Anda di halaman 1dari 12

Wahyu dan Teori-Teori Sains Modern

Para ilmuwan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam merespon sains
modern: Pertama, kelompok yang menganggap bahwa sains modern bersifat universal dan
netral dan semua sains tersebut dapat diketemukan dalam al-Qur’an. Kelompok ini disebut
kelompok Bucaillian, pengikut Maurice Bucaille, seorang ahli bedah Perancis dengan
bukunya yang sangat populer, The Bible, the Quran and Science; Kedua, kelompok yang
berusaha untuk memunculkan persemakmuran sains di negara-negara Islam, karena kelompok
ini berpendapat, bahwa ketika sains berada dalam masyarakat Islam, maka fungsinya akan
termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam
(lihat Sardar, 1988:167-171). Tokop-tokoh seperti Ismail Raji Al-Farauqi, Naquib Al-Attas,
Abdussalam dan kawan-kawan bisa diklasifikasikan dalam kelompok ini, dengan
konsep Islamisasi-nya. Ketiga, kelompok yang ingin membangun paradigma baru
(epistemologi) Islam, yaitu paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku. Paradigma
pengetahuan memusatkan perhatian pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam yang
menyangkut pencarian bidang tertentu; dan paradigma perilaku menentukan batasan-batasan
etika di mana para ilmuwan dapat dengan bebas bekerja (Sardar, 1988:102). Paradigma ini
berangkat dari al-Qur’an, bukan berakhir dengan al-Qur’an sebagaiman yang diterapkan oleh
Bucaillisme (lihat, Sardar:169). Kelompok ini diwakili oleh Fazlurrahman, Ziauddin Sardar
dan kawan-kawan.

Upaya pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam memang bukan hal baru, melainkan sudah
dilakukan oleh ulama-ulama sejak dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif mereka
mengenai  ”apakah al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan atau hanya sebagai
petunjuk agama saja?” Dari sini lantas muncul dua kelompok. Kelompok pertama misalnya
seperti yang dikatakan Al-Ghazali (lihat Ihya’ Ulumuddin, jilid V : 1). Beliau mengatakan,
bahwa seluruh ilmu tercakup dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur’an adalah
penjelasan esensi-esensi, sifat–sifat dan perbuatan-Nya. al-Qur’an itu laksana lautan yang tak
bertepi, dan jika sekiranya lautan itu menjadi tinta untuk menjelaskan kata-kata Tuhanku,
niscaya lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir (lihat Al-Ghazali, 11329 H:
9, 32).

As-Suyuti memiliki pandangan yang sama dengan mengatakan, bahwa al-Qur’an itu
mengandung seluruh ilmu-ilmu klasik dan modern. Kitab Allah itu mencakup segala
sesuatunya. Tidak ada bagian atau problem dasar suatu ilmu pun yang tidak ditunjukkan di
dalam al-Qur’an (As-Suyuthi, 1979, I: 1). Kelompok kedua, seperti yang diwakili oleh As-
Syatibi mengatakan, bahwa orang-orang salih zaman dulu (para sahabat) tidak berbicara
tentang bentuk-bentuk ilmu, padahal mereka lebih memahami al-Qur’an (lihat Az-Zahabi,
1987: 485, 489, Quraish Shihab, 1992: 41).

Ulama’ masa kini yang tidak setuju dengan adanya konsep sains dalam al-Qur’an berpendapat,
bahwa al-Qur’an itu kitab petunjuk di dunia maupun di akhirat, bukan ensiklopedi sains.
Mencocok-cocokkan al-Qur’an dengan teori-teori sains yang tidak mapan (selalu berubah-
ubah) adalah sangat mengancam eksistensi al-Qur’an itu sendiri (Ghulsyani, 1991: 141).

Perbedaan ini juga akibat pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an dalam surat An-Nahl:
89: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang berserah diri”.   Dalam konteks
ini saya sependapat dengan Mushthafa Al-Maraghi yang  berpendapat, bahwa al-Qur’an
mengandung prinsip-prinsip umum, artinya seseorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan
tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan
prinsip-prinsip tersebut. Dan kewajiban ilmuwan adalah menjelaskan rincian-rincian yang
diketahui pada masanya kepada masyarakat. Adalah penting menafsirkan makna ayat dalam
sorotan sains. Tetapi juga tidak boleh berlebih-lebihan menafsirkan fakta-fakta ilmiah dengan
mencocok-cocokkan al-Qur’an. Bagaimana pun jika makna lahiriah ayat itu konsisten dengan
sebuah fakta ilmiah yang telah mantap, kita menafsirkan dengan bantuan fakta itu. (Ghulsyani,
1991: 143).

