Anda di halaman 1dari 11

Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

I’JAZ AL-‘ILMI DI MATA PENDUKUNGNYA


By: Iftitah Jafar

Pendahuluan
Al-Qur‟an diyakini umat Islam sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad saw.,
membuktikan kerasulannya, sebagaimana halnya mukjizat-mukjizat yang dialami oleh Nabi-
nabi yang lain. Perkembangan kontemporer teori i’jaz mendorong intelektual untuk
mengembangkan konsep i’jaz al-‘Ilmi. Sejak kemunculannya, konsep i’jaz al-‘Ilmi ini telah
mendapatkan kritikan tajam, yang oleh banyak ahli dianggap menempatkan Al-Qur‟an di
bawah relativitas sains.
Perdebatan muncul di saat sekelompok ulama berusaha untuk mengasosiasikan Al-
Qur‟an dengan penemuan-penemuan ilmiah (scientific discoveries). Sebaliknya, ulama
lainnya mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan posisi Al-Qur‟an sebagai suatu
kebenaran universal. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini yaitu
sejauhmana argumentasi di balik konsep eksistensi i‘jaz al-‘ilmi? Tulisan ini akan
mengembangkan teori sekitar i‘jaz al-‘ilmi yang diharapkan berguna dalam memperkaya
khazanah kajian i‘jaz al-Qur’an (inimitibility of the Qur’an) dan lebih mendorong peran serta
umat Islam dalam pengembangan sains dan teknologi

I’jaz al-‘Ilmi Sebagai Suatu Momentum Perkembangan Teori I’jaz


Sejak kedatangan Islam, umat Islam telah meyakini konsep kemukjizatan Al-Qur‟an
sebagai pembuktian (burhan) terhadap kenabian Muhammad saw. 1 Al-Baqillani menyatakan
bahwa “kenabian ini dibangun di atas landasan mukjizat (miracle), sebuah kemukjizatan yang
berangkat dari pewahyuan hingga hari kemudian. 2 Kesatuan pandangan sekitar doktrin i‟jaz
tidak ditemukan di antara ahli-ahli Al-Qur‟an awal atau dalam diskursus Al-Qur‟an
kontemporer. Ibn Hazm, misalnya, menolak untuk mengakui muatan estetika Al-Qur‟an
sebagai pembuktian i‟jaz, 3 sementara al-Juwayni (w. 1085), Imam al-Haramayn dan guru
Abu Hamid al-Ghazali, menolak untuk mengakui superioritas estetika al-Quran 4 . Hingga
dewasa ini, sementara ulama mencoba membuka kembali perdebatan sebagai sebuah model
baru dalam kajian kritis teks, semiotik dan linguistik.5
M. Baharuddin Alavi mengemukakan bahwa i‟jaz didasarkan pada 44 faktor.6 Jumlah
ini didasarkan pada sentesisnya terhadap teori-teori para penulis i‟jaz yang lain. Menurut al-

1
Lihat Farid Esack, “Quranic Hermeneutics : Problem and Prospects.” Muslim World 83 (1993 ), h.9.
2
Lihat Abu Bakar Muhammad ibn al-Thayyib al-Baqillani, I’jaz al-Qur’an (Cairo: al-Mathba‟a al-
Salafia, 1349 H), h. 13.
3
Lihat Abu „Ali ibn Hazm, Kitab al-Fashl fi al-Milal, Vol. 3 (Cairo : t,p, 1321H.), h. 21.
4
Lihat Abu al-Ma‟ali „Abd al-Malik al-Juwayni, al-‘Aqida al-Nizhamiyya, diedit oleh M. Kauthari
(Cairo: t. p. 1948 ), h. 54-55.
5
Di antara intelektual muslim kontemporer adalah Fazlur Rahman (w. 1988 ), Muhammed Arkoun dan
Nazr Hamid Abu Zaid meletakkan suatu wawasan mendalam ke dalan diskursus kontemporer di bidang bahasa,
Semiotic and Pluralism: An Islamic Perspective of Inter-religous Solidarity Against Opperession (Oxford
Publication, 1997), h. 64.

Lihat artikelnya “Inimitability of The Qur‟an,” Islamic Culture 14 (1950 ), h. 4. Namun demikian ia
6

tampaknya hanya menjelaskan 30 faktor penyebab dalam artikel ini.

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

Baqillani, mukjizat al-Qur‟an dapat diakumulasikan dalam tiga faktor penyebab. Ia membagi
faktor-faktor terakhir ini ke dalam 10 macam, sehingga totalnya adalah 12. Al–Mawardi
menyebutkan 20, sementara al-Qadhi Iyadh menyebutkan 4, ditambah 8 lagi dan juga
berjumlah 12. Alavi menyatakan bahwa secara keseluruhannya meliputi 44 faktor.
Satu di antara faktor-faktor tersebut adalah kemukjizatan al-Qur‟an didasarkan pada
prinsip-prinsip ilmiah yang dikandungnya yang kelihatannya belum dikenal oleh orang-orang
Arab di saat pewahyuan. 7 Tafsir Al-Qur‟an diarahkan pada beberapa faktor termasuk
pengembangan sains dan teknologi dan latar belakang intelektual penafsirnya. 8 Era modern
yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa implikasi
terhadap sikap ulama mencermati kitab suci. Kemunculan teori-teori tentang i’jaz al-‘ilmi
merupakan suatu bukti penting dalam hal ini.
Karya-karya tafsir klasik dimata Mahmud Al-Thaib 9 lebih memperlihatkan
kecenderungan pada muatan kualitas spiritual Al-Qur‟an ketimbang nuansa ilmiah. Hal ini
terrefleksi dalam fakta bahwa isyarat-isyarat ilmiah tidak dijumpai dalam terjemahan-
terjemahan Latin Al-Qur‟an. Adalah signifikan untuk menyatakan bahwa referensi-referensi
ilmiah ini telah termaktub dalam Al-Qur‟an sebelum kebangkitan pada abad ke 15 .
Perkembangan i’jaz al-‘ilmi di negeri-negeri muslim seperti Indonesia dimotivasi
antara lain oleh keinginan yang ikhlas untuk membangun suatu sistim ilmu pengetahuan.
Hasil dari proyek seperti ini dapat dilihat pada konsep islamisasi ilmu pengetahuan.
Sungguhpun telah banyak kajian tentang teori i‟jaz yang telah dilakukan dengan berbagai
cara, namun tampaknya masih sedikit diketahui tentang pembuktian-pembuktian ilmiah
untuk menunjukkan kebesaran Al-Qur‟an, sebuah pembuktian yang digali dari suatu riset
mendalam dalam sains dan teknologi. 10 Isyarat-isyarat ilmiah Al-Qur‟an menghilang dari
umat Islam sesudah abad ke 13 setelah hampir 5 abad memegang hegemoni kemudian
menurun. Kenyataannya, ayat-ayat Al-Qur‟an yang berorientasi pada prinsip-prinsip ilmiah
diakhiri dengan ungkapan “afala ya’qilun atau afala tadzakkarun,” mengajak manusia untuk
merenungi dan menyelidiki ciptaan Tuhan. 11
M. Quraish Shihab, pakar tafsir, yang dalam beberapa hal cermat dalam riset Al-
Qur‟an tampaknya tidak begitu mendukung teori i’jaz al-‘ilmi. Namun demikian ia mengakui
isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung ayat-ayat Al-Qur‟an penafsirannya terhadap ayat-ayat
ini diperkuat dengan penemuan-penemuan ilmiah modern, seperti terlihat dalam karyanya
Mukjizat Al-Quran. Ia mengajak umat Islam menghindari interprestasi spekulatif terhadap
Al-Qur‟an. Hanya saja Shihab tidak menjelaskan sejauh mana batasan spekulatif yang
dimaksud. Unsur spekulatif ini kalau dikaitkan dengan upaya pencarian makna atau
penafsiran memang sangat dimungkinkan karena secara tekstual ayat-ayat Al-Qur‟an
memang kaya dengan variasi makna. Di samping itu agaknya tidak ada rambu-rambu secara
otoritas untuk menentukan mana di antara sekian banyak makna itu yang paling benar. Perlu

7
Lihat, Ibid., h. 7.
8
Bandingkan dengan Iwan Kusuma Hamdan, et al. (ed.), Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah
Tentang IPTEK (Jakarta : Gema Insani Press, 1995 ), h. 27.
9
Lihat Artikelnya, “Isyarat „Ilmiya fi al-Qur‟an al-Karim, Majallat Kullia al-Da’wah, 10 (1993 ), h.
259.
10
Lihat Iwan Kusuma Hamdan, op. cit, h. 5.
11
Ibid h. 6.

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

diingat bahwa makna hakiki di balik ayat-ayat Al-Qur‟an secara hermeneutika hanya Allah
swt. yang mengetahuinya. Sebuah penafsiran bisa saja dianggap spekulatif oleh seseorang
yang juga sesungguhnya tidak terlepas dari klaim sunyektivitasnya sesuai dengan kerangka
referensinya.
Penulis menyayangkan sebagian ulama yang terkadang memposisikan diri mereka
sebagai rambu–rambu penafsiran sehingga dengan mudah menyalahkan penafsiran seseorang
terutama yang mencoba menangkap isyarat ilmiah Al-Qur‟an dengan latar belakang sains dan
teknologinya. Al-Qur‟an yang multi makna itu bisa didekati dari berbagai perspektif, ulama
dengan latar belakang ilmu agama yang dimilikinya tentunya hanya mampu mengungkap
dimensi spiritual ayat–ayat al-Qur‟an baik akidah, ibadah, dan akhlaq. Khazanah kekayaan
nuansa Al-Qur‟an akan terungkap bilamana digunakan pendekatan multi disipliner.
Pelacakan makna tersebut merupakan bagian dari upaya menangkap kemungkinan makna
yang dikehendaki Tuhan, dengan teori intensi pengarang (author’s intention ).
Suatu hal yang menarik adalah klaim Shihab bahwa untuk era kontemporer ini
kemukjizatan Al-Qur‟an terletak pada kekuatannya dalam menawarkan solusi terhadap
problematika kehidupan masyarakat. Issa J. Boullata guru besar Sastra Arab dan Studi Qur‟an
di McGill Univercity, Canada, sependapat dengan Shihab bahkan ia lebih jauh menegaskan
bahwah teori Shihab ini patut dipertimbangkan ketimbang hanya menghitung huruf-huruf Al-
Qur‟an dan kemudian mengklaimnya sebagai suatu mukjizat.12 Pernyataan ini berimplikasi
bahwa Boullata sesungguhnya menolak teori I‟jaz Numerik (al-i’jaz ‘adad) yang
dipromosikan antara lain oleh Rashad Khalifa, 13 „Abd al-Razzaq Nawfal14 dan Mushthafa Al-
Dabbagh. 15

12
Pernyataan ini didasarkan pada kuliah-kuliahnya pada 24 Oktober 1996 di Universal McGill,
Canada.

Bandingkan dengan Issa J. Boullata, “The Rhetorical Interpretation of the Qur‟an : I‟jaz and Related
13

Topics” dalam Andrew Rippin (ed.), Approaches to The History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford:
Clarendon Press 1988), h. 148-9. Khalifah mengklaim telah menemukan pola desain matematika mengagumkan
dari angka 19 dan kelipatannya pada keseluruhan Al-Qur‟an terutama apa yang disebutkan sebagai inisial
Qur‟ani (alif-lam-mim, dst). Dari penemuan ini Khalifah menyimpulkan bahwa kompleksitas pola kode
matematika ini dalam sebuah karya literal dari muatan Al-Qur‟an terletak jauh di balik kemampuan manusia
dan dengan sendirinya menunjukkan satu-satunya kemukjizatan Al-Qur‟an yang membuktikan sebagai wahyu
yang asli. Untuk informasi selengkapnya lihat presentasi teori Rashad Khalifa dalam artikel “Problems of 19,”
Impact International 11:12 (1981), h. 14-15. Hanya saja Muhammad Samiullah mempertanyakan mengapa
Khalifah hanya memilih angka 19 sementara dalam ayat 17 QS. Al-Haqqa disebutkan angka 8 , disimbolkan 8
malaikat yang menopang Arasy. Dalam sejarah Islam ide tentang kesucian mistik angka 19 telah
diporpagandakan oleh seoarang penipu, Babak Khurrani (yang dibunuh pada tahun 223 H. oleh salah seorang
pengikutnya. Selanjutnya kita menjumpai di abad ini, Bahaullah Mirza Hussain Ali Nuri yang mengangkat
kembali tema angka 19. Menurut kepercayaan Baha‟I, angka 19 merupakan titik sentral alam dan seluruh sistem
kosmik. Lihat Feedback Samiullah dalam “The Miracle of 19,” Impact International 11 : 12 (1981), 15.
14
Satu di antara hasil temuannya bahwa kata yaum dalam bentuk mufrad disebut sebanyak 365 kali
dalam Al-Qur‟an, sama dengan banyaknya hari dalam setahun. Bentuk jamak ayyam atau tasni‟nya yaumayn
terulang sebanyak 30 kali sama dengan jumlah hari selama sebulan. Ia juga menemukan bahwa kata syahr
(bulan) terulang sebanyak 12 kali dalam Al-Qur‟an sama dengan banyaknya bulan dalam setahun. Untuk
informasi lebih lanjut, lihat bukunya I’jaz al-‘Adadi li al-Qur’an (Cairo: Dar: al- Sya‟b, 1975), h. 25.

Al-Dabbagh mencoba mengembangkan teori i‟jaz Rasyad Khalifa dan Abd al-Razzaq Nawfal. Ia
15

membagi bukunya dalam tiga bagian yaitu I’jaz al-Balaghi, I’jaz al- ‘Adadi dan al-I’jaz al-‘ilmi. Dalam I’jaz
al-‘Adadi, ia juga memperkenalkan teori keseimbangan (tawazun) baik literal (harfi) maupun tematik
(mawdhu’i). Beberapa contoh dari temuannya adalah: 1. Kata dunya dan akhirat disebutkan sebanyak 115 kali
dalam Al-Qur‟an. 2. Kata al-hayat dan al-mawt terulang sebanyak 145 kali dalam Al-Qur‟an. Untuk uraian
selengkapnya, lihat bukunya, Wujuh Min al-I’jaz al-Qur’ani (al-Zaqra‟: Maktabat al-Manar, 1985), h.183-13.

