Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kitab suci yang menetapkan masalah

akidah dan hidayah, hukum syariat dan akhlak. Bersamaan


dengan itu di dalamnya terdapat juga ayat-ayat yang
menunjukkan berbagai kenyataan ilmiah sehingga memberikan
dorongan kepada manusia guna memepelajarinya, membahas
dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin
telah berupaya menciptakan hubungan seerat-eratnya antara AlQuran dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali
beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Quran. Usaha
seperti itu ternyata di kemudian hari semakin luas, dan tidak
dapat disangkal lagi memang telah mendatangkan hasil yang
banyak faedahnya
Penafsiran al-Quran terus berkembang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, dan ternyata perkembangan
ilmu pengetahuan ini mempengaruhi penafsiran terhadap ayatayat al-Quran terutama ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran,
para penafsir berusaha membuktikan bahwa isi/kandungan alQuran tidak bertentangan dengan akal bahkan ilmu
pengetahuan modern .
II.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran

berdasarkan pendekatan ilmiah atau menggali kandungan alQuran berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Ayat-ayat alQuran yang di tafsirkan dalam corak tafsir ini adalah ayat-ayat
kauniyah (kealaman).1 Dalam pengertian lain, dapat dipahami
bahwa Tafsir ilmi atau scientific exegies adalah corak penafsiran
al-Quran yang menggunakan penedekatan teori-teori ilmiah
1 Supiana dan M.Karman, Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir.
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 314.

untuk menjelaskan ayat-ayat al-Quran. Di maksudkan untuk


menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran filosofis dari ayat-ayat
al-Quran juga di maksudkan untuk justifikasi dan
mengkompromikan teori-teori ilmu pengetahuan dengan alQuran serta bertujuan untuk mendeduksikan teori-teori ilmu
pengetahuan dari ayat-ayat al-Quran itu sendiri.2
Berdasarkan dua definisi di atas dapat kita pahami bahwa
tafsir ilmi adalah penafsiran al-Quran dengan pendekatan ilmu
pengetahuan. Dari definisi ini kita juga mengetahui bahwa ayatayat al-Quran yang dijadikan objek penafsiran bercorak ilmi ini
adalah ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai ilmiah dan
kauniyah (kealamaan).
Tafsir ilmi di bangun berdasarkan asumsi bahwa al-Quran
mengandung berbagai macam ilmu, baik yang sudah di temukan
maupun yang belum di temukan. Tafsir corak ini berangkat dari
paradigma bahwa al-Quran disamping tidak bertentangan
dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan, al-Quran tidak hanya
memuat ilmu-ilmu agama atau segala yang terkait dengan
ibadah ritual, tetapi juga memuat ilmu-ilmu duniawi, termasuk
hal-hal mengenai teori-teori ilmu pengetahuan.3
B. Kemunculan Tafsir Ilmi
Corak prnafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya
bermula pada Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
2 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, Studi
Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga
Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 136137.

3 Mustaqim, Dinamika Sejarah..., h. 137.

pemerintahan Khalifah Al-Mamun (w.853 M)4, pada masa


pemerintahan Al-Mamun ini muncul gerakan penerjemahan
kitab-kitab ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu
agama dan science serta klasifikasi, pembagian dan bab-bab dan
sistematikanya . Tafsir terpisah dari hadits, menjadi ilmu yang
berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat
al-Quran dari awal sampai akhir5. Al-Makmun sendiri merupakan
putra khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal sangat cinta dengan
ilmu. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang
besar. Pada masa inilah, Islam mencapai peradaban yang tinggi
sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.
Pada saat itu, Bait al-Hikmah berperan sebagai pusat
penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab. Para penerjemah berkerja secara kelompok dan
dikoordinir oleh seorang supervisor. Kemudian, karya terjemahan
ini diperiksa kembali keaslian dan kesesuaiannya dengan bukubuku aslinya. Kegiatan penerjemahan ini menyebabkan lahirnya
tokoh-tokoh ilmuwan muslim yang terkenal dalam berbagai
disiplin keilmuwan, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi
dan lainnya.
Implikasi dari proses transmisi penerjemahan buku-buku
ilmiah terutama Yunani ke dunia Islam tidak hanya dalam hal
4 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.(Bandung: PT Mizan
Pustaka,1992), hlm. 154.

5 Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir. (Jakarta:


Rajawali Pers, 1992), h. 23.

pengetahuan umum, tetapi juga dalam hal pengetahuan agama.


Dalam bidang tafsir, metode tafsir bi al-matsur dan tafsir bi alrayi memang berkembang pada masa ini, terutama tafsir bi alrayi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan.
Al-Quran menjadi sumber bermacam-macam ilmu
pengetahuan di zaman Abbasiyah. Ahli nahwu (tatabahasa)
bertumpu pada al-quran dalam menentukan kaidah/peraturan
bahasa Arab. Bagaomanapun juga, keterangan panjang lebar
membantu dalam menginterpretasikanal-Quran dan dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Quran tertentu. Maka dari itu ahli tata
bahasa mengarang buku-buku dengan judul The Meaning of The
Quran(maksud-maksud al-Quran), para ahli hukum islam
menjadikan al-Quran sebagai sumber primer ketika menulis
karya mereka, yang mereka beri judul al-Ahkam Al-Quran, begitu
juga dengan para teolog , ahli astronomi, matematika, kimia dan
kedokteran muslim menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan
prinsip-prinsip masing-masing keilmuan mereka.6
Sedangkan menurut Dr.Abdul Mustaqim munculnya tafsir
Ilmi ini karena dua faktor yaitu7:
1. Faktor internal yang terdapat dalam teks al-Quran,
dimana sebagian ayat-ayatnya sangat menganjurkan
manusia untuk selalu melakukan penelitian dan
pengamatan terhadap ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat
kosmologi (Lihat misalnya Q.S. al-Gasyiyah (88): 17-20).
6 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam.
(Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 136-140.

7 Abdul Mustaqim, Kontroversi Tentang Tafsir Ilmi. Jurnal ilmuilmu al-Quran dan Tafsir, h. 5-6.

Bahkan ada pula ayat-ayat al-Quran yang disinyalir


memberikan isyarat untuk membangun teori-teori ilmiah
dan sains modern, karena seperti dikatakan Muhammad
Syahrur, wahyu al-Quran tidak mungkin bertentangan
dengan akal dan realitas (revelation does not contradict
with the reality).
2. Faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya
teori-teori ilmu pengetahuan, para ilmuan muslim (para
pendukung tafsir ilmi) berusaha untuk melakukan
kompromi antara al-Quran dan sains dan mencari
justifikasi telogis terhadap sebuah teori ilmiah. Mereka
juga ingin membuktikan kebenaran al-Quran (baca: ijaz
al-ilmi) secara ilmiah-empiris, tidak hanya secara teologisnormatif.
Dengan asumsi tersebut di atas, ayat-ayat al-Quran yang
dapat dideduksi untuk menggali teori-teori ilmu pengetahuan,
oleh sebagian ulama ditafsirkan dengan pendekatan sains
modern, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw. dan para sahabat. Sebab para pendukung tafsir
ilmi sependapat, bahwa penafsiran al-Quran sesungguhnya tidak
mengenal titik henti, melainkan terus berkembang seiring
dengan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh,
ayat yang berbunyi khalaqa al-insana min alaq (Q.S. al-Alaq
(96): 2). Dulu, kata al-alaq dalam ayat ini ditafsirkan oleh para
mufasir klasik dengan pengertian segumpal darah yang
membeku. Namun sekarang, dalam dunia kedokteran akan lebih
tepat jika ditafsirkan dengan zigot, sesuatu yang hidup, yang
sangat kecil menggantung pada dinding rahim perempuan.
C. Tokoh-Tokoh dan Karyanya

Diantara Tokoh yang paling gigih mendukung tafsir ilmi


tersebut adalah Al-Ghazali (w.1059-1111 M) yang secara panjang
lebar dalam kitabnya, Ihya Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Quran
mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya
itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa:
Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu
(masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian baik
yang telah telah diketahui maupun belum, semua
bersumber dari Al-Quran Al-Karim.8
Selain itu, dapat di ketahui pula tokoh-tokoh penggiat tafsir
ilmi ini dari pengarang kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsir ilmi
dintaranya9:

Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghayib, Fakhrudin Al-Razi;

Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, Thanthawi Al-Jauhari;

Al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Quran, Hanafi


Ahmad;

Tafsir al-Ayat al-Kauniyah, Abdullah Syahatah;

Al-Isyarat Al-Ilmiyah fi al-Quran al-Karim, Muhammad


Syawqi;

Al-Quran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Ahmad


Bayquni.

D. Pro Kontra Tafsir Ilmi


Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat
kauniyah yang terdapat dalam al-Quran dengan ilmu-ilmu
penegetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh
mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan
8 Quraish, Membumikan, h. 154.

9 Hassan, Sejarah dan Kebudayaan, h. 68.

dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan penggalian berbagai


jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang
ditemukan setelah lewat masa turunnya al-Quran, yaitu hukumhukum alam, astronomi, teori-teori kimia dan penemuanpenemuan lain yang dengannya dapat dikembangkan ilmu
kedokteran, fisika, zoologi, botani dan lain-lain.10
Sikap para ulama terhadap tafsir ilmi dapat dikelompokan
menjadi dua, yakni yang pro dengan corak tafsir ilmi dan yang
kontra.
Sebagian ulama mendukung tafsir ilmi dan bersikap
terbuka, seperti hal nya al-Ghazali, salah seorang ulama yang
mendukung tafsir ilmi, menurutnya segala macam ilmu baik yang
terdahulu maupun yang kemudian, baik yang telah diketahui
maupun yang belum, semua bersumber dari al-Quran . hal ini
disebabkan segala macam ilmu termasuk dalam afal Allah dan
sifat-sifat-Nya. Artinya bahwa corak penafsiran ilmiah,
menurutnya tidak bertentangan dengan al-Quran. Selain alGhazali, ulama yang pro dengan corak tafsir ini adalah alSuyuthi. Menurutnya, al-Quran mengandung keseluruhan ilmu11
sebagaimana diisyaratkan oleh QS. al-Anam/6:38 dan anNahl/16:89:








10 Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi..., h. 62.

11 Supiana dan M.Karman, Ulumul Quran, h. 315.

Terjemahnya:
dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.12










Terjemahnya:
(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka
sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan
kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.13

Sebagian mufassirin menafsirkan al-kitab dalam QS. alAnam/6:38 itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib
semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul
mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran
dengan arti: dalam Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama,
norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan
untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan
kebahagiaan makhluk pada umumnya.
12 Kemenag RI, Al-Quran al-Karim dan Terjemahnya, (Jakarta:
dfas, 2000), h. dfsdf

13 Kemenag RI, Al-Quran, h. sdf

Dalil-dalil yang dipakai oleh para pendukung tafsir ilmi ini


dikritik oleh ahli usul fiqh, Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, dalam
bukunya al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah, bahwa ayat itu (Q.S. alAnam/6:38) bukan berkaitan dengan masalah teori ilmu
pengetahuan, melainkan berkaitan dengan taklif dan ibadah. Jadi
menurut al-Syatibi, yang tidak ditinggalkan penjelasannya dalam
al-Quran adalah masalah taklif dan ibadah. Demikian pula yang
dimaksud dengan kata al-kitab dalam ayat tersebut, yang
dimaksud adalah lauh al-mahfuz, bukan al-Quran.14
Keberpihakan al-Ghazali dan as-Suyuthi mengenai corak
tafsir ilmi ini berkembang luas hingga muncul beberapa kitab
tafsir corak tafsir ilmi seperti al-Razy yang menuangkan
gagasannya dalam kitab tafsir nya yang di sebut Tafsir Mafatih
al-Gayb. Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi
Tafsir al-Quran al-Karim dan kitab tafsir ilmi lainnya seperti yang
telah di sebutkan di atas.
Para pendukung tafsir ilmi ini mempunyai argumen bahwa
al-Quran itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat di jangkau oleh
manusia, bahkan lebih dari itu al-Quran mengemukakan hal-hal
yang terjadi jauh sebelum al-Quran turun dan yang akan terjadi.
Di dalamnnya pula terdapat kaidah-kaidah yang menyeluruh dan
prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang bisa di saksikan,
fenomena-fenomena alam yang bisa kita lihat dari waktu ke
waktu dan hal-hal lain yang berhasil di ungkap oleh ilmu
pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai
sesuatu yang baru. Itu semua sebenarnya bukanlah sesuatu

14 Abdul Mustaqim, Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi.


Jurnal ilmu-ilmu al-Quran dan Tafsir, hlm 10.

yang baru menurut al-Quran sebab kesemuanya telah di ungkap


dan diisyaratkan oleh ayat-ayat muhkamat dalam al-Quran.
Selain para ulama yang pro terhadap tafsir ilmi, beberapa
ulama lain menolak adanya penafsiran al-Quran secara ilmiah,
mereka mempunyai argumen bahwa tidak perlu penkajian yang
terlalu intensif dalam memahami serta menginterpretasikan
ayat-ayat al-Quran, oleh karena al-Quran itu tidak tunduk
kepada teori-teori yang bersifat relatif, tidak perlu pula
mengaitkan ayat-ayat al-Quran dengan kebenaran-kebenaran
ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Sebaliknya kita harus
menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat alQuran dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukan
oleh ayat dan benar-benar sesuai dengan konteksnya tanpa
melangkah terlalu jauh dan lepas dari makna yang tidak
ditunjukan oleh teks ayat dan hal-hal lain yang tidak perlu
diungkap dalam kaitan dengan dengan pen-syariat-an agam
islam dan fungsi al-Quran sebagai kitab petunjuk. Hal ini
dikarenakan kepentingan al-Quran bukanlah berbicara kepada
manusia tentang problematika kosmologis dan kebenarankebenaran ilmiah, tetapi al-Quran semata-mata merupakan kitab
petunjuk dan penuntun yang di turunkan Allah untuk
kebahagiaan manusia.
Para penolak tafsir ilmi ini berargumen, bahwa al-Quran
bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah. Jika
semua teori ilmu pengetahuan telah ada dalam al-Quran, maka
berarti ia akan menjadi sumber ilmu pengetahuan, pertanian,
tehnik, dan sebagainya. Padahal teori-teori tersebut bersifat
relatif, ia bisa salah dan bisa benar. Ketika suatu teori yang dulu
dianggap benar dan telah dicarikan justifikasi dari ayat al-Quran,
ternyata di kemudian hari teori tersebut dinyatakan keliru,

karena ada penelitian terbaru yang lebih valid, maka hal itu akan
mengganggu keyakinan umat Islam. Seolah-olah ayat al-Quran
itu juga keliru dan bertentangan dengan teori yang baru
tersebut. Kesan yang muncul adalah bahwa al-Quran telah
ketinggalan zaman. Paling tidak ada beberapa alasan yang dapat
dikemukakan, mengapa mereka menolak penafsiran sains
terhadap al-Quran. Pertama, terkadang ayat-ayat itu tidak
dipahami pengertiannya sebagaimana saat pewahyuan. Kedua,
ada kecenderungan memaksakan (takalluf) untuk mencocokcocokkan ayat dengan perkembangan sains modern. Ketiga, sisi
kesinambungan iptek menunjukkan bahwa tidak semua ajaran
dan teori iptek diambil dari teks al-Quran.
Di antara ulama yang menentang adanya tafsir al-Ilmi
adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi. Menurutnya
penafsiran yang setelah dilakukan oleh ulama salaf lebih dapat
diakui kredibilitas dan kebenarannya dari pada penafsiran ilmiah.
Asy-Syathibi juga mengatakan bahwa al-Quran diturunkan bukan
untuk mnerangkan ilmu pengetahuan dan ia menyarankan agar
orang yang ingin memahami al-Quran harus membatasi diri
hanya menggunakan ilmuilmu bantu yang telah dikenal oleh
masyarakat Arab pada masa Nuzul al-Quran. Barang siapa yang
memahami al-Quran berdasarkan ilmu bantu selainnya, maka ia
akan terjerumus dalam kesesatan dan mengetasnamakan Allah
dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah
dimaksudkannya.15
Dari pro kontra tersebut, dapat di cari jalan tengah, yakni
bahwa memang al-Quran bukan kitab ilmu pengetahuan, namun
tidak dapat di sangkal bahwa di dalamnya terdapat isyaratisyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk
15 Mustaqim, Kontroversi. h. 11.

mengembangkan ilmu pengetahuan.16 Masing-masing orang


dapat menggali sesuatu dari al-Quran sebatas kemampuan dan
kebutuhannya sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
tujuan pokok al-Quran yaitu sebagai petunjuk. Dan sasaran yang
hendak di tunjukannya, yaitu sebagai tuntunan.
Banyak hikmah di dalamnnya yang jika di kaji oleh seorang
ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya dan mampu menjelaskan
kemujizatanya. Dan siapa pula yang mengingkari bahwa ilmu
biologi, geografi, dan ilmu lainnya kita perlukan? Ini bukan
berarti al-Quran merupakan kitab tentang ilmu kedokteran,
fisika atau kimia. Ia adalah semata-mata kitab petunjuk,
penuntun, syariat, hukum, dan akhlak.
Al-Quran tidak banyak mngemukakan rincian-rincian,
keterangan-keterangan secara detail dan teori-teori yang di
anggap penting oleh manusia. Al-Quran mendorong manusia
untuk berlaku baik dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat,
menunjukan kepada manusia dari waktu ke waktu bukti
kemukjizatannya, agar manusia yakin bahwa al-Quran adalah
benar, dan memeberikan isyarat terhadap mujizat-mujizat yang
sampai sekarang sebagian belum terjangkau oleh ilