Anda di halaman 1dari 20

TAFSIR ILMI

Guna Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah Tafsir MAnajemen


Dosen Pengampu : Dr. Cecep Anwar M. Ag

Disusun Oleh:

Leni Tresnawati 2210060015

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi ilmu, Islam juga menempatkan ilmu sebagai
suatu hal yang tidak boleh ditinggalkan. Terdapat banyak ayat dalam Al-Qur’an yang
menempatkan ilmu dan ahli ilmu pada tempat yang mulia dan agung. Baginda Rasulullah SAW
sendiri menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu dimanapun bahkan sampai ke negeri Cina.
Ilmu berguna sebagai motor penggerak pemikiran dan aktivitas manusia. Semua aktivitas manusia
pastilah membutuhkan ilmu pengetahuan. Bagaimanakah bila manusia tanpa ilmu, maka dapat di
pastikan manusia tidak akan dapat bertahan lama di muka bumi. Segala bentuk aktivitas manusia
baik aktivitas duniawi ataupun ukhrawi pasti membutuhkan ilmu pengetahuan agar dapat berjalan
maksimal dan sesuai dengan ketetapan. Al-Qur’an sebagai kitab penyempurna tidak hanya
mengandung ayat-ayat yang berdimensi aqidah, syari'ah dan akhlak semata, akan tetapi juga
memberikan perhatian yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Al-Qur’an
selalu mengajak kepada manusia untuk bersikap ilmiah dengan melihat,membaca, memperhatikan,
memikirkan, mengkaji serta memahami dari setiap fenomena yang ada terlebih lagi terhadap
beberapa fenomena alam semesta yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena darinya bisa
dikembangkan sains dan teknologi untuk perkembangan umat manusia dan dengan itu pula akan
didapatkan pemahaman yang utuh dan lengkap. Dan karena kapasitasnya sebagai penyempurna
dari kitab-kitab samawi yang telah diturunkan oleh-Nya kepada para rasul yang bersifat universal
sehingga dikatakan pula bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang pernah ada. Sebagai
mukjizat terbesar dan pedoman hidup, Al-Qur’an harus dimengerti maknanya dan setelah itu bisa
diaplikasikan isinya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan fungsi dan keistimewaannya.
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa yang tidak begitu mudah dipahami, maka kemudian
sebagai mahkluk yang berpikir (Homo sapiens), manusia berusaha memahami dengan
mendayagunakan potensi akal. Salah satu pendekatan yang digunakan di dalam memahami Al-
Qur’an, adalah pendekatan sains (saintific approach). Pendekatan sains adalah pendekatan yang
digunakan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an melalui perspektif sains atau ilmu pengetahuan.
Implikasi dari pendekatan ini akan melahirkan tafsir-tafsir yang mengandung muatan sains atau
ilmu pengetahuan, biasanya tafsir yang menggunakan pendekatan sains masuk dalam kategori
tafsir ilmi. Terlepas dari kontroversi mengenai pendapat ulama mengenai tafsir ilmi, sejarah telah
membuktikan bahwa terdapat banyak mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan
sains atau ilmu pengetahuan, menggunakan pendekatan sains modern, menunjukkan bahwa Al-
Qur’an sebenarnya selaras dengan ilmu pengetahuan bahkan Al-Qur’an merupakan sumber ilmu
pengetahuan, maka tidaklah mengherankan bila Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam,
menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam.
Pandangan yang menganggap Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan bukanlah hal yang baru,
menarik untuk memperhatikan pandangan Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din dengan mengutip
pandangan ibnMas’ud dikatakannya bahwa “Jika seseorang menginginkan pengetahuan masa
lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan Al-Qur’an” Tidak ada batasan-
batasan dan Al-Qur’an memiliki indikasi pertemuannya tentang ilmu pengetahuan (Gulsyani,
1998).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah, sebagai batasan
pembahasan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian Tafsir ilmi
2. Bagaimana Sejarah perkembangan Tafsir ilmi
3. Bagaimana metode yang digunakan dalam penafsiran corak Tafsir ilmi
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir Ilmi
2. Untuk mengetahui Sejarah perkembangan Tafsir ilmi
3. Untuk memahami metode atau cara kerja penafsiran corak Tafsir ilmi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Ilmi


