Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ALIRAN-ALIRAN TOKOH-TOKOH DAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM

Diajukan Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Filsafat Islam

Dosen Pengampu : Sahrudin,S.Pd.I M.PdI

Disusun Oleh :

1. NURHIKMAH
2. TUTI SUGIARTI

Jl.KH.Hayim Asyari No 1/1 Segeran Kidul

Kec.Juntinyuat Kab.Indramayu 45282 Jawa Barat


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini
dapat diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Filsafat Islam yang
membahas “Aliran-aliran filsafat islam dan Tokoh-tokoh Filusuf Muslin dan
Pemikiranya”.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa
sehingga materi yang disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas
atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan
bimbingan, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami
mengucapkan terimakasih kepada: Bapak Sahrudin,S.Pd.I ,M.Pd.I

yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi
dan menyelesaikan tugas ini.

Kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan,untuk itu
kami meminta maaf atas kekurangan dalam pembuatan makalah ini.Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca.
DAFAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................................3
A.      Latar Belakang  Masalah.........................................................................................................3
B.      Rumusan Masalah....................................................................................................................3
C. Tujuan......................................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A.Aliran-aliran Filsafat Islam........................................................................................................4
1.Aliran Parepatik..........................................................................................................................4
2.Aliran Illuminasionis....................................................................................................................6
3. Aliran Irfani...............................................................................................................................8
4. Aliran Hikmah Muta’aliy.........................................................................................................10
B.Tokoh-tokoh Filusuf Muslim........................................................................................................13
1.   Al-Kindi (803-873 M)...........................................................................................................13
2.    Al-Farabi (872-950M)..........................................................................................................14
3. Ibn Sina (980-1037 M).........................................................................................................15
4.    Ibnu Miskawaih (932-1030M)..............................................................................................16
5 Al-Razi  (863-925M)............................................................................................................17
6. Ibn Rusyd (1126-1198M).....................................................................................................17
BAB III...............................................................................................................................................18
PENUTUP..........................................................................................................................................18
A. Kesimpulan............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang  Masalah
Filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan tetap menjadi aktual, karena
berbagai persoalan-persoalan dari sejumlah disiplin ilmu zaman modern ini, arus
dasarnya adalah masalah filsafat Aliran-aliran filsafat dan kaitanya dengan ilmu
pengetahuan, merupakan penelahan dua aspek sekaligus menyangkut paham dan
pandangan para ahli pikir atau filsafat. Filsafat merupakan hasil pemikiran filosof-
filosof sepanjang zaman diseluruh dunia. Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil
pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara
fundamental. Sebagai ilmu tersendiri filsafat tidak saja telah menarik minat dan perhatian
para pemikir, tetapi bahkan filsafat telah amat banyak mempengaruhi perkembangan
keseluruh budaya umat manusia. Dengan adanya filsafat telah mempengaruhi sikap
hidup, cara berpikir, kepercayaan atau ideologinya.
Memahami sistem filsafat berarti menelusuri  dan mengkaji suatu pemikiran
mendasar dan tertua yang  mengawali kebudayaan manusia. Suatu sistem, filsafat
berkembang berdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh pemikir
filsafat. aliran-aliran filsafat mempunyai kaitan dengan ilmu pengetahuan terutama aliran
rasionalisme, aliran empirisme, aliran intuisionisme, dan aliran materialisme kemudian
berkembang mengikuti aliran filsafat lainnya yang memandang aliran dalam Filsafat
secara berbeda.

B.       Rumusan Masalah
1.Apa saja Aliran-aliran filsafat islam?
2.Siapa tokoh –tokoh filusuf muslim dan pemikiranya ?

C. Tujuan

1.Mengetahui aliran-aliran filsafat islam


2. Mengetahui siapa saja tokoh filususf muslim dan pemikiranya
BAB II
PEMBAHASAN
A.Aliran-aliran Filsafat Islam

1.Aliran Parepatik

Aliran Peripatetic merupakan aliran yang pertama muncul di dunia filsafat. Hal ini
sangat menarik untuk di kaji mengingat dalam Aliran-aliran ini terdapat berbagai
masalah yang perlu di kritisi. Awal mula dikenalnya istilah filsafat peripatetik, adalah
setelah meninggalnya salah satu tokoh besar filsafat yunani kuno, yaitu Aristoteles atau
dengan kata lain orang-orang biasa menyebutnya dengan pasca Aristoteles. Yang dimana
setelah meninggalnya Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajarannya adalah para
muridnya, kemudian dinamakan kelompok peripatetik. Istilah peirpatetik ini merujuk
pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya.
Dalam bahasa arab peripatetik disebut dengan istilah masya’i atau masya’iyin, yang
berarti ia yang berjalan memutar atau berkeliling. Adapun yang mengatakan bahwa
istilah peripatetik dalam nuansa sejarahnya lebih menunjukan kepada pengertian tempat
Aristoteles mengajar, bukan kepada kebiasaan Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan

Aliran Peripatetic ini  tidak hanya dikalangan barat saja, melainkan di dunia Islam
memiliki tokoh-tokoh yang sangat luar biasa yang cukup berpengaruh di dunia, seperti
Al-Kindi,  Al-Farobi, Ibnu Sina dan para-pemikir-pemikir yang lain yang termasuk
dalam Aliran filsafat peripatetic.Ada berbagai masalah yang di kritisi Oleh Al-Ghazali
mengenai pemikiran Peripatetik yang memahami tentang Keabadian alam, Tentang tuhan
tidak mengetahui hal-hal yang juz’I atau yang particular, dan juga pemahaman tentang
kebangkitan kembali jasad manusia di alam yang baru atau di Alam akhirat. Al-Gozali
memiliki banyak argument untuk menanggapi permasalahan ini.Namun  Dalam makalah
ini mungkin tidak banyak yang di bahas, namun pemakalah berusaha untuk
memunculkan ide-ide baru bagi siapa yang membacanya sehingga timbul gagasan-
gagasan baru yang lebih baik. dan bisa termotifasi.Awal mula dikenalnya istilah filsafat
peripatetik, adalah setelah meninggalnya salah satu tokoh besar filsafat yunani kuno,
yaitu Aristoteles atau dengan kata lain orang-orang biasa menyebutnya dengan pasca
Aristoteles. Yang dimana setelah meninggalnya Aristoteles yang meneruskan ajaran-
ajarannya adalah para muridnya, kemudian dinamakan kelompok peripatetik. Istilah
peirpatetik ini merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafatnya kepada
murid-muridnya. Dalam bahasa arab peripatetik disebut dengan
istilah masya’i atau masya’iyin, yang berarti ia yang berjalan memutar atau berkeliling.
Adapun yang mengatakan bahwa istilah peripatetik dalam nuansa sejarahnya lebih
menunjukan kepada pengertian tempat Aristoteles mengajar, bukan kepada kebiasaan
Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan.

