Anda di halaman 1dari 15

A.

Hubungan Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat (LM: 5)

‫ َما‬:‫ل‬ َ ‫ل َفقَا‬ ٌ ‫ج‬ ُ ‫اس َفَأتَا ُه َر‬ِ ‫ار ًزا يَ ْو ًما لِل َّن‬ ِ ‫م َب‬ َ َّ‫سل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬ ُ ‫صلَّى‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ َكانَ ال َّن ِب‬:‫ل‬ َ ‫ َقا‬،َ‫ه َر ْي َرة‬ ُ ‫ث َأبِي‬ ُ ‫ح ِد ْي‬َ
‫ساَل ُم؟‬ ْ ‫ َما اِإْل‬:‫ل‬ َ ‫ث» َقا‬ ِ ‫ن بِالبَ ْع‬ َ ‫ه َو ُتْؤ ِم‬ ِ ِ‫سل‬ ُ ‫ه َوبِ ُر‬ ِ ‫ه َوبِلِقَاِئ‬ ِ ِ‫كت‬ َ ‫ن بِاهللِ َو َماَل ِئ‬ َ ‫ان نْ ُتْؤ ِم‬ ‫َأ‬ ُ ‫م‬ َ ‫ «اِإْل ْي‬:‫ل‬ َ ‫ان؟ َقا‬ ُ ‫م‬ َ ‫اِإْل ْي‬
:‫ل‬ َ ‫م َر َمضَانَ » َقا‬ َ ‫صو‬ ُ َ‫ض َة َوت‬ َ ‫ي ال َز َكا َة المـ َ ْف ُرو‬ َ ّ‫صاَل َة َو ُتَؤ ِد‬ َّ ‫م ال‬ َ ‫ه َو ُت ِق ْي‬ ِ ِ‫ك ب‬ َ ‫شر‬ِ ‫هللا َواَل ُت‬ َ ‫ساَل ُم َأنْ تَ ْع ُب َد‬ ْ ‫ «اِإْل‬:‫ل‬ َ ‫َقا‬
:‫ل‬ َ ‫السا َع ُة؟ َقا‬ َّ ‫ َم َتى‬:‫ل‬ َ ‫ك» َقا‬ َ ‫ُن تَ َرا ُه َفِإنَّ ُه يَ َرا‬ ْ ‫م تَك‬ ْ َ‫ َفِإنْ ل‬،‫ك تَ َرا ُه‬ ‫َأ‬
َ َّ‫هللا َك ن‬ َ ‫ « نْ تَ ْع ُب َد‬:‫ل‬ ‫َأ‬ َ ‫ان؟ َقا‬ ُ ‫س‬ َ ‫ح‬ ْ ‫َما اِإْل‬
‫ل‬ َ ‫َأل‬
َ ‫ َوِإذَا تَطا َو‬،‫ط َها؛ ِإذَا َول َدتِ ا َم ُة َربَّ َها‬ َ ِ ‫ش َرا‬ ْ ‫ن‬ ‫َأ‬ ْ ‫ك َع‬ َ ‫خبِ ُر‬ ‫ُأ‬
ْ ‫س‬ َ ‫ َو‬،‫ل‬ ِ ‫الساِئ‬ َّ ‫ن‬َ ‫م ِم‬ َ ‫َأ‬
َ ‫ول َع ْن َها بِ ْعل‬ ُ ‫سُئ‬ ْ َ ‫« َما المـ‬
َّ‫م (ِإن‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ َ َ ْ َ ُ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫هللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬َ ‫ي‬
ُّ ‫ب‬ ‫ن‬
ِ َّ ‫ال‬ ‫اَل‬ ‫ت‬
َ َّ‫م‬ ‫ث‬
ُ » ‫هللا‬
ُ َّ ‫ال‬ ‫ن‬ ‫ه‬
‫َ ْ ُ ُ َّ ِإ‬‫م‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫اَل‬ ‫س‬
ٍ ْ َ ‫م‬ ‫خ‬ ‫ي‬ ِ ‫ف‬ ،‫ن‬ِ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ن‬
َ ُْ ‫الب‬ ‫ي‬ ِ ‫ف‬ ‫م‬ُ ْ َ ‫ل ال‬
‫ه‬ ‫ب‬ ِ ِ‫ُر َعا ُة اإلب‬
‫م‬ ُ ّ ‫جا َء ُي َع ِل‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ج ْب ِر ْي‬ ِ ‫هذَأ‬ َ « :‫ل‬ َ ‫ َفقَا‬،‫ش ْيئا‬ ً َ ‫م يَ َر ْوا‬ ْ َ‫«ردُّو ُه» َفل‬ َ ‫م ْدبَ َر َفقَا‬ ‫َأ‬ ُ ‫ع ْل‬
ُ :‫ل‬ َّ ‫ ُث‬،‫ة) اآليَة‬ ِ ‫السا َع‬ َّ ‫م‬ ِ ‫ع ْن َد ُه‬ِ ‫هللا‬
َ
‫ـ‬.)‫ي‬ ّ ‫ار‬ ِ ‫خ‬ َ ‫الب‬ ‫َأ‬
ُ ‫ج ُه‬ َ ‫خ َر‬ ْ ( .»‫م‬ ْ ‫اس ِد ْي َن ُه‬ َ ‫ال َّن‬
Ĥadīś riwayat Abū Hurairah , ia berkata; bahwa Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pada
suatu hari muncul bersama para sahabat, lalu datanglah orang asing yang kemudian
bertanya: "Apakah iman itu?" Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam menjawab: "Iman adalah
kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, percaya akan bertemu dengan-
Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, dan beriman kepada hari kebangkitan." Orang
asing itu berkata: "Apakah Islam itu?" Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam menjawab:
"Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu
apapun, kamu dirikan şalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di
bulan Ramađan". itu berkata: "Apakah iĥsān itu?" Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam
menjawab: "Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan andaipun kamu
tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu". Orang itu berkata lagi: "Kapan
terjadinya hari kiamat?" Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam menjawab: "Yang ditanya
tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi aku akan terangkan tanda-
tandanya; yaitu jika seorang budak telah melahirkan tuannya, jika para penggembala
unta yang berkulit hitam berlomba-lomba membangun gedung-gedung selama lima
masa, yang tidak diketahui lamanya kecuali oleh Allah". Kemudian Nabi şallaLlāhu ‘alaihi
wasallam membaca ayat: "Sesungguhnya hanya pada Allah pengetahuan tentang hari
kiamat" (QS. Luqman: 34). Setelah itu orang asing tersebut pergi, kemudian Nabi
şallaLlāhu ‘alaihi wasallam berkata; "Coba jemput kembali orang itu ke sini." Tetapi para
sahabat tidak melihat sesuatupun, maka Nabi bersabda; "Dia adalah Malaikat Jibril yang
datang kepada manusia untuk mengajarkan agama mereka”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś
no. 48)
URGENSI HADITS
Qadhi ‘Iyaadh (wafat th. 544 H) berkata : “Hadits ini mencakup penjelasan semua amal
ibadah yang zhahir maupun bathin, di antaranya ikatan iman, perbuatan anggota
badan, keikhlasan, menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at,
semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan pecahannya”.
Beliau melanjutkan: “Atas dasar hadits ini dan ketiga macamnya, aku menulis kitab
yang aku namakan al Maqooshid al Hisaan fii ma Yalzamul Insaan. Karena tidak
menyimpang dari yang wajib, sunnah, anjuran, peringatan, makruh dari ketiga
macamnya. Wallahu a’lam. [Syarah Shahih Muslim I/158].
Imam Nawawi (wafat th. 676 H) berkata,”Ketahuilah, bahwa hadits ini menghimpun
berbagai macam ilmu, pengetahuan, adab, dan kelemah-lembutan. Bahkan hadits ini
merupakan pokok Islam, seperti yang kami riwayatkan dari Qadhi ‘Iyaadh. [Ibid. I/160].
Imam al Qurthubi (wafat th. 671 H) berkata,”Hadits ini layak disebut sebagai Ummus
Sunnah (induk hadits), karena mengandung ilmu hadits.” [Fathul Baari I/125].
Ibnu Daqiq al ‘Id (wafat th. 702 H) berkata,”Hadits ini seakan menjadi induk bagi
sunnah, sebagaimana al Fatihah dinamakan Ummul Qur`an, karena ia mencakup
seluruh nilai-nilai yang ada dalam al Qur`an.” [Syarah Arba’in an Nawawiyyah, hlm. 31,
oleh Ibnu Daqiq al ‘Id].
Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) berkata,”Ini merupakan hadits yang agung, mencakup
semua penjelasan agama. Karenanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di akhir
hadits ‘ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan tentang agama kalian’ setelah
menjelaskan kedudukan Islam, kedudukan iman, kedudukan ihsan. Dan menjadikan
semua itu agama.” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam I/97].
RIWAYAT LENGKAP HADITS INI DALAM SHAHIH MUSLIM
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur [1], ia berkata:
“Dahulu, yang pertama kali berbicara tentang Qadar di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani
[2], maka aku (Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman al
Himyari untuk melaksanakan haji atau umroh. Kami berkata: “Kalau kita bertemu salah
seorang dari sahabat Nabi, maka kita akan bertanya kepadanya tentang orang-orang
yang berbicara masalah qodar. Kemudian kami melihat ‘Abdullah bin ‘Umar masuk ke
dalam masjid. Maka aku dan sahabatku menggandeng tangannya satu di kanan yang
lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku
berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di kalangan kami orang
yang membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu -lalu dia menyebutkan perkara mereka-
sesungguhnya ini adalah sesuatu yang baru.” Ibnu Umar berkata: “kalau engkau
bertemu dengan mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan
mereka juga berlepas diri dari aku. Demi Allah kalau seandainya salah seorang dari
mereka infak sebesar gunung Uhud emas, Allah tidak akan menerimanya sampai dia
beriman kepada qodar. Kemudian dia (Ibnu Umar) berkata: ‘Bapakku ‘Umar bin Khattab
menceritakan kepadaku …….. lalu dia menyebutkan hadits di atas.”
Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebelum dibawakan hadits ini oleh
Yahya bin Ya’mur dan Humaid bin Abdurrahman al Himyary, ada beberapa faedah yang
bermanfaat, yaitu:
1. Bid’ah pertama kali tentang peniadaan qadar, timbul di Bashrah pada masa sahabat
yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau wafat tahun 73 H.
2. Para tabi’in selalu bertanya kepada para sahabat untuk mengetahui hukum dari
perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun
yang lainnya. Hal ini adalah wajib atas setiap muslim untuk mengembalikan urusan
agama mereka kepada para ulama. Firman Allah l :
ُ َ‫م اَل تَ ْعل‬
َ‫مون‬ ْ ‫ذك ِْر ِإن كُن ُت‬
ِّ ‫ل ال‬ ْ ‫اسَألُوا َأ‬
َ ‫ه‬ ْ ‫َف‬
“Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ ulama) jika kamu tidak mengetahui.”
[an Nahl:43]
3. Disunnahkan bagi seluruh kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji dan umrah
agar mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari agama Islam dan
memperdalamnya serta bertanya kepada para ulama yang ada di Mekkah dan Madinah
untuk mengetahui hukum-hukum agama yang belum mereka ketahui. Sebagaimana
yang dilakukan Yahya bin Ya’mur, Humaid bin ‘Abdurrahman al Himyari dan Yazid al
Faqir.
Dari Yazid al Faqir dia berkata, “Saya pernah tertarik oleh suatu pendapat kaum
khawarij, lalu kami keluar dalam satu kelompok yang berjumlah banyak, karena kami
ingin melaksanakan ibadah haji kemudian kami keluar ke tengah orang banyak.” Yazid
berkata, “Kemudian kami melewati kota Madinah. Tiba-tiba ada Jabir bin ‘Abdullah
sedang membicarakan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada suatu
kaum dengan duduk bersama satu kafilah.” Yazid berkata, “kemudian Jabir bin Abdillah
menyebutkan penghuni-penghuni jahannam.” Saya berkata kepada Jabir bin ‘Abdullah,
“Wahai sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! apa yang kamu bicarakan ini?
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ‘Sesungguhnya orang yang engkau
masukkan ke dalam neraka maka sungguh engkau telah hinakan dia.’(ali Imran:192)
dan firmanNya lagi, ‘Setiap kali para penghuni neraka itu ingin keluar dari neraka maka
mereka itu selalu dilemparkan kembali ke dalamnya.’(as Sajadah:20). Lalu apa yang
kalian katakan itu?”
Jabir bertanya, “Sudahkah kamu membaca al Qur’an? Pernahkah kamu mendengar
tentang kedudukan nabi Muhammad yang akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala ? Saya menjawab, ‘ya sudah pernah’ Jabir berkata, “Itulah kedudukan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, yang dengan itu Allah mengeluarkan orang dari
neraka yang beliau kehendaki.”
Kemudian Jabir bin ‘Abdullah menjelaskan letak as Shirath dan bagaimana manusia
melintas di atasnya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada satu kaum yang keluar
dari neraka setelah mereka berada didalamnya. Yakni mereka keluar dengan jasad
bagaikan biji kurma yang baru dijerang di matahari. Kemudian mereka masuk dalam
salah satu telaga surga, kemudian mereka mandi dan keluar sebersih selembar kertas.
Kemudian kami pulang dan mengatakan, “Celakalah kamu sekalian! Apakah kalian
menganggap seorang syaikh (Jabir bin Abdullah) membuat kebohongan terhadap
Rasulullah?” maka kami terus pulang. Sungguh demi Allah tidaklah ada yang keluar dari
kelompok kami kecuali hanya seorang. Demikianlah sebagaimana riwayat yang
disampaikan oleh Abu Nu’aim”. Abu Nu’aim adalah Fadl bin Dukain, beliau salah
seorang perawi hadits ini [Syarah shahih muslim oleh Imam an Nawawi III/50-52]
Rombongan ini datang untuk menunaikan ibadah haji mereka mempunyai pemahaman
yang salah, yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar tidak keluar dari neraka.
Mereka membawakan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir dikenakan kepada kaum
Muslimin dan pemahaman ini adalah pemahaman Khawarij.
Ibnu ‘Umar memandang bahwa Khawarij adalah sejelek-jelek makhluk Allah, ia berkata
“Mereka membawakan ayat-ayat yang turun kepada orang-orang kafir dikenakan
kepada kaum mukminin.” [Fathul Baari XII/282]
Di dalam kisah ini menunjukkan bahwa syaithan menyesatkan manusia dengan dua
cara; Pertama, orang-orang yang lalai dan berpaling dari keta’atan dihiasi dengan
syahwat kedua, orang-orang yang taat dan ahli ibadah, syetan menyesatkan mereka
dengan cara ghuluw (berlebih-lebihan) dan melemparkan syubhat kepada mereka.
(syarah hadits jibril hal.12) Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa hati manusia dirusak
oleh fitnah syahwat dan fitnah syubhat.[3]
Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.
KANDUNGAN HADITS JIBRIL
Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :
1. Menunjukkan tentang pentingnya majelis ilmu.
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan
waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [4]
2. Memperbaiki pakaian dan penampilan.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai
pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di
majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril
saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penampilan
dan sikap yang baik.
3. Defenisi Islam 
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa
Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :
‫رك َوَأهلِه‬
ِ ‫الش‬
ِّ ‫ن‬
َ ‫ة َوالبَ َرا َء ُة ِم‬ َ َّ‫حي ِد َوااِإل ن ِقياَ ُد لَ ُه بِالط‬
ِ ‫اع‬ َ ‫ اَِإل ستِسال َ ُم هللِ بِال َتو‬:‫اِإل سال ُم‬
Islam adalah patuh dan tunduk kepada Allah dengan cara mentauhidkan, mentaati dan
membebaskan diri dari kemusyrikan dan ahli syirik. [5]
‫ اإلسالم واالستسالم‬, menurut bahasa artinya ‫ اإلنقياد‬. Yaitu patuh dan tunduk.
Sedangkan menurut syari’at, yaitu menampakkan ketundukan dan memperlihatkan
syari’at serta berpegang teguh dengan yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dengan hal tersebut, terpelihara dan tercegahlah darah dari segala yang
dibenci.
Dalam hadits di atas, kekasih Rabb semesta alam ‘alaihish shalatu wassalam
mendefinisikan Islam dengan amalan-amalan anggota badan yang tampak. Yaitu
berupa perkataan dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah perbuatan
lisan. Shalat dan puasa adalah perbuatan badan (tubuh). Zakat harta adalah amalan
pada harta, dan haji adalah amalan pada badan dan harta.
Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu : 
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat ( ‫ل هللا‬ُ ‫سو‬
ُ ‫م ًدا َر‬ َ ‫)أش َه ُد أن الِإله ِإال َّهللا َوَأش َه ُدَأنَّ ُم‬,
َّ ‫ح‬ ْ
artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan
hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
utusan Allah.
b. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan
memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah. 
c. Mengeluarkan zakat. 
d. Puasa pada bulan Ramadhan. 
e. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah
suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
4. Definisi Iman [6]. 
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai
keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah
perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan
termasuk ke dalam nama iman.
• Islam dan Iman. 
Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang
berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda
nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan
arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi.
Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.
Apabila nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam (pengertian)nya, dan
menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang lain ketika berdiri sendiri. Apabila
keduanya digabungkan, maka salah satunya menunjukkan kepada sesuatu bila berdiri
sendiri. Jika dalam satu nash dihubungkan antara Iman dan Islam, maka masing-
masing mempunyai pengertian yang berbeda. Sehingga definisi iman adalah,
pembenaran hati disertai penetapan dan pengetahuannya. Dan pengertian Islam ialah
berserah diri kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya dengan amal perbuatan.
• Merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwasanya amal termasuk ke dalam
iman.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
َ ‫ن الطَّ ِريقِ َوا ْل‬
‫حيَا ُء‬ َ ‫ل اَل ِإلَ َه ِإاَّل اللَّ ُه َوَأ ْدنَا‬
ْ ‫ها ِإ َماطَ ُة اَأْلذَى َع‬ َ ‫ش ْعبَ ًة َفَأ ْف‬
ُ ‫ض ُل َها َق ْو‬ ُ َ‫س ْب ُعون‬
َ ‫ع َو‬
ٌ ‫ض‬
ْ ِ‫ان ب‬
ُ ‫م‬َ ‫اِإْل ي‬
‫ان‬
ِ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫ة‬
َ ‫ُ ْ َ ٌ ْ ِإْل‬ ‫ب‬‫ع‬ ‫ش‬
Iman memiliki tujuh puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah ucapan Laa ilaha
illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu
termasuk cabang dari iman. [7]
Menyingkirkan gangguan merupakan perbuatan dan beliau n memasukkannya ke dalam
iman.
• Di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan mereka, bahwa iman
dapat bertambah dan berkurang.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
‫م‬
ْ ‫مانِ ِه‬
َ ‫ع ِإي‬
َ ‫مانًا َّم‬
َ ‫لِيَ ْز َدا ُدوا ِإي‬
…supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)…
[al Fath : 4].
Ibnu Baththal rahimahullah berkata : “Apabila dikatakan ‘iman secara bahasa adalah
pembenaran’, maka jawabnya, adalah ‘sesungguhnya pembenaran akan sempurna
dengan berbagai ketaatan seluruhnya. Tidaklah seorang mu’min bertambah amal
kebaikannya, melainkan imannya menjadi lebih sempurna’.
Dengan pernyataan ini -pembenaran akan sempurna dengan ketaatan-, (maka) iman
akan bertambah. Dan dengan berkurangnya pernyataan tersebut, maka iman pun
berkurang. Kapan saja berkurang amal kebaikan, maka berkurang pula kesempurnaan
iman. Kapan saja bertambah amal kebaikan, maka bertambah pula kesempurnaannya.
Inilah perkataan pertengahan dalam masalah iman”. [8]
• Keutamaan orang mukmin bertingkat-tingkat.
Keimanan orang-orang shiddiq yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka
seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai
tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama : “Tidaklah Abu Bakar
mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga
banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di
dalam hatinya”.
Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan
beruntung. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia akan sesat dan merugi. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ۚ‫ل‬ُ ‫ل ِمن َق ْب‬ َ ‫ه َوا ْلكِ َتابِ الَّ ِذي َأن َز‬ِ ِ‫سول‬ ُ ‫ى َر‬ ٰ َ‫ل َعل‬ َ ‫ه َوا ْلكِ َتابِ الَّ ِذي نَ َّز‬ ِ ِ‫سول‬ َ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذ‬
ِ َّ‫ين آ َم ُنوا آ ِم ُنوا بِالل‬
ُ ‫ه َو َر‬
‫ضاَل اًل َب ِعي ًدا‬
َ ‫ل‬ َّ ‫ض‬َ ‫خ ِر َفق َْد‬ِ ‫ه َوا ْليَ ْو ِم اآْل‬ِ ِ‫سل‬
ُ ‫ه َو ُر‬
ِ ‫ه َو ُك ُت ِب‬ َ ‫ه َو َماَل ِئ‬
ِ ِ‫كت‬ ِ َّ‫َو َمن يَ ْك ُف ْر بِالل‬
Wahai orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab suci yang telah
diturunkan kepada RasulNya (Muhammad n ) dan kitab yang diturunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kufur kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-
kitabNya dan hari Kiamat, maka sungguh ia benar-benar tersesat. [an Nisaa` : 136].
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan, Iman itu bertambah dan berkurang.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‫م‬
ْ ‫مانِ ِه‬
َ ‫ع ِإي‬
َ ‫مانًا َّم‬
َ ‫ين لِيَ ْز َدا ُدوا ِإي‬ ُ ‫السكِي َن َة فِي ُقلُوبِ ا ْل‬
‫مْؤ ِمنِ َـ‬ َّ َ ‫ه َو الَّ ِذي َأن َز‬
‫ل‬ ُ
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). [al Fath :
4]

‫ه ًدى‬
ُ ‫م‬
ْ ‫اه‬
ُ َ‫م َو ِز ْدن‬
ْ ‫ة آ َم ُنوا بِ َربِّ ِه‬
ٌ َ‫م فِ ْتي‬
ْ ‫ق ۚ ِإنَّ ُه‬
ِّ ‫ح‬ ُ ‫ك نَبََأ‬
َ ‫هم بِا ْل‬ َ ‫ن نَ ُقصُّ َعلَ ْي‬
ُ ‫ح‬
ْ َّ‫ن‬
Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.
Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka
dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; [al Kahfi : 13].
5. Iman kepada Allah mencakup empat hal.
• Iman tentang adanya Allah diyakini oleh setiap makhluk. 
Bahwa adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan
sendirinya.
• Iman tentang rububiyah Allah. 
Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan
seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta,
menghidupkan dan mematikan dan lainnya.
• Iman tentang uluhiyah Allah. 
Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia
bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti
berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan),
bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat
mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan
dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun.
Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas
karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini
merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.
‫ون‬ ْ ‫ه َأنَّ ُه اَل ِإ ٰلَ َه ِإاَّل َأنَا َف‬
ِ ‫اع ُب ُد‬ ِ ‫حي ِإلَ ْي‬
ِ ‫ل ِإاَّل ُنو‬
ٍ ‫سو‬
ُ ‫ك ِمن َّر‬ َ ‫َو َما َأ ْر‬
َ ِ‫س ْل َنا ِمن َق ْبل‬
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya "Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku. [al Anbiya’ : 25].
Setiap rasul, memulai dakwahnya mengajak umat kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana
Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. [9]
ٍ َ‫ن ِإ ٰل‬
‫ه غَ ْي ُر ُه‬ ْ ‫اع ُب ُدوا اللَّ َه َما لَكُم ِّم‬
ْ ‫يَا َق ْو ِم‬
Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selainNya. [QS al
A’raaf : 59 Lihat juga ayat 65, 73 dan 85].
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila
ibadah itu dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjatuh kepada syirkun
akbar dan tidak diampuni dosanya.
‫شا ُء‬
َ َ‫من ي‬ َ ِ‫ه َويَ ْغ ِف ُر َما ُدونَ ٰ َذل‬
َ ِ‫ك ل‬ ِ ِ‫ك ب‬ ْ ‫ِإنَّ اللَّ َه اَل يَ ْغ ِف ُر َأن ُي‬
َ ‫ش َر‬
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia,
dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. [an
Nisa : 48 dan 116]
• Tauhid Asma` wa Shifat. 
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas
diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah
mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah
disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah,
sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil
(dirubah maknanya).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) berkata,”Manhaj Salaf dan para
imam ahlus sunnah, mereka mengimani tauhid asma` wa shifat dengan menetapkan
apa yang telah Allah tetapkan atas diriNya dan telah ditetapkan RasulNya untukNya,
tanpa tahrif dan ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil. Ahlus Sunnah menetapkan tanpa
tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua sifat Allah dan menafikan
persamaan sifat Allah dengan makhluknya”. [Lihat penjelasannya di dalam Syarah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, hlm. 94, Cet. II]. 
Firman Allah :
‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ َ‫يع ا ْلب‬
ُ ‫م‬ِ ‫الس‬
َّ ‫ه َو‬
ُ ‫ي ٌء ۖ َو‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ه‬
ِ ِ‫م ْثل‬ َ ‫لَ ْي‬
ِ ‫س َك‬
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. [asy Syuura : 11].
Lafazh ayat laisa kamitslihi syai’ (tidak ada yang serupa denganNya) merupakan
bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhlukNya.
Sedangkan lafazh ayat wahuwas samii’ul bashiir (dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat) sebagai bantahan kepada orang-orang yang menafikan atau mengingkari sifat-
sifat Allah.
I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah didasari atas dua prinsip.
Pertama, bahwasanya Allah wajib disucikan dari semua sifat kurang secara mutlak,
seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan lainnya. Kedua, Allah mempunyai sifat-
sifat yang sempurna, tidak memiliki kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun
dari makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah. [10]
KANDUNGAN HADITS JIBRIL
Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :
6. Ahlus sunnah mengimani tentang adanya Malaikat.
Bahwasanya malaikat diciptakan dari cahaya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
ْ ‫ف لَك‬
‫ُم‬ َ ‫ص‬
ِ ‫ما ُو‬
َّ ‫ق آ َد ُم ِم‬
َ ِ‫خل‬
ُ ‫ار َو‬
ٍ َ‫ن ن‬
ْ ‫ارجٍ ِم‬
ِ ‫ن َم‬ ُّ ‫ج‬
ْ ‫ان ِم‬ َ ‫ق ا ْل‬
َ ِ‫خل‬
ُ ‫ور َو‬
ٍ ‫ن ُن‬ َ ‫ماَل ِئ‬
ْ ‫ك ُة ِم‬ َ ‫َت ا ْل‬
ْ ‫خلِق‬
ُ
Diciptakan malaikat dari cahaya, diciptakan jin dari api yang menyala-nyala, dan
diciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian. [HR Muslim, no. 2996, 60].
Malaikat mempunyai sayap, sebagaimana Allah berfirman di awal surat Faathir. Dan
jumlah malaikat sangat banyak, tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah. Ada
hadits yang menyatakan, bahwa Baitul Ma’mur di langit yang ke tujuh dimasuki setiap
hari oleh 70.000 malaikat. Bila mereka keluar tidak kembali lagi ke situ. [HR Bukhari,
no.3207 dan Muslim, no. 259].
Malaikat mendapat tugas bermacam-macam dari Allah. Mereka adalah makhluk yang
tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah, dan mereka selalu bertasbih kepada Allah.
Sifat-sifat Malaikat Jibril. 
Dia adalah ar Ruh al Amin, sebagaimana firman Allah :
ُ ‫وح اَأْل ِم‬
‫ين‬ ُ ‫ه ال ُّر‬
ِ ِ‫ل ب‬
َ ‫نَ َز‬
Dia dibawa turun oleh ar Ruh al Amin (Jibril). [asy Syu’araa` : 193]
Allah mensifatinya dengan sifat amanah dan suci sebagai rekomendasi yang agung dari
Rabb Azza wa Jalla. Allah mensifatinya sebagai makhluk yang baik atau berakhlak
mulia, memiliki keindahan bentuk, mempunyai kedudukan di sisi Allah. Dia adalah
pemimpin para malaikat yang ditaati perintahnya di langit. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk
aslinya dua kali. Yang pertama pada tiga tahun setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam diutus, dan yang kedua pada malam Isra’ dan Mi’raj.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyifati Malaikat Jibril dengan kebesaran
penciptaannya (bentuknya). Disebutkan, dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata :
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Jibril dengan bentuk aslinya. Dia
memiliki enam ratus sayap. Setiap satu sayap darinya dapat menutup ufuk, lalu
berjatuhan dari sayapnya macam-macam warna –sesuatu yang bermacam-macam
warnanya- dari mutiara dan yaqut”. [11]
7. Ahlus Sunnah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada RasulNya. 
Sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Musa serta al Qur`an
tersebut diturunkan oleh Allah dengan benar dan bukan makhluk.
Keistimewaan al Qur`an dari kitab-kitab lainnya : 
• Kita wajib mengimaninya secara rinci, membenarkan semua berita yang terdapat di
dalamnya, melaksanakan perintahNya, menjauhkan laranganNya dan beribadah kepada
Allah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah.
• Al Qur`an adalah mu’jizat yang abadi. Tidak ada seorang pun jin dan manusia yang
mampu untuk membuat satu surat saja seperti al Qur’an [al Israa` : 88].
• Allah menjamin untuk menjaga al Qur`an [al Hijr : 9].
• Al Qur`an sebagai tolak ukur dari kitab-kitab sebelumnya. Dan Sunnah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penjelas dari al Qur`an.
• Al Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan akan kembali kepadaNya; dan bahwasanya Allah berbicara secara hakiki.
8. Iman kepada rasul-rasul Allah. 
Ahlus Sunnah beriman kepada rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya.
Yang dimaksud rasul adalah, orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada umat.
Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh, dan yang terakhir Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam. Setiap umat tidak pernah kosong dari nabi utusan Allah yang
membawa syari’at khusus untuk kaumnya, atau dengan membawa syari’at sebelumnya
yang diperbaharui.
Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun
keistimewaan rububiyah maupun uluhiyah. Mereka juga tidak mengetahui perkara yang
ghaib. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai
pemimpin para rasul dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.
َ ‫ن ا ْل‬
‫خ ْي ِر َو َما‬ َ ‫ت ِم‬ ُ ‫س َت ْك َث ْر‬ْ ‫ب اَل‬ ُ َ‫ُنت َأ ْعل‬
َ ‫م ا ْل َغ ْي‬ َ ‫ض ًرّا ِإاَّل َما‬
ُ ‫شا َء اللَّ ُه ۚ َولَ ْو ك‬ َ ‫سي نَ ْفعًا َواَل‬ ُ ِ‫قُل اَّل َأ ْمل‬
ِ ‫ك لِ َن ْف‬
‫َأ‬
َ‫ير لِّ َق ْو ٍم ُيْؤ ِم ُنون‬
ٌ ‫ش‬ِ َ‫ير َوب‬ ٌ ‫السو ُء ۚ ِإنْ نَا ِإاَّل نَ ِذ‬
ُّ ‫ي‬َ ِ‫سن‬ َّ ‫َم‬
Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui
yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa
berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [al A’raaf : 188].
Iman kepada Rasul mengandung empat unsur :
• Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari
risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama, ia
dikatakan kafir, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 105.
• Mengimani nama-nama rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan di dalam al
Qur`an dan as Sunnah yang shahih. Jumlah nabi dan rasul sangat banyak. Menurut
riwayat, jumlah nabi ada 124.000 dan jumlah rasul ada 315. Adapun yang terkenal
adalah 25 rasul.[12]
Allah menyebutkan tentang para nabi dan rasul di dalam al Qur`an ada 25. Yaitu Adam,
Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub,
Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan
Muhammad. Lihat surat al Imran ayat 33, Hud ayat 50, 61, 84, al Anbiya ayat 85, al
An’aam ayat 83-86 dan al Fath ayat 29. 
Adapun para rasul yang tidak diketahui namanya, maka wajib bagi kita mengimani
secara global. Allah berfirman:
َ ‫ص َعلَ ْي‬
‫ك‬ ْ ‫ص‬ َ ‫ص َنا َعلَ ْي‬
ْ َّ‫ك َو ِم ْن ُهم َّمن ل‬
ُ ‫م نَ ْق‬ ْ ‫ص‬ َ ِ‫ساًل ِّمن َق ْبل‬
َ ‫ك ِم ْن ُهم َّمن َق‬ َ ‫َولَق َْد َأ ْر‬
ُ ‫س ْل َنا ُر‬
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara
mereka ada yang kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada (pula) yang
tidak Kami ceritakan kepadamu… [al Mu’min : 78]
• Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya. 
• Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Beliau adalah Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan penutup
para nabi. Allah berfirman :
‫ت‬ َ ‫ما َق‬
َ ‫ض ْي‬ َّ ‫جا ِّم‬ ً ‫ح َر‬َ ‫م‬ ِ ‫م اَل يَجِ ُدوا فِي َأن ُف‬
‫س ِه ْـ‬ َّ ‫م ُث‬
ْ ‫ج َر بَ ْي َن ُه‬
َ ‫ش‬
َ ‫ما‬
َ ‫ك فِي‬ ُ ِّ‫حك‬
َ ‫مو‬ َ ‫ى ُي‬ َ َ‫ك اَل ُيْؤ ِم ُنون‬
ٰ ‫ح َّت‬ َ ِّ‫فَاَل َو َرب‬
‫ما‬
ً ‫سلِي‬ ‫ت‬ ‫وا‬ ‫م‬
ْ َ ُ َ َُ ِّ ‫ل‬‫س‬ ‫ي‬‫و‬
Maka demi Rabb-mu, maka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. [an Nisaa` : 65].
9. Iman kepada Yaumul Akhir (hari kiamat).
Yaitu mengimani yang dikabarkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam tentang yang terjadi setelah kematian. Di antaranya : fitnah kubur,
adzab kubur, nikmat kubur, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar,
ditegakkannya timbangan, dibukanya catatan-catatan amal, adanya hisab, al Haudh
(telaga), shirath (jembatan), syafa’at, Surga dan Neraka. Firman Allah :
‫ل اللَّ ُه‬ُ ‫ين ۚ َويَ ْف َع‬
َ ‫م‬ِ ِ‫ل اللَّ ُه الظَّال‬
ُّ ‫ض‬
ِ ‫خ َر ِة ۖ َو ُي‬ َ ‫ت فِي ا ْل‬
ِ ‫حيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوفِي اآْل‬ ِ ‫ين آ َم ُنوا بِا ْل َق ْو‬
ِ ِ‫ل الثَّاب‬ َ ‫ت اللَّ ُه الَّ ِذ‬
ُ ِّ‫ُيثَب‬
‫شا ُء‬ َ َ‫َما ي‬
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu
dalam kehidupan di dunia dan akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim
dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. [Ibrahim : 27].
Allah berfirman tentang adanya adzab kubur :
َ ‫ل فِ ْر َع ْونَ َأ‬
ِ‫ش َّد ا ْل َعذَاب‬ ِ ‫اع ُة َأ ْد‬
َ ‫خلُوا آ‬ َ ‫الس‬
َّ َ ‫شيً ّا ۖ َويَ ْو‬
‫م تَ ُقو ُم‬ ِ ‫ضونَ َعلَ ْي َها ُغ ُد ًوّا َو َع‬
ُ ‫ار ُي ْع َر‬
ُ ‫ال َّن‬
Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya
Kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) : “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya kepada
adzab yang sangat keras”. [al Mu’min : 46].
Allah menciptakan kejadian-kejadian saat Kiamat datang menjelang. Salah satunya,
Allah menyuruh Malaikat Israfil meniup sangkakala, sebagaimana firmanNya :
‫ى َفِإذَا‬
ٰ ‫خ َر‬ْ ‫ه ُأ‬ِ ‫خ فِي‬ َّ ‫شا َء اللَّ ُه ۖ ُث‬
َ ‫م ُن ِف‬ ِ ‫ت َو َمن فِي اَأْل ْر‬
َ ‫ض ِإاَّل َمن‬ ِ ‫ما َوا‬
َ ‫الس‬
َّ ‫ق َمن فِي‬ َ ‫ُّور َف‬
َ ‫ص ِع‬ ِ ‫خ فِي الص‬
َ ‫َو ُن ِف‬
َ‫م يَنظ ُُرون‬ ٌ ‫م قِيَا‬ْ ‫ه‬ُ
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi, kecuali siapa
yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba
mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” [az Zumar : 68].
Ruh-ruh ketika itu akan dikembalikan kepada jasadnya masing-masing. Maka bangkitlah
manusia dari liang kuburnya untuk menghadap Allah, Rabb semesta alam. Mereka
bangkit dengan tidak beralas kaki, tidak berpakaian dan tidak berkhitan. Matahari dekat
dengan mereka dan peluh (keringat) bercucuran membasahi tubuh. Kemudian
ditegakkan timbangan, dibukakan catatan-catatan amal, serta adanya hisab,
sebagaimana firman Allah dalam surat al Mu’minun ayat 102-104.
Kita mengimani al Haudh (telaga) bagi Rasulullah. Airnya lebih putih daripada susu,
lebih manis dari madu, lebih harum dari minyak kesturi, panjang dan lebarnya sejauh
perjalanan satu bulan, bejana-bejananya seindah dan sebanyak bintang di langit. Maka
kaum Mukminin dari umat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan meminum dari
haudh tersebut. Siapa yang minum seteguk air darinya, maka dia tidak akan merasa
haus lagi sesudah itu.[13]
Kita mengimani ash shirath (jembatan). Yaitu jembatan yang direntangkan di atas
Neraka Jahanam yang akan dilewati umat manusia sesuai dengan amal perbuatan
mereka. Yang pertama kali melewatinya seperti kilat, kemudian seperti angin, seperti
burung terbang, seperti orang berlari, seperti orang berjalan, dan ada pula yang
merangkak. Mereka dibawa oleh amal perbuatannya. Ketika itu Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam berdiri di atas jembatan dan berdoa : “Ya Allah, selamatkanlah,
selamatkanlah”. Pada kedua sisi jembatan itu ada kait-kait yang digantungkan,
diperintahkan untuk mengait siapa yang telah diperintahkan kepadanya. Sehingga ada
yang terkoyak tetapi selamat, dan ada pula yang tercampakkan ke dalam api Neraka
[14]. Umat yang pertama kali masuk Surga adalah umat Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Pada hari Kiamat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai tiga syafa’at : 
• Syafa’at pertama, yaitu syafa’at `uzhma (yang agung). Diberikan kepada umat
manusia di Mauqif. Yaitu saat manusia dikumpulkan Allah di Padang Mahsyar, untuk
diberi keputusan. [15] 
• Syafa’at kedua, yaitu syafa’at yang diberikan kepada para ahli surga untuk memasuki
Surga. 
Kedua syafa’at di atas khusus bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 
• Syafa’at ketiga, yaitu syafa’at yang diberikan kepada orang-orang yang berhak masuk
Neraka. Syafa’at ini bersifat umum, yaitu bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para nabi, serta para shiddiqin dan yang lain dari kalangan kaum Muslimin.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan memberikan syafa’at kepada orang yang
semestinya masuk Neraka untuk tidak masuk Neraka, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam memberi syafa’at kepada orang yang sudah masuk Neraka untuk dikeluarkan
dari api Neraka, serta syafa’at Rasul untuk pelaku dosa besar dari umat Islam, seperti
sabda Rasulullah dari sahabat Anas bin Malik: “Syafa’atku akan diberikan bagi pelaku
dosa besar dari umatku”. (HR Tirmidzi, no. 2435; Hakim I/69. Tirmidzi berkata, bahwa
hadits ini hasan shahih). Dan Allah mengeluarkan dari api Neraka beberapa kaum,
tanpa melalui syafa’at, akan tetapi berkat karunia dan rahmatNya. [16]
Sesungguhnya Surga dan Neraka sudah diciptakan Allah. Keduanya adalah makhluk
yang kekal abadi. Surga adalah balasan bagi wali-wali Allah, sedangkan Neraka sebagai
tempat hukuman bagi orang yang bermaksiat kepadaNya, kecuali yang mendapatkan
rahmatNya. Adapun orang-orang kafir, mereka tetap kekal di dalam Neraka selama-
lamanya.
Tanda-Tanda Hari Kiamat 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda. Di
antara tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat, yaitu :
a. Apabila budak wanita melahirkan tuannya. 
Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara lain:
• Ada yang berpendapat, banyaknya anak yang durhaka. Yaitu seorang anak
memperlakukan ibunya sebagaimana perlakuan tuan terhadap budak wanitanya.
Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Hajar.
• Ibnu Rajab berkata,”Ini sebagai isyarat atas pembukaan negeri (kaum Mukminin
mengalahkan negeri-negeri kafir) dan banyaknya perbudakan, sehingga banyak budak
wanita yang dijadikan gundik dan anak mereka pun menjadi banyak. Maka jadilah
budak wanita sebagai budak pemiliknya, dan anak tuannya dari budak wanita itu
berkedudukan seperti tuannya. Karena anak majikan berkedudukan sebagai majikan”.
• Sebagian ulama mengambil pendapat yang mengatakan bahwa ibu si anak itu dapat
merdeka dengan kematian tuannya. Seolah-olah, anaknyalah yang memerdekakannya,
maka pembebasan itu dinisbatkan kepada anak tersebut. Dengan hal tersebut, jadilah si
anak seolah-olah sebagai majikannya.
b. Sehingga engkau melihat orang yang fakir, telanjang badan dan kaki sebagai
penggembala kambing berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan.
Maksudnya, orang-orang dari kalangan rakyat jelata (orang bodoh) menjadi para
pemimpin. Harta mereka pun banyak. Mereka mendirikan bangunan yang tinggi sebagai
kebanggaan dan kesombongan tehadap hamba-hamba Allah.
10. Iman kepada Qadh dan Qadar. 
Qadha adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala yang azali (telah ada) sebelum
diciptakannya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah Subhanahu
wa Ta'ala terhadap segala sesuatu dengan suatu cara, dan di waktu yang khusus. Dan
terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya. 
Iman kepada takdir dibangun dari dua hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:
• At tashdiq (pembenaran). 
Bahwasanya ilmu Allah mendahului apa yang diperbuat oleh para hambaNya, berupa
kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan sebelum mereka diciptakan. Dan
Allah telah mencatat semuanya itu di dalam Lauhil Mahfuzh.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
‫ة‬
ٍ ‫س َن‬ َ ‫ن َأ ْل‬
َ ‫ف‬ َ ‫س ْي‬
ِ ‫م‬
ْ ‫خ‬ َ ‫ما َواتِ َو ْاَأل ْر‬
َ ِ‫ض ب‬ َ ‫الس‬
َّ ‫ُق‬ ْ ‫ل َأنْ َي‬
َ ‫خل‬ َ ‫ق َق ْب‬ َ ‫هللا َمقَا ِد ْي َر ا ْل‬
ِ ‫خالَِئ‬ ُ ‫ب‬ َ ‫َك َت‬
Allah telah menulis takdir seluruh makhlukNya lima puluh ribu tahun sebelum Dia
menciptakan langit dan bumi.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
َ ‫ش ُه َعلَى ا ْل‬
‫ما ِء‬ ُ ‫َو َكانَ َع ْر‬
Dan ‘ArsyNya berada di atas air.
Seluruh amal perbuatan mereka pasti sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah Azza wa Jalla dan berjalan menurut apa yang telah diketahui oleh ilmuNya. Firqah
Qadariyyah yang ekstrim telah menafikan hal ini (ilmu Allah). Di antara tokohnya,
yaitu : Ma’bad al Juhani, Amr bin Ubaid dan selain mereka. Mereka telah menyelisihi
pendapat Salaful Ummah, sehingga mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.
Imam Ahmad, asy Syafi’i dan selain mereka berpendapat tentang kafirnya orang-orang
yang mengingkari ilmu Allah yang qadim (terdahulu).
• Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan seluruh perbuatan hambaNya berupa
berkurangnya iman, ketaatan dan kemaksiatan, dan menutupkannya di antara mereka
dengan kehendaknya.
Iman kepada qadha dan qadar ada empat tingkatan:
• Al Ilmu. 
Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmuNya, yang merupakan sifatNya yang azali
dan abadi, telah mengetahui segala amal perbuatan makhlukNya, serta mengetahui
segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki, ajal, bahagia, dan celaka.
• Al Kitaabah. 
Bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuz seluruh takdir makhluk. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
ِ ‫ن ِإلَى يَو ِم ال ِقيا َم‬
‫ة‬ ٌ ‫ه َو َكاِئ‬ ْ ‫ ُا ْك ُت‬: ‫ل‬
ُ ‫ب َما‬ ُ ‫ َما َأ ْك ُت‬:‫ل‬
َ ‫ب ؟ َقا‬ ْ ‫ل لَ ُه ُا ْك ُت‬
َ ‫ب َقا‬ َ َ‫هللا ال َقل‬
َ ‫م َقا‬ ُ ‫ق‬ َ َ‫خل‬
َ ‫ل َما‬
ُ ّ ‫أو‬
Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman
kepadanya: “Tulislah,” (maka) ia menjawab,”Apa yang harus aku tulis?” Allah
berfirman,”Tulislah semua yang terjadi sampai hari Kiamat!” [HR Ibnu Ashim di dalam
as Sunnah, no. 103; Ahmad V/317] [17].
Sebagaimana juga Allah berfirman:
‫ير‬
ٌ ‫س‬ِ ‫ه َي‬ َ ِ‫ك فِي ِك َتابٍ ۚ ِإنَّ ٰ َذل‬
ِ َّ‫ك َعلَى الل‬ َ ِ‫ض ۗ ِإنَّ ٰ َذل‬
ِ ‫ما ِء َواَأْل ْر‬
َ ‫الس‬
َّ ُ َ‫م َأنَّ اللَّ َه يَ ْعل‬
‫م َما فِي‬ ْ َ‫َأل‬
ْ َ‫م تَ ْعل‬
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab
(Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. [al Hajj :
70].
• Al Masyi’ah. 
Yaitu, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak
dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi di langit dan di
bumi hanyalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada sesuatu yang
terjadi di dalam kerajaanNya apa yang tidak diinginkanNya.
• Al Khalq. 
Yaitu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada.
Karena itu, tidak ada satupun makhluk di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang
menciptakannya, tiada pencipta selain Dia, tiada Ilah melainkan hanya Allah saja.
Sebagaimana firmanNya:
‫ل‬
ٌ ‫ي ٍء َوكِي‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ل‬ ٰ َ‫ه َو َعل‬
ِّ ‫ى ُك‬ ُ ‫ي ٍء ۖ َو‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ق ُك‬ َ ‫اللَّ ُه‬
ُ ِ ‫خ ال‬
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [az Zumar : 62].
Dengan demikian, hendaknya bagi orang yang membahas nash-nash tentang qadha
dan qadar agar memperhatikan hal-hal berikut, sehingga selamat dari penyimpangan
terhadap rukun ini :
a. Membedakan antara sifat Allah dengan sifat makhlukNya. 
Pembedaan antara ilmu Allah Azza wa Jalla dan ilmu manusia haruslah dilakukan. Sifat
ini harus ditetapkan untuk Allah dengan bentuk yang paling sempurna.
Seluruh sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah sempurna, tidak dicampuri kelemahan,
kekurangan, tidak juga keterpaksaan. Sebagaimana yang menimpa pada kekuasaan
dan kehendak makhluk, yakni kehendak makhluk memiliki keterbatasan, serba kurang,
dan dikuasai.
b. Mensucikan Allah Azza wa Jalla dari berbagai sifat yang kurang.
Wajib bagi para hamba untuk mensucikan Rabb dari kesia-siaan, kejahilan, kezhaliman
dan selainnya dari berbagai kekurangan.
c. Penelitian atau pembahasan yang menyeluruh terhadap nash-nash al Kitab dan as
Sunnah, serta keluar dengan satu hukum setelahnya.
Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama, mengumpulkan
nash-nash tentang suatu permasalahan, kemudian bersungguh-sungguh dalam
memahaminya, sesudah itu baru kemudian mengeluarkan satu hukum.
d. Allah Azza wa Jalla tidak ditanya tentang apa yang dilakukanNya.
Sebagaiman firmanNya :
َ‫سَألُون‬
ْ ‫م ُي‬
ْ ‫ه‬
ُ ‫ل َو‬
ُ ‫ما يَ ْف َع‬ ُ ‫سَأ‬
َّ ‫ل َع‬ ْ ‫اَل ُي‬
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.
[al Anbiyaa` : 23]
e. Hendaklah memiliki pengetahuan, bahwasanya seorang hamba diberi beban untuk
melakukan berbagai sebab. Adapun hasilnya berada di tangan Allah.
Tidak semua orang yang melakukan suatu sebab tertentu dan dilakukan oleh orang lain
yang semisalnya, keduanya memperoleh rizki yang sama. Terkadang seorang manusia
berusaha sungguh-sungguh, tetapi tidak mendapatkan rizki yang banyak. Sedangkan
yang lain berusaha dengan kesungguhan yang minim, akan tetapi ia memperoleh harta
yang banyak.
Bersama kesungguhan mereka, mereka juga memperoleh akibat yang buruk. Maka
berbagai hasil berada di tangan Allah. Dia-lah yang mempersiapkan balasan dalam
berbagai usaha sebagai bentuk keadilan dan kebijaksanaanNya.
11. Definisi ihsan.
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas untuk beribadah
hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah engkau melihatNya.
Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu
dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
Sabda Rasulullah ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mendefinisikan kata ihsan
“engkau menyembah Allah seolah-olah melihatNya dan seterusnya” mengisyaratkan,
bahwa seorang hamba menyembah Allah dalam keadaan seperti itu. Berarti, ia
merasakan kedekatan Allah dan ia berada di depan Allah seolah-olah melihatNya. Hal
ini menimbulkan rasa takut, segan dan mengagungkan Allah, seperti dalam riwayat Abu
Hurairah: “Hendaknya engkau takut kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya”.
Ibadah seperti ini juga menghasilkan ketulusan dalam beribadah, dan berusaha keras
untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
Tentang sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Jika engkau tidak dapat melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu”, ada yang mengatakan, sabda tersebut merupakan
penjelasanan bagi sabda sebelumnya. Bahwa jika seorang hamba diperintahkan merasa
diawasi Allah dalam ibadah dan merasakan kedekatan Allah dengan hambaNya hingga
hamba tersebut seolah-olah melihatNya, maka bisa jadi hal tersebut baginya. Untuk itu,
hamba tersebut menggunakan imannya, bahwa Allah melihat dirinya, mengetahui
rahasianya, mengetahui yang diperlihatkannya, batinnya, luarnya, dan tidak ada sedikit
pun dari dirinya yang tidak diketahuiNya. Jika hamba tersebut menempatkan diri
dengan posisi seperti ini, maka mudah bagi hamba tersebut untuk beranjak ke posisi
kedua, yaitu terus-menerus melihat kedekatan Allah dengan hambaNya dan
kebersamaan Allah dengan hambaNya, hingga hamba tersebut seperti melihatNya.
12. Etika bertanya.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan
akhiratnya. Dia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi
orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu, lalu ia melihat orang-orang yang hadir
disitu ingin mengetahui satu hal, dan ternyata masalah tersebut belum ada yang
menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan, meskipun ia sudah mengetahuinya agar
orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.
Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaklah
ia mengakui ketidaktahuannya, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak ia
ketahui.
13. Metode tanya-jawab.
Pendidikan modern pun mengakui, bahwa metode tanya-jawab merupakan metode
pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri
pendengar untuk mengetahui jawaban yang diberikan. Metode ini sering dipergunakan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mendidik generasi sahabat Radhiyallahu
'anhum.
FAWAID HADITS JIBRIL 
1. Bid’ah tentang penafian qadar timbul di Basrah pada masa sahabat, dengan
tokohnya yang bernama Ma’bad al Juhani. 
2. Kembalinya tabi’in kepada sahabat dalam mengetahui masalah agama, baik dalam
masalah aqidah atau yang lainnya. 
3. Wajib atas setiap muslim untuk bertanya tentang masalah agama kepada ulama. [an
Nahl ayat 43]. 
4. Disunnahkan bagi jama’ah haji dan umrah memanfaatkan kepergian mereka ke
Mekkah dan Madinah untuk belajar agama dan bertanya kepada ulama. 
5. Setan menyesatkan manusia dengan dua jalan. Pertama, setan menyesatkan orang
yang lalai dari ketaatan kepada Allah dihiasi dengan syahwat. Kedua, setan
menyesatkan orang yang taat kepada Allah dihiasi dengan syubhat.
6. Obat dari syubhat dan syahwat adalah kembali kepada al Qur`an dan as Sunnah
dengan pemahaman Salaf. 
7. Menunjukkan disunahkannya memakai pakaian yang bersih dan memakai wangi-
wangian ketika berada di majelis ilmu dan bertemu dengan ulama dan penguasa. 
8. Sesungguhnya orang yang berilmu, apabila ia ditanya tentang sesuatu dan dia belum
mengetahuinya, hendaklah ia mengatakan “aku tidak mengetahuinya”. Hal ini tidaklah
mengurangi kedudukannya. 
9. Ucapan “Allahu a’lam” (Allah yang mengetahui) dan “la adri” (aku tidak tahu) adalah
separuh dari ilmu. 
10. Definisi Islam yang benar adalah, tunduk patuh kepada Allah dengan tauhid,
melaksanakan ketaatan dan membebaskan diri dari syirik. 
11. Kewajiban pertama kali atas muallaf, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat;
bersaksi tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah. 
12. Penjelasan tentang Rukun Islam yang lima. Hadits ini menerangkan, Islam adalah
amal-amal anggota badan, berupa perkataan dan perbuatan. 
13. Iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman, menurut Ahlus Sunnah adalah
perkataan dengan lisan, meyakini dengan hati, melaksanakan dengan anggota tubuh,
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan dosa dan maksiat. 
14. Penjelasan tentang rukun iman yang enam. 
15. Tauhid ada tiga : Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asmaa` wa
Shifat. 
16. Iman kepada qadar baik dan buruk. Apa yang Allah takdirkan kepada kita, itu yang
terbaik untuk kita. 
17. Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah. 
18. Penjelasan tentang ihsan. 
19. Tanda-tanda kiamat, yaitu kiamat kecil. 
20. Hadits ini menunjukkan haramnya durhaka kepada orang tua. 
21. Hadits ini menunjukkan salah satu cara dari cara-cara pembelajaran, yaitu metode
tanya-jawab. 
22. Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat dapat merubah bentuk menyerupai
manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil dari al Qur`an. 
23. Dimakruhkan membangun dan meninggikan bangunan selama tidak untuk
keperluan yang sangat mendesak. 
24. Hadits ini menerangkan tentang adab-adab duduk atau bermajelis dalam majelis
ilmu, yaitu ditunjukkan Jibril duduk dekat dengan Rasulullah n . Beginilah yang
seharusnya dilakukan oleh penuntut ilmu, sehingga ia dapat mengambil ilmu dengan
seksama dan mengambil hujjah dari lisan-lisan para ulama. 
25. Tidak ada seorang pun yang mengetahui waktu terjadinya kiamat. [Lihat QS
Luqman ayat 34, al Ahzab ayat 63]. 
26. Di dalam hadits ini terdapat dalil, sesuatu hal yang ghaib tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah Azza wa Jalla semata.
Maraaji’ : 
1. Shahih Bukhari.
2. Shahih Muslim.
3. Sunan Abu Dawud.
4. Sunan At Tirimdzi.
5. Sunan an Nasaa-i. 
6. Sunan Ibnu Majah.
7. Musnad Ahmad bin Hanbal.
8. As Sunnah, oleh Abdullah bin Ahmad.
9. Shahih Ibnu Khuzaimah.
10. Musnad Abu Dawud ath Thayaalisi.
11. As Syari’ah Imam al Ajurri.
12. Shahih Ibnu Hibban.
13. Syarhus Sunnah, oleh Imam al Baghawi.
14. Ta’zhim Qadris Shalat, oleh Muhammad bin Nashr al Marwazi.
15. Syarah Shahih Muslim, oleh Imam an Nawawi.
16. Fathul Baari Syarah Shahih al Bukhari, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalaani
17. Jaami’ul Ulumul Hikam, oleh al Hafizh Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin
Syihabuddin al Baghdadi ad Dimasyqi, yang terkenal dengan Ibnu Rajab (wafat th. 755
H), tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Ibrahim Baajis, Cet. VIII, Muassasah ar Risaalah, Th.
1419 H.
18. Syarah Arba’in an Nawawiyah, oleh Muhammad Hayat as Sindi (wafat th. 1163 H),
tahqiq Hikmat bin Ahmad al Hariri, Cet. I, Ramaadi lin Nasyr, Th. 1415 H.
19. Qawaid wa Fawaid minal Arba’in an Nawawiyah, oleh Nazhim Muhammad Sulthan,
Cet. I, ad Daar as Salafiyah, Th. 1408 H.
20. Al Waafi fi Syarhil Arba’in an Nawawiyah, oleh Dr. Musthafa al Bughah dan Muhyidin
Mosto, Cet. VIII, Maktabah Daarut Turaats, Th. 1413 H.
21. Hilyatul ‘ilmi al Mu’allimi wa Bulghatu ath Thalibi al Muta’allim min Haditsi Jibril, oleh
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Cet. I, Th. 1414 H.
22. Syarh Arba’in an Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet.
III, Daarus Tsurayya, Th. 1425 H, di bawah pengawasan Mu’assasah Syaikh
Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin al Khairiyyah.
23. Syarh Hadits Jibril fi Ta’limiddiin, oleh Syaikh Dr. Abdul Muhsin bin Hamd al Abbad
al Badr, Cet. I Daarul Mughni, Th. 1424 H.
24. Syarh Ushulil Iman, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.
25. Syarh Tsalatsatil Ushul, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.
26. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Beliau seorang perawi yang tsiqat (Taqribut Tahdziib : I/319 no.7706)
[2]. Ma’bad bin Khalid al Juhami, al Qadary, dikatakan juga Ibnu ‘Abdillah bin ‘Ukaim
seorang Mubtadi’ (ahli bid’ah). Orang pertama yang berbicara untuk menolak qadar di
Bashrah, wafat karena dibunuh th.80 H. (Taqribut Tahdziib : II/198 no.6801, Mizanul
I’tidaal : IV/141 no.8646).
[3]. Lihat Ighatsatul Lahafan min Makaidi asy Syaithan
[4]. Hilyatul Ilmil Mu’allim wa Bulghatut Thalibil Muta’allim, hlm. 17-19.
[5]. Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, hlm. 68-69.
[6]. Dinukil dengan ringkas dari Qawaaid wa Fawaaid Minal Arba’in an Nawawiyah, hlm.
38-40.
[7]. HR Bukhari, no. 9, Muslim, no. 35. Lafazh ini milik Muslim dari sahabat Abu
Hurairah z .
[8]. Syarh Shahih Muslim, oleh Imam an Nawawi I/124.
[9]. Aqiidatut Tauhiid, hlm. 36, oleh Dr. Fauzan bin Abdullah al Fauzan
[10]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111,523), Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[11]. HR Ahmad (I/412, 460). Dishahihkan oleh Ahmad Muhammad Syakir di dalam
Tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 3915 dan 4396.
[12]. Ahmad (V/178,179), Ibnu Hibban (no. 94) dan al Hakim (II/262). Lihat Zaadul
Ma’ad fii Hadyi Khiril ‘Ibaad (I/43-44) dan Silsilah al Ahaadits ash Shahiihah, no. 2668.
[13]. Lihat hadits tentang haudh Nabi n di hadits riwayat Bukhari dalam kitab ar Riqaq,
Bab 53; Muslim, Kitabul Fadhail, bab Itsbat Hudli Nabiyyina n wa Sifatihi, Juz 4/173-
1800.
[14]. HR Muslim, no.183 dan Bukhari (7439) dari Abu Sa’id al Khudri. Lihat Aqidah al
Wasithiyah dan Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam.
[15]. HR Bukhari (4712) dan Muslim (194).
[16]. HR Muslim, no. 2849, 38 dari sahabat Anas bin Malik.
[17]. Dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah. Dia rawi lemah karena jelek hafalannya. Akan
tetapi ada jalan lain yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (5/317);
Ibnu Abi Syaiban (14/144); Ibnu Abi ‘Ashim no.107; al Ajurri fi asy Syari’ah, hlm. 177
dari Walid bin ‘Ubadah dari ayahnya. Sanad hadits ini hasan. (Lihat at Tanbihaat al
Lathifah).

SUMBER ARTIKEL:
http://almanhaj.or.id/…/syarah-hadits-jibril-tentang-islam…/
http://almanhaj.or.id/…/syarah-hadits-jibril-tentang-islam…/

Anda mungkin juga menyukai