Tafsir Ilmi merupakan Penafsiran ilmu pengetahuan oleh para Ilmuwan Islam modern
Penafsiran Al-Qur’an berbasis sains modern yang disebut dengan istilah al-tafsir al-‘ilmy adalah
salah satu bentuk atau corak penafsiran Al-Qur’an. Dari segi bahasa (etimologis), al-tafsiral-‘ilmy
berasal dari dua kata: “al-tafsir” dan “al-‘ilmy” (Al-Bustani, Fuad Ifram,1986) dinisbatkan kepada
kata ‘ilm (ilmu) yang berarti yang ilmiah atau bersifat ilmiah. Jadi, secara bahasa al-tafsir al-‘ilmy
berarti tafsir ilmiah atau penafsiran Ilmiah. Sedangkan menurut istilah (terminologi), pengertian
al-tafsir al-ilmy dapat kita pahami dari beberapa yang dikemukakan para ahli. Muhammad Husain
Adz-Dzahabi memberikan pengertian tafsir ilmi yaitu: “Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu
pengetahuan dalam penuturan al-Qur‟an. Tafsir ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang
dikandung al-Qur‟an dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat
falsafi”. Sedangkan Abd Al-Majid Al-Salam Al-Muhtasib dalam kitabnya, Iittihajat al-Tafsir fi
al-Ashr al-Hadits, mengatakan bahwa al-tafsir al-‘ilmy adalah penafsiran yang dilakukan oleh
para musafassirnya untuk mencari adanya kesesuaian ungkapan-ungkapan dalam ayat-ayat Al-
Qur’an terhadap teori-teori ilmiah (penemuan ilmiah) dan berusaha untuk menggali berbagai
masalah keilmuan dan pemikiran-pemikiran filsafat (Abd al-Salam al-Muhtasib, Abd al-Majid,
1973). Selain itu, Fahd Abdhul Rahman mendefinisikan bahwa al-tafsir al-‘ilmy adalah ijtihad
atau usaha keras mufassir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyyah di dalam Al-Qur’an
dengan penemuan penemuan ilmiah yang bertujuan untuk memperlihatan kemukjizatan Al-
Qur’an. Dari ketiga pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa al-tafsir al-ilmy adalah penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan menggunakan corak ini adalah ayat – ayat
kauniyyah yaitu ayat-ayat yang berkenaan dengan (kejadian) alam. Dalam penafsiran ayat-ayat
tersebut, mufassir melengkapi dirinya dengan teori-teori sains (ilmu pengetahuan). Upaya
penafsiran dengan cara tersebut bagi para mufassirnya bertujuan untuk mengungkap dan
memperlihatkan kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an di samping kemukjizatan dari segi-segi lainnya
(Abd al-Salam al-Muhtasib, Abd al-Majid,1973). Dalam Tafsir al-‘ilmy berprinsip bahwa Al-
Qur’an mendahului ilmu pengetahuan modern, sehingga mustahil bahwa Al-Qur’an bertentangan
dengan sains modern. Dari pandangan tersebut, maka alasan yang mendorong para mufassir
menulis tafsirnya ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit
maupun implisit memerintah untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi
kemukjizatan bahwa Al-Qur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern. Dari beberapa pengertian
tersebut dapat dikategorikan dalam dua model penafsiran ayat-ayat kauniyyah:
• pertama, memahami ayat-ayat kauniyyah dengan menggunakan pendekatan teori atau
penemuan ilmiah dan perangkat ilmu pengetahuan modern, yang mana dalam penemuan-
penemuannya tersebut hanya sebagai perangkat untuk menjelaskan makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an.
• Kedua, berusaha mencari kesesuaian ayat-ayat kauniyyah dengan teori-teori atau ilmiah
sehingga ada kesan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dicocok-cocokkan dengan teori-teori
ilmiah tersebut. Corak penafsiran ilmiah (al-tasir al-‘ilmy) ini dapat dikategorikan dalam
metode al-Tafsir al-Tahlily (tafsir analisis).
Hal ini jika dilihat dari cara yang dilakukan penafsiran dengan cara memilih ayat-ayat
yang akan ditafsirkan, dicari arti kosa kata (mufradat), kemudian menganalisisnya untuk mencari
makna yang dimaksud. Namun, penafsiran ini tidak menyeluruh karena hanya menafsirkan ayat-
ayat tersebut secara parsial, tidak harus melihat hubungan dengan ayat-ayat sebelum atau
sesudahnya. Dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan semakin meningkatnya ilmu
pengetahuan tersebut, baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an tidak hanya secara harfiah saja, tetapi haruslah dengan cara pendekatan
teoritis. Penafsiran Al-Qur’an hendaknya merupakan usaha bersama yang mengkolaborasikan
berbagai ahli dalam berbagai bidang. Kita merasa terdorong dan menganggap penting untuk
melihat betapa urgennya penafsiran Al-Qur’an secara ilmiah dan relevansinya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.