Meski demikian, sebagaimana yang dijelaskan Ghulsani (1991:144), bahwa walaupun al-
Qur’an bukanlah merupakan ensiklopedi sains, namun yang perlu diperhatikan ada pesan
penting di dalam ayat-ayat yang melibatkan fenomena, dan para ilmuwan Muslim harus
memusatkan perhatiannya pada pesan atau misi tersebut dari pada melibatkan diri pada aspek-
aspek keajaiban al-Qur’an dalam bidang sains.

Menurut Quraish Shihab (1992:41), membahas hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan
bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di
dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran-kebenaran teori ilmiah, melainkan
pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian
dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.  Menurut
Shihab, mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting dari pada menemukan teori
ilmiah, karena tanpa mewujudkan iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori
tersebut akan mengalami nasib seperti  Galileo yang menjadi korban hasil penemuannya
(Shihab, 1992: 44).

Jadi, kembali kepada penafsiran ayat al-Qur’an atau juga Al-Hadis, sesungguhnya kita hendak
mengatakan bahwa nas-nas itu memiliki perhatian besar terhadap ilmu, bahwa agama (Islam)
itu memiliki ruh, concern terhadap ilmu dan sikap keilmuan. Dan seperti yang disebutkan oleh
Kuntowijoyo (1991:329-331), bahwa kita ini ingin membangun paradigma al-Qur’an dalam
rangka memahami realitas dengan berusaha semaksimal mungkin untuk menempatkan
preposisi-preposisi al-Qur’an tetap sebagai “unsur konstitutif” yang sangant berpengaruh. Ini
yang terpenting.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju) karena dua
hal: pertama, karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan
keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu
pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar
mereka (Bandingkan dengan Ghallab: 121). Mengenai pergumulan dan akulturasi budaya
tersebut memang ditunjang oleh ajaran Islam itu sendiri yang inklusif, terbuka.

Dalam sejarahnya belum pernah ada agama yang  menaruh perhatian  sangat besar dan lebih
mulia terhadap ilmu kecuali Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama
yang lain adalah perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan
mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan
pun mendapatka perlakuan yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. al-
Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu
serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur (untuk ini lihat Abdul Halim Mahmud,
1979: 61-62).

            Dalam al-Qur’an, kata ‘ilm dan kata jadiannya disebutkan kurang lebih mencapai 800
kali. Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh al-
Qur’an al-Karim (lihat Fuad Abdul Baqi, tt.:469-481) melaporkan, bahwa kata ‘ilm (ilmu)
dalam al-Qur’an baik dalam bentuknya yang definitif (ma’rifat) maupun indefinitif (nakirah)
terdapat 80 kali, sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti
kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka menegetahui), ‘alim (sangat tahu) dan
seterusnya, disebutkan beratus-ratus kali. Kata ‘aql (akal) tidak terdapat dalam bentuk nomina,
kata benda (mashdar), tetapi yang ada adalah kata al-albab sebanyak 16 kali. Dan kata al-
nuha sebanyak 2 kali. Adapun kata yang berasal dari kata ‘aql itu sendiri berjumlah 49.
Kata fiqh (paham) muncul sebanyak 2 kali, kata hikmah (ilmu, filsafat) 20 kali, dan
kata burhan (argumentasi) sebanyak 20 kali. Belum termasuk kata-kata yang berkaitan
dengan ‘ilm atau fikr seperti kata unzuru (perhatikan, amatilah, lihatlah), yanzhurun (mereka
memperhatikan, mereka mengamati dan seterusnya) (Al-Qardhawi, 1986:1-2).

Selain itu, jika kita telaah kitab-kitab hadis, semuanya penuh dengan kata-kata ‘ilm tersebut.
Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih karya Al-Bukhari kita dapati 102 hadis. Dalam Shahhih
Muslim dan yang lain seperti al-Muwatha’, Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu Daud, al-Nasai, Ibn
Majah terdapat pula bab ilmu. Belum lagi kitab-kitab yang lain, misalnya Al-
Faturrabbani yang memuat sebanyak 81 hadis tentang ilmu, Majma’ az-Zawaid memuat 84
halaman, al-Mustadrak karya An-Naisaburi memuat 44 halaman, al-Targhib wa ‘l-
Tarhib karya Al-Wundziri memuat 130 hadis sedangkan kitab Jam’ al Fawaid Min Jami’ al-
Ushul wa Majma’ al-Zawaid karya Sulaiman memuat 154 hadis tentang ilmu tersebut (Al-
Qardhawi, 1986, lihat juga Weinsink, al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits al-
Nabawi, Leiden, 1962: 312-339).

Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan pentingnya


membaca, menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru:

 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya (QS. Al-Alaq: 1-5).

Sebagaimana yang dituturkan oleh Thanthawi Jauhari (1350 H: 217), bahwa bertambahnya
kemuliaan itu adalah karena ilmu, dan Allah adalah Zat yang menyebarkan dan mengajarkan
ilmu itu dengan pena. Tidakkah  menakjubkan, bahwa Nabi adalah seorang ummi, sementara
surat pertama kali yang diturunkan menyangkut masalah “pengajaran” dan “pena”? Dan
bagaimana kemudian Nabi itu memelihara ilmu dengan menyuruh kepada para sahabat untuk
mencatat dan menyebarluaskan kepada yang lain? Bukankah perkembangan ilmu pengetahuan
begitu meluas setelah keutusan Nabi?

Sebagian ahli tafsir berpendapat, ar-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan “iqra”
dalam ayat pertama itu berarti “belajar” dan “iqra” yan kedua berarti “mengajar”. Atau yang
pertama berarti “bacalah dalam shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu”
(Binti Syathi’, 1968:20. Bandingkan  dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul Halim
Mahmud, 1979:55-56).

Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “qalam” adalah “tulisan”. Karena
tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka
tidaklah tegak persoalan agama dan dunia (Mahmud, 1979:23  lihat juga Abu Hayan, tt.: 492).

Dan tentang penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa Malaikat pun diperintahkan untuk
sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama
benda itu, jika kamu memang orang-orang yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-32).

Al-Qur’an juga menandaskan, bahwa tidaklah sama antara mereka yang mengetahui dengan
yang tidak mengetahui: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahuidengan
orang-orang yang tidak mengetaui?’. Sesungguhnya orang yang berakallah orang yang dapat
menerima pelajaran” (QS. Ak-Zumar: 9).
Dan perumpaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-
orang yang berilmu” (QS. Al-Ankabut: 43). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (QS. Al-Fathir: 28). Dan masih banyak lagi ayat al-
Qur’an yang mwenyinggung masalah yang berkaitan dengan ilmu itu. Dalam Hadis Nabi juga 
disebutkan antara lain: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam” (HR. Ibn Majah).
“Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali
(HR. Bukhari dan Muslim).  “Carilah ilmu walau sampai di negeri Cina”. Hadis di atas
sanatnya dhaif tapi matannya populer (lihat catatan kaki Ihya’ Ulumuddin, 1975, juz 1: 15).
“Kalimat hikmah (ilmu) itu bagaikan (barang) hilangnya orang Mukmin. Dimana pun orang
menemukan, maka ia lebih berhak atasnya”. Hadis di atas sanadnya dhaif tapi maknanya
shahih (Al-Qardhawi, 1989: 56). “Wahai sekalian manusia belajarlah. Ilmu hanya diperoleh
melalui belajar…(HR. Ibn Abi ‘Ashim dan At-Thabrani).  “Para ulama’ itu adalah pewaris
para Nabi (HR. Ibn Majjah).

Dan masih banyak lagi hadis yang menyebutkan tentang hal ini. Hanya di sini ada persoalan
yang cukup menjadi perhelatan pagi para ahli (ulama’). Persoalannya adalah, “ilmu yang
manakah yang wajib dicari atau diperoleh oleh setiap Muslim itu? Apakah ada bentuk ilmu
khusus, atau ada ilmu prioritas?”.

Dari sinilah lantas setiap kelompok mengklaim pendapatnya sendiri. Para ahli kalam
mengakui belajar ilmu kalam merupakan kewajiban yang dituntut (di-fardhukan), sedang ahli
fiqh juga demikian, bahwa ilmu yang diwajibkan adalah ilmu fiqh. Dan kelompok ahli tafsir
dan juga ahli hadis mengakui kewajiban yang ditentukan adalah tafsir dan hadis. Demikian
juga ahli tasawuf dan seterusnya. Dalam hal ini Al-Ghazali menghimpun sekitar 20 pendapat
yang berbicara tentang ilmu yang difardhukan ini (lihat Al-Ghazali, 1975, I: 15, lihat pula
Sunan Ibn Majjah, I: 98).

Al-Ghazali sendiri lalu involved terhadap penggolongan ilmu tersebut, sehingga ia sangat


populer dengan pembagiannya mengenai “ilmu agama dan non agama”, ilmu yang fardhu
‘ain dan fardhu kifayah”, “ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela” (Al-Ghazali, 1975: 28).
Sebagaimana yang dikutip oleh Mahdi Ghulsyani (1991: 43), Shadrudddin Syirazi dalam
komentarnya terhadap “wajib bagi setiap Muslim”, menuturkan:

1. Bahwa kata ilmu di sini mengandung makna yang luas dan umum (generik) yang
mencakup spektrum arti yang telah digunakan dalam sunnah Nabi. Hadis tersebut
bermksud untuk menetapkan bahwa tingkat ilmu apapun seorang Muslim harus
berjuang untuk mengembangkan lebih jauh;
2. Hadis tersebut mengisyaratkan makna bahwa seorang Muslim tidak akan pernah akan
keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu;
3. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam dirinya
sendiri; karena ilmu laksana cahaya yang selalu dibutuhkan. Ilmu dianggap tercela
karena akibat-akibat tercela yang dihasilkan.

            Banyak para ahli belakangan ini yang tidak sependapat dengan klasifikasi ilmu yang
dikhotomis yang dibuat oleh Al-Ghazali. Ghulsyani sendiri misalnya mengatakan, bahwa ilmu
yang wajib dicari oleh setiap Muslim adalah ilmu yang menyangkut posisi manusia pada hari
akhirat dan yang mengantarkan kepada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabi-
Nya, utusan-utusan-Nya, sifat-sifat-Nya, hari akhirat dan hal-hal yang menyebabkan dekat
dengan-Nya (Ghulsyani, 1991: 44).

Murthadha Muthahhari dengan benar telah menunjukkan, bahwa klafisikasi yang dikhotomis
itu bisa menyebabkan miskonsepsi, bahwa “ilmu non-agama” terpisah dari Islam dan nampak
tidak sesuai dengan keuniversalan agama Islam. Kelengkapan dan kesempurnaan Islam,
sebagai suatu agama menuntut agar setiap lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam
dianggap sebagai bagian dari kelompok “ilmu agama” (Ghulsyani, 1991:44 dan lihat juga
Ahmad Anwar Anees, 1991:77, Abdul Halim Mahmud, 1979: 47).

Dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Al-Qardhawi (1989: 99-100), bahwa ilmu yang wajib
dipelajari setiap Muslim adalah ilmu yang diperlukan dan yang dituntut oleh agama dan
dunianya. Persoalan apakah jenis ilmunya, adalah hal baru yang tidak membawa segi ibadah.
Yang penting sesungguhnya adalah essensinya, label dan nama bukanlah persoalan. Ghulsyani
(1991:44-46) dapat menunjukkan, bahwa konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya
yang generik dengan bukti al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai berikut ini:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. Al-Zumar: 9). “Dia mengajarkan manusia apa yang belum ia ketahui”
(QS. Al-‘Alaq: 5). “Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama, kemudian
mengemukakannya kepada Malaikat dan berfirman: ‘sebutkanlah kepada-Ku nama-nama
benda itu jika kamu memang orang yang benar”  (QS. Al-Baqarah:31). Lihat juga misalnya
surat Yusuf: 76, Al-Nahl: 70 dan hadis Nabi: “Barang siapa yang pergi untuk mencari ilmu
maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga”. “Orang yang paling berharga adalah orang
yang paling banyak ilmunya…..”.   Nabi Sulaiman memandang bahwa pengetahuan bahasa
burung (binatang) sebagai rahmat atau kemurahan Allah (lihat Q.S Al-Naml: 15-16). Dan
sangat jelas bahwa Cina pada saat itu bukan pusatnya studi ilmu agama Islam, akan tetapi
lebih terkenal dengan industrinya.

            Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus
menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya (ilmu sihir, forkas dan sebagainya), sebagaimana sabda Nabi: “sebaik-baik  ilmu
adalah ilmu yang bermanfaat” (Ghusyani,1991:44, dan bandingkan dengan Al-Qardhawi,
1989: 31-32).

