Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Polemik tentang penamaan Filsafat Islam merupakan perbincangan yang


sempat mencuat dikalangan para para ilmuwan, karena term Islam yang melekat
padanya lebih didasarkan pada faktor kultural-historis.

Ketika filsafat muncul dalam dunia islam, kemudian berkembang dan


dibicarakan oleh orang-orang Arab seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain-
lain, maka kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan,
pendapat serta pemikiran mereka dan menyebutnya sebagai “kaum filosof muslim”1.
Penamaan tersebut didasarkan karena pemikrian filsafat itu lahir di negeri islam dan
dibawah pengayoman Negara islam. Meski pada perkembangan pembahsanya banyak
terkait dengan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani, akan tetapi tema-tema yang
dibahas tidak terlepas dari upaya interpretasi makna-makna yang tersurat dalam kitab
suci Al-Qur’an. Perbedaan yang mendasar filsafat Islam dari filsafat lainnya adalah
terletak pada pondasi epistemilogis yang dijadikan pijakan dalam mencari kebenaran.

1.1 Epistemologi Islam

Epistemologi sering didefiniskan sebagai cabang filsafat yang mengadakan


penyelidikan terhadap sumber, susunan metode, validitas, teori dan segala sesuatu
yang membentuk pengetahua2. Dalam pembahasan umum terdapat tiga sumber
pengetahuan antara lain : akal, indra dan intuisi.
Aliran rasionalisme yang berorientasi pada kekuatan akal dalam menemukan
kebenaran, empirisme yang berorientasi indra dan instuisi dengan kekuatan rasanya,
dalam epistemologi Barat ketiganya dapat membentuk formasi secara paralel.
Berbeda dengan epistemologi Islam formasi ini tidaklah ditemukan. Di dalam Islam
sumber utama pengetahuan adalah teks kitab suci Al-Qura’an, karena sumber inilah
yang dianggap memiliki validitas paling absah dibanding sumber lainnya.

1
Fuad Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta, Pustaka Firdaus,1995), hlm.8
2
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, trj Soejono Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1987 ), hlm 76

1
Sebagai agama wahyu, Islam menjadikan teks Al-Qur’an sebagai sebuah
sumber otoritatif, sehingga sumber-sumber pengetahuan lainya merupakan sumber-
sumber yang bersifat sekunder. Sehingga hubungan yang dibangun diantara sumber
pengetahuan tersebut lebih bersifat hirarkis dengan wahyu sebagai sumber utamanya .
Untuk itu berbicara tentang epistemologi Islam pembicaraan awalnya bisanya tertuju
pada upaya memposisikan hubungan antara Al-Quran dan Wahyu. Menurut Harun
Nasution3 bahwa pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolute dan
mutlak benar sedangkan pengetahuan yang diperoleh akal bersifat relative, mungkin
benar-mungkin salah.

Wahyu berfungsi sebagai pokok (ashl) sedangkan akal sebagai dan lainya
berfungsi sebagai cabang-cabang (furu’). Furu’ harus tunduk kepada ashl. Prosedur
semacam ini menurut katagorisasi Al-Jabiri disebut sebagai episteme bayani, yaitu
prosedur yang menonjolkan peran teks wahyu dalam menghasilkan pengetahuan.
Prosedur ini dibedakan dari prosedur episteme burhani dan episteme irfani , dimana
episteme burhani mengandalkan kemampuan akal dan episteme irfani mengandalakan
kemampuan intuisi4. Dengan demikian proses yang terjalin dalam epistemologi Islam
tidaklah bisa disamakan dengan proses yang terjadi dalam epistemologi barat yang
menyetarakan akal dengan indra atau intuisi.

1.2 Urgensi Filsafat dalam Islam

Pembahasan epistemologi merupakan salahsatu bagian dari pembahasan


filsafat yang memposisi akal sebagai salahsatu sumber pengetahuan untuk
memperoleh kebenaran.

Kata akal merupakan bahasa arab yang sudah menjadi bahasa Indonesia,
berasal dari kata “al-‘aql” yang berarti mengikat5. Kata tersebut dalam hanya
ditemukan dalam bentuk derivasinya berupa kata ‘aqoluh sebanyak 1 ayat, ta’qilun
sebanyak 24 ayat, na’qil sebanyak 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qiluun 22 ayat.
Kata kata itu datang dalam arti faham atau mengerti.

3
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta, UI Press,1986), hlm.1
4
Sibawaihi, Hermenetika Al-Qur’an Fazlur Rahman ( Yogyakarta, Penerbit Jalasutra , 2007 ), hal. 39.
5
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, ( Yogyakarta, Pustaka Progresif,1984 ), hlm.956

2
Beberapa ayat yang berbicara dengan menggunakan kata derivasi akal tersebut
diantaranya adalah :

o “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang tahu”6
o “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya)
supaya kamu memahaminya”7
o “Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala.”8
Demikian rekognisi akal dalam Al-Qur’an yang menempatkan hal tersebut dalam
posisi yang sangat penting dalam memahami pesan-pesan Tuhan.

Menurut Fazlur Rahman penciptaan gagasan ilmiah lewat akal adalah aktivitas yang
nilainya paling tinggi menurut Al-Qur’an9 . Bahkan menurut Ibn Taimiyah, akal lebih
merupakan instrument pada manusia untuk sampai pada kebenaran10.
Selain kata Al-Aql dalam kata yang lain Al-Qur’an berulangkali menekankan
perlunya manusia merenungi dan mengamati alam, sejarah dan kehidupan bathinya.
Penggunaan akal haruslah ditempatkan secara pada posisi yang proposional. Dalam
kontek interpretasi ayat Al-Qur’an, akal ditempatkan pada posisi ke empat setelah
Ilmu Bahasa Arab, Asbabun Nuzul , dan Sunnah ( tradisi historis yang berisi riwayat-
riwayat dimana orang-orang dilingkungan Nabi memahami perintah Al-Qur’an ).
Namun meskipun demikian ketiga hal tersebut tidak mungkin dipahami kecuali oleh
akal itu sendiri.
Setelah kita memahami konsep epistemology yang merupakan bagian dari
filsafat yang menempatkan posisi penting akal dalam memahami realitas dan peran
penting akal itu sendiri dalam Al-Qur’an maka dapat dikatakan bahwa pentingnya
filsafat dalam Islam sejalan dengan pentingnya peran akal itu sendiri dalam
memahami pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

6
QS. Al-Ankabuut : 43 ; menggunakan kata “aqiluun”
7
QS. Al-Baqarah : 242 ; menggunakan kata “ta’ qiluun”
8
QS. Al-Mulk : 10 ; menggunakan kata “na’qilu”
9
Sibawaihi, Op.Cit, hal. 47
10
Budhi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurchloish Madjid (Digital), ( Jakarta, Yayasan Abad Demokrasi , 2012 ), hal. 102

3
1.3 Al-Gahazali dan Pemikiran Islam

Membicarakan tentang pemikiran Islam, lebih khususnya filsafat Islam tidak


akan lengkap jika tidak mencantumkan nama al-Ghazali. Pemikri Islam ini memiliki
keunikan dalam hal kompetensi ilmu agama yang ia miliki. al-Ghazali memiliki
berbagai kemampuan yang dianggap mumpuni di berbagai bidang pengetahuan.
Karenanya, tidaklah mengherankan bila banyak sebutan yang dialamatkan
terhadapnya. Mulai dari teolog, fuqoha, filosof sampai sebutan sufi.

Banyaknya sebutan yang dialamatkan terhadapnya mencerminkan wawasan


keilmuannya yang begitu luas dan dalam. Kita bisa melihat khasanah keilmuwan al-
Ghazali dari karya-karyanya yang sangat banyak yang masih tersimpan hingga
sekarang. Kitab Tahafut al-falasifah ( Incoherece of Philosophers ) merupakan karya
monumental al-Ghazali di bidang filsafat yang sangat terkenal dengan kritiknya atas
pemikiran para filosof terutama Ibnu Sina dan Al-Farabi. Namun dibalik
kemampuannya diberbagai bidang Ilmu keislaman, al-Ghazali tidak terlepas dari
kritik para pemikir sesudahnya baik klasik maupun kontemporer. Adalah Ibnu Rusyd
( Averoes ) yang merupakan pemikir setelahnya, yang dengan fenomenal membuat
tanggapan kitab Tahafut al-falasifah melalui karyanya Tahafutut Tahafut (Rancunya
[Kitab] Kerancuan) yang merupakan kritik atas Tahafut al-falasifah 11
.

Fakta bahwa al-Ghazali telah menyerang filsafat sering disebut-sebut sebagai


pemicu stagnasi pemikiran ummat Islam khusunya dalam mazhab Sunni. Dikotomi
yang dilakukan al-Ghazali terhadap ilmu agama (sacral) dan nonagama (profane) dan
penolakannya terhadap filsafat adalah bulan-bulanan yang dilakukan pada karya
kritisisme Fazlur Rahman12. Selain Rahman, salah satu yang menyebut al-Ghazali
sebagai penyebeb kemunduran di dunia Islam adalah Philip K. Hitti. Dalam salah satu
karya besarnya, History of The Arab, Hitti menuturkan ;
“ Mazhab Skolastik yang dibangun oleh al-Ghazali dan al-Asy’ari menahan laju perkembangan
Islam hingga saat ini. Berbeda dengan Kristen yang terus bergerak berkat ajaran
Skolastisismenya, khususnya sejak terjadinya revolusi Protestan. Sejak saat itu, Barat dan Timur
mengambil dua arus jalan yang berbeda. Barat terus maju, sementara Timur jalan di tempat ”. 13

11
Fuad Ahwani, Op.Cit, hlm.8
12
Sibawaihi, Op.Cit, hal. 27
13
Hitti, Philip K., History of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Serambi, Jakarta: 2006, cet. II,
hal. 546

4
Di Indonesia, bangunan dasar filsafat Ibn Rusyd yang mengkritik al-Ghazali
juga banyak diikuti, terutama kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam sebuah
artikel, seorang aktifis Islam Liberal mengkritik al-Ghazali. Isi artikel tersebut
merupakan wawancara salah seorang kordinator JIL, Luthfi Syaukani. Inti dari
wawancara tersebut adalah bahwa yang rancu sebenarnya bukan para filosof, akan
tetapi kerancuan itu justru ada dalam diri sendiri. Al-Ghazali-lah yang mengalami
kerancuan, persis seperti yang diisyaratkan oleh judul kitab Ibn Rusyd, Tahâfut at-
Tahâfut.

Al-Ghazali dianggap mengalami kerancuan, misalnya, karena sebenarnya ia


tidak mengerti secara sungguh-sungguh persoalan filsafat-metafisis yang ia tuliskan
dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah. Menurut Luthfi al-Ghazali rancu karena
perspektif yang digunakannya dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah, adalah perspektif
polemis (jadalî), bahkan kadang terjatuh pada level khatthâbi (retoris), dan bukan
perspektif kaum filosof, yakni perspektif burhânî (demonstratif). Perspektif polemis
(jadalî) adalah perspektif para teolog, bukan perspektif filosofyang tidak cocok untuk
digunakan pada persoalan-persoalan filosofis-metafisis. Menurutnya prototype al-
Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Jadi inti-diri al-Ghazali sebenarnya adalah
seorang sufi. Karena itu, bila dia mencoba masuk ke zona lain, maka hasilnya adalah
kerancuan. 14

1.4 Rumusan Masalah

Dari asumsi inilah maka dirumuskan beberapa hal dari sosok al-Ghazali yang
kontroversial keberadaanya dalan kajian pemikiran filosof muslim dengan rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah latar belakang sosio-historis kehidupan al-Ghazali ?


2. Bagaimanakan karya-karya Al-Ghazali menyerang filsafat ?
3. Apakah al-Ghazali termasuk dalam katagori filosof ?

14
www.islib.com, “Siapa Yang Rancu; para filosof atau al-Ghazali”, Ahad, 25 November, 2007

5
1.5     TUJUAN PENULISAN

Melalui tulisan ini, penulis bertujuan untuk membahas al-Ghazali dari


beberapa sisi yang menyangkut antara lain :

a) latar belakang kehidupan al-Ghazali,


b) karya-karyanya, dan
c) fase-fase pemikiran yang dilaluinya, sehingga ia sampai pada pemikiran yang
pengaruhnya besar terhadap peradaban dunia, baik di Islam maupun di Barat.

Selain daripada tujuan nilai yang berupa angka atau huruf karena untuk
memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Sejarah Filsafat Islam. Lebih jauh penulis
mencoba ingin memahami lebih dalam tentang al-Ghazali baik dari sisi biografinya,
karya-karya dan fase-fase kehidupan yang melatar belakangi semua aspek
pemikiranya.

1.6     METODE PENULISAN

Metode yang digunakan dalam penyusunan tugas ini adalah melalui studi
kepustakaan terhadap buku-buku dan artikel-artikel lainya yang relevan dengan
konteks pembahasan. Tentunya sumber-sumber yang terlibat masih sangat sederhana
dan sekunder karena lebih di dominasi oleh buku-buku terjemahan yang disusun oleh
para pengkaji al-Ghazali.

Penulis sadar diri bahwa tulisan ini amatlah sederhana banyak memuat
kekurangan, bahkan mungkin banyak kesalahan. Karenanya, kritikan dan masukan
dari para pembaca akan sangat berguna bagi penulis. Mudah-mudahan, dari tugas ini
bisa memberikan manfaat, terutama bagi penulis sendiri, dan lebih umumnya bagi
para pembaca sekalian.

6
BAB II
AL-GHAZALI DALAM FILSAFAT ISLAM

2.1 . Biografi Al-Ghazali

Abu Hamid Al-Gazali dilahirkan di pertengahan abad kelima Hijriyah


tepatnya 450H/1059 di sebuah kota kecil Gazeleh yang terletak di dekat Thus di
Khurasan (Iran)15. Al-Ghazali berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan ta’at
menjalankan agama. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali As-Syafe’i. Menurut beberapa sumber
nama tersebut diambil dari kelahirannya yaitu Ghazalah di Thus. Ath-Tusi dipastikan
mewakili kota kelahiranya dan As-Syafei merupakan nama yang disandarkan kepada
Imam Mazhab yang menjadi rujukan fikih yang dirinya sebagai syafe’iyah.

Secara umum Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filosof, teolog, ahli hukum,
penganut madzhab Imam Syafi’i,dan ahli tasawuf. Bahkan ia tergolong sebagai
seorang tokoh sufi berpengaruh. Meskipun dia dianggap sebagai tokoh sufi, namun
bukan berarti dia tidak melakukan kritikan terhadap sifat-sifat orang sufi yang
melampui batas. Kesungguhan al-Ghazali dalam hal ilmu telah terlihat semenjak
kecil. Di masa mudanya dia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan. Dia belajar fiqih
kepada Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani Al-Thusi. Ketika berumur 25 tahun,
Al-Ghazali berguru kepada Ali Nashr Al-Ismail, seorang ulama terkenal di Thusi.
Kemudian ia menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah
al-Nizamiah Nisyapur . Dibawah asuhan Al-Juwaini beliau belajar ilmu fikh, ushul,
mantiq dan kalam hingga sang guru Al-Juwaini meninggal dunia. Pada tahun 484 H,
al-Ghazali diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizamiyah di Bagdad, dan
disinilah ia mencapai puncak yang prestisius dalam karir keilmuannya. 16
Dengan perantara Imam al-Juwaini, al-Ghazali berkenalan dengan Nizam al-
Mulk, perdana menteri sultan Saljuk Maliksyah. Nizam al-Mulk adalah orang
terkemuka di pemerintahan dan pemimpin yang benar-benar memperhatikan ilmu. Ini

15
Harun Nasution ,Filsafat dan Mistisisme Islam, ( Jakarta : Penerbit Bulan-Bintang, 2010 ). hal.29
16
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, terj. Ahmad Maimun;, (Yogyakarta : Penerbit Islamika,2003).hal.xxix

7
dibuktikannya dengan mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah untuk
mendorong perkembangan ilmu. 17
Kepandaian al-Ghazali dalam berdebat dengan argumentasi yang kuat, telah
menarik perhatian Raja Nizam. Selain itu, karya-karya briliyan dan orisinalitas yang
dibuatnya pada masa itu semakin membuat kagum Raja Nizam, sehingga pada tahun
1091 M, dia ditetapkan menjadi rektor pada Universitas Nizamiyyah di Bagdad. Saat
itu al-Ghazali berumur 33 tahun. Di tempat inilah al-Ghazali mulai menulis berbagai
kitab. Melalui buku-buku yang ditulisnya itu, al-Ghazali mulai dikenal di masyarakat
luas.
Ketika puncak kejayaan ada dalam dirinya, al-Ghazali melepaskan jabatannya
sebagai rektor, setelah dipegangnya selama empat tahun. Ia bermasalah dengan
keraguan dalam kepercayaannya pada pendapat-pendapat teologi tradisional (kalam)
yang diperolehnya dari al-Juwaini. Sebagaimana diketahui, di dalam ilmu kalam
terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Hal tersebut menimbulkan
pertanyaan dalam diri al-Ghazali; aliran manakah yang betul-betul benar di antara
berbagai aliran kalam itu. Selain itu, al-Ghazali juga menganggap bahwa metode yang
ditawarkan oleh kalam tidak cocok menjadi obat penawar keraguan yang
dideritanya18. Karena persoalan itulah ia keluar dari Madrasah Nizamiyah menuju
pengasingan di padang pasir selama sembilan tahun. Selama rentang waktu tersebut ia
berkunjung ke Syam, Hijaz dan Mesir kemudian kembali ke Niysabur. Setelah itu, ia
kembali ke Thus dan mengembuskan nafasnya terakhirnya pada bulan Jumadil Akhir
Tahun 505 Hijriyah19. Catatan bahwa ia merupakan seorang yang konsen terhadap
seluruh bidang Ilmu keislaman sejak usia muda adalah ungkapanya 20 :
“ Ketika memasuki usia baligh dalam gejolak muda, aku telah melompat kedalam samudera ini. Aku berenang seperti
pemberani, bukan seperti pengecut. Menyelam dan memasuki setiap ruangan yang diselimuti kegelapan, lalu aku meneliti
berbagai persoalan dan kerumitan serta menggali problema akidah setiap aliran dan menyingkap rahasia setiap kelompok dan
mazhab. Semuanya aku lakukan dalam upaya membedakan secara gambling antara yang menyuarakan kebenaran dan kebatilan,
antara penyebar ajaran yang asli dan yang palsu. Aku menyelami doktrin kaum Bathiniyah karena tertarik menyelami kedalaman
aspek batinnya. Saya mendalami doktrin Zahiriyyah, untuk mengukur kemampuan pandanganya yang berdasar aspek lahir. Saya
tidak mengarungi filsafat, kecuali karena saya ingim mengetahui hakikat kebenaran filosofisnya. Aku merambah dunia teologi
(kalam), karena ingin tahu puncak kecanggihan pola-pola logika yang digunakannya, saya memasuki dunia tasawwuf, karena
ingin tahu rahasia kesufiannya, saya mencermati ahi ibadah , karena ingin melihat apa yang mereka peroleh dari ibadah yang
dilakukannya. Aku mengenali orang-orang zindiq dan ateis (mu’atillah), untuk meneliti lebih jauh tentang sesuatu yang ada
dibalik keyakinannya supaya bias mengetahui factor dan sebab apa yang mengiringnya pada sikaf dan keyakinannya tersebut.”

17
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bandung : Yayasan Piara, 1997), hal.136
18
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam, (Raja Grafindo Pustaka. Jakarta, 2000), hal 160
19
Abu Hamid Al-Ghazali, Op.Cit, .hal.xxix
20
Ibid ,hal. xxx

8
2.2 Kondisi Sosial-Politik masa hidup Al-Ghazali

Pemikiran seseorang biasanya dipengaruhi oleh iklim lingkungannya. Abad


ke-11 adalah abad di mana manusia pada saat itu diliputi oleh kebingungan spiritual.
Selain itu, kekacauan politik dalam imperium Abbasiyah mewarnai kondisi zaman
saat itu. Pada tahun 1055 M, atau tiga tahun sebelum al-Ghazali lahir, ibu kota
Abbasiyah yaitu Baghdad, jatuh ke tangan kekuasaan Turki Saljuk setelah lebih satu
abad diperintah oleh amir-amir Buwaihiyyah yang menganut aliran Syiah21.

Selain terjadi kekacauan politik dan kebingungan spiritual, pada abad ke-11 M
ini juga berlangsung perdebatan antara filosof dan para teolog dalam menafsirkan
ajaran-ajaran agama. Meskipun terjadi perdebatan antara filosof dan teolog, menurut
al-Ghazali, seperti dijelaskan sebelumnya, pada akhirnya para teolog juga sebenarnya
meminjam metode para filosof untuk melawannya. Para filosof pada saat itu, banyak
yang melupakan ilmu-ilmu agama, lebih menyukai ilmu-ilmu eksak, seperti
astronomi, fisika, kimia, matematika dan ilmu eksak lainnya. Faktor inilah yang
menjadi penyebab al-Ghazali menulis buku Ihya Ulum al-Din (menghidupkan ilmu-
ilmu agama).
Pada saat itu pula, dalam diri para filosof muncul gejala berkecamuknya
pikiran bebas yang banyak membuat orang meninggalkan ibadat, sehingga al-Ghazali
membuat buku Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filosof). Buku ini, menurut M.
Natsir, dapat dikatakan bahwa isi kandungannya banyak menyerang para filosof.
Sebelum membuat buku ini, al-Ghazali terlebih dahulu membuat buku Maqashid al-
Falasifah (maksud ahli filsafat). Buku yang kedua ini (Maqashid al-Falasifah),
sengaja disusunnya untuk mengumpulkan terlebih dahulu bahan-bahan atau teori-teori
filsafat yang nantinya akan ia kritik dalam kitab Tahafut al-Falasifah.
Argumenargumen yang dilontarkan al-Ghazali kepada para filosof, sangatlah kuat,
sehingga tak ada orang yang mampu menandinginya ketika waktu itu. Julukan
Hujjatul Islam dan Zainuddin didapatkannya karena kecerdasan yang dimilikinya
ketika berhujjah dengan para filosof 22.

21
Muhamad Natsir, 1998. Kebudayaan Islam; Dalam Presfektif Sejarah, ( Jakarta : Grimukti Pusaka ). hlm.171
22
Ibid, hlm. 170

9
2.3 Karya-Karya Al-Ghazali

Sebagai pemikri Islam yang memiliki pengetahuan multi disipliner, maka


tidak mudah kita mengatagorikan dirinya pada spesifikasi bidang tertentu, karena
keilmuanya masuk dalam berbagai disiplin ilmu dalam agama Islam. Beberapa karya
karya Al-Ghazali yang popular antara lain :

Di bidang Ilmu Kalam dan Teologi ;


1) Maqashid al-Falasifah
2) Tahafut al –Falasifah
3) Al- Iqtishad fi al-I'tiqad
4) Al-Munqid fi al-Dhalal
5) Al-Maqashidul Asnafi Ma'ani Asmillah AJ-Husna
6) Faishatui Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
7) Al Qishasul Mustaqim
8) Al- Mustadhiri
9) Hujjatul Haq 
10) Musfinil Kliilafi Ushuluddin
11) Al-Munthaha fi Ilmi al-Jidad
12) Al-Madnun bin ‘ala Ghairilii Ahlihi
13) Mahkun Nadlar
14) Asrar Ilmiddin
15) Al-Arba'in fi Ushuluddin
16) Ijmalul Awwam 'an Ilmil Kalam
17) Al-Qull Jamil fi raddi' ala Man Ghayarul Injil
18) Mi'yarul Ilmi
19) Al- Istishar
20) Isbatun Nadlar

Di bidang Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh ;


1) Al-Basith
2) Al-Wasith
3) Al-Qajiz
4) Khulashatui Mukhtashar
5) Al- Musytasyfa
6) Al-Manqul
7) Syafakluil 'Alii fi Qiyas watta'lil
8) Adz-Dzari'ahilaMakarimisSyari'ah

10
Di bidang Ilmu Akhlaq dan Tasawwuf ;
1) Ihya' Ulumuddin
2) Mizanul Amal
3) Kimiyaus Sa'adah
4) Misykatui Anwar
5) Minliajul Abidin
6) 'Adalah Daranil Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah
7) Al-Ainis fil Wahdah
8) Al-QurbanIlallah'AzzaWajalla
9) Akhlaq Al- Abrar wan Najat inin al-Asrar
10) Bidayatui Hidayah
11) Al-Mabadi wa al-Ghayah
12) Tablis al-Iblis
13) Al-Ulum al- Laduniyah .
14) Al-Ma'khadz
15) Al-Amali

Di bidang Tafsir ;
1) Yaqut Ta'wil fi Tafsirit Tansil
2) JawahirAl-Qur'an.

Al Ghazali merupakan ulama yang sangat produktif dalam menciptakan karya


tulis. Kegiatan dalam bidang tulis menulis tidak pemah berhenti sampai ia meninggal
dunia. Beliau menulis hampir 100 buku yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan,
seperti Ilmu Kalam (Theologi Islam), Fiqif (Hukum Islam), Tasawuf, Filsafat,
Akhlak dan Otobiographi yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. 

Dengan melihat berbagai karya yang telah dihasilkanya, maka dapat kita lihat
bahwa al-Ghazali memiliki pengalaman yang panjang dalam pengembaraan
Intelektualnya, sehingga ia pada akhirnya bertemu dengan keyakinanya ( al-ilmu al-
yaqin ) sebagai pengetahuan yang didambakan, yang menyingkap objek pengetahuan
sehingga tidak lagi menyisakan keraguan, tidak lagi mengusung kemungkinan
kesalahan, dan tidak memberikan ruang dalam jiwa untuk mengetahui berdasarkan
perkiraan.

11
2.4 Fase-Fase Pemikiran

Dalam sejarah filsafat Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang pada mulanya
syak terhadap segala-galanya. Perasaan syak itu kelihatanya timbul dalam dirinya dari
pelajaran ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Sebagaimana
diketahui dalam ilmu kalam terdapat aliran-aliran yang saling bertentangan. Timbulah
dalam diri Al-Ghazali pertanyaan : aliran manakah yang betul-betul benar diantara
aliran itu ? 23

Pada awalnya al-Ghazali yakin, bahwa kebenaran bisa dicapai melalui panca
indra. Al-Ghazali pernah mengungkapkan; “Sekiranya ada orang yang mengatakan
bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia
jadikan ular, dan hal itu memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat
kemampuannya, dan sungguhpun demikian, keyakinan saya bahwa sepuluh lebih
banyak dari tiga tidak akan goyah”. 24 Akan tetapi kemudian ternyata bahwa panca
indra juga berdusta. Sebagai umpama ia sebut :

o Bayangan (rumah) kelihatanya tak bergerak, tetapi akhirnya ternyata


berpindah tempat.
o Bintang-bintang dilangit kelihatanya kecil, tetapi perhitungannya menyatakan
bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.
Karena panca indra bisa menipu, maka Al-Ghazali mengalihkan kepercayaanya pada
akal. Akan tetapi pada akhirnya akal tidak mampu memberikan kepercayaan, karena
pada saat mimpi orang merasa apa yang dialaminya adalah benar. Sedangkan pada
saat ia sadar ia akan merasa bahwa hal itu tidaklah benar (ilusi).

Alasan lain yang membuat kepercayaaan al-Ghazali terhadap akal menjadi


goncang adalah, adanya kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam aliran-aliran
teologi seperti telah disebutkan, yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan
(kebenaran). Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan
kontradiktif tersebut. Pada fase inilah Al-Ghazali berada dalam fase keraguan
(skeptis).

23
Harun Nasution, Op.Cit. , hal. 36.
24
Ibid,

12
Dari keraguanya tersebut kelihatanya Al-Ghazali untuk menyelidiki apakah
pendapat-pendapat yang dikemukakan filosof-filosof adalah kebenaran. Menurutnya
argument-argumen yang dikemukakan para filosof tidak kuat dan ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga akhirnya mengambil sikap
menentang terhadap filsafat. Pada waktu inilah ia mengarang kitab Maqosid Al-
Falasifah (“Pemikiran Kaum Filosof”) . Dalam buku ini ia menjelaskan pemikiran-
pemikiran para filosof terutama menurut Ibnu Sina. Buku itu dikarangnya untuk
kemudian mengkritik dan menghancurkan filsafat dalam Tahafut Al-Falasifah .
25

Masih Pada fase ini al-Ghazali ini juga al-Ghazali banyak menghasilkan
karya-karyanya dalam ilmu kalam. Namun setelah ia tidak puas dengan ilmu kalam
dan filsafat, ia meninggalkan kedudukanya yang tinggi di madrasah Nizamiah Bagdad
pada tahun 1095 dan pergi ke Damaskus, betapa di salah satu menara Masjid Umawi
yang ada di sana mengembara sebagai sufi hingga kembali lagi ke Thus dan
meninggal di sana.26

Pada perjalan ruhaninya, al-Ghazali menemukan keyakinan tentang kebenaran


melalui tasawuf. Baginya, kebenaran yang hakiki hanya bisa didapatkan melalui
pembersihan diri, jiwa dan hati. Jika ketiga komponen tersebut sudah bersih dan suci,
niscaya seseorang akan dengan mudah mendapatkan kebenaran. Kebenaran yang
bersumber dari ilahi (ilham) yang didapatkan melalui hati (intuisi) yang suci, yang
bersih dari unsur-unsur luar. Bagi al-Ghazali, untuk mendapatkan kesucian hati maka
diperlukan usaha-usaha semacam riyadhah, latihan-latihan ruhani.

Masih menurut al-Ghazali, kalbu (hati) dapat menerima dua metode


mendapatkan ilmu, yaitu metode penelitian dan intuitif (al-Dzawq). Berbagai jenis
ilmu bisa digiring masuk ke dalam hati melalui sungai-sungai panca indera dan
penelaahan alam semesta, sehingga kalbu dipenuhi dengan ilmu. Di sisi lain,deras
laju saluran panca indera yang menggiring ilmu bisa dibendung dengan kontemplasi
(‘uzlah) dan pemejaman mata dengan tujuan menyucikan hati, mengangkat seluruh
penutup yang menyelimutinya sehingga memancar sumber-sumber darinya. Pada fase
inilah Al-Ghazali berada dalam fase pencerahan spiritual (sufistis).
2.5 Tentang kitab Tahafut al-Falasifah
25
Ibid, hal. 30-31.
26
Ibid,

13
Al-Ghazali merupakan yang pertama yang mendalami filsafat dan sekaligus
mengeritiknya, hal ini jarang dilakukan filosof lain sebelumnya. Dalam mengkritik
pendapat para filosof, Al-Ghazali menyusun sebuah kitab yang berjudul Tahafut al-
Falasifah. Dalam buku ini, al-Ghazali memberikan kritik terhadap dua puluh
permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah : Alam qadim (tidak
bermula), Alam kekal (tidak berakhir), Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan tidak
dapat diberi sifat al-Jins (jenis) dan al-Fasl (diferensial), Tuhan tidak mempunyai
Mahiyyah (hakekat), Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat(perincian yang ada di alam),
Planet-planet adalah bintang-bintang yang bergerak dengan kemauan, Jiwa-jiwa
planet mengetahui Juz’iyyat, Hukum tidak berubah, Jiwa manusia adalah substansial
yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan pula ‘arad (accident), Mustahilnya jiwa
hancur, Tidak adanya kebangkitan jasmani, Adanya tujuan bagi gerak planet.
Begitupula tentang Ketidak sanggupan mereka (filosof) membuktikan : Tuhan
adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan, Adanya Tuhan, Mustahilnya
ada dua Tuhan, Tuhan bukanlah tubuh, Tuhan mengetahui esensinya, Tuhan
mengetahui wujud lain, Alam yang qadim mempunyai pencipta.

Tahafut al-falasifah adalah kitab yang dibuat oleh al-Ghazali saat ia menjabat
di Madrasah an-Nidhomiyah Bagdad. Isi dari tahafut al-falasifah adalah sanggahan-
sanggahan al-Ghozali pada hasil pemikiran filsafat Yunani terutama yang dibawa oleh
Ibnu Sina dan Al-Farabi.

Terdapat 20 perkara pemikiran filsafat yang dikritik dan coba diruntuhkan


oleh al-Ghozali. Dalam 20 persoalan tersebut terdapat 3 persoalan yang oleh al-
Ghozali yang dibantah logikanya dan dibantah hasil pemikirannya serta dikafirkan
jika mempercayainya, yaitu keqodiman Alam, Allah tidak mengetahui partikularia-
partikularia dan pengingkaran filosof akan kebangkitan jasmani di hari akhir. Sedang
17 persoalan sisa adalah persoalan-pesoalan yang dibantah logikanya tapi belum tentu
subtansinya. Sanggahan-sanggahan itu antara lain :
1) Sanggahan atas pandangan para filosof tentang entitas eternitas alam 27

2) Penolakan terhadap keyakinan para filsuf atas keabadian Alam, masa dan ruang. 28

27
Abu Hamid Al-Ghazali, Op.Cit, .hal.1
28
Ibid, .hal.49

14
3) Ketidakjujuran para para filosof dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam dan alam adalah ciptaannya, dan keterangan bahaw hal tersebut adalah majaz
(perumpamaan) dan bukan hakikatnya 29
4) Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan ada(wujud)nya pencipta alam 30.
5) Kelemahan para filosof dalam mengemukakan dalil (rasional) bahwa Tuhan adalah
satu dan kemustahilan adanya dua Tuhan, wajib al-wujud, yang masing-masing tiada
illah (sebab)31.
6) Sanggahan tentang negasi sifat-sifat Tuhan 32.
7) Sanggahan terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan 33.
8) Batalnya pendapat Filosuf: Wujud Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan adalah
wujud yang murni, bukan mahiyah(hakikat sesuatu-al-kautsar) dan bukan hakikat
yang wujud Tuhan disandarkan padanya. Tapi wujud al-wajib seperti mahiyah bagi
yang lainnya34.
9) Ketidakmampuan filosof untuk membuktikan, dengan arumen rasional bahwa Tuhan
bukan tubuh (jism)35.
10) Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan , melalui dalil rasional, adanya sebab
atau pencipta alam 36.
11) Kelemahan pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang
lainnya dan bahwa Dia mengetahui Species (al-anwa) dan Genera (jins) secara
universal (bi naui kulliat) 37.
12) Ketidakmampuan para filosuf untuk membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui
Dirinya sendiri38 .
13) Gugurnya pendapat para Filosuf bahwa Tuhan tidak mengetahui Partikularia-
partikularia yang dapat dibagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam “telah”,
“sedang” dan “akan”39.
14) Ketidakmampuan para filosuf untuk membuktikan bahwa langit adalah makhluk
hidup (hayawan), dan mematuhi Tuhan melalui geraknya 40.
15) Sanggahan terhadap yang filosuf sebut tujuan yang menggerakkan langit 41.
16) Kelemahan teori para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua partikularia-
partikularia yang bermula (al-juziyyat al-haditsah) didalam alam ini 42.

29
Ibid, .hal.61
30
Ibid, .hal.93
31
Ibid, .hal.101
32
Ibid, .hal.117
33
Ibid, .hal.137
34
Ibid, .hal.145
35
Ibid, .hal.149
36
Ibid, .hal.155
37
Ibid, .hal.159
38
Ibid, .hal.167
39
Ibid, .hal.171
40
Ibid, .hal.185
41
Ibid, .hal.191
42
Ibid, .hal.197

15
17) Sanggahan terhadap para Filosuf akan kemustahilan Perpisahan dari sebab alami
peristiwa-peristiwa 43.
18) Tentang ketidakmampuan para Filosuf untuk memberikan demonstrasi rasional
tentang teori mereka bahwa jiwa manusia adalah Substansi spiritual yang ada dengan
sendirinya; tidak menempati ruang; bukan tubuh; dan tidak terpateri dalam tubuh; dan
ia pun tidak berhubungan dengan tubuh dan tidak pula terpisahkan darinya
sebagaimana tuhan tidak di luar alam dan tidak didalam alam dan demikianlah
malaikat-malaikat 44.
19) Kelemahan tesis para filosuf bahwa setelah terwujud jiwa manusia tidak dapat
hancur; dan bahwa watak keabadiannya mambuatnya mustahil bagi kita untuk
membayangkan kehancurannya 45.
20) Sanggahan terhadap penolakan para Filsuf akan kebangkitan tubuh-tubuh 46.

Melihat sekian banyak masalah yang dibahas, Al-Ghazali menganggap tidak semua
dari masalah tersebut menyebabkan kekafiran. Dia hanya menitikberatkan kekeliruan
filosof yang membawa kepada kekafiran adalah pada tiga hal :

1. Pendapat bahwa alam qadim 


2. Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat, dan
3. Tidak adanya kebangkitan jasmani.
Adapun pendapat mereka yang lain, dianggap dekat dengan paham Muktazilah dan itu
tidak mesti dikafirkan.

2.6 Sikap Al-Ghazali terhadap Filsafat


Jika melihat hal-hal yang dikritisi al-Ghazali dalam kitab Tahafut Al-
Falasifah, maka dapat dikatakan bahwa ia tidak menolak filsafat seluruhnya, Dalam
bukunya yang lain al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali membagi ilmu-ilmu filsafat
kedalam enam bagian, yaitu ;
1. Matematik (Riyadhiyah)
2. Logika (Mantiqiyah)
3. Fisika (Thabi’iyah)
4. Metafisika (Ilahiyah)
5. Ilmu politik (siyasah)
6. Filsafat moral (Khuluqiyah)47
43
Ibid, .hal.213
44
Ibid, .hal.229
45
Ibid, .hal.259
46
Ibid, .hal.259
47
Dikutip Syafi’I Ma’arif dari buku Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal. Istambul, Husain Hilmi bin Istambuli, 1981. hal
13

16
Untuk mengetahui apakah al-Ghazali masih pantas disebut sebagai filosof atau tidak,
nampaknya kita dapat menyimak pernyataan al-Ghazali pada pembahasan
sebelumnya48. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah orang yang
berkeinginan untuk mendalami, mencari dan memahami kebenaran sebagaimana
tradisi pemikiran para filosof.

BAB III

48
Lihat hal. 8 footnote 20.

17
KESIMPULAN

Al-Ghazali merupakan sosok yang sering dianggap kontroversial dalam


kedudukannya di pentas filsafat islam. Kemampuan al-Ghazali di berbagai hal dalam
bidang ilmu-ilmu keislaman, menjadikan dirinya layak disebut “imam” dalam
prespektif mazhab Sunni. Gelar “hujjatul islam” merupakan salah satu apresiasi
karena kepiawaian argumentasinya dalam menghadang pemikiran yang dianggap
menympang dari ajaran islam.
Kondisi sosial politik di masa hidup Al-Ghazali dan latar belakang
kehidupannya secara tidak langsung berpengaruh kepada fase pemikirannya dan
warna karya-karyanya yang menghiasi peradaban islam setelahnya. Fase pemikiran
Al-Ghazali yang beranjak dari keyakinan kebenaran berdasarkan indrawi (empiris),
berlanjut ke kekuatan akal (rasionalis) yang telah menyeretnya kedalam keraguan
(skeptic) telah membuat dirinya sebagai seorang pengembara yang akhirnya
menemukan intuisi (iluminasi) sebagai dasar epistemologinya.
Tahafut al-Falasifah merupakan karya Al-Ghazali yang dianggap mewakili
kemenangan para teolog dalam pertempuran intelektualnya dengan para filosof.
Secara umum pembahasa kitab Tahafut pada dasarnya merupakan persoalan-
persoalan yang bersifat teologis yang menggunakan argumentasi filosofis, yang focus
penyerangannya pada pembahasan :
1. Pendapat bahwa alam qadim 
2. Tuhan tidak mengetahui Juz’iyyat, dan
3. Tidak adanya kebangkitan jasmani.

Keberadaan al-Ghazali yang kontroversial posisinya apakah ia filosof atau


teolog pada prinsipnya bukanlah hal yang terlalu penting terutama untuk al-
ghazalinya sendiri. Akan tetapi pengakuan tersebut sangat berpengaruh kepada
representasi pemikiran dan karya-karyanya yang menjadi pijakan dan mazhab
pemikiran kelompok pemikiran tertentu. Terlepas dari itu al-Ghazali kiranya masih
layak disebut sebagai filosof karena tidak semua pemikiran filsafat ditolaknya dan Al-
Ghazali masih menggunakan filsafat Aresto sebagai metode berfikirnya.
DAFTAR PUSTAKA

18
Ahwani , Ahmad Fuad, 1995. Filsafat Islam , Jakarta : Pustaka Firdaus.
Hitti, Philip K. 2006. History of The Arab; Rujukan Induk dan Paling Otoritatif
Tentang Sejarah Peradaban Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi, Jakarta : Penerbit Serambi.
Rachman, Budhi Munawar, 2012 ., Ensiklopedi Nurchloish Madjid ( Edisi Digital ),
Jakarta : Yayasan Abad Demokrasi.
Rahman, Fazlur,2000. Gelombang Perubahan Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Pustaka.
Sibawaihi, 2007. Hermenetika Al-Qur’an Fazlur Rahman , Yogyakarta : Penerbit
Jalasutra.
Ma’arif, A. Syafi’I,1993. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung :
Mizan.
Munawwir, Ahmad Warson, 1984. Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta : Pustaka
Progresif.
Nasution, Harun, 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta : UI Press.
___________, 2010. Filsafat dan Mistisisme Islam, Jakarta : Penerbit Bulan-Bintang.
Natsir, Muhamad, 1998. Kebudayaan Islam; Dalam Presfektif Sejarah, Editor,
Endang Saefudin Anshari, Jakarta : Grimukti Pusaka.
Praja, Juhaya S., 1997. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung : Yayasan Piara

Web Sites
www.islib.com, “Siapa Yang Rancu; para filosof atau al-Ghazali”, Ahad, 25
November, 2007

19

Anda mungkin juga menyukai