Perkembangan peripatetik, secara sederhana dapat dikatakan relatif sejajar dengan


perkembangan akademia. Artinya, bahawa pada awalnya peripatetik hanya meneruskan
dari prinsif-prinsif filsafat Aristoteles, sebagaimana akedemia meneruskan karya-karya
warisan Plato dengan terutama mementingkan ajaran tentang idea-idea dan matematika.
Demikian juga para murid Aristoteles meneruskan usaha-usaha gurunya, khususnya
melakukan penyelidikan ilmiah yang sangat empiristik dan logis. Akan tetapi berbeda
dengan Plato didalam mempengaruhi masa kuno yang akan mendatang. Karena Plato
tetap dikenal masa kuno Yunani dan Romawi dekemudian hari. Sedangkan pengaruh
filsafat Aristoteles sempat mengalami masa jeda, baru pada abad pertengahan, pengaruh
Aristoteles atas pemikiran filsafat islam dan pada giliran selanjutnya atas modern barat
mulai menampakkan pengaruh yang besar, bahkan melebihi pengaruh Plato sendiri.
Sebagaimana Al-Ahnawi mengatakan bahwa ”Filsafat Islam lebih banyak diwarnai
aliran mayaiyyah.”

Jadi madzhab peripatetik ini adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”
dengan Aristoteles. Karena kelahiran ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan
menghidupkan filsafat Aristoteles. Sebagaimana dengan Akademia Plato yang
melahirkan Neo-Platonisme pada akhir abad keempat Masehi

Adapun beberapa beberapa filosof yang dikategorikan kapada aliran


peripatetik lainnya, diantaranya adalah al-Kindi (w. 866), al-Farabi (w. 950), Ibn Sina
(w. 1030), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274). [1] Adapun ciri khas
dari aliran peripatetik ini dipandang dari sudut metodologis dan epistemologisnya
dikenal dengan beberapa hal: 1) modus ekspresi atau penjelasan dari para filosof
peripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi), yaitu menggunakan logika formal yang
didasarkan pada penalaran akal. 2) karena sifatnya yang diskursif, maka filsafat yang
merka kembangkan bersifat tak langsung. Dikatakan tak langsung karena untuk
menangkap objeknya mereka menggunakan symbol, baik berupa kat-kata atau konsep
maupun representasi. 3) penekanan yang sangat kuat dari rasio-rasio sehingga kurang
memprioritaskan pengenalan intuitif, yang sangat dikenal dalam aliran lain, seperti
Isyraqi (Iluminasionis) mauopun Irfani (gnostik). Adapun cirri khas lain dari aliran
peripatetik yang berkaitan dengan aspek ontologis. Misalnya, dalam ajaran mereka yang
biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di
dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya, yaitu materi dan bentuk.

Kelompok peripatetik ini merupakan aliran filsafat yang menekankan kepada


pembahasan tentang alam, atau bisa juga disebut dengan filsafat alam. Menurut
kesaksian masa kuno, Aristoteles mengarang banyak karya, yang banyak memuat
dokumentasi ilmiah dan empiris. Dan sebagian karya-karyanya itu adalah disusun oleh
Aristoteles sendiri, dan sebagian yang lainnya lagi oleh para murid-muridnya dibawah
naungan peripatetik.

2.Aliran Illuminasionis

Kata isyraq yang mempunyai padanan llumination dalam bahasa Inggris


mempunyai arti cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat, iluminasionisme berarti
sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai
tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraq apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori
yang diyakini, melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan kepada
cahaya yang bersifat azali yang didalamnya adalah pengetahuan dan kebahagiaan.
Menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam
hads yang menghubungkan dengan subsatansi cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah simbol
utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan suatu faktor
yang menentukan wujud, bentuk, materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder,
intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingakat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya
penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat
isyraqiah. Simbolisme cahaya digunakan oleh suhrawardi untuk menggambarkan
masalah-masalah ontologis dan khususnya untuk memaparkan struktur-struktur
kosmologis. Sebagai contoh wujud niscaya dalam peripatetic, disebut cahaya dari segala
cahaya (nur al-anwar), intelek-intelek terpisah disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar
mujarradah). Tampaknya simbolisme cahaya dinilai lebih cocok dan sesuai untuk
menyampaikan prinsip ontologis wujud ekuivokal, karena lebih mudah dipahami bahwa
cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Dan
juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas kedekatan dan kejauhan dari sumber
sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan ketika simbolisme digunakan. Sebagai
contoh semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya yaitu cahaya dari segala cahaya,
maka semakin terang cahaya entitas tersebut. Sedangkan ketidak adaan cahaya atau
kegelapan mengidentikkan ketidak wujudan (non wujud). Hikmah yang didasarkan pada
dualisme cahaya dan kegelapan yang ketimuran ini menurut suhrawardi merupakan
warisan para guru mistis persia. Hikmah ini sebenarnya terwakili di barat seperti plato.
Al-Bhusthomi dan al-Hallajj melanjutkan tradisi ini dan puncaknya ada pada diri
suhrawardi sendiri. Inti hikmah iluminasi bagi suhrawardi adalah ilmu cahaya yang
membahas sifat dan cara pembiasannya. Cahaya ini menurutnya tidak dapat di
definisikan karena ia merupakan realitas yang paling nyata sekaligus menampakkan
sesuatu. Cahaya ini juga merupakan substansi yang masuk kedalam komposisi semua
substansi yang lain-meteril maupun imateril. hubungannya dengan objek-objek
dibawahnya cahaya ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang pada dirinya
sendiri dan cahaya yang terang sekaligus menerangi lainnya. Cahaya yang terakhir ini
menerangi sagala sesuatu, namun bagaimana statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang
terang dan sebagaimana disebutkan ia merupakan sebab tampaknya sesuatu yang tidak
bisa tidak beremanasi darinya.