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

Issa J.Boullata tidak menerima premis i’jaz al-‘ilmi sebagai suatu fenomena
perkembangan baru dari teori i‟jaz. Dalam pandangannya, teori ini pada esensinya
merupakan sesuatu yang dipaksakan. 16 Namun demikian ia tetap mengakui eksistensi fakta-
fakta ilmiah dalam Al-qur‟an sebagai mana juga dalam Bible. Hanya saja ia menekankan
bahwa kita seharusnya tidak berupaya untuk mengeluarkan teori-teori ilmiah dari Al-Qur‟an,
karena Al-Qur‟an itu bukan sebuah buku sains. Boullata kelihatannya masih menekankan
prinsip-prinsip i‟jaz pada aspek retorika Al-Qur‟an. 17 Hal ini tentunya terkait dengan latar
belakangnya sebagai seorang ahli sastra Arab.
Dalam perkembangan teori i‟jaz, Boullata tampaknya mendukung pandangan bahwa
konsep i‟jaz ditarik dari praktek korelasi ayat-ayat al-Qur‟an (tanasub al-ayat).18 Menurut
Ahmad Abu Zayd, ulama i‟jaz menyetujui ini kendatipun mereka menerapkannya secara
berbeda, sebahagian memfokuskannya pada korelasi kata, sementara yang lain menitik
beratkan pada korelasi makna.19 Teori korelasi ayat ini memang telah diterima oleh para ahli
Al-Qur‟an sungguhpun dalam beberapa hal terkadang spekulatif dalam arti aplikasi teori ini
terkait dengan latar belakang ilmiah mufassirnya. Ahli teologi mungkin melihat hubungan
antara ayat yang dibahasnya, namun bagi ahli filsafat kemungkinan tidak melihat adanya
hubungan tersebut.
Menurut Alrord T. Welch, pakar Studi Al-Qur‟an dari Inggris penting untuk digaris
bawahi bahwa menganggap teori korelasi sebagai suatu bentuk i‟jaz seperti diklaim ole Abu
Zayd tersebut merupakan penemuan baru karena tidak dijumpai dalam buku-buku i‟jaz
sebelumnya. Dengan dasar ini agaknya Abu Zayd lebih aman untuk mengatakan bahwa
dalam visi saya i‟jaz dapat dilihat dalam teori korelasi, ketimbang menyebut ulama i‟jaz
menerimanya, tanpa menyebutkan referensi yang jelas. Terlepas dari persoalan tersebut,
Boullata mengklaim bahwa teori ini seusungguhnya merepresentasikan reaksi yang kuat
terhadap serangan orientalis terhadap Al-Qur‟an. Orientalis, menurutnya, menilai bahwa Al-
Qur‟an tidak sistematis, melompat dari satu point ke poin lainnya sebelum poin pertama
dijelaskan dengan lengkap atau secara sempurna dikaitkan pada poin berikutnya. 20 Di mata
penulis kelihatannya lebih arif untuk mengatakan sebagian Orientalis, khususnya Orientalis
awal yang belum memiliki kemampuan Bahasa Arab yang memadai, mereka hanya
mempelajari Al-Qur‟an dengan mengacu pada terjemahannya. Di samping itu Orientalis awal
ini masih sangat kental dengan sentimen Kristenya, di pundaknya diletakkan amanah untuk
mencari kelemahan Islam, terutama kitab sucinya.
Argumen di Balik Eksistensi I’jâz al-‘Ilmȋ
Tafsir ‘ilmi (scientific exegesis) dapat dilacak akar historisnya pada sejarah umat
Islam. Tafsir ini pertama berdiri sebagai satu disiplin ilmu selama masa Abbasia, tepatnya
pemerintahan al-Ma‟mum (w.853) sebagai refleksi gerakan penerjemahan dan proliferasi

16
Lihat Boulatta, “The Rhetorical,” op, cit, h. 149.
17
Ibid, h. 148-9.
18
Berdasar pada kuliah Issa J. Boullata pada tanggal 15 November 1996 di Universitas McGill,
Canada.

Lihat Ahmad Abu Zayd, al-Bayani fi al-Qur’an : Dirasat fi al-Nazhm al-Ma’nawi wa al-Sawthi
19

(Rabat : Matba‟at al-Najah al-Jahida, 1992), h. 24.


20
Berdasar kepada kuliah Issa J. Boullata pada tanggal 15 November 1996 di Universitas McGill
Canada.

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

karya-karya para mufassir terdahulu hanya terkooptasi pada hal-hal yang dogmatis. Dengan
munculnya berbagai cabang baru dari ilmu pengetahuan seperti hukum, filsafat, teologi dan
metafisika akan merubah cara mufassir dalam menganalisis teks kitab suci. 21 Suatu
pendukung yang antusias dari perubahan ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111)22 yang
menggunakan penalaran dalam mendekati Al-Qur‟an, seperti tercermin dalam dua karyanya
Ihya’ ‘Ulun al Din dan Jawahir Al-Qur’an.
Al-Ghazali mengatakan bahwa sains, baik yang telah ditemukan maupun yang belum
dikenal, semuanya bersumber dari Al-Qur‟an.23 Alasanya adalah semua sains tercakup dalam
perbuatan (af’al) dan atribut (shifat) Tuhan yang terjabar dalam Al-Qur‟an. Ia mendasarkan
pandangannya ini pada firman Allah dalam QS. al-An‟am (6) : 38 “Tak ada sesuatupun yang
kami lupakan dalam firman Kami.” Lebih dari itu
ilmu pengetahuan tidak terbatas, dan Al-Qur‟an menyiapkan semua isyarat dari prinsip-
prinsip dasarnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan yaitu firman Allah dalam QS. al-
Syu‟ara‟ (26): 80. “dan jika saya menderita penyakit, hanya Dia-lah yang menyembuhkan
saya. Obat dan penyakit, menurut al-Ghazali, hanya dapat dipahami oleh mereka yang
menekuni bidang kedokteran. Ayat ini menurut al-Ghazali dapat menjadi dasar ilmu
kedokteran.24
Fakhr al-Din al-Razi sungguhpun tidak sepenuhnya menyetujui pendapat al-Ghazali,
ia menghiasi bukunya Mafatih al-Ghayb dengan suatu pembahasan ilmiah dalam filsafat,
teologi, ilmu alam, astronomi dan ilmu kedokteran. 25 Abu Hayyan al-Andalusi mengkritik
karya al-Razi tersebut yang dianggapnya telah menyimpang dari tafsir yang sesungguhnya. 26
Ia bahkan mengutip ungkapan ulama lain bahwa al-Razi telah memasukkan segala sesuatu
dalam tafsirnya selain tafsir itu sendiri. 27 Kritikan ini muncul karena ulama tadi telah tersekat
dalam tafsir yang hanya mengungkapkan makna teologis Al-Qur‟an sehingga penafsiran
lainnya dianggap bukan tafsir.
Jalal al-Din al-Suyuthi mengikuti dan mengembangkan tesis al-Ghazali dan al-Razi.
Sebagai tambahan dari QS. al-An‟am (6) : 38 yang digunakan oleh al-Ghazali, al-Suyuthi
juga menggunakan hadis Nabi untuk mendukung argumentasinya. Ia mengutip, misalnya dua
hadis: yang pertama di riwayatkan oleh Abu al-Syaykh dari Abu Hurayra, Nabi bersabda
“Jika Tuhan harus melupakan sesuatu dalam Al-Qur‟an Dia sudah seharusnya melupakan

