Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TAFSIR SAINS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


MAHZAHIB TAFSIR
Dosen Pengampu
DR. Ujang Mimin, M.Ud

Disusun oleh :
Derry Herdiansyah : 19.01.1050

ILMU QURAN DAN TAFSIR (IAT)


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) PERSATUAN ISLAM
BANDUNG
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Tafsir Sains “ ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak/ibu, selaku guru/dosen bidang


studi/mata kuliah MAHZAHIB TAFSIR yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi perbaikan makalah
ini. Semoga kita semua senntiasa berada dalam berkah dan lindugan Allah ‫ﷻ‬.

Bandung, 28 April 2023

Derry Herdiansyah

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alquran bukan merupakan buku ilmu pengetahuan. Akan tetapi didalam


Alquran terdapat banyak isyarat-isyarat ilmu pengetahuan, menurut Muhammad
Qutb ‘’isyarat tersebut sengaja diletakkan dalam Alquran untuk memperkenalkan
kekuasaan Tuhan yang tak terhingga”. Agama Islam menganjurkan umatnya agar
senantiasa berusaha, tak terkecuali dalam bidang ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan sains dan teknologi. Sehingga nantinya dapat menikmati
peradaban yang gemilang dimasa depan.
Keselarasan Islam dengan ilmu pengetahuan merupakan bukti bahwa Islam
merupakan agama yang benar dan cocok dijadikan sebagai pedoman hidup manusia.
Bahkan, Alquran dan hadits menjadi sumber ilmu pengetahuan sekaligus inspirasi
dalam mengungkap fenomena-fenomena alam yang belum terpecahkan.
Oleh sebab itu menarik bagi pemakalah untuk mengupas bagaimana tafsir
sains ini mampu menambah literasi khasanah keilmuan umat islam, dan yang paling
penting adalah tafsir sains ini mampu meningkatkan keimanan kita terhadap Allah ‫ﷻ‬.

***

3
B. Fokus Penelitian
Fokus pembahasan makalah ini tertuju pada kajian pustaka terkait apa itu
tafsir sains, seperti apa paradigmanya, bagaimana sumber – sumber keilmuan sains
menjelaskan ayat suci Alquran, dan bagaimana perkembangan tafsir sains dari masa
kemasa sehingga mampu memberikan sumbangsih pada khazanah literatur islam.

C. Pertanyaan Penelitian
1. Apa itu tafsir sains?
2. Bagaimana paradigma tafsir sains?
3. Apa yang menjadi sumber tafsir sains?
4. Bagaimana perkembangan tasir sains?

D. Tujuan Penelitian
1. Agar mampu mengetahui apa itu tafsir sains.
2. Agar mampu mengetahui bagaimana paradigma tafsir sains.
3. Agar mampu mengethui apa saja sumber tafsir sains.
4. Agar mampu mengetahui perkembangan tafsir sains.

***

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir Sains
Tafsir sains masuk kepada golongan tafsir ilmi terdiri atas dua kata yaitu tafsir
yang secara bahasa mengikuti wazan “taf‟il”, artinya menjelaskan, menyingkap dan
menerangkan makna makna rasional (dengan pendekatan ilmu pengetahuan). Ilmi
yang secara bahasa ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan tafsir ilmi adalah
sebuah penafsiran tentang ayat-ayat Alquran melalui pendekatan ilmu pengetahuan,
seperti Sains, ilmu bahasa/sastra, ilmu sosial, ilmu politik dan ilmu pengetahuan yang
lainnya. Jadi, dapat didefinisikan sebagai penafsiran ayat-ayat Alquran berdasarkan
pendekatan ilmiah. Ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat kauniyah, mendalami
tentang teori-teori hukum alam yang ada dalam Alquran, teori-teori pengetahuan
umum dan sebagainya.
Lebih lanjut Husain Adz-Dzahabi memberikan pengertian tafsir ilmi yaitu
Artinya: “Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan al-
Qur‟an. Tafsir ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Alquran dan
berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi”. Sedangkan
„Abd Al-Majid „Abd As-Salam Al-Mahrasi juga memberikan batasan sama terhadap
tafsir ilmi, yaitu:“Tafsir yang mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam
Alquran yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta
mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu
pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.
Dijelaskan pula mengenai tafsir sains yaitu penafsiran corak yang berusaha
untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam Alquran dengan bidang ilmu
pengetahuan untuk menunjukkan kebenaran mukjizat Alquran. Meskipun Alquran
bukan kumpulan ilmu pengetahuan, namun di dalamnya banyak terdapat isyarat yang
berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, serta motivasi manusia mendalaminya.