Berbeda dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional


sebagai metode berpikir dan pencarian kebenaran, filsafat iluminasionis mencoba
memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (‘Irfani), sebagai pendamping
bagi, atau malah dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba
mensintesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘Irfani dalam sebuah system pemikiran
yang solid dan holistic.
Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebenaran ke dalam kedalam tiga
kelompok : (1) Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam-seperti para
sufi-tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu
secara diskursif;(2) mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak
memiliki pengalaman mistik yang cukup mendalam. Pengalaman mistik sangat penting
untuk mengenal secara langsung realitas sejati, sehingga tidak hanya bersandar pada
otoritas masa lalu saja, seperti yang dapat ditemukan pada para filosof peripatetic, dan
(3) atau terakhir, adalah mereka yang disamping memlki pengalaman mistik yang
mendalam dan otentik, juga memilk kemampuan nalar dan bahasa diskursif, seperti yang
terjad pada diri Plato, di masa lampau, dan dirinya (baca: Suhrawardi) pada masanya.
Sebagian filosof mengibaratkan Tuhan sebagai matahari dan alam adalah sinarnya.
Suhrawardi, adalah seorang filosof Muslim yang paling maksimal memanfaatkan
simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya. Baginya Tuhan adalah Cahaya,
sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya
lain, Tuhan adalah Cahaya di atas Cahaya (Nur al-anwar). Ia adalah sumber dari segala
cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar.
Menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan
kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud yang positif, sedangkan
kegelapan adalah negative, dalam arti tidak memiliki realitas objektif. Ia ada hanya
sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya. Ketika cahaya datang, maka kegelapan sirna.
Bagi Suhrawardi benda-benda tidak memiliki definisi atau kategori yang tegas (clear cut)
seperti yang dibayangkan kaum Peripatetik. Yang membedakan satu benda dengan benda
lainnya hanyalah intensitas cahaya yang dimilikinya. Semakin banyak kandungan
cahayanya makin semakin tinggi derajatnya. Hewan dan manusia, misalnya, tidak
dibedakan secara kategoris melalui esensinya tetapi disebabkan oleh kenyataan bahwa
manusia memiliki cahaya yang lebih dibanding dengan hewan.
Dengan demikian, aliran filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup
fundamental-sekalipun tidak terlalu jelas-atas prinsip hylomorfis, karena sementara
hylomorfisme bentuk-bentuk benda bersifat kategorik, bagi kaum iluminasionis itu
bersifat relatif. Bagi yang terakhir sesuatu itu bisa dilihat secara relatif  “lebih atau
kurang” (more or less) dan tidak dibagi secara kategorik ke dalam substansi-substansi
yang tetap (fixed).
a.Tokoh-tokoh aliran illuminasionis
 Syihab al-Din Suhrawardi (w. 1191)
 Syams al-Din Muhammad ibn Mahmud Syahrazuri (w + 1288)
3. Aliran Irfani

Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah


bentuk mashdar(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui.Seakar pula
dengan kataMa’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).

Dalam kalangan sufi al-irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dilihat dari segi