21
Lihat Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsir al-Muffassirun, vol 2 ( Beirut: „Ihya‟ al-Taurats al-
„Arabi, 1976), h. 130-31; Badmas Lanre Yusuf, ”Evolution and Development of Tafsir” Islamic Quarterly 38
(1994), h. 41-2.
22
Ibid, h. 140.
23
Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 ( Cairo: al-Tsaqafa al-Islamiya, 1356 H ),
h. 301.
24
Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an (Cairo: al-Tsaqafa al-Islamiyya 1933), h. 27.
25
Lihat Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafaith al-Ghayb, vol 2 (Teheran: Dar al-Kutub al-„Ilmiyya, t.
th.), h. 215.
26
Lihat Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith, vol.1 (Cairo: Mathaba‟at al-Sa‟ada 1328 H), h.
241-2.
27
Iblid . h. 129.

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

atom, cendawa, dan nyamuk.” 28 Hadis lain berasal dari Ibnu Mas‟ud, Tuhan telah
menyampaikan semua ilmu pengetahuan dalam Al-Qur‟an, menjelaskan pemahaman segala
sesuatu akan tetapi ilmu kita terbatas untuk menggali sains dari Al-Qur‟an. 29 Patut
disayangkan bahwa al-Suyuthi tidak menyebutkan kualitas hadis-hadis tersebut. Dari ayat al-
Qur‟an dan hadis yang dikutip di atas al-Suyuthi menarik kesimpulan bahwa Al-Qur‟an
merupakan sumber ilmu pengetahuan umum dan ilmu-ilmu agama. 30
Penilaian yang sama dikemukakan oleh Thanthari Jawhari (W.1940) dalam Tafsir al-
Jawahir. 31 Ia keheranan mengapa umat Islam tidak mempraktekkan tafsir ‘ilmi pada hal
terdapat lebih dari 750 ayat tentang sains sementara hanya 150 ayat dalam masalah fiqhi . 32
Ia lebih jauh berargumentasi bahwa “Tuhan tidak akan mewahyukan Al-Qur‟an sekiranya
Dia tidak memasaukkan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh manusia. Sains sudah jelas
sangat diperlukan di dunia modern ini, karena itu tidak mengherankan untuk menemukan
semua ilmu dalam Al-Qur‟an di kala kitab suci ini dipahami secara proporsional.” 33 Al-
Jawhari dalam tafsirnya mengklaim bahwa Al-Qur‟an terdiri atas prinsip-prinsip sains seperti
ilmu kimia, fisika, astronomi, ilmu kedokteran, dan spiritualitas. 34 Sebagai respon terhadap
tafsir ini, Shubhi al-Shalih mengatakan bahwa tafsir ini telah meliputi segala sesuatu kecuali
tafsir itu sendiri. 35 Shubhi al-Shalih kelihatannya tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Al-
Qur‟an dengan teori-teori ilmiah, atau setidaknya ia keberatan untuk menyebut penjelasan Al-
Qur‟an yang didasarkan pada teori saintifik sebagai sebuah bentuk tafsir.
Muhammad Rasyid Ridha mencoba menerapkan teori tersebut dalam Tafsir al-
Manar. Tanpa melibatkan diri pada sesuatu yang sangat teknis, Ridha selalu mengaitkan
penafsirannya dengan teori ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Ia kelihatannya mendukung teori evolusi Darwin. Sewaktu menafsirkan QS. Al-Baqarah (2):
249-52, yang menceritakan kisah Thalut dan Jalut, Ridha mengeluarkan 14 konsep sosiologis
dari ke 4 ayat tersebut. Teori ke 13, misalnya, melukis “berjuang untuk eksis” (Tanazu’ al-
baqa’), sedang teori ke 14 adalah seleksi alam (al-intikhab al-thabi’i ) atau (baqa’ al-
amtsal).36 Selain itu, dalam analisisnya tentang pertanyaan malaikat “mengapa Tuhan akan
28
Karim al-Sayyid Ghunaym, al-Isyarat al-‘Ilmiya fi al-Qur’an al-Karim: Bayn al-Dirasa wa
Tathbiq (Cairo : Dar al-Fikr al-„Arabi), h. 128-9.
29
Iblid, 129.

Lihat Na‟im al-Himshi, “Tarikh Fikrat I‟jaz al-Qur‟an: Mundz al-Bi‟tsa al-Nabawiyya Hatta al-„Ashr
30

al-Hadhir Ma‟a al-Naqd,” Majallat al-Majma’ al-‘Arabi, 28 (1953), h. 418.


31
Buku ini pernah dilarang beredar di Saudi Arabia. Lihat Na‟ila Faruqi, et al (ed.), Thariqa al-Tahlil
al-Balaghi wa al-Tafsir (Beirut: Dar al-Masyriq, t, th.), h. 42.

Lihat Thantawi, al-Jawahir fi al-Tafsir al-Qur’an al-Karim, vo. 1 (Cairo: Mushtafa al-Babi al-
32

Halabi wa Awladuh, t,th.), h. 5.

Andrew Rippin, “Tafsir” dalam Mircea Eliade (ed.), Encyclopedia of Religion, vol. 12 (New York :
33

Macmilan Publishing Company, 1987), h. 225.