5
Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir sains adalah penafsiran Alquran melalui
pendekatan ilmu pengetahuan sebagai salah satu dimensi ajaran yang terkandung
dalam Alquran. Atau dapat kita pahami bahwa mufasir menjelaskan makna yang
terkandung dalam Alquran dengan metode atau pendekatan ilmiah atau ilmu
pengetahuan. Tafsir sains berprinsip bahwa Alquran mendahului ilmu pengetahuan
modern, sehingga mustahil Alquran bertentangan dengan sains modern.
Dari segi pendekatan Tafsir Alquran terbagi pada dasarnya dua yaitu, Tafsir bi
al-Matsur (riwayah) dan Tafsir bi al-Ra’yi (akal), namun ada pula yang menggabungkan
keduanya secara siginifikan, yaitu mengambil riwayat yang merupakan hal penting
dalam memahami Alquran serta menggunakan rasio dan penalaran yang juga
merupakan satu keharusan dalam menafsirkannya, disebut dengan al-Tafsri al-Atsary
al-Nazhariy atau al-Naqdiy. Dalam hal ini, tentunya riwayat-riwayat yang digunakan
adalah riwayat yang shahĩh, yang dapat dipertanggung jawabkan dan penalarannya
pun sesuai dengan Alquran dan sunnah serta mufasirnya sendiri memenuhi
persyaratan-persyaratan yang diperlukan.
Menurut Pengamatan pemakalah, dari klasifikasi tersebut maka tafsir sains
bisa termasuk kepada golongan tafsir bi al-Ra’yi. Sedangkan dari segi dan aspek
pembahasannya, tafsir sains bisa disebut sebagai penjelasan salah satu aspek
kemukjizatan Alquran, yaitu kemukjizatan ilmiah.
Dari pandangan tersebut, maka alasan yang mendorong para mufasir menulis
tafsirnya dengan corak ini adalah di samping banyaknya ayat-ayat Alquran yang secara
eksplisit maupun implisit memerintah untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin
mengetahui dimensi kemukjizatan Alquran dalam bidang ilmu pengetahuan modern,
semata – mata untuk meraih pahala dan ilmu agar semakin meningkatkan keimanan
kepada Allah ‫ﷻ‬.

6
B. Paradigma Tafsir Sains
Tafsir sains dapat dikatakan terbangun dari paradigma bahwa Alquran tidak
hanya memuat ilmu-ilmu agama atau hal-hal yang terkait dengan ibadah ritual
semata, tetapi juga memuat ilmu-ilmu dan teori-teori ilmu pengetahuan. (Mustaqim,
2016: 136). Di mana bagian inilah (sisi kosmologis) merupakan bagian yang jarang
tersentuh (Madjid, 2005: 290).
Dalam perkembangannya, tafsir sains tidak lepas dari perdebatan. Menurut
pandangan Islah Gusmian, ada sebuah pertanyaan mendasar yang mendorong
terjadinya persepsi dan respon yang berbeda-beda di kalangan sarjana Alquran. Jadi
manakah yang didahukan antara pemahaman ilmiah yang kemudian dicarikan
justifikasinya dari Alquran ataukah pemahaman Alquran yang kemudian menjadi
inspirasi bagi riset ilmu pengetahuan? (Gusmian, 2013: 248).
Perdebatan ini setidaknya menyebabkan para sarjana Alquran terbagi dalam
tiga kelompok besar. Pertama, kelompok pembela (al-mudafi’). Kelompok ini
berargumen bahwa tradisi tafsir sains telah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.
Beberapa bukti empirisnya dapat dilihat dari lahirnya tafsir al-Jawahir fi tafsir Alquran
al-Karim yang disusun oleh Tanthawi Jauhari (Jauhari, 1974), kemudian penafsiran
Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya yang filosofis dan penuh nuansa sains
(al-Razi. 1420). Serta penjelasan Abdul Madjid Abdussalam yang mengklaim bahwa
prinsip-prinsip tafsir sains sudah diletakkan oleh Abu Hamid al-Ghazali satu abad
sebelum Fakhruddin al-Razi, dalam magnum opusnya, Ihya ‘Ulumiddin (Syafi’i, 2012:
32).
Adapun argumentasi Alquran yang dijadikan sebagai landasan pandangan
mereka adalah Q.S al-An’am: 38 dan Q.S al-Nahl: 89. Dua ayat ini dipahami sebagai
informasi bahwa berbagai ilmu pengetahuan memang telah disebutkan dalam
Alquran, termasuk teori-teori sains modern. Selain itu, dalam Alquran sendiri terdapat
banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan berbagai fenomena
dan gejala alam (Mustaqim, 2016: 138).

7
Kedua, kelompok penolak (al-mu’aridh). Terdapat sejumlah sarjana Alquran
yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang kontra. Misalnya, Muhammad
Husein al-Dzahabi, al-Syatibi, dan Mahmud Syaltut. Beberapa argumen yang mereka
lontarkan diantaranya; 1) Alquran bukan kitab sains melainkan kitab hidayah; 2) tidak
perlu melegitimasi ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi dengan Alquran
(Khir, 2000: 27).
Ketiga, kelompok moderat. Kelompok ini tidak menolak penggunaan sains
dalam menafsirkan Alquran akan tetapi lebih menekankan kepada persyaratan yang
harus dipenuhi agar tidak terjadi penyimpangan dalam menafsirkan Alquran.
Maka penggunaan kaidah-kaidah tafsir harus tetap diutamakan, baru setelah
itu dikombinasikan dengan teori-teori sains yang sudah mapan sehingga akan
membantu proses penafsiran Alquran khususnya yang berhubungan dengan ayat-ayat
kauniah (Khir, 2000: 27). Beberapa tokoh yang masuk dalam kategori ini diantaranya
Hassan al-Banna, Muhammad Abdullah Daraz dan Sayyid Quthb (Muchlisin, 2017:
245).
Memang sejatinya Alquran bukanlah kitab ilmu pengetahuan. Namun dalam
kapasitasnya sebagai kitab hidayah (petunjuk), Alquran memberikan isyarat-isyarat
akan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan (Mustaqim, 2016: 138).
Sayyid Quthb juga menyebutkan bahwa setiap perkembangan pengetahuan
manusia yang mampu menyingkap “tanda-tanda” Tuhan di alam ini akan sangat
membantu untuk menegaskan kebenaran Alquran. Namun asumsi dasar yang harus
dipegang dalam memposisikan diri sebagai golongan moderat adalah bahwa Alquran
susungguhnya tidak akan bertentangan dengan realitas dan kebenaran objektif ilmiah.
Adapun fungsi dari metode sains adalah pertama, bahwa tafsir ilmiah
berfungsi sebagai tabyin, yaitu menjelaskan teks Alquran dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dimiliki mufassir. Kedua, sebagai i’jaz Alquran, yaitu membuktikan
atas kebenaran teks Alquran dalam pandangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya
dapat memberikan stimulasi bagi umat islam. Ketiga, berkeinginan menjadikan
penafsiran ini sebagai istikhraj al-‘ilm, yaitu teks atau ayat-ayat Alquran mampu
melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern.