B. Sejarah perkembangan tafsir ‘ilmi


Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnyabermula pada Dinasti Abbasiyah,
khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (w.853 M) , pada masa pemerintahan
Al-Ma’mun ini muncul gerakan penerjemahan kitab-kitab ilmiah dan mulailah masa pembukuan
ilmu-ilmua gama dan science serta klasifikasi, pembagian bab-bab dan sistematikanya .
Tafsir terpisah dari hadits, menjadi ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran
terhadap setiap ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir. Al-Ma’mun sendiri merupakan putra
khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal sangat cinta dengan ilmu. Salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah, Islam mencapai peradaban
yang tinggi sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Munculnya kecenderungan ini
sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang pada mulanya dimaksudkan untuk
mencoba mencari hubungan dan kecocokan antara pernyataan yang diungkapkan di dalam al-
Qur’an dengan hasil penemuan ilmiah (sains). Gagasan ini selanjutnya ditekuni oleh imam al-
Ghazali dan ulama-ulama lain yang sependapat dengannya. Rekaman akan fenomena ini antara
lain dituangkan oleh Fahru al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Bisa dikatakan, Fakhruddin
ar-Razi (w. 606H) patut untuk dikedepankan ketika kita membahas munculnya penafsiran secara
ilmiah. Hal ini diakui oleh seluruh penulis Ahlussunnah dan riset lapangan juga membuktikan hal
tersebut. Sebelum Fakhruddin, al-Ghazali (505 H) dalam bukunya, Jawahir Al-Qur’an juga telah
menyebutkan penafsiran beberapa ayat al-Qur’an yang dipahami denganmenggunakan beberapa
disiplin ilmu, seperti: astronomi, perbintangan, kedokteran, dan lain sebagainya. Jika upaya al-
Ghazali ini kita anggap sebagai langkah pertama bagi kemunculan penafsiran ilmiah, tidak
diragukan lagi bahwa al-Ghazali sendiri belum berhasil merealisasikan metode tersebut, setelah
satu abad berlalu, barulah Fakhrurrazi di dalam Mafatih al-Ghaib-nya berhasil merealisasikan
metode penafsiran yang pernah menjadi percikan pemikiran al-Ghazali itu. Pasca masa
Fakhrurrazi, tendensi penafsiran ilmiah (ini diteruskan dan menghasilkan buku-buku tafsir yang
sedikit banyak terpengaruh oleh teori penafsiran Fakhrurrazi dalam ruang lingkup yang agak
terbatas. Di antaranya adalah: Ghara’ib Al Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan, karya An-Nasyabur
(W. 728 H), Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, karya Al-Baidhawi (W. 791 H), dan Ruh al-
Ma’ani fa Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa Sab’al-Matsani, karya Al-Alusi (W. 1217 H).
Melalui buku-buku tafsir itu, para pengarangnya telah melakukan penafsiran saintis atas
ayat-ayat al-Qur’an. Selain mereka, terdapat beberapa mufassir lagi, seperti Ibn Abul Fadhl al-
Marasi (W. 655 H), Badruddin az-Zarkasyi (W. 794 H), dan Jalaluddin as-Suyuthi (W. 911 H).
Yang termasuk dalam golongan para mufassir yang memiliki tendensi penafsiran saintis.
Meskipun demikian, sebenarnya para mufassir ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori
mufassirin yang memiliki aliran saintis dalam menafsirkan al- Qur’an, karena mereka hanya
mengklaim bahwa al-Qur’an memuat semua jenis dan disiplin ilmu pengetahuan, dan hanya klaim
ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa mereka memiliki tendensi penafsiran saintis. Sebelum
mereka pun, sebagian sahabat telah memiliki klaim yang serupa dan hingga kini tak seorang pun
yang berani memasukkan para pengarang tersebut ke dalam kategori mufassirin yang memiliki
tendensi penafsiran saintis.
Pasca periode tafsir Ruh al-Ma’ani, pada permualaan abad ke-4 Hijriyah, metode
penafsiran saintis mengalami kemajuan yang pesat. Tercatat, para mufassir seperti: Muhammad
bin Ahmad al-Iskandarani (W. 1306 H), dalam Kasyf al-Asrar an-Nuraniyah al-Qur’aniyah-nya,
Al-Kawakibi (W. 1320 H), dalam Thaba’i al-Istibdad wa Mashari al-Isti’badnya, Muhammad
Abduh (W.1325 H) dalam Tafsir Juz’Ammanya, dan Ath-Thanthawi (W.1358 H) dalam Jawahir
al-Qur’annya, masing-masing menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara saintis. Contoh penafsiran
saintis al-Qur’an yang paling tampak jelas adalah buku tafsir al-Iskandarani dan ath- Thanthawi di
mana dengan sedikit perbedaan, mereka telah berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an