34
Lihat al-Sayyid Ahmad Khalil, Dirasat fi al-Qur’an (Beirut: Dar al-Nahdha al-„Arabiyya, 1969), h.
145.
35
“… Fainna fi tafsirihi kulla syay’in ma ‘ada al tafsir.” Shubhi al-Shalih mengemukakan
penilaiannya ini dalam karyanya Mabahits fi ‘Ulum al Quran (Beirut: Dar al-Iimi li al-Malayin,1990), h. 227.
36
Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. 2 (Ciro: Dar al-Manar 1938), h. 492-98.
Bandingkan dengan Ignaz Goldziher, Die Richtungeng der islamischen koranauslegung, diterjemahkan ke
dalam Bahasa Arab oleh „Abd al-Halim al-Najjar dengan judul “Madzahib al-Tafsir al-Islamiyya,” (Cairo: al-

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

menciptakan manusia” Ridha berargumentasi bahwa malaikat tidak mungkin mengajukan


pertanyaan ini jika sekiranya manusia belum pernah eksis di bumi. Hal ini, menurut Ridha
mengindikasikan bahwa teori Darwin tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an. 37
Menurut Ignas Goldziher, penafsiran Ridha berusaha untuk membuktikan bahwa Al-
Qur‟an memuat kebenaran-kebenaran ilmiah yang ditemukan oleh para ahli, terutama dalam
bidang filsafat dan sosiologi. 38 Namun demikian Ridha dianggap tidak konsisten dalam
pendekatan pada i’jaz al-‘ilmi karena ia mengecam mufassir yang menyibukkan diri dalam
pendekatan mereka dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Ia mengeritik al-Razi dan para
pendukungnya atas upaya mereka mengaitkan ayat-ayat Al-Qur‟an sengan astronomi,
biologi yang dapat menghadirkan tujuan pembaca untuk menangkap hidayah Al-Qur‟an. 39
Akan tetapi kenyataannya Ridha sendiri menerapkan teknik penafsiran seperti itu. J. J. G.
Jansen sendiri menganggap Ridha sebagai salah seorang penentang i‟Jaz al-„ilmi. 40 Menurut
Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ridha dalam pendahuluan tafsirnya mengecam
orang yang menggunakan paradigma ilmiah dalam tafsir mereka.41
Maurice Bucaile, ahli bedah Bangsa Francis ternama, yang konversi ke agama Islam
setelah dengan yakin akan penelitiannya tentang penciptaan manusia dalam konsep Bible dan
al-Qur‟an. Dalam bukunya the Bible, Qur’an and Science 42 yang dianggap oleh Hugh
Goddard sebagai salah satu buku Islam yang terlaris akhir-akhir ini, ia berargumentasi bahwa
sains pada hakikatnya mempermantap kebenaran dalam Al-Qur‟an. Senada dengan pendapat
ini Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi mengatakan bahwa agar seorang Muslim dapat
memahami ayat-ayat Al-Qur‟an secara sempurna maka hendaknya ia menjadikan ilmu-ilmu
modern sebagai alat bantu dalam menelaah Al-Qur‟an.43
Al-Kirmani berpendapat bahwa ulama mempunyai hak untuk menafsirkan Al-Qur‟an
selama penafsirannya didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. 44 Ia kemudian tampaknya
menolak Teori Evolusi Darwin berdasarkan fakta ia kontradiktif dengan konsep-konsep

Sunnah al-Muhammadiyah, 1955), h. 328; „Abd Allah Mahmud Syihata, Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh
fi al-Tafsir al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar wa Mathabi „al-Sya‟bi, 1963), h. 250.
37
Lihat Ridha, Tafsir , vol.8, h. 738; Goldziher, Die Richtungen, h. 382. .
38
See Goldziher, Die Richtungen, h. 375.
39
Lihat Ridha Tafsir, vol. 1, h. 7.
40
Lihat J. J. G. Jansen, The interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E. J. Brill, 1974), h.
53.
41
Lihat „Abd al-Majid „Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashri al-Rahin,
diterjemahkan oleh Moch Maghfur Wachid dengan judul “Visi dan Pradigma Tafsir al-Qur‟an,” (Bangil: al-
Izzah, 1997), h. 53.
42
Buku ini pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Perancis oleh penerbit Seghers 1976 dan telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Arab. Lihat Hugh Goddard, Christian and Muslim:
From Double Standard to Mutual Understanding (Richmond: Curzon Press,1995), h. 25.
43
Lihat Shalah „Abd al-Fattah al-Khalidi, Mafatih li al Ta’ammul Ma’a al-Qur’an (Yordania:
Mathba„at al-Manar, 1990), h. 103.
44
Lihat al-Syaykh „Izza Dasuqi, “Ra‟yun fi al Tafsir al-„Ilm,” Majallat al-Azhar 10 (1979), h. 2333.