8
Metode yang harus digunakan seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat
kauniyah adalah pertama, menggunakan ilmu-ilmu eksperimen atau ilmu - ilmu yang
dapat dibuktikan melalui penelitian. Jika penafsiran itu menggunakan teori-teori
ilmiah yang sudah tetap dan kebenarannya telah diakui oleh para ilmuwan, maka
teori-teori tersebut hendaknya tidak disandarkan kepada ayat-ayat Alquran sebagai
teori pasti yang tidak berubah. Kedua, ayat-ayat yang ditafsirkan dengan corak sains
ini adalah ayat-ayat yang jelas mengisyaratkan kepada ilmu pengetahuan.
Berikut ini adalah metode-metode tafsir sains yang ditawarkan oleh beberapa
ulama yang pemakalah ambil satu contoh disini, diantaranya adalah dari Yusuf al-
Qardawi.
Yusuf al-Qardawi adalah ulama yang berasal dari Mesir. Ia merupakan ulama
yang terkenal pada abad ini, pandangan-pandangannya menjadi rujukan umat
muslim. Yusuf Qardawi pun tak mau ketinggalan dengan keilmuan yang sedang
berkembang pada dewasa ini, dibuktikan dengan ikut andilnya dalam merumuskan
kaidah-kaidah tafsir sains, diantaranya sebagai berikut ini:
a. Sains yang dijadikan acuan untuk menjelaskan sisi ilmiah Alquran adalah
teori sains yang telah dianggap valid oleh para ilmuwan dan sudah terbukti
kebenarannya. Adapun teori sains yang hanya sebatas wacana atau diragukan
kebenarannya oleh sebagian ilmuwan layak tidak dijadikan referensi untuk
menjelaskan sisi ilmiah Alquran.
b. Tasir ilmi tidak boleh keluar dari kaidah kebahasaan ayat yang akan
dijelaskan sisi ilmiahnya; baik dari sisi siyaq-nya maupun makna orisinil kosakata
tersebut dalam bahasa arab.
c. Mengingat tafsir ilmi sifatnya adalah menambahkan atau mengembangkan
penafsiran Alquran yang sudah dirintis oleh ulama terdahulu, dan bukan
menganulirnya. Maka, penafsir ilmiah tidak boleh mengklaim bahwa kajian tafsirnya
yang paling benar dan bahwa umat islam dari generasi terdahulu hingga masanya
tidak ada yang paham sama sekali makna aslinya.

9
Jadi disini dapat kita tarik garis besar tentang paradigma tafsir sains yaitu,
Alquran tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama atau hal-hal yang terkait dengan ibadah
ritual semata, tetapi juga memuat ilmu-ilmu dan teori-teori ilmu pengetahuan.
Penafsiran menggunakan metode sains berfungsi sebagai tabyin, yaitu menjelaskan
teks Alquran dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki mufassir. Kedua,
sebagai i’jaz Alquran, yaitu membuktikan atas kebenaran teks Alquran dalam
pandangan ilmu pengetahuan. Ketiga, berkeinginan menjadikan penafsiran ini sebagai
istikhraj al-‘ilm, yaitu teks atau ayat-ayat Alquran mampu melahirkan dan
memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern.

C. Sumber Tafsir Sains


Menganalisis teks wahyu tentu saja akan berbeda dengan teks lainnya. Hal itu
karena wahyu dipandang sebagai teks yang sarat dengan makna dan penafsirannya
dipandang relevan dan sesuai dengan segala kondisi, baik objek, zaman atau tempat
di mana seorang mufasir itu berada.
Ayat-ayat Alquran yang menyinggung tentang persoalan ilmu-ilmu sains dan
teknologi oleh para ahli tafsir disebut sebagai ayat kauniyah atau „ulûm. Adapun
beberapa kaidah yang diterapkan oleh para mufasir dalam melakukan analisis
terhadap ayat kauniyah adalah sebagai berikut:

1. Kaidah Kebahasaan

Kaidah kebahasaan merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin


memahami Alquran. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu yang terkait dengan
bahasa seperti í‟rãb, nahwu, tashrĩf, dan berbagai ilmu pendukung lainnya yang harus
diperhatikan oleh para mufasir.
Kaidah kebahasaan menjadi penting karena ada sebagian orang yang berusaha
memberikan legitimasi dari ayat-ayat Alquran terhadap penemuan ilmiah dengan
mengabaikan kaidah kebahasaan ini. Oleh karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi
prioritas utama ketika seseorang hendak menafsirkan Alquran dengan pendekatan
apapun yang digunakannya, terlebih dalam paradigma ilmiah.

10
2. Memperhatikan Korelasi Ayat

Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus


memperhatikan kaidah kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga dituntut
untuk memperhatikan korelasi ayat (munãsabah al-ayat) baik sebelum maupun
sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek ini tidak menutup kemungkinan
akan tersesat dalam memberikan pemaknaan terhadap Alquran.

Sebab penyusunan ayat-ayat Alquran tidak didasarkan pada kronologi masa


turunnya, melainkan didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga
kandungan ayat-ayat sebelumnya berkaitan dengan kandungan ayat setelahnya.

3. Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan

Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka ia tidak
dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat relatif. Oleh
karena itu, seorang mufasir hendaknya tidak memberikan pemaknaan terhadap teks
Alquran kecuali dengan hakikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah
mapan dan sampai pada standar tidak ada penolakan atau perubahan pada
pernyataan ilmiah tersebut, serta berusaha menjauhkan dan tidak memaksakan teori-
teori ilmiah dalam menafsirkan Alquran. Fakta-fakta Alquran harus menjadi dasar dan
landasan, bukan menjadi objek penelitian karena harus menjadi rujukan adalah fakta-
fakta Alquran, bukan ilmu yang bersifat eksperimental.

4. Pendekatan Tematik

Corak tafsir sains pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili
(analitik). Sehingga kajian tafsir sains pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak
mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu tema tertentu. Akibatnya
pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan mampu memberikan pemahaman
yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru sebaliknya, membingungkan
bagi para pembacanya.

11
Misalnya ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang konsep penciptaan
manusia, yang dalam terminologi Alquran diilustrasikan sebagai suatu proses evolusi
dengan menggunakan beberapa term yang berbeda-beda. Satu sisi manusia
diciptakan dari tanah, namun di sisi lain ia diciptakan dari air, atau air mani yang hina.
Jika ayat-ayat Alquran yang memiliki term yang sama ini tetap dikaji secara parsial dan
berdiri sendiri, tentu konsep yang dihasilkan pun juga bersifat parsial dan tidak utuh.
Akibatnya, pemaknaan atas persoalan tersebut akan menjadi pertentangan dalam
Alquran.

D. Perkembangan Tafsir Sains


Tafsir Sains lahir dan tumbuh pesat seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa Daulah ‘Abbasyiah. Tepatnya sejak abad keempat Hijriyyah
ketika umat Islam berada pada puncak keemasan. Kemudian pada saat itu para
mufasir tidak puas dengan bentuk penafsiran bi al-ma’tsur. Pengembangan bentuk
tafsir dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan zaman. Pada saat itu peran ar-
ra’yu atau ijtihad semakin luas dan besar dibandingkan dengan bentuk penafsiran bi
al-ma’tsur. Sejalan dengan itu pada masa kekhalifahan al-Ma’mun (w. 853 M) banyak
kitab-kitab ilmiah yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Buku-buku seperti karya
Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan Archimedes juga kerap diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab.
Memang sejak dahulu para cendikiawan Muslim telah berupaya untuk
menciptakan hubungan erat antara al-Quran dan ilmu pengetahuan, mereka
berupaya untuk menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan yang terkandung dalam
ayat-ayat al-Quran. Kesadaran umat Islam terhadap pentingnya tafsir sains semakin
besar ketika abad ke 19 yaitu saat Eropa mulai menguasai negara-negara Islam. Sedikit
demi sedikit ilmu-ilmu sains semakin digaungkan terutama dalam pembahasan ilmu
pengetahuan alam. Kesesuaian antara Alquran dan ilmu pengetahuan bagaimana pun
tidak bisa dihiraukan.
Al-Quran sejatinya tidak hanya sebagai sumber ilmu Agama yang bersifat
i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan), akan tetapi ia juga mencakup ilmu
keduniawian (al-‘ulum al-Dunya) yang beraneka jenis, ragam dan bentuknya.

12
Periode Tafsir Sains

1.Tafsir Sains Klasik


Tafsir Sains klasik keberadaannya sebelum ada modernisasi Barat di dunia
Islam. Atau sering juga disebut sebagai tafsir ilmi Pra-Modern. Tafsir sains klasik masih
menggunakan metode secara fragmentaris dalam kitab-kitab tafsir ar-Ra’yi, terkhusus
saat membahas ayat-ayat kauniyah (fenomena alam).
Pada periode ini mufasir yang kerap menggunakan tafsir sains seperti, Al-
Ghazali (1059-1111M) dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din dan Jauhir Alquran. Abu al-
Fadl al-Mursy dalam tafsirnya Jam’u Alquran, ‘Ulum al-Awwalin wa al-Akhirin. Fakhr
al-Din al-Razy dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib.

2. Tafsir Sains Modern


Tafsir Sains modern ini tentu berbarengan dengan modernisasi dunia Islam.
Secara metode tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, namun pada masa ini
lebih lengkap dan dibahas secara tahlili (studi analisis) contohnya seperti Muh. Abduh
(1849-1905) dalam tafsirnya Al-Manaar, Tanthawi al-jauhari (1870-1940) dalam
kitabnya Al-Jawaahir, Muh. Rasyid Ridha (1865-1935).

3. Tafsir Sains Kontemporer


Periode ini disebut sebagai tafsir Sains Pasca-Modern, yaitu pembahasannya
cenderung bersifat maudhu’i (tematik), yaitu membahas terkait topik-topik tertentu,
dihimpun dalam satu kesatuan kemudian dianalisis dengan pendekatan ilmu
pengetahuan. Contohnya seperti Hanafi Ahmad dalam tafsir al-tafsir al-‘Ilmy al-Ayatul
Kauniyyah, Al-Ghanawi dalam kitab Sunan Allah al-Kauniyyah, A. Aziz Ismail dalam
kitab al-islam wa al-Thabib al-Hadits. Abdul al-Razzaq Nawfal Alquran wa al-‘Ilmy al-
hadits. Itulah sejarah perkembangan tafsir sains secara singkat yang dapat kami
paparkan dalam makalah ini.

***

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir sains adalah penafsiran Alquran melalui pendekatan ilmu pengetahuan
sebagai salah satu dimensi ajaran yang terkandung dalam Alquran. Prinsipnya
bahwa Alquran lebih dulu dari ilmu pengetahuan modern, maka mustahil Alquran
bertentangan dengan sains modern.
Paradigma tafsir sains yaitu, Alquran tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama
atau hal-hal yang terkait dengan ibadah ritual semata, tetapi juga memuat ilmu-
ilmu dan teori-teori ilmu pengetahuan. Penafsiran menggunakan metode sains
berfungsi sebagai tabyin, yaitu menjelaskan teks Alquran dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimiliki mufassir. Kedua, sebagai i’jaz Alquran,
yaitu membuktikan atas kebenaran teks Alquran dalam pandangan ilmu
pengetahuan. Ketiga, berkeinginan menjadikan penafsiran ini sebagai istikhraj al-
‘ilm, yaitu teks atau ayat-ayat Alquran mampu melahirkan dan memperkuat teori-
teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern.
Ayat-ayat Alquran yang menyinggung tentang persoalan ilmu-ilmu sains dan
teknologi oleh para ahli tafsir disebut sebagai ayat kauniyah. Kaidah yang menjadi
panduan analisis tafsir sains adalah kaidah kebahasaan, korelasi antar ayat, fakta
ilmiah yang telah mapan, dan pendekatan tematik.
Tafsir Sains lahir dan tumbuh pesat seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa Daulah ‘Abbasyiah. Tercatat ada tiga fase perkembangan
tasir sains, yang pertama adalah fase tafsir sains klasik, kemudian fase tafsir sains
modern lalu fase tafsir sains kontemporer.

14
B. Pesan
Dengan mempelajari tafsir sains diharapkan pembaca semakin menambah dan
menaikan keimanannya, terkhusus iman kepada Quran sebagai wahyu dari Allah
‫ﷻ‬, karena sejatinya Alquran diturunkan sekitar 1500 tahun yang lalu, sementara
penemuan – penemuan sains muncul belakangan.
Wallahu’alam.

C. Referensi
http://idr.uin-antasari.ac.id/tafsirilmidalampenafsiranquran
http://repo.uinsatu.ac.id/kerangkatafsirilmi
http://majalahnabawi.com/tafsirilmimetodedansejarahperkembangan
http://senayan.iain-palangkaraya.ac.id/metodetafsirayatayatsainsdansosial

***

15

Anda mungkin juga menyukai