melalui ilmu pengetahuan empiris (tajribi) dan penemuan-penemuan manusia. Pemikiran
penafsiran secara ilmiah mengalami perkembangan yang lebih pesat sampai sekarang ini, sehingga
memberi dorongan yang cukup besar bagi para ilmuan untuk menulis buku tafsir yang didasarkan
atas pemikiran ilmiah secara tematik (al-maudhu’i). Menurut Dr.Abdul Mustaqim munculnya
tafsir ‘Ilmi ini karena dua faktor yaitu:
• Pertama, faktor internal yang terdapat dalam teks al-Qur’an, dimana sebagian ayat-ayatnya
sangat menganjurkan manusia untuk selalu melakukan penelitian dan pengamatan terhadap
ayat-ayat kauniyyah atau ayat-ayat kosmologi yang terdapat pada Q.S. al-Gasyiyah (88):
17-20), yang berbunyi :
َ ‫ َوإل‬۱۸ ُ‫ف ُرفعِتَ إ‬
‫ِى‬ َ ‫اء ك إَی‬
ِ ‫س َم‬ َ ‫ َوإل‬۱۷ ُ‫ف ُخلقِتَ إ‬
َّ ‫ِى ٱل‬ َ ُ‫كی إ‬ ِ ‫ِى إ‬
َ ُِ ‫ٱۡلب ِل‬ َ ‫َظرُُ ونَ إل‬
ُ ‫ل ین‬ َ َ َ‫أف‬
۲۰ ‫ف سُطِ َح إت‬ ِ ُ‫ِى إٱۡل َر إ‬
َ ‫ض ك إَی‬ َ ‫ َوإل‬۱۹ ُ‫نص ُِبتَ إ‬ُ ‫ف‬ َ ‫إٱل ِجبا َ ِل ك إَی‬
Artinya : Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?.
perintah Allah kepada manusia untuk bertafakur tentang alam semesta baik secara material
maupun spiritual. Bukankah Allah swt menciptakan semua kejadian itu tidak sia-sia,
melainkan ada rahasia yang ada di baliknya. Adalah sebagai bukti atas kekuasaan Allah
yang maha kuasa atas segala sesuatu dan sebagai dalil rububiyah dan ilahiyah Allah azza
wajalla. Rabbulalamin. Tak dapat di sangkal lagi, bahwa kebangkitan Kembali ilmu
pengetahuan (scientific renaissance) yang timbul di dunia barat adalah berkat pengamatan
yang cermat serta eksperimen terhadap gejala-gejala yang terdapat pada alam materi.
Sekalipun kita tidak dapat mengakui orientasi mutlak dari hukum-hukum demikian itu,
namun kita membenarkan bahwa hukum-hukum tersebut memberikan otentisitas dan
ketetapan maksimum yang mungkin diperoleh. Hukum hukum ini secara berangsur-angsur
bergerak menuju kesempurnaan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan
berlakunya masa dan meluasnya ilmu pengetahuan manusia, serta dengan semakin
berkembangnya kecermatan di bidang pengamatan (observasi), maka para ilmuan dari
waktu ke waktu memperkenalkan perubahan dan modifikasi dalam berbagai hukum ilmiah
itu untuk lebih mendekatkannya kepada kenyataan, atau agar ia lebih memberikan hasil
guna. Ini berarti bahwa para ilmuan terus-menerus melakukan pekerjaan riset tentang alam
semesta. Dalam upaya ini meraka menggunakan berbagai jenis materi untuk riset, terutama
sekali adalah yang berkaitan dengan teori. Kemudian muncul setelah itu eksperimen di
laboratorium, lapangan pertanian/peternakan atau dialam secara keseluruhan. Inilah yang
di perintahkan oleh Al-Qur’an dalam hal memahami kenyataan-kenyataan, yang tertera di
dalam ayat-ayat Al-Qur’an salah satunya pada surat Al-ghasyiyah ayat 17-20. Bahkan ada
pula ayat-ayat al-Qur’an yang disinyalir memberikan isyarat untuk membangun teori-teori
ilmiah dan sains modern, karena seperti dikatakan Muhammad Syahrur, wahyu al-Qur’an
tidak mungkin bertentangan dengan akal dan realitas (revelation does not contradict with
the reality).
Dengan asumsi tersebut, ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dideduksi untuk menggali teori-
teori ilmu pengetahuan, oleh sebagian ulama ditafsirkan dengan pendekatan sains modern,
meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. Dan para sahabat. Sebab para
pendukung tafsir ilmi sependapat, bahwa penafsiran al-Qur’an sesungguhnya tidak
mengenal titik henti, melainkan terus berkembang seiring dengan kemajuan sains dan ilmu
pengetahuan. Sebagai contoh, ayat yang berbunyi khalaqa al-insana min ‘alaq (Q.S. al-
‘Alaq 96:2). Dulu, kata al-‘alaq dalam ayat ini ditafsirkan oleh para mufasir klasik dengan
pengertian segumpal darah yang membeku. Namun sekarang, dalam dunia kedokteran
akan lebih tepat jika ditafsirkan dengan zigot, sesuatu yang hidup, yang sangat kecil
menggantung pada dinding Rahim perempuan.
• Kedua, faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan sains
modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmu pengetahuan, para ilmuan muslim (para
pendukung tafsir ilmi) berusaha untuk melakukan kompromi antara al-Qur’an dan sains
dan mencari ‘justifikasi teologis’ terhadap sebuah teori ilmiah. Mereka juga ingin
membuktikan kebenaran al-Qur’an (baca: i’jaz ilmi) secara ilmiah-empiris, tidak hanya
secara teologis-normatif.