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

penciptaan manusia seperti dilukiskan dalam QS. al-Tin (95) : 4 “Sungguh Kami telah
menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya.”45
Dengan tetap menyadari kemungkinan resiko penafsiran saintifik, Al-Hakimi
mengklaim bahwa kita mempunyai suatu tugas untuk mengkaji Al-Qur‟an secara ilmiah
biarlah generasi berikutnya yang menunjukkan kesalahan interpretasi kita. 46 Sehubungan
dengan ini al-Zandani menyatakan menjadi kewajiban bagi para ilmuan muslim untuk
menggali prinsip-prinsip ilmu alam dari Al-Qur‟an sebagaimana ahli-ahli lain menggali
linguistik, usul fiqhi dan ilmu-ilmu syariah dari Al-Qur‟an. 47
Ahmad Baiquni, fisikawan pertama di Indonesia dan ahli nuklir, mecoba
menerangkan ayat-ayat kawni dengan berdasar pada paradigma sains dan teknologi.
Menurutnya ayat-ayat kawni tersebut harusla diteliti sebagaimana seorang detektif membaca
bekas-bekas dan meneliti barang-barang yang tertinggal di tempat terjadinya suatu peristiwa,
atau mengamati perilaku sasarannya untuk sampai pada suatu kesimpulan tentang apa yang
sebenarnya terjadi. 48 Pandangan tersebut sesungguhnya berangkat dari banyak ayat yang
memang secara tekstual mendorong upaya penelitian. Hanya masalahnya adalah umat Islam
pada umumnya, khususnya di Indonesia selain akan terbentur pada masih rendahnya kualitas
sumber daya juga akan dihadapkan pada problem terbatasnya laboratorium.
Eksistensi i’Jaz al-‘ilmi pada dasarnya ditegakkan di atas tiga landasan pemikiran.
Pertama, ia mengacau pada prinsip keunivesalan pesan Al-Qur‟an yang memuat pokok-
pokok pedoman hidup dalam berbagai aspeknya, termasuk aspek ilmu pengetahuan. Kedua,
diakui baik oleh pendukung jenis i‟jaz ini, maupun yang menolaknya bahwa ayat-ayat Al-
Qur‟an memuat isyarat-isyarat ilmiah. Isyarat-isyarat ilmiah ini akan terungkap dengan baik
apabila mufassirnya menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah. Ketiga, dengan i’jaz al-
‘ilmi ini umat Islam dapat menunjukkan keunggulan kitab suci Al-Qur‟an dan ia dapat
menjadi media dakwah bagi orang yang menelitinya.
Penutup
Al-Qur‟an sebagai kitab hidayah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dimensi
ilmu pengetahuan sebagai pedoman ke arah peningkatan dan pengembangan ilmu
pengtahuan, al-Qur‟an tentunya harus memuat prinsip-prinsip ilmiah dan ternyata sebagian di
antaranya telah ditemukan oleh para ahli. Penemuan-penemuan ilmiah ini sesungguhnya telah
menunjukkan kemukjizatan Al-Qur‟an yang pada awalnya diturunkan kepada masyarakat
yang ummi. Hanya saja patut disayangkan bahwa hasil-hasil temuan ilmiah tersebut justru
ditemukan oleh orang-orang non-Muslim yang dengan kemampuan ilmiah disertai fasilitas
modern dan ketekunan yang luar biasa tanpa perasaan putus asa kalau kurang atau tidak
berhasil dalam percobaan-percobaan mereka.
Umat Islam terkadang mendapat kritikan tajam dari para penemu tersebut yang
dianggapnya terlalu mudah untuk mengklaim temuan-temuan mereka terjustifikasi oleh Al-
Qur‟an. Non-Muslim sesungguhnya mengharapkan kalau memang Al-Qur‟an dianggap sarat

45
Ibid.

Lihat Muhammad Ridha al-Hakimi, al-Qur’an Yasbiqu al-‘Ilm al-Hadits


46

(Kuwait: Dar al-Qabas, 1971), h. 71


47
Lihat „Abd al-Majid al-Zandani, “al-Mu‟jizat al-„Ilmiyya fi al-Qur‟an wa al-Sunna,“ al-Dirasa al-
Islamiyya 4 (1987), h. 38.
48
Lihat Achmad Baiquni, al-Qur’an: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakarta: PT. Dana Bhakti
Prisma Yasa, 1995), h. 2

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

dengan muatan ilmiah seperti itu mengapa umat Islam tidak tampil melakukan penelitian
untuk selanjutnya menunjukkan kepada Barat dan tidak hanya menunggu temuan Barat lalu
dijustifikasi dengan ayat-ayat Al-Qur‟an. Keberatan Barat sesungguhnya adalah setelah
mereka berusaha semaksimal mungkin dalam penelitiannya dengan berbagai pengorbanan
dan mengajukan suatu hasil mencegangkan biasanya umat Islam, khususnya ulama dengan
mudah saja langsung mengklaim bahwa itu bukanlah hal yang baru karena Al-Qur‟an telah
mencantumkannya beberapa abad sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Alavi, M. Baharuddin. “Isyarat „Ilmiya fi al-Qur‟an al-Karim.” Majallat Kulliat al-
Da’wah. 10 (1993 ),

al-Andalusi, Abu Hayyan. al-Bahr al-Muhit. vol.1. Cairo: Mathaba‟at al-Sa‟ada,


1328 H.

al-Baqillani, Abu Bakar Muhammad ibn al-Thayyib. I’jaz al-Qur’an. Cairo: al-
Mathba‟a al-Salafia, 1349 H.

Baiquni, Achmad. al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: PT. Dana
Bhakti Prisma Yasa, 1995.

Boullata, Issa J. “I’jᾱz” dalam Mircea Eliade (ed). The Encyclopedia of Religion.
Vol. II. New York: Macmillan Publishing Company, 1987.

------------- “The Rhetorical Interpretation of the Qur‟an : I‟jaz and Related Topics”
dalam Andrew Rippin (ed.), Approaches to The History of the Interpretation of the Qur’an
(Oxford: Clarendon Press 1988).

Al-Dabbagh. Wujuh Min al-I’jaz al-Qur’ani. al-Zaqra‟: Maktabat al-Manar, 1985.