maknanya dapat dilihat bahwasannya sistem pengetahuan irfani adalah sebuah sistem
pengetahuan dimana sumber pengetahuannya adalah intuisi. Suatu pengetahuan
diperoleh secara langsung tanpa perantara dan proses pembuktian. Pengetahuan tercipta
dalam kalbu sedemikian rupa setelah kalbu memperoleh pembersihan melalui mujahadah
dan latihan spiritual sehingga tirai yang menutupi kalbu terhadap kebenaran tersebut itu
menjadi terbuka.
Ada beberapa pengertian tentang epistemologi irfani.
Pertama, Epistemologi irfani adalah cara memperoleh pengetahuan yang didasarkan
pada kasyf, yaitu, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan dengan
metode berpikir irfani diperoleh dengan olah ruhani.
Kedua, epistemologi Irfani adalah cara memperoleh pengetahuan  dengan mengandalkan
pengalaman batin.
Ketiga, ada juga yang mengatakan epistimologi adalah cara memperoleh pengetahuan
yang lebih dekat dengan intuisi, namun intuisi yang dekat dengan spiritual
Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan,
dan pengungkapan.
Berangkat dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Epistemologi ‘irfani lebih
bersumber pada intuisi dan bukannya teks.         
Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berfikir
dan  berpikir ‘irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari
yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat
manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang dipeluknya, tanpa harus
mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas
kebenaran epistemologi ‘irfani  hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung,
intuisi,al-dzauq atau perasaan.[1]
Para sufi mendasarkan pengenalannya pada pengalaman mistik atau pengalaman
religius. Pengalaman mistik sesuai dengan namanya berbeda dengan penalaran, yang
merupakan produk pengalaman intelektual. Para sufi menyebut pengalaman seperti itu
dengan istilah ma’rifah. Berbeda dengan pengenalan rasional, yang bertitik tumpu pada
akal, pengenalan sufistik bertitik tumpu pada hati (intuisi/qalb). Persepsi intuisi berbeda
dengan persepsi akal/intelektual, karena sementara akal membutuhkan “perantara” dalam
mengenal objeknya.
Karena ketergantungan dengan “perantara”, maka menurut eksponen aliran irfani
ini, akal tidak akan memiliki pengetahuan hakiki tentang objeknya. Karena
ketergantungannya pada perantara, maka pengenalan akal tidak akan mampu
“menyentuh” realitas sejati.
Dalam konteks tersebut, Jalan al-Din Rumi menyatakan pandangannya dengan
sebuah pertanyaan retorikal: bisakah anda menyunting mawar dari M A W A R? “tidak,
anda baru menyebut nama, maka carilah yang punya nama; Bulan iyu di langit bukan di
permukaan air”.
Tentu saja pertanyaan tersebut menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai
realitas objeknya. Pengenalan rasional akan seperti mawar dari M A W A R, artinya
melalui simbol huuruf-huruf, padahal sebagaimana kita tahu terdapat perbedaan esensial
antara mawar sejati yang ada di taman bunga dengan huruf M A W A R. Inilah
pandangan epistemologis dari para sufi yang mewakili aliran irfani yang lebih
mengutamakan intuisi (hati) dari pada akal mengingat akal memiliki keterbatasan-
keterbatasan.
Lebih lanjut, Rumi menyatakan bahwa akal dengan logika sebagai andalannya
adalah ibarat kaki palsu yang terbuat dari kayu, dan kita tahu bahwa kaki palsu itu adalah
paling lemahnya kaki. “cinta” misalnya, menurut para sufi buku teori tentang cinta yang
telah dibaca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan mengalamiya secara langsung.
Konklusinya adalah menurut kaum irfani, hatilah yang lebih dapat diandalkan sebagai
alat memperolrh pengetahuan, bukan akal ataupun indera.
Dalam komteks ini akan dipilih pandangan ontologis dari Ibn ‘Arabi (w. 1240)
dengan beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun para sufi memiliki pandangan yang
berbeda, tapi sebagaimana telah dan akan kita lihat adanya struktur dan substansi ajaran
mereka yang sama, sehingga siapapun tokoh yang ditampilkan dapat dianggap sebagai
wakil dari para sufi itu. Kedua, meskipun Ibn ‘Arabi tidak memiliki tarikat seperti Abd
al-Qadir Jilani dan Jala-al-Din Rumi tetapi ajaran wahdat al-Wujudnya sedemikian
berpengaruh, baik terhadap sufi yang muncul kemudian atau pun kepada para filosof
terkemuka pasca Ibn Rusyd, seperti Mulla Shadra.
Ibn ‘Arabi dikenal dengan ajaran Wahdat al-Wujud, yang menyatakan bahwa
wujud itu sesungguhnya hanya satu saja. Hanya ada satu wujud sejati, yaitu Allah (al-
Haqq), sedangkan alam tidak lebih dari sekedar manifestesi dari wujud sejati tersebut
yang pada dirinya tidak memiliki wujud seperti Tuhan.
Hubungan wujud sejati dengan alam biasanya digambarkan melalui “wajah”
dengan “gambar”wajah itu yang muncul dari sejumlah cermin. Dalam hubungan ini, Ibn
‘Arabi berkata, “wajah itu satu, tetapi cermin seribu satu”, sehingga wajah yang sejati itu
terpantul dalam ribuan cermin. Dan karena posisi cermin dan juga kualitasnya berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya, maka pantulan wajah yang sama dan satu itu
tampak berbeda-beda. Itulah sebabnya menurut Ibn ‘Arabi meskipun Tuhan itu Esa,
tetapi pantulannya yakni alam semesta beragam dan berjenis-jenis.
Pelukisan hubungan Tuhan dan alam sebagai “wajah” dan “cermin” juga memiliki
pelajaran yang sangat berhharga. Misalnya, pertama, dari konsep yang demikian, kita
bisa belajar tentang kehadiran Tuhan. Tuhan selalu hadir di alam semesta ini, dan
eksistensi-Nya dapat diketahui dari keberadaan alam semesta itu sendiri, selama alam
semesta sebagai pantulan dari wajah-Nya ada, maka selama itu pula kehadiran Tuhan di
alam semesta dapat dipastikan. Kedua, adalah tentang kesejatian keberadaan Tuhan
dibandingkan dengan keberadaan alam dan segala isinya. Sehubungan dengan ini, Ibn
‘Arabi memberikan alegori yang jelas sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Mulyadi:
 Benar, bahwa wajah kita yang asli tidak dapat dilihat kecuali melalui cermin. Tetapi,
satu-satunya wajah yang real adalah wajah yang ada pada diri kita bukan yang terpantul
dalam cermin, meskipun ia tampak jelas kepada kita. Tetapi, kenyataan bahwa wajah kita
yang terlihat adalah yang ada di cermin tidak boleh mengelabui kita dan meyakinkan kita
bahwa wajah yang di cerminlah yang sejati.
 Demikianlah, walaupun kita tidak pernah melihat Tuhan dengan mata kepala kita,
namun Ibn ‘Arabi yakin bahwa, sekalipun Tuhan, seperti wajah asli kita yang tidak
dapayt dapat kita lihat, tetapi Dia-lah satu-satunya realitas yang hak, dalam arti ada
secara sejati.
Aliran ‘Irfani berpandangan bahwa apa pun yang ada di alam semesta ini hanyalah
manifestasi-manifestasi ilahi, yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan Tuhan, sang
Wujud Sejati. Akal pertama merupakan manifestasi pertama Tuhan, disusul kemudian
oleh Jiwa Universal dan tabi’at universal yang tidak lain dari manifestasi-manifestasi
Tuhan berikutnya. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkat manusia, yang sangat
potensial untuk menjadi tempat tajalli seluruh sifat Tuhan.
Dengan konsep tajalli ini, Tuhan tidak dipandang jauh dan terpisah dari alam,
tetapi justru menjadi prinsip dasar yang berada dalam “jantung” alam semesta itu sendiri.
Alam merupakan self enfolding (realisasi diri) Tuhan sendiri. Dengan kata lain Tuhan
adalah Imanen karena hadir jantung alam sendiri, tetapi juga pada sisi lain, Tuhan adalah
transenden, karena ia menjadi sumber, prinsip dasar dan syarat bagi keberadaan alam
semesta, yang berbeda darinya.
Dengan sebab demikian, terdapat sementara ahli yang menyabut ajaran aliran
filsafat ‘Irfani ini sebagai “panentheisme”, dimana Tuhan bukan hanya diakui bersifat
Imanen sebagaimana dalam fisat pantheisme tetapi juga transenden, seperti dalam paham
theisme, dalam arti Dia tidak sama dengan alam, atau apapun yang ada selainnya..[2]
4. Aliran Hikmah Muta’aliy

Filsafat Mulla Shadra yang dikenal dengan istilah Al-Hikmah Al-


Muta’aliyah, dimanabeliau menghimpun empat aliran yaitu isyraqiyah, irfani, taswuf,
kalam yang selaluterjadi perdebatan dalam menerima filsafat, kehadirannya bisa
melahirkan filsafatnyayang dapat diterima oleh semua kalangan, baik kaum sunni
maupun kaum syiah, baikahli filsafat itu sendiri maupun maupun ulama- ulama kalam,
fiqh dan seluruh kalangandari kaum yang bawah (awam) sampai kepada pengetahuan
yang khawasulkhawas.Karakteristik Al-hikmah Al-muta’aliyah bersifat sentesis
merupakan hasilkombinasi dan harmonisasi dari ajaran- ajaran wahyu, hadist dan ucapan
para imam.Adapun Kajian- kajian dalam Al- Hikmah Al- Muta’aliyah Mulla Shadra
meliputi:Ashlat al- wujud wa i’tibariyat al mahiyat ( kehakikian Eksistensi dan kenisbian
Entitas),wahdah Al- wujud. Tasykik al- wujd (Gradualitas Eksistensi). Wujud az-
zihni(Eksistensi mental). Wahid laa yashduru minhu illa al- wahid (tidak keluar dari
yangsatu kecuali satu), dan Harakat al- jawhariyat (gerakan substansial).
Mulla Sadra, atau Shadr Al-Din Syirazi, merupakan seorang filsuf yang sangat dihormati
dalam Islam, namun namanya masih kalah populer jika dibandingkan dengan Al-Kindi,
Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Ibrahim
Al-Qawami Al-Syirazi. Dia lazim dikenal dengan “Mulla Sadra” bagi banyak kaum
Muslim terutama di Persia, Pakistan, dan India. Mulla Sadra memiliki dua gelar sebagai
penghargaan atas kepakarannya: “Shadr al-Din” (ahli agama) dan “Shadr Al-
Muta’allihin” (teladan para filsuf Ilahi). Gelar pertama menunjukkan ketinggian derajat
di dalam lingkaran keilmuan teologis tradisional, sementara gelar kedua menandakan
posisi uniknya di mata generasi-generasi filsuf yang datang setelahnya.