Bagi penulis sendiri memang persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tetapi lebih
kepada “kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut (karena ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan).
Dan apalagi jika kita sepakat, pada dasarnya sumber ilmu itu dari Allah. Jadi terminologi
“ilmu agama” dan “ilmu umum, non agama” itu peristilahan sehari-hari dalam pengertian
sempit saja. Hanya memang, pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa sebagai seorang
Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan ibadah mahdhah itu, misalnya
ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, yang ilmu tersebut sering disebut ilmu
syar’iah/fiqh; dan ilmu tentang ketuhanan/keimanan kepada Allah SWT, yang ilmu tersebut
sering disebut sebagai ilmu tauhid/ kalam. Ilmu-ilmu inipun sebetulnya jika dipahami secara
mendalam dan kritis tampak sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang
selama ini disebut “ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam.
Karena semua sistem peribadatan (al-’ibadah, worship) didalam Islam mengandung dimensi
ajaran yang tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan
manusia atau alam sebagai yang dicipta (al-makhluq). Dan hubungan ini dalam al-Qur’an
disebut sebagai hablun min Allah wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan hubungan
horizontal.  Di sini rukun iman dalam ajaran Islam lebih berorientasi pada hubungan vertikal,
manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang rukun Islam lebih berorientasi pada hubungan
horizontal antara manusia dengan manusia yang lain ataupun alam semesta. Tetapi keduanya
(iman dan Islam) tak dapat dipisahkan tak ubahnya seperti hubungan ilmu dan amal.

Pada akhirnya semua harus bermuara pada konsep “tauhid”, kesadaran Yang Kudus. Oleh
ebab itu Al-Ghazali juga benar ketika mengatakan, bahwa ilmu muamalah (karena ia juga
membagi ilmu yang mukasyafah) yang pertama diwajibkan bagi orang mukallaf adalah ilmu
tauhid, yaitu belajar dua kalimat syahadat meskipun dengan taklid, kemudian setelah itu
belajar thaharah dan shalat (fiqh) (Al-Ghazali, 1975, I, : 25).

            Pemikir Islam abad duapuluh khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan
Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu dalam dua katageri:

1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam
al-Qur’an dan al-Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya;
2. Ilmu yang dicari (inquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya
(teknologi) yang dapat berkembang secara kualitatif (Quraish Shihab, 1992: 62-63).

Al-Qur’an Dan Kaum Intelektual

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah sendiri, bahwa al-Qur’an diantara fungsinya  adalah
sebagai hidayah, peringatan, syifa’, dan rahmat. Fungsi al-Qur’an sebagai hidayah itu
dijelaskan di antaranya dalam surat Al-Baqarah: 2 dan185. Fungsi al-Qur’an sebagai
peringatan dijelaskan dalam surat Al-Furqan:1, Shad:87, Takwir:27 dan fungsi al-Qur’an
sebagai obat sakit jiwa (psikosis-neurosis) dan rahmat dijelaskan dalam surat al-Isra’: 82.

Pertanyaannya kemudian, kapan al-Qur’an menjadi hidayah, dan syifa’ bagi manusia? Al-


Qur’an dapat berfungsi sebagai hidayah bagi manusia setidaknya dengan tiga syarat: Pertama,
selagi al-Qur’an itu di baca. Al-Qur’an sendiri artinya bacaan, kitab yang dibaca; kedua,
selagi al-Qur’an itu dikaji, direnungkan dan dihayati maknanya; ketiga, selagi al-Qur’an itu
diamalkan isinya dan diikuti petunjukknya.

Jika ketiga hal di atas tidak dipenuhi, maka al-Qur’an tidak akan memberikan petunjuk, obat
maupun rahmat bagi manusia. Mana mungkin al Qur’an bisa memberikan hidayah kepada
manusia tanpa manusia membaca dan menghayatinya? Ibarat rambu-rambu lalu lintas, mana
mungkin pengendara kendaraan bisa aman di jalan/ tahu arah tanpa ia bisa membaca dan
memahami rambu-rambu tersebut? (dan tentunya harus mentaatinya).

            Oleh sebab itu, orang yang banyak bergelimang dengan maksiat adalah orang yang
tidak mendapat petunjuk al-Qur’an, yaitu orang-orang yang tidak mau dan mampu membaca
dengan benar, tidak mau menghayati maknanya dan tidak pula mengamalkannya.