Dasuqi, al-Syaykh „Izza. “Ra‟yun fi al Tafsir al-„Ilm,” Majallat al-Azhar 10 (1979).

al-Dzahabi, Muhammad Husayn. al-Tafsir al-Muffassirun. vol 2 Beirut: „Ihya‟ al-


Taurats al-„Arabi, 1976.

Esack, Farid. “Quranic Hermeneutics: Problem and Prospects.” Muslim World 83


(1993 )

----------------. Semiotic and Pluralism: An Islamic Perspective of Inter-religous


Solidarity Against Opperession (Oxford Publication, 1997), h. 64.

Faruqi, Na‟ila et al (ed.). Thariqa al-Tahlil al-Balaghi wa al-Tafsir. Beirut: Dar a-


Masyriq, t, th..

Gätje, Helmut. The Qur’an and Its Exegesis. diterjemahkan dan diedit oleh Alford
T.Welch. Oxford : Oneworld, 1996.

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulum al-Din. vol. 1 Cairo : al-Tsaqafa al-Islamiya,
1356 H.

--------------, Jawahir al-Qur’an. Cairo: al-Tsaqafa al-Islamiyya 1933.

Ghunaym, Karim al-Sayyid. al-Isyarat al-‘Ilmiya fi al-Qur’an al-Karim: Bayn al-


Dirasa wa Tathbiq. Cairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, t. th.

Goddard, Hugh. Christian and Muslim: From Double Standard to Mutual


Understanding. Richmond: Curzon Press, 1995.

Goldziher, Ignaz. Die Richtungeng der islamischen koranauslegung, diterjemahkan


ke dalam Bahasa Arab oleh „Abd al-Halim al-Najjar dengan judul “Madzahib al-Tafsir al-
islamiyya.” Cairo: al-Sunna al-Muhammadiyah, 1955.

al-Hakimi, Muhammad Ridha. al-Qur’an Yasbiqu al-‘Ilm al-Hadits. Kuwait: Dar al-
Qabas, 1971.

Hamdan, Iwan Kusuma et al. (ed.). Mukjizat al-Qur’an dan al-Sunnah Tentang
IPTEK. Jakarta : Gema Insani Press, 1995.

al-Himshi, Na‟im. “Tarikh Fikrat I‟jaz al-Qur‟an: Mundz al-Bi‟tsa al-Nabawiyya


Hatta al-„Ashr al-Hadhir Ma‟a al-Naqd.” Majallat al-Majma’ al-‘Arabi, 28 (1953).

Ibn Hazm, Abu „Ali. Kitab al-Fashl fi al-Milal. vol. 3. Cairo: t, p, 1321 H.

Jansen, J. J. G. The interpretation of the Koran in Modern Egypt. Laiden: E. J.Brill,


1974.

Jawhari, Thantawi. al-Jawahir fi al-Tafsir al-Qur’an al-Karim, vo. 1 (Cairo:


Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, t,th.).

al-Juwayni, Abu al-Ma‟ali „Abd al-Malik. al-‘Aqida Al-Nizhamiyya, diedit oleh M.


Kauthari. Cairo: t. p. 1948.

al-Khalidi, Shalah „Abd al-Fattah. Mafatih li al Ta’ammul Ma’a al-Qur’an.


Yordania: Mathba„ah al-Manar, 1990.

Khalifa, Rashad. “Problems of 19,” Impact International 11: 12 (1981).

Khalil, al-Sayyid Ahmad. Dirasat fi al-Qur’an. Beirut: Dar al-Nahdha al-„Arabiyya,


1969.

al-Muhtasib, „Abd al-Majid „Abd al-Salam. Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashri al-Rahin,


diterjemahkan oleh Moch Maghfur Wachid dengan judul “Visi dan Pradigma Tafsir al-
Qur‟an.” Bangil: al-Izzah, 1997.

Nawfal, Abd al-Razzaq. I’jaz al-‘Adadi fi al-Qur’an. Cairo: Dar: al-Sya‟b, 1975.

Rahman, Fazlur. “Inimitability of The Qur‟an.” Islamic Culture 14 (1950 ).

Volume 2 Nomor 2/2001 315


Iftitah Ja‘far I’jaz al-ilmi di Mata Pendukungnya

al-Razi, Fakhr al-Din. Tafsir Mafaith al-Ghayb. Vol 2. Teheran: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyya, t. th.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Vol. 2. Ciro: Dar al-Manar 1938.

Rippin, Andrew. “Tafsir” dalam Mircea Eliade (ed.). Encyclopedia of Religion, vol.
12. New York : Macmilan Publishing Company, 1987.

Samiullah, Muhammad. “The Miracle of 19,” Impact International 11: 12 (1981).

al-Shalih, Shubhi. Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an. Beirut: Dar al-Iimi li al-Malayin,


1990.

Syihata, „Abd Allah Mahmud. Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi al-Tafsir al-
Qur’an al-Karim. Cairo: Dar wa Mathabi„ al-Sya‟bi, 1963.

Yusuf, Badmas Lanre.”Evolution and Development of Tafsir” Islamic Quarterly 38


(1994).

al-Zandani „Abd al-Majid. “al-Mu‟jizah al-„Ilmiyyah fi al-Qur‟an wa al-Sunnah.“ al-


Dirasa al-Islamiyyah 4 (1987).

Zayd, Ahmad Abu. al-Bayani fi al-Qur’an: Dirasat fi al-Nazhm al-Ma’nawi wa al-


Sawthi. Rabat: Matba‟at al-Najah al-Jahida, 1992.

Volume 2 Nomor 2/2001 315

Anda mungkin juga menyukai