangka tradisi keilmuan Syiah tentunya.
Dalam periode yang sama, Mulla Sadra juga mulai mengkaji apa yang lazim dikenal
sebagai ilmu-ilmu olah nalar (al-‘ulum al-‘aqliyyah) di bawah bimbingan salah seorang
filsuf Islam paling besar dan orisinal dalam mencetuskan gagasan-gagasannya. Dia
adalah Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi yang dikenal luas dengan panggilan Mir
Damad (w.1040 H/1631 M).
Mir Damad, guru utama dari Mulla Sadra, merupakan seorang filsuf besar, sedemikian
sehingga gelar kehormatan, seperti “khatam al-hukama'” dan “guru ketiga”—setelah
Aristoteles dan Al-Farabi—diberikan kepadanya. Berdasarkan hasil penelitian Henry
Corbin dan Seyyed Hossen Nasr yang kemudian dikutip oleh Hamid Dabasyi di
dalam History of Islamic Philosophy, Mir Damad merupakan tokoh yang sangat dihargai
sekaligus dicintai karena dia telah berhasil meletakkan fondasi pertama berdirinya aliran
filsafat yang kemudian terkenal dengan sebutan “mazhab Isfahan”.
Dalam menancapkan fondasi awal mazhab Isfahan ini, Mir Damad tidak sendirian
karena ditemani oleh para filsuf yang semasa dengannya seperti Mir Findiriski dan
Syaikh Baha’i serta tentu saja muridnya sendiri, Mulla Sadra. Ditinjau dari dimensi
genealogis, baik Mir Damad, Mir Findiriski, Syaikh Baha’I, maupun Mulla Sadra,
merupakan kelanjutan dari mata rantai paling ujung penerima warisan filosofis dari Ibn
Sina, Al-Ghazali, Suhrawardi, dan Ibn ‘Arabi. Dengan demikian, dalam posisinya
sebagai ahli waris itulah yang membuat para filsuf Syiah (mazhab Isfahan) periode
Shafawiyyah ini berupaya untuk mendemonstrasikan keselarasan utama dan meta-
epistemologis dari seluruh diskursus yang terjadi di masa para tokoh filsuf Muslim yang
telah disebutkan sebelumnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan juga bahwa tujuan
utama dari mazhab Isfahan ialah untuk menjembatani (sintesis) perbedaan pemahaman
yang terjadi pada generasi filsuf Muslim terdahulu.
Kembali kepada Mulla Sadra. Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Sadra
semakin matang sebagai seorang filsuf. Kematangannya diakui karena produktivitasnya
dalam menulis, terutama dalam bidang filsafat, keagamaan, dan warisan spiritual Islam.
Dalam karyanya yang berjudul The Philosophy of Mulla Sadra, Fazlur Rahman
menginformasikan bahwa Mulla Sadra memiliki 32 sampai 33 karya tulis.
Berdasarkan rumusan Majid Fakhry di dalam The History of Islamic Philosophy, Mulla
Sadra termasuk dalam kategori filsuf post-Avicennaian yang hidup di tengah-tengah
perseteruan antara filsafat peripatetik dan illuminasi. Ciri khas dari aliran filsafat
peripatetik ialah kecenderungannya dalam mengikuti mazhab Aristotelian ketimbang
Platonian. Tokoh utama dalam mazhab pemikiran ini ialah al-Farabi dan Ibn Sina.
Karakteristik aliran filsafat peripatetik merupakan penggunaan argumentasi yang bersifat
rasional (burhani) ketimbang intuisional (‘irfani) atau teologia (kalam). Juga,
penggunaan deduksi rasional (silogisme), pendasaran pada premis kebenaran primer,
fokus pada penelaahan eksistens qua eksistens, serta, mengutip Murtadha Muthahhari
yang sebelumnya dikutip oleh Muksin Labib, memunculkan problem eksistensialisme
(ashalat al-wujud) versus esensialisme (ashalat al-mahiyah), dan seterusnya.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul aliran baru bernama iluminasionisme
(isyraqiyyah) yang diusung Syihab Al-Din Yahya Al-Suhrawardi (w. 567 H/1191 M).
Kehadiran filsafat iluminasi sendiri bertujuan untuk mengkritisi pandangan kaum
peripatetik yang menyimpang dan sudah sangat mapan pada masanya, terutama doktrin-
doktrin dari Ibn Sina (w. 429 H/1037 M), ilmuwan besar Islam dan guru besar filsafat
peripatetik. Filsafat iluminasi mengembangkan sebuah pandangan tentang realitas yang
di situ esensi lebih penting ketimbang eksistensi, dan pengetahuan intuitif lebih
signifikan ketimbang pengetahuan saintifik. Dengan kata lain, pengetahuan rasional saja
tidak memadai dan harus disempurnakan oleh pengetahuan intuitif. Aliran iluminasi ini
pada perkembangan berikutnya diidentifikasi sebagai sebuah aliran yang memiliki
kemiripan dengan mistisisme Islam.