C. Corak dan metode dalam tafsir ‘ilmi


Tafsir bercorak ilmi adalah kecenderungan menafsirkan Al-Qur’an dengan memfokuskan
penafsiran pada kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang
berkaitan dengan Ilmu dalam Al-Qur’an(Kholid, 2003) Menurut Abd Al-Majid Abd As-SalamAl-
Mahrasi tafsir, Ilmi, yaitu: tafsir yang mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam Al-
Qur’an yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala
kemampuan dalammenggali berbagai problem ilmu pengetahuan(Khaeruman, 2004).
Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Alasan
yang melahirkan penafsiran ilmi adalah karena seruan Al-Qur’an pada dasarnya adalah sebuah
seruan ilmiah, yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan
prasangka buruk, bahkan Al-Qur’an mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau
seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat Al-Qur’an ditutup dengan ungkapan-ungkapan, antara
lain: “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan:
“bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan: “Bagi kaum yang berfikir”. Apa
yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan
pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang
dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah.
Pada abad ke-20 perkembangan tafsir ilmi semakin meluas dan semakin diminati oleh berbagai
kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an melalui pendekatan
ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan mukjizat Al-Qur’an
dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk meyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan
dan keunikan Al-Qur’an (Muhammad, 2004). Meluasnya minat terhadap corak tafsir bi al-Ilmi
dikarenakan umat Islam merasa tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat
Islam juga takut penyakit pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami
Barat akan timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai melakukan
berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuaiannya dalam Al-Qur’an (Shihab,1994).
Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an adalah salah satu contoh dari usaha pengejawantahan metode tafsir ‘ilmi atau
tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini terdapat beberapa kaidah, diantaranya :
1. Kaidah Kebahasaan
Kaidah kebahasaan merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memahami Al-
Qur’an. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu yang terkait dengan Bahasa seperti í’rab, nahwu,
tashrif, dan berbagai ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan oleh para mufassir. Kaidah
kebahasaan menjadi penting karena ada sebagian orang yang berusaha memberikan legitimasi dari
ayat-ayat Al-Qur’an terhadap penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan ini. Oleh
karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama ketika seseorang hendak menafsirkan
Al-Qur’an dengan pendekatan apapun yang digunakannya, terlebih dalam paradigma ilmiah.
2. Memperhatikan Korelasi Ayat
Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus memperhatikan kaidah
kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga dituntut untuk memperhatikan korelasi ayat
(munasabah al-ayat) baik sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek
ini tidak menutup kemungkinan akan tersesat dalam memberikan pemaknaan terhadap Al-Qur’an.
Sebab penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an tidak didasarkan pada kronologi masa turunnya,
melainkan didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat-ayat terdahulu
selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian. 17 Sehingga dengan mengabaikan korelasi
ayat dapat menyesatkan pemahaman atas suatu teks.
3. Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan
Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka ia tidak dapat
disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat relatif. Oleh karena itu,seorang
mufassir hendaknya tidak memberikan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an kecuali dengan
hakikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan sampai pada standar tidak
ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah tersebut, serta berusaha menjauhkan dan
tidak memaksakan teori-teori ilmiah dalam menafsirkan Al-Qur’an. Fakta-fakta Al-Qur’an harus
menjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek penelitian karena harus menjadi rujukan adalah
faktafaktaAl Qur’an, bukan ilmu yang bersifat eksperimental.
4. Pendekatan Tematik
Corak tafsir ‘Ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili (analitik). Sehingga
kajian tafsir ‘Ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak mampu memberikan pemahaman
yang utuh tentang suatu tema tertentu. Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan
mampu memberikan pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru
sebaliknya, membingungkan bagi para pembacanya. Metode tahlili yang disebut juga metode
tajzi'I adalah metode penafsiran al Quran yang berusaha menjelaskan al Quran dengan
menguraikan berbagai seginya sesuai dengan urutan ayat-ayat al Quran dalam mushaf . metode ini
adalah paling tua dan paling sering digunakan. Metode Tafsir Tahlili merupakan kecenderungan
mayoritas dari karya-karya yang disusun sejak masa klasik hingga masa kini.
Dalam metode ini penafsiran al-Quran dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian
surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan dalam mushaf. Tafsir ini
menjelaskan al-Quran dari segi kosa kata dan lafazh, asbab nuzul, muhasabah, arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I'jaz, balaghah, dan
keindahan susunan kalimat. Kemudian menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum
fiqih, dalil syar'I, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
a. Ciri-Ciri tafsir dengan Metode Tahlili
Ciri-Ciri tafsir dengan metode tahlili antara lain :
1. Mengemukakan munasabah (korelasi) antara ayat atau surat
2. Menjelaskan sebab-sebab turunya al-Quran
3. Menganalisis lafadz atau mufrodat dengan sudut pandang kebahasaan/linguistic
4. Memaparkan kandungan ayat serta maksudnya secara umum
5. Menjelaskan hal-hal yang dapat disimpulkan dari ayat baik dari segi hukum, akhlaq, dll
b. Kelebihan Metode Tahlili
1) Mempunyai ruang lingkup yang luas
Tafsir metode tahlili memungkinkan mufassir membawanya kedalam dua bentuk : ma'tsur
dan ra'yi. Bentuk ra'yi sendiri masih dapat dikembangakan menjadi berbagai corak penafsiran
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassirnya.
2) Memuat berbagai ide gagasan
Karena keluasan ruang lingkupnya, mufassir pun relatif mempunyai kebebasan dalam
mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru, Sehingga dapat dipastikan, pesatnya
perkembangan tafsir metode tahlili disebabkan oleh kebebasan tersebut.
c. Kelemahan Metode Tahlili
1) Menyebabkan petunjuk Al-Quran (tampak) parsial
Metode tahlili memungkinkan mufassir memberi penafsiran yang berbeda pada satu ayat
dengan ayat lain yang serupa. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap ayat-ayat atau
lafadz-lafadz yang serupa. Dalam metode tahlili juga terdapat unsur ketidak konsistenan mufassir.
Meski demikian ketidakkonsistenan ini merupakan konsekuensi logis dari penafsiran metode
tahlili, karena dalam metode ini, mufassir tidak dibebani keharusan untuk mengomparasikan ayat
dengan ayat.
2) Melahirkan penafsiran subyektif
Terbukanya pintu penafsiran yang lebar pada metode ini membuka peluang bagi penafsiran
subyektif yang mengesampingkan kaidah-kaidah yang berlaku. Akibatnya, penafsiran menjadi
kurang tepat, dan kaidah yang berlaku. Akibatnya , penafsiran menjadi kurang tepat, dan maksud
ayat pun menjadi berubah.
3) Membuka pintu masuk pemikiran israilyyat
Keluasan ruang lingkup metode tahlili berimbas pada keleluasaan mufassir dalam
mengajukan ide, gagasan, dan pemikiran tak terkecuali pemikiran israilyyat.
d. Urgensi Metode Tahlili
Meskipun mengandung kekurangan, keberadaan metode tahlili telah memberikan
sumbangan besar bagi pelestarian dan pengembangan khazanah intelektual islam. Khususnya di
bidang tafsir Al-Quran. Berdasarkan fakta yang ada, metode ini telah melahirkan karya-karya
besar dan monumental. Sehingga urgensitas metode ini harus diakui.
Karena metode tahlili menjelaskan kandungan Al-Quran dari berbagai segi, dapat
dikatakan, metode tahlili lebih dapat diandalkan jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman
yang luas (pemahaman dalam berbagai aspek) terhadap kandungan Al-Quran. Dengan kata lain
urgensi metode tahlili terletak pada keberadaanya yang mampu memberi pemahaman lebih luas
(berbagai aspek) disbanding dengan metode yang lain.
Dari pembahasan di atas tentang metode Tafsir tahlili dapat disimpulkan bahwa metode ini
sangat penting untuk menafsirkan al quran karena metode ini berusaha menjelaskan ayat al quran
secara terperinci sesuai dengan urutan ayat-ayat al quran dalam mushaf, serta termasuk juga
metode yang paling tua. Pada dasarnya mempelajari al-Quran tidaklah sulit karena ada banyak
cara beserta metode yang akan mempermudah kita untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang
cara mempelajari ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Quran.
Beberapa contoh karya tafsir al-ilmi ini adalah:
1) Tafsir al-Kabir/MafatihAl-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi),
2) Al-Jawahir fi TafsirAl-Qur’an Al-Karim (Thanthawi Jauhari),
3) Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)
M.Quraish Shihab mengemukakan bahwa perlu digaris bawahi dan perlu di perhatikan,
dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mengambil corak ilmi.
Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:
1. Setiap muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab
suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk
menafsrikan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat
syarat-syarat tertentu.
2. Al-Qur‟an diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab yang hidup
pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20, tetapi untuk
seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh al-Qur‟an serta
dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami-memahami petunjuk-petunjuk-
Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda
akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi social, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka adalah wajar apabila pemahaman
atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam satu generasi atau tidak,
berbeda-beda pula.
3. Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam
kaitannya dengan pemahaman al-Qur‟an tidak berarti menafsirkan al-Qur‟an secara
spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli
yang memiliki otoritas dalam bidang ini.
4. Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan a-Qur‟an adalah
keterabatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat al-Qur‟an.
Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus ke dalam kesalahan apabila ia menafsirkan
ayat-ayat kauniyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi,
demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir
memperingatkan perlunya para mufasir khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan
penafsiran ilmiah untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta
memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat al-Qur‟an.
Oleh karena itu pada perkembangannya, paradigma tafsir ilmiah menggunakan metode
tafsir tematik yaitu penafsiran ayat-ayat dengan menentukan terlebih dahulu suatu topik, lalu ayat-
ayat tersebut dihimpun dalam satu kesatuan yang kemudian melahirkan sebuah teori. Dengan
demikian, bagi seorang mufasir ilmi sebaiknya menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang
mempunyai kesamaan tema pembahasan, sehingga dapat sampai kepada makna hakiki.

D. Contoh – Contoh Ayat Tafsir ‘Ilmi


Contoh Q.S al-Baqarah 02: 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas
dengan makan satu jenis makanan di pegunungan
ُُِ‫طعَام ٰ َوحِ د فَٱ إدعُ لَنَا َربكَّ َُ یخ إُُ ِر إج لَنَا مِ َّما ت ُۢنُبت‬
َ ‫علَ ٰى‬
َ ‫نص إُبِ َر‬
َّ ‫س ٰى لَن‬ َ ‫َوإذ إُِ قل إُُت ُم إُ ٰی َمُُ و‬
‫ِلونَ ٱلذَّ ُِي ھ َُو‬ ُ ‫تب إُد‬ َ ُ‫َس إ‬ َ ‫بصَُ ِل َھا قا َ َل أت‬
َ ‫دس ُِھَا َو‬ َ ‫ع‬َ ‫فومِ َھا َو‬ ُ ُ‫إٱۡل َر إ‬
ُ ‫ض مِ ُۢن بقَ إُ ِل َھا َوقثِاَّئ ِھَُ ا َو‬
َ‫لی إُ ِھ ُم ٱل ِذلِّةَّ َویقَ إُتلُ ُون‬
َ ‫ع‬َ ُ‫سأل إَُت ُۗ ُم إُ َوض ُِربتَ إ‬
َ ‫ٱھبطِ ُُ وا مِ صإ ٗرا فإ َ ِِّنَُ لكَ ُُ م َّما‬ ‫ٰذل َُِكَ 􀹡 َّب ِا ٰیتَ ُِ ٱ 􀹡 أ َ إدن َٰى ِبٱلَّذِي ھ َُو َخ إیر إ‬
َ‫فرُُ ون‬ُ ‫َانوا َی إك‬
ُ ‫ضب ِ ِّمنَ ٱ 􀹡 ِبأنَ َّھُُ إم ك‬ َ َ‫ُۗ َّ َو إٱل َمسإ َكنَة َوباَءُو ِبغ‬
Artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa,kami tidak bisa sabar (tahan) dengansatu
macam makanansaja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu,agar Dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkanbumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya,
bawang putihnya,kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata:“Maukah kamu
mengambil yang rendah sebagai penggantiyang lebih baik ?Menurut Pendapat Thantowi Jauhari
ayat ini denganmengambil teori ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupanBaduwi di pedesaan
atau pegunungan, yang biasanya orangmengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan
yang tanpa efek samping) dengan kondisi udara yang bersih,jauh lebih baik daripada model
kehidupan di perkotaan yangbiasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji,daging-
daging, dan berbagai ragam makanan lainnya,ditambah lagi polusi udara yang sangat
membahayakankesehatan.
Contoh lain dapat ditemukan dalam penafsiran M.Abduh terhadap surat al-Fil (105): 3-4 yang
menafsirkan kata thayran ababil (burung Ababil) dengan mikroba dan kata al hijarah(batu)
dengan kuman penyakit. Atau, penafsiran Abdul al-Razq Nawfal pada Q.S. al-A’raf (07): 189
۞ ‫ِی إُھَا فلَ َّمَُ ا‬ َ ‫ھ َُو ٱلَّ ِذ ي َخلَقَكُ م ِ ِّم ن نَّ إفس ٰ َوحِ دَة َو َج علََُ مِ إن َھا زَ إو َج َھا ل‬
َ ‫ِیس إُ ُكنَ إل‬
َ ‫اتی إُتنَا‬
َ ‫أث إُقلَتَ دعََُّ َوا ٱ 􀹡 َرب َّھُُ َما لئ َِن إُ َء‬ َ ‫َشَُ ٰﯩھَا َح َملتَ إُ َح إملا َخف ِٗیفا‬
َ ‫فمَُ َّر إت بِۦھ فلَ َّمَُ ا‬ َّ ‫َّتغ‬
۱۸۹ َ‫شك ِِرین‬ َّ ٰ ‫وننَُ مِ نَ ٱل‬ َٰ
َّ ُُ َ‫صلِحٗ ا لنَّك‬
huwa alldzi khalaqakum min al-nafsi al-wahidah waja’alaminha zawjaha, ia menafsirkan kata
nafsu al-wahidah (diri yang satu) dengan proton dan zawjaha dengan pasangannya elektron, dan
masing-masing keduanya membentuk unsur atom. Dapat dilihat juga dalam penafsiran ayat dalam
surah Yasiin ayat 38:
۳۸ ‫یز إٱلع َل ُِ ِیم‬
ِ ُِ َ‫ِیر إٱلعز‬
ُ ‫س ت َج إُ ِري ِل ُمسإ تقَ َرُُِّ ل َّھَُ ا ٰذل َُِكَ تقَ إُد‬ َّ ‫َوٱل‬
ُ ‫شمإ‬
Artinya : Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha
Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38)
Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan gerakan lahiriah
matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan tetapi, pada masa kini, berdasarkan
penemuan-penemuan ilmiah dan sains baru, para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan
gerakan matahari menuju suatu titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega. Semua penafsiran
itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif.

E. Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir ‘Ilmi


Tafsir ilmi berusaha menafsirkan ayat Al-Qur’anberusaha mengukuhkan berbagai istilah
ilmu pengetahuandan berusaha melahirkan berbagai ilmu baru dalam Al-Qur’an. Dalam tafsir ini
umumnya membahas tentang alamdan kejadian-kejadiannya (kauniyah) dan berusaha untuk
membuktikan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat semua ilmuatau pengetahuan yang ada di dunia
ini, baik yang telah lewatmaupun yang akan datang. Bahkan menurut mereka (yang
menggandrungi tafsir ilmi ini) masih banyak ilmu yang belum tergali dalam Al-Qur’an. Kelahiran
corak penafsiran ini bersamaan dengan kemajuan pesat kebudayaan Islam.Tuntutunan
perkembangan ilmu juga mendorong penafsiran secara ilmiah. Dari ulama klasik, yang
mendukung penafsiran semacam ini di antaranya adalah :
Al-Ghazali, adalah orang yang paling banyak memasarkan tafsir ilmiah di tengah
percaturan keilmuan Islam. Dalam kitabnya Ihya’ ‘ulumuddin pada pasal IV menyinggung
mengenai pemahaman dan penafsiran al-Qur’an secara rasional tanpa menggunakan Naqal (Al-
Qur’an dan Hadits). Beliau sepakat dengan pendapat beberapa ulama bahwa al-Qur’an
mengungkapkan 77.200 macam/buah ilmu, karena setiap kata merupakan sebuah ilmu. Dengan
mengutip
hadist dari Ibn Mas’ud yang menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda:
‫من اراد علم اآلولین والخرین‬: ‫عن ابن مسعود رضي هلل عنھ انھ قال‬
‫فلیتدبر القران (رواه ابن مسعود‬
Artinya: Barang siapa ingin memperoleh pengetahuantentang beberapa permulaan dan beberapa
kesudahan,maka kajilah al-Qur’an dengan seksama. Beliau mengatakan bahwa segala sesuatu
yang sulit dipahami dengan penginderaan dan penalaran sehingga menimbulkan berbagai teori
yang berlawanan satu sama lain sebenarnya sudah dikemukakan dan dirumuskan
dalam al-Qur’an dan semuanya dapat diketahui oleh para pemikir. Dalam ayat tersebut Allah SWT
mendorong untuk melakukan perenungan dan pemikiran tentang bagaimana kejadian
tersebut.Dengan menggunakan pendekatan tafsir ilmi, penemuan penemuan baru bisa digunakan
sebagai penegasan terhadap kemukjizatan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Allah SWT akan
mengisi jiwa seseorang dengan keimanan terhadap keagungan-Nya ketika ia menafsirkan Al-
Qur’an dengan ayat-ayat tertentu dan makhluk-makhluk yang sangat renik dengan
menggambarkannya melalui ilmu pengetahuan yang ada.
Sedangkan orang-orang yang menolak adanya penafsiran macam ini terhadap Al-Qur’an
berargumen:
1. Kemukjizatan Al-Qur’an ialah sudah menjadi suatu yang pasti dan tidak butuh hal-hal lain untuk
menjelaskannya seperti penafsiran macam ini terkadang bisa mengaburkan kemukjizatan Al-
Qur’an.
2. Dorongan Al-Qur’an untuk melakukan penalaran dan perenungan pada peristiwa dan ilmu-ilmu
merupakan suatu ajakan yang menyeluruh dan bersifat pengambilan pelajaran (i’tibar), bukan
untuk menjelaskannya secara mendalam dan menggali ilmu-ilmunya.
3. Penafsiran dengan corak ini memaksa penafsir untuk melakukan “lompatan yang jauh” dalam
memaknai dan manafsirkan ayat Al-Qur’an dari makna luar (zhahir) ayat
tersebut.
4. Tafsir ilmi menjerumuskan orang yang mendalaminya pada kesalahan dalam
mengkompromikan dua istilah dari dua kutub yang berbeda (Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
sains)
5. Ilmu-ilmu yang tergali dalam penafsiran ini hanya bersifat sementara dan akan berubah ketika
ada penemuan penemuan baru yang lebih besar. Hal ini membuat Al- Qur’an tidak bisa untuk
menemukan pijakan sebagai sumber dari segala ilmu, karena terus berubah
penafsirannya.
Di antara yang menolak adanya penafsiran seperti ini adalah Abu Ishaq Al-Syatibi (w. 790
H) yang disampaikannya dalam kitab al-muwafaqat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu: Tafsir ‘ilmi
adalah tafsir yang menggunakan istilah istilah ilmiah dalam mendiskripsikan al-Qur’an dan
berusaha keras untuk mengeluarkan berbagai ilmu pengetahuan dan visi filsafat darinya. Dalam
menanggapi tafsir ‘ilmi ini, para ulama ada dua kelompok yakni menolak dan mendukung. Bahkan
banyak ulama-ulama kontemporer yang bersikap lebih moderat seperti al-Ghamrawi. Kita tidak
bisa mengklaim kebenaran bahwa teori-teori ilmiah ini adalah sebagai bentuk final dari penafsiran
ayat, dalam artian al-Qur’an adalah bukan kitab ilmu pengetahuan melainkan kitab yang menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kehidupan manusia baik spiritual maupun material yang bisa
dikembangkan melalui ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib. Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj.
Mohammad Maghfur Wachid. Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin. Bangil: Al-
Izzah, 1997
Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran- Aliran Tafsir dari Periode
Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press, 2014
Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Tafsir Ilmi”. Jurnal ilmu ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
Ahmad Fuad, Pasya. Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an.
Solo : Tiga Serangkai. 2004
Al-Ghozali. Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid I. Kairo: Al-Tsaqofah al-Islamiyah, 1356H
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajawali Pers, 1992
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Media Insani, 2007 Didin Saefuddin Buchori, Pedoman
Memahami Al-Qur’an, Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005
Fahd ibn Abdurrahman Al-Rumi, buhuts fi ushul al-tafsir wa minhajuhu, (t.tp: Maktabah al-
Taubah, t.thHassan Ibrahim Hassan. Sejarah dan Kebudayaan Islam.Yogyakarta: Kota
Kembang, 1989
M. Abduh, Tafsir Juz ‘Amma. Mesir: Al-Jam’iyyah al-Khairiyyah,1341 H
Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassiruun, Kairo: Maktabah Wahbah,
2003
M Nur Ichwan. Tafsir ‘Ilmi Memahami Al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern,
Yogyakarta: Menara Kudus, 200414
Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya, 2001
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: PT Mizan Pustaka,1992
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
Cet.VIII. Bandung: Mizan, 1998
Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007
Supiana dan M.Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka
Islamika, 2002
Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al- Mushtamil ‘ala ‘Ajaib Badai’ al-
Mukawwanat wa Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama Tafsir Tantawi Jawhari, Juz 1 .Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. refleksi anak muda pesantren, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu,
Sejarah Dan Tafsir Kalamullah, Kediri: Lirboyo Press, 2011

Anda mungkin juga menyukai