Mulla Sadra lahir di Syiraz, Persia Selatan, pada 979 H/1572 M dari sebuah
keluarga yang terpandang. Ayahnya, konon merupakan menteri di lingkungan istana
Shafawiyyah yang juga berperan sebagai ulama. Sebelum pada akhirnya menjadi seorang
pakar dalam ilmu-ilmu agama dan filsafat, masa muda Mulla Sadra dihabiskan untuk
menuntut ilmu. Setelah menyelesaikan pendidikan elementer di kota kelahirannya,
Syiraz, Mulla Sadra memutuskan untuk pergi ke Isfahan, pusat kekuasaan Shafawiyyah
sekaligus sebagai pusat paling penting pendidikan Islam pada abad ke-10 H/16 M. Di
sana Mulla Sadra mengawali pelajarannya dengan mendalami ilmu-ilmu Islam
tradisional yang biasanya disebut al-‘ulum al-naqliyyah, yang di dalamnya terdapat
Baha’ Al-Din Muhammad Al-‘Amili (w. 1031 H/1622 M), seorang mahaguru yang
meletakkan landasan bagi fikih Syiah yang baru dan yang didefinisakannya dengan baik.
Di bawah bimbingan Al-‘Amili, Mulla Sadra banyak belajar tentang fikih, ilmu hadis,
dan tafsir Alquran dalam kerangka tradisi keilmuan Syiah tentunya.

Dalam periode yang sama, Mulla Sadra juga mulai mengkaji apa yang lazim dikenal
sebagai ilmu-ilmu olah nalar (al-‘ulum al-‘aqliyyah) di bawah bimbingan salah seorang
filsuf Islam paling besar dan orisinal dalam mencetuskan gagasan-gagasannya. Dia
adalah Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi yang dikenal luas dengan panggilan Mir
Damad (w.1040 H/1631 M). 
Mir Damad, guru utama dari Mulla Sadra, merupakan seorang filsuf besar, sedemikian
sehingga gelar kehormatan, seperti “khatam al-hukama'”  dan “guru ketiga”—setelah
Aristoteles dan Al-Farabi—diberikan kepadanya. Berdasarkan hasil penelitian Henry
Corbin dan Seyyed Hossen Nasr yang kemudian dikutip oleh Hamid Dabasyi di
dalam History of Islamic Philosophy, Mir Damad merupakan tokoh yang sangat dihargai
sekaligus dicintai karena dia telah berhasil meletakkan fondasi pertama berdirinya aliran
filsafat yang kemudian terkenal dengan sebutan “mazhab Isfahan”. 
Dalam menancapkan fondasi awal mazhab Isfahan ini, Mir Damad tidak sendirian
karena ditemani oleh para filsuf yang semasa dengannya seperti Mir Findiriski dan
Syaikh Baha’i serta tentu saja muridnya sendiri, Mulla Sadra. Ditinjau dari dimensi
genealogis, baik Mir Damad, Mir Findiriski, Syaikh Baha’I, maupun Mulla Sadra,
merupakan kelanjutan dari mata rantai paling ujung penerima warisan filosofis dari Ibn
Sina, Al-Ghazali, Suhrawardi, dan Ibn ‘Arabi. Dengan demikian, dalam posisinya
sebagai ahli waris itulah yang membuat para filsuf Syiah (mazhab Isfahan) periode
Shafawiyyah ini berupaya untuk mendemonstrasikan keselarasan utama dan meta-
epistemologis dari seluruh diskursus yang terjadi di masa para tokoh filsuf Muslim yang
telah disebutkan sebelumnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan juga bahwa tujuan
utama dari mazhab Isfahan ialah untuk menjembatani (sintesis) perbedaan pemahaman
yang terjadi pada generasi filsuf Muslim terdahulu.