Aliran sejarah filsafat Islam lalu mengalir dalam suasana perdebatan yang cukup tajam
dengan dinamika kehadiran mazhab yang beragam sesuai pola, mode of argumentation,
metode, dan orientasi filosofis masing-masing. Di satu sisi ada anggapan bahwa
keyakinan mistisisme dalam hal penggunaa akal budi menjadi satu-satunya cara dalam
mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Di sisi lain muncul anggapan tandingan bahwa
kebenaran tersebut justru harus dapat diungkapkan dan diverifikasi lewat suatu
perumusan secara diskursif-demonstrasional. Dari perdebatan yang sengit inilah
kemudian muncul Mulla Sadra, seorang yang berasal dari Persia Selatan sebagai pihak
yang mencoba melanjutkan visi dari mazhab Isfahan, yakni merumuskan arah baru
filsafat Islam dengan gagasan filsafatnya yang kemudian disebut Al-Hikmah al-
Muta’aliyah (Transcendent Theosophy).
Pada gilirannya, timbul pertanyaan secara spesifik, apa sebenarnya hakikat dari Al-
Hikmah Al-Muta’aliyah ini? Secara sederhana, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah dapat
dipahami sebagai suatu konsepsi yang dirumuskan untuk menghimpun dan
mengintegrasikan pandangan filsafat dari setiap aliran yang telah ada di masa
sebelumnya.
Jika dilihat dari segi penggunaan katanya, ungkapan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah terdiri
atas dua istilah, yaitu al-hikmah yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari
filsafat, iluminasionisme, dan sufisme. Sementara itu, al-muta’aliyah berarti tinggi,
agung, atau transenden. Jika dilihat dari segi komposisinya, konsepsi filsafat dari Mulla
Sadra ini terbentuk dari empat aliran pemikiran dalam Islam: 1) teologi dialektik (‘ilm
al-kalam), 2) peripatetisme (masysya’iyyah), 3) iluminisme (isyraqiyyah), dan 4)
sufisme/teosofi (tashawwuf atau ‘irfan). Berkaca dari komposisi tersebut, Fazlur Rahman
menyatakan bahwa, “melalui Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, Mulla Sadra telah melakukan
sintesis yang orisinal dan solid atas arus-arus pemikiran yang sebelumnya selalu
dipandang saling berlawanan.” Perpaduan dari keempat elemen tersebut kemudian
menghasilkan tiga prinsip utama yang menopang tegaknya Al-Hikmah Al-Muta’aliyah,
yaitu intuisi intelektual (kasyf, dzauq, atau isyraq), penalaran dan pembuktian rasional
(‘aql, burhan, atau istidlal), serta agama atau wahyu (syar’).Kerja keras Mulla Sadra
telah mengantarkan filsafat Islam menuju babak baru. Melalui metode Al-Hikmah Al-
Muta’aliyah, seseorang akan dituntun untuk mendapatkan pengetahuan tentang realitas
segala sesuatu secara mendalam dan komprehensi serta yang paling penting tidak
bertentangan dengan rasionalitas dan idealisme agama. Dengan demikian, secara singkat
dapat dikatakan bahwa Al-Hikmah Al-Muta’aliyah merupakan filsafat Islam dalam arti
yang sebenarnya.
2. Al-Farabi (872-950M).
Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzlagh al-Farabi. Al-Farabi adalah putera dari seorang
panglima perang Dinasti Samani (874-999M) yang berkuasa di daerah Transoxania dan Persia.
Nama al-Farabi berasal dari nama tempat kelahirannya, yaitu Farab, Transaxonia; dilahirkan
pada tahun 872 M, dan berasal dari keturunan Turki..
Tentang Metafisika,Di antara pemikiran filsafat al-Farabi yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan dan terjadinya alam terlihat dalam pemikirannya tentang ‘filsafat emanasi’. Dalam
filsafatnya ini al-Farabi sebagaimana halnya Plotinus . menerangkan bahwa ‘segala yang ada atau
alam ini memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh’. Antara alam
materi dengan Zat Tuhan terdapat pengantara. Tuhan berpikir tentang diriNya, dan dari
pemikiran ini memancarlah Akal Pertama. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan, dan dari
pemikiran ini memancarlah Akal Kedua. Akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran
ini memancarlah Akal Ketiga. Demikian seterusnya sampai memancar Akal Kesepuluh.
Tentang Jiwa,Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari akal
kesepuluh. Jiwa itu menurutnya memiliki tiga daya, yaitu: daya gerak (al-muharrakah/motion),
yang memuat daya makan, memelihara, dan berkembang; daya mengetahui (al-
mudrikah/cognition), yang memuat daya merasa dan berimaginasi; dan daya berpikir (al-
natiqah/intellection), yang memuat akal praktis (practical intellect) dan akal teoritis (theoritical
intellect).
Tentang Akal,Menurutnya akal atau daya berpikir ini mempunyai tiga tingkat, yaitu:
al-‘aql al-hayulani (akal materil/akal potensiall),al-‘aql bi al-fi’l (akal aktuil/actual intellect); dan
al-‘aql al-mustafad ( aquered intellect). Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima
pancaran yang dikirimkan dari Tuhan melalui akal-akal tersebut. Akal potensial menangkap
bentuk-bentuk dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera akal aktuil
menangkap arti-arti dan konsep-konsep; dan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan komunikasi dengan, atau menangkap inspirasi dari akal yang ada di atas dan di luar
diri manusia, yaitu Akal Kesepuluh atau al-Aql al-fa’al (active intellect), yang di dalamnya
terdapat bentuk-bentuk.
5. Al-Razi (863-925M).
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi lahir di Raiy, suatu kota dekat Teheran.
Dalam karir kehidupannya al-Razi pernah menjabat direktur rumah sakit di Raiy dan di
Bagdad. Ia terkenal di Barat dengan sebutan Rhazes dari buku-bukunya mengenai ilmu
kedokteran..
Tentang Agama dan Akal. Al-Razi merupakan seorang rasionalis sejati yang hanya
percaya kepada kekuatan akal, dan tidak percaya kepada wahyu dan perlunya para nabi. Ia
berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk,
untuk tahu Tuhan, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Sekalipun tidak percaya
kepada wahyu dan tidak perlu para nabi, al-Razi tetap sebagai filosof yang percaya kepada
Tuhan.
Tentang Filsafat Lima Kekal. Menurut Al-Razi ada lima hal yang kekal dalam
kehidupan ini, yaitu: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman
Absolut. Lima hal ini kemudian dikenal sebagai doktrin Lima Yang Kekal. Mengenai kelima
hal ini ia menjelaskan:
1) Materi, merupakan apa yang ditangkap dengan pancaindera tentang benda itu
2) Ruang, karena materi mengambil tempat
3) Zaman, karena materi berubah-ubah keadaannya;
4) Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh.
5) Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar,pemikiran rasional, kritis, sistematis,
dan radikal tentang
suatu obyek”. Obyek pemikiran kefilsafatan adalah segala yang ada, yaitu Tuhan, manusia
dan alam dimana ada dua macam pemikiran yakni filsafat islam dan filsafat barat dimana
banyak tokoh-tokoh yang mengemukakan pemikirannya mengenai kedua filsafat
tersebut.yang diharapkan semua manusia mamahami makna filsafat itu sendiri dalam koridor
islam.
Aliran-aliran filsafat islam
1.Aliran peripatik
2. Aliran illuminasionis
3.Aliran irfani
4. Aliran hikmah muta’aliy
Tokoh-tokoh filsafat islam
1. Al-Kindi (803-873 M)
2. Al-Farabi (872-950M).
3. Ibn Sina (980-1037 M).
4. Ibnu Miskawaih (932-1030M).
5. Al-Razi (863-925M).
6. Ibn Rusyd (1126-1198M)
DAFTAR PUSTAKA
Davies, Brian, The Thought of Thomas Aquinas, Clarendon Press, Oxford 1993, -Gilson,
Etienne, The Philosophy of St. Thomas Aquinas, New York 1948,
Ralph, St University of Notre Dame Press, Notre Dame ,London 1982, -Saranyana,
Joseph, History of Medieval Philosophy, Sinag-Tala, Manila 1996, hal.
Mayer, Frederick. A history of Medieval & Ancient Philosophy. New York Tokoh Filsuf Barat
Dari Abad 6 Sm– Abad 2
Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto, Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.
Mulyahadi Kartanegara “Gerbang Kearifan” hal. 27
Abu ridla, M. Rasail al kindi al falsafiyah, Cairo 1953. Hal 294-295, 258, 273 dan
bandingkan dengan pandangan piomandres dalam nock, A D. Dan festungiere, A J, corpus
Hermetikum, 1, paris, hal 25 dst. Dalam fakhry, Madjid, hal 135.
Drs. Poerwantana dkk, seluk beluk filsafat Islam, remaja rosdakarya, abndung, 1994, hal,
133.
T. Akhyar D. sebuah kompilasi filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, 1993, hal. 26.