            Sebagai orang terpelajar, tentu kita harus berusaha mampu membaca dengan arti yang
sesungguhnya, yaitu mampu menangkap isyarat atau makna al-Qur’an tersebut, untuk
kemudian mau mengamalkannya. Jangan sampai kita termasuk orang yang dilaknat al-Qur’an
itu sendiri sebagaimana  yang disinggung oleh Nabi:

“Banyak orang membaca al-Qur’an, tetapi justru al-Qur’an melaknatinya”. Kenapa? Karena
mereka tidak menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan hidupnya, tidak menjadikan al-Qur’an
sebagai akhlaknya. Oleh sebab itu orang yang terdidik (intelektual) amat potensial  untuk
mendekatkan diri (takwa) kepada Allah, sebab ia mau membaca dan mengkaji maknanya, dan
lebih dari itu adalah mengamalkannya. Inilah manusia ulu al-‘ilmi, ahl al-zikri  dan  ulul
albab.   Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut informasi ilmu
pengetahuan maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak. Terkait dengan
informasi ilmu pengetatahuan, tidak sedikit dari para akademisi, baik akademisi Timur
maupun Barat yang mengakui akan kemukjizatan al-Qur’an. Dan tidak sedikit dari kalangan
mereka yang kemudian tunduk, khudhu’  wal- inqiyad,  alias menjadi muslim. Bahkan yang
tidak muslim pun bisa mendapatkan informasi ilmiah dari al-Qur’an, sebagaimana yang
dialami oleh para orientalis itu.
            Jika para orientalis yang tidak beriman dengan al-Qur’an mereka mau mempelajari
secara serius untuk memperoleh informasi ilmiah, kenapa kita tidak? Kenapa selama ini kita
banyak mengetahui informasi ilmiah justru lewat orang Barat yang sekuler, bukan dari al-
Qur’an yang milik kita sendiri yang nyata-nyata di dekat kita, di telinga kita. Suatu contoh,
kita tahu bahwa matahari berputar pada porosnya, bahwa asal muasal alam ini air,  adalah dari
ilmuwan Barat dan Filosof Yunani (Thales). Kenapa tidak dari al-Qur’an yang kita baca setiap
hari? Misalnya dalam surat Yasin dan al-Anbiya’ itu Allah berfirman:

 “Dan matahari berputar pada porosnya. Itulah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui” (QS. Yasin:38). “Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ini 
berasal dari air” (QS. Al-Anbiya’: 36). Seorang filosof Perancis yang bernama Al-Kiss
Luazon menegaskan: “al-Qur’an adalah kitab suci, tidak ada satu pun masalah ilmiah yang
terkuak di zaman modern ini yang bertentangan dengan dasar-dasar Islam”. Dr. Reney Ginon
--setelah masuk Islam kemudian berganti nama, Abdul Wahid Yahya-- juga bercerita:

 “Setelah saya mempelajari secara serius ayat-ayat al-Qur’an dari kecil  yang terkait dengan
ilmu pengetahuan alam dan medis, saya menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dan
kompatibel dengan ilmu pengetahuan modern. Saya masuk Islam karena saya yakin bahwa
Muhammad saw. datang ke dunia ini dengan membawa kebenaran yang nyata, seribu tahun
jauh sebelum ada guru umat manusia ini”. Selanjutnya ia menegaskan: “Seandainya para
pakar dan ilmuwan dunia itu mau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an secara serius yang
terkait dengan apa yang mereka pelajari, seperti yang saya lakukan, niscaya mereka akan
menjadi muslim tanpa ragu --jika memang mereka berpikir objektif --katanya” (Abdul
Muta’al, La Nuskha fi al-Qur’an, Kairo, Maktabah al-Wahbiyyah, 1980 h. 8).

            Itulah kehebatan al-Qur’an, memang benar ia adalah mukjizat Nabi Muhammad saw.
yang terbesar. Al-Qur’an tidak hanya sekadar informasi ilmiah, tetapi ia memiliki fungsi
petunjuk, rahmat dan obat bagi kita. Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa memberikan
syafaat di hari kiamat, Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa menjadi penerang di rumah kita
di tengah-tengah keluarga kita. Janganlah kita termasuk orang yang jauh dari al-Qur’an
sehingga ibarat rumah kosong, tanpa penghuni, sebagaimana yang ditegaskan Nabi:

Anda mungkin juga menyukai