Kembali kepada Mulla Sadra. Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Sadra
semakin matang sebagai seorang filsuf. Kematangannya diakui karena produktivitasnya
dalam menulis, terutama dalam bidang filsafat, keagamaan, dan warisan spiritual Islam.
Dalam karyanya yang berjudul The Philosophy of Mulla Sadra, Fazlur Rahman
menginformasikan bahwa Mulla Sadra memiliki 32 sampai 33 karya tulis.
Berdasarkan rumusan Majid Fakhry di dalam The History of Islamic Philosophy, Mulla
Sadra termasuk dalam kategori filsuf post-Avicennaian yang hidup di tengah-tengah
perseteruan antara filsafat peripatetik dan illuminasi. Ciri khas dari aliran filsafat
peripatetik ialah kecenderungannya dalam mengikuti mazhab Aristotelian ketimbang
Platonian. Tokoh utama dalam mazhab pemikiran ini ialah al-Farabi dan Ibn Sina.
Karakteristik aliran filsafat peripatetik merupakan penggunaan argumentasi yang bersifat
rasional (burhani) ketimbang intuisional (‘irfani) atau teologia (kalam). Juga,
penggunaan deduksi rasional (silogisme), pendasaran pada premis kebenaran primer,
fokus pada penelaahan eksistens qua eksistens, serta, mengutip Murtadha Muthahhari
yang sebelumnya dikutip oleh Muksin Labib, memunculkan problem eksistensialisme
(ashalat al-wujud) versus esensialisme (ashalat al-mahiyah), dan seterusnya.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul aliran baru bernama iluminasionisme
(isyraqiyyah) yang diusung Syihab Al-Din Yahya Al-Suhrawardi (w. 567 H/1191 M).
Kehadiran filsafat iluminasi sendiri bertujuan untuk mengkritisi pandangan kaum
peripatetik yang menyimpang dan sudah sangat mapan pada masanya, terutama doktrin-
doktrin dari Ibn Sina (w. 429 H/1037 M), ilmuwan besar Islam dan guru besar filsafat
peripatetik. Filsafat iluminasi mengembangkan sebuah pandangan tentang realitas yang
di situ esensi lebih penting ketimbang eksistensi, dan pengetahuan intuitif lebih
signifikan ketimbang pengetahuan saintifik. Dengan kata lain, pengetahuan rasional saja
tidak memadai dan harus disempurnakan oleh pengetahuan intuitif. Aliran iluminasi ini
pada perkembangan berikutnya diidentifikasi sebagai sebuah aliran yang memiliki
kemiripan dengan mistisisme Islam.
Aliran sejarah filsafat Islam lalu mengalir dalam suasana perdebatan yang cukup tajam
dengan dinamika kehadiran mazhab yang beragam sesuai pola, mode of argumentation,
metode, dan orientasi filosofis masing-masing. Di satu sisi ada anggapan bahwa
keyakinan mistisisme dalam hal penggunaa akal budi menjadi satu-satunya cara dalam
mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Di sisi lain muncul anggapan tandingan bahwa
kebenaran tersebut justru harus dapat diungkapkan dan diverifikasi lewat suatu
perumusan secara diskursif-demonstrasional. Dari perdebatan yang sengit inilah
kemudian muncul Mulla Sadra, seorang yang berasal dari Persia Selatan sebagai pihak
yang mencoba melanjutkan visi dari mazhab Isfahan, yakni merumuskan arah baru
filsafat Islam dengan gagasan filsafatnya yang kemudian disebut Al-Hikmah al-
Muta’aliyah (Transcendent Theosophy).
Pada gilirannya, timbul pertanyaan secara spesifik, apa sebenarnya hakikat dari Al-
Hikmah Al-Muta’aliyah ini? Secara sederhana, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah dapat
dipahami sebagai suatu konsepsi yang dirumuskan untuk menghimpun dan
mengintegrasikan pandangan filsafat dari setiap aliran yang telah ada di masa
sebelumnya. 
Jika dilihat dari segi penggunaan katanya, ungkapan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah terdiri
atas dua istilah, yaitu al-hikmah yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari
filsafat, iluminasionisme, dan sufisme. Sementara itu, al-muta’aliyah berarti tinggi,
agung, atau transenden. Jika dilihat dari segi komposisinya, konsepsi filsafat dari Mulla
Sadra ini terbentuk dari empat aliran pemikiran dalam Islam: 1) teologi dialektik (‘ilm
al-kalam), 2) peripatetisme (masysya’iyyah), 3) iluminisme (isyraqiyyah), dan 4)
sufisme/teosofi (tashawwuf atau ‘irfan). Berkaca dari komposisi tersebut, Fazlur Rahman
menyatakan bahwa, “melalui Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, Mulla Sadra telah melakukan
sintesis yang orisinal dan solid atas arus-arus pemikiran yang sebelumnya selalu
dipandang saling berlawanan.” Perpaduan dari keempat elemen tersebut kemudian
menghasilkan tiga prinsip utama yang menopang tegaknya Al-Hikmah Al-Muta’aliyah,
yaitu intuisi intelektual (kasyf, dzauq, atau isyraq), penalaran dan pembuktian rasional
(‘aql, burhan, atau istidlal), serta agama atau wahyu (syar’).Kerja keras Mulla Sadra
telah mengantarkan filsafat Islam menuju babak baru. Melalui metode Al-Hikmah Al-
Muta’aliyah, seseorang akan dituntun untuk mendapatkan pengetahuan tentang realitas
segala sesuatu secara mendalam dan komprehensi serta yang paling penting tidak
bertentangan dengan rasionalitas dan idealisme agama. Dengan demikian, secara singkat
dapat dikatakan bahwa Al-Hikmah Al-Muta’aliyah merupakan filsafat Islam dalam arti
yang sebenarnya.

B.Tokoh-tokoh Filusuf Muslim

1.   Al-Kindi (803-873 M)


Al-Kindi bin Abu Yusuf  Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ialah ilmuan dan filosof besar
Islam yang hidup pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah beliau termasuk filosof muslim
Arab pertama yang merintis jalan bagi masuknya filsafat ke dunia Islam, beliau salah satu
filosof Arab asli keturunan raja-raja keluarga terhormat dengan status sosial tinggi. Ayahnya
pernah menduduki jabatan sebagai gubernur Kufah pada masa Khalifah Al-Mahdi(775-
778M) dan Khalifah Ar-Rasyid(786-809M Yaman di Kindah.Ia lahir pada 180-260 H/809-
873 M di Kuffah, beliau memiliki nama lengkap  Nama Al-Kindi dinisbahkan pada salah
satu suku besar Arab pra-Islam, yakni Kindah. Kakeknya, Al-Ash’ats Ibn Qais, adalah salah
seorang muslim dan bahkan dianggap sebagai salah satu sahabat Nabi SAW., sementara
ayahnya, Ishaq As-Sabbah adalah gubernur Kuffah ketika Daulah Abbasiyah diperintah oleh
Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid, Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha
mempertemukan antara agama dan filsafat, Al-Kindi berpendapat bahwa antara agama dan
filsafat tidak ada pertentangan.
Tentang Metafisika,Sebagaimana disebutkan di atas, Al-Kindi berpendapat bahwa
filsafat yang tertinggi adalah Filsafat Pertama yang membicarakan tentang causa prima
Menurut Al-Kindi, Tuhan adalah Wujud Yang Haq (Sebenarnya) yang tidak pernah tiada
sebelumnya dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya, yang sejak awal dan akan
senantiasa ada selama-lamanya. Tuhan adalah Wujud Sempurna yang tidak pernah didahului
wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain
melainkan dengan perantara-Nya. Dalam pandangannya ini Al-Kindi sejalan dengan
pemikiran Aristoteles tentang Causa Prima dan Penggerak Pertama, penggerak yang tidak
bergerak. Al-Kindi mengajukan pertanyaan yang juga dijawabnya sendiri: “Mungkinkah
sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin?”. Jawabannya adalah:
“Yang demikian itu tidak mungkin”. Dengan demikian, alam ini baru, ada permulaan dalam
waktu; demikian pula alam ini ada akhirnya; oleh karena itu alam harus ada yang
menciptakannya. Karena alam itu baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada
penciptanya, yang mencipta dari tiada (creatio ex nihilo).
Tentang keberadaan Tuhan ini, Al-Kindi memperkuatnya dengan dalil keanekaan alam
wujud dan dalil keteraturan alam wujud. Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin
keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan, demikian pula sebaliknya tidak mungkin ada
kesatuan tanpa keanekaan. Karena alam wujud ini semuanya mempunyai persamaan
keanekaan dan kesatuan, maka sudah pasti hal itu terjadi karena ada Sebab; dan Sebab itu
adalah berada di luar wujud itu sendiri, esksistentinya lebih tinggi, lebih mulia dan lebih dulu
adanya. Sebab itu tidak lain adalah Tuhan. Ia juga mengatakan bahwa keteraturan alam
inderawi ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya Zat yang tidak terlihat. Dan Zat
yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan
dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya. Argumen yang demikian disebut dengan
argumen teleologik.Tentang Epistemologi,menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan
manusiayaitu:pengetahuan inderawi,pengetahuan rasional, dan pengetahuan isyraqi
(iluminatif)
Tentang Etika,menyatakan bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah “budi
pekerti manusia yang terpuji”. Keutamaan ini ada tiga bagian. Pertama yang merupakan asas
dalam jiwa, yaitu: hikmah (kebijaksanaan), najdah (keberanian), dan ‘iffah (kesucian).
Kebijaksanaan adalah keutamaan daya berpikir, yang bisa berupa kebijaksanan teortis dan
praktis. Keberanian adalah keutamaan daya ghadabiyah (gairah), berupa keinginan untuk
mencapai sesuatu sehingga tercapai. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang memang
harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak
diperlukan untuk itu. Kedua, adalah keutamaan-keutamaan manusia yang tidak terdapat
dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan di atas. Dan Ketiga,
hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam ‘keadilan’.

2.      Al-Farabi (872-950M).
Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzlagh al-Farabi. Al-Farabi adalah putera dari seorang
panglima perang Dinasti Samani (874-999M) yang berkuasa di daerah Transoxania dan Persia.
Nama al-Farabi berasal dari nama tempat kelahirannya, yaitu Farab, Transaxonia; dilahirkan
pada tahun 872 M, dan berasal dari keturunan Turki..
Tentang Metafisika,Di antara pemikiran filsafat al-Farabi yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan dan terjadinya alam terlihat dalam pemikirannya tentang ‘filsafat emanasi’. Dalam
filsafatnya ini al-Farabi sebagaimana halnya Plotinus . menerangkan bahwa ‘segala yang ada atau
alam ini memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh’. Antara alam
materi dengan Zat Tuhan terdapat pengantara. Tuhan berpikir tentang diriNya, dan dari
pemikiran ini memancarlah Akal Pertama. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan, dan dari
pemikiran ini memancarlah Akal Kedua. Akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran
ini memancarlah Akal Ketiga. Demikian seterusnya sampai memancar Akal Kesepuluh.
Tentang Jiwa,Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari akal
kesepuluh. Jiwa itu menurutnya memiliki tiga daya, yaitu: daya gerak (al-muharrakah/motion),
yang memuat daya makan, memelihara, dan berkembang; daya mengetahui (al-
mudrikah/cognition), yang memuat daya merasa dan berimaginasi; dan daya berpikir (al-
natiqah/intellection), yang memuat akal praktis (practical intellect) dan akal teoritis (theoritical
intellect).
Tentang Akal,Menurutnya akal atau daya berpikir ini mempunyai tiga tingkat, yaitu:
al-‘aql al-hayulani (akal materil/akal potensiall),al-‘aql bi al-fi’l (akal aktuil/actual intellect); dan
al-‘aql al-mustafad ( aquered intellect). Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima
pancaran yang dikirimkan dari Tuhan melalui akal-akal tersebut. Akal potensial menangkap
bentuk-bentuk dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera akal aktuil
menangkap arti-arti dan konsep-konsep; dan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk
mengadakan komunikasi dengan, atau menangkap inspirasi dari akal yang ada di atas dan di luar
diri manusia, yaitu Akal Kesepuluh atau al-Aql al-fa’al (active intellect), yang di dalamnya
terdapat bentuk-bentuk.

3. Ibn Sina (980-1037 M).


Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Husein ibn Abdillah Ibn Sina. Popularitas
yang diperoleh Ibn Sina melampaui poluplaritas al-Kindi dan al-Farabi. Ia lahir di Afshana,
suatu wilayah dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan
Dinasti Samani. Ibn Sina dikenal di Barat dengan nama atau sebutan Avicenna, dan lebih
dikenal dalam bidang pengobatan dari pada sebagai filosof. Dalam bidang ini karyanya yang
terkenal adalah al-Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa. Untuk bidang ini Ibn Sina mendapat gelar
the Prince of the Physicians.
Tentang Metafisika. Dalam pemikiran filsafatnya mengenai Tuhan dan kejadian alam, Ibn
Sina juga mempunyai ‘faham emanasi’. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal
Pertama memancar Akal Kedua, demikian seterusnya sampai Akal Kesepuluh. Menurut Ibn Sina
akal-akal itu adalah malaikat, dan Akal Pertama adalah malaikat tertinggi, kemudian Akal
Kesepuluh, yang mengatur bumi, adalah Jibril.
Menurut Ibn Sina, Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat wajib wujudnya, karena
ia sebagai pancaran Tuhan; dan sifat mungkin wujudnya, apabila dilihat dari hakekat dirinya,
karena ia sebagai hasil dari sesuatu yang lain. Dengan demikian Akal Pertama mempunyai tiga
obyek pemikiran, yaitu: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mungkin
wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan munculah akal-akal; dari pemikiran tentang dirinya
yang wajib wujudnya munculah jiwa-jiwa; dan dari pemikiran tentang dirinya yang mungkin
wujudnya munculah langit-langit .
Tentang Jiwa. Jiwa manusia yang memancar dari Akal Kesepuluh menurut Ibn Sina dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu: Jiwa Tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang di dalamnya memuat
daya makan, daya tumbuh, dan daya berkembang biak; Jiwa Binatang (al-nafs al-hayawaniyah),
yang di dalamnya memuat daya gerak dan daya menangkap (meliputi menangkap dari luar dan
menangkap dari dalam –indera bersama, representasi, imajinasi, estimasi, dan rekoleksi); dan
Jiwa Manusia (al-nafs al-Nathiqah), yang di dalamnya memuat daya praktis dan daya teoritis.
Tentang Filsafat Kenabian. Nabi atau Rasul dapat menerima wahyu, karena ia mempunyai
kesanggupan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh. Akal Kesepuluh ini dapat disamakan
dengan malaikat dalam pandangan Islam. Nabi atau Rasul adalah manusia pilihan, dan ia dapat
berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh bukan atas usahanya sendiri, melainkan atas pemberian
Tuhan. Para rasul diberi daya imajinasi yang begitu kuat oleh Tuhan, sehingga mereka dapat
berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh tanpa latihan. Dengan imajinasi yang kuat, para Nabi
dapat melepaskan diri dari pengaruh panca indera dan dari tuntutan jasmani. Sementara itu para
filosof dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh adalah melalui akal mustafad dan itu
dilakukan melalui latihan-latihan kontemplasi.

4.      Ibnu Miskawaih (932-1030M).


Abu ‘Ali al-Khazim Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih lahir di Raiy
(Teheran) dan meninggal di Isfahan pada tahun 1030 M.
Tentang Jiwa.Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu:
bahimiyah atau syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat), jiwa atau sikap mental yang
senantiasa mengejar kelezatan jasmani,sabu’iyah (binatang buas), jiwa atau sikap mental
yang senantiasa bertumpu pada kemarahan dan keberanian; dannathiqah (berpikir), jiwa atau
sikap mental yang selalu berpikir tentang hakekat segala sesuatu. Apabila terjadi keselarasan
dalam perimbangan di antara ketiganya, maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada
manusia.
Tentang Kebahagiaan. membedakan antara al-khair (kebaikan) dan al-sa’adah
(kebahagiaan). Kebaikan memiliki corak umum dan menjadi tujuan semua orang; kebaikan
umum bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedang kebahagiaan
adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum tetapi relatif bergantung kepada orang
per-orang.
Kebahagiaan tertinggi menurutnya adalah kebijaksaan yang menghimpun dua aspek,
yaitu hikmah yang bersifat teoritis dan hikmah yang praktis. Hikmah yang bersifat teoritis
adalah bersumber dari pengetahuan yang benar, sedangkan hikmah yang praktis adalah
keutamaan jiwa yang mampu melahirkan budi pekerti yang mulia. Kebahagiaan yang
diperoleh melalui kesenangan jasmani adalah kebahagiaan yang palsu yang pada umumnya
dicari oleh orang awam.
Tentang Cinta, ada dua jenis cinta, yaitu cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia,
terutama cinta seorang murid kepada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada
Allah. Tetapi tipe cinta ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada sesama
manusia adalah kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada
gurunya. Menurut Ibn Miskawaih cinta murid kepada gurunya dipandang lebih mulia dan
lebih berperanan. Guru adalah bapak ruhani bagi murid-muridnya. Gurulah yang mendidik
murid-muridnya untuk dapat memiliki keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap
murid laksana kemuliaan ruhani terhadap jasmani.
Tentang Pendidikan Anak,kehidupan utama pada anak-anak memerlukan dua syarat,
yaitu syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat kejiwaan tersimpul dalam menumbuhkan
watak cinta kepada kebaikan, yang dapat dilakukan dengan mudah pada anak-anak yang
berbakat baik, dan dapat dilatih dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak
berbakat untuk cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua, syarat sosial, dapat dicapai dengan
cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan dari pergaulan dari teman-temannya
yang berperangai buruk.

5. Al-Razi  (863-925M).
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi lahir di Raiy, suatu kota dekat Teheran.
Dalam karir kehidupannya al-Razi pernah menjabat direktur rumah sakit di Raiy dan di
Bagdad. Ia terkenal di Barat dengan sebutan Rhazes dari buku-bukunya mengenai ilmu
kedokteran..
Tentang Agama dan Akal. Al-Razi merupakan seorang rasionalis sejati yang hanya
percaya kepada kekuatan akal, dan tidak percaya kepada wahyu dan perlunya para nabi. Ia
berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk,
untuk tahu Tuhan, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Sekalipun tidak percaya
kepada wahyu dan tidak perlu para nabi, al-Razi tetap sebagai filosof yang percaya kepada
Tuhan.
Tentang Filsafat Lima Kekal. Menurut Al-Razi ada lima hal yang kekal dalam
kehidupan ini, yaitu: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman
Absolut. Lima hal ini kemudian dikenal sebagai doktrin Lima Yang Kekal. Mengenai kelima
hal ini ia menjelaskan:
1) Materi, merupakan apa yang ditangkap dengan pancaindera tentang benda itu
2) Ruang, karena materi mengambil tempat
3) Zaman, karena materi berubah-ubah keadaannya;
4) Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh.
5) Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.

6. Ibn Rusyd (1126-1198M)


Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn
Rusyd. Ibn Rusyd berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia (Spanyol). Tentang
Filsafat dan Agama. Ibn Rusyd memiliki pendapat bahwa antara Islam dan filsafat tidak
bertentangan. Bahkan ia menambahkan bahwa setiap orang Islam diwajibkan atau sekurang-
kurangnya dianjurkan mempelajari filsafat
Tentang Pembelaan Terhadap Filosof. Seperti dinyatakan oleh Al-Gazali, bahwa para
filosof itu telah menjadi kafir karena tiga pendapatnya, yaitu: alam itu bersifat kekal; Tuhan
tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini; dan pembangkitan jasmani tidak ada.
 

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar,pemikiran rasional, kritis, sistematis,
dan radikal tentang
suatu obyek”. Obyek pemikiran kefilsafatan adalah segala yang ada, yaitu Tuhan, manusia
dan alam dimana ada dua macam pemikiran yakni filsafat islam dan filsafat barat dimana
banyak tokoh-tokoh yang mengemukakan pemikirannya mengenai kedua filsafat
tersebut.yang diharapkan semua manusia mamahami makna filsafat itu sendiri dalam koridor
islam.
Aliran-aliran filsafat islam
1.Aliran peripatik
2. Aliran illuminasionis
3.Aliran irfani
4. Aliran hikmah muta’aliy
Tokoh-tokoh filsafat islam
1. Al-Kindi (803-873 M)
2. Al-Farabi (872-950M).
3. Ibn Sina (980-1037 M).
4. Ibnu Miskawaih (932-1030M).
5. Al-Razi  (863-925M).
6. Ibn Rusyd (1126-1198M)

DAFTAR PUSTAKA
Davies, Brian, The Thought of Thomas Aquinas, Clarendon Press, Oxford 1993, -Gilson,
 Etienne, The Philosophy of St. Thomas Aquinas, New York 1948,
Ralph, St University of Notre Dame Press, Notre Dame ,London 1982, -Saranyana,
 Joseph, History of Medieval Philosophy, Sinag-Tala, Manila 1996, hal.
Mayer, Frederick. A history of Medieval & Ancient Philosophy. New York Tokoh Filsuf  Barat
Dari Abad 6  Sm– Abad 2

Nabilldaffa, blogspot.co.id/20012/01/epistomologi-irfani.html.
Susanto, Edi, 2009, Filsafat Islam, Stain Pamekasan_press.
 Mulyahadi Kartanegara “Gerbang Kearifan” hal. 27
Abu ridla, M. Rasail al kindi al falsafiyah, Cairo 1953. Hal 294-295, 258, 273 dan
bandingkan dengan pandangan piomandres dalam nock, A D. Dan festungiere,  A J, corpus
Hermetikum, 1, paris, hal 25 dst. Dalam fakhry, Madjid, hal 135.
Drs. Poerwantana dkk, seluk beluk filsafat Islam, remaja rosdakarya, abndung, 1994, hal,
133.
T. Akhyar D. sebuah kompilasi filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, 1993, hal. 26.

Anda mungkin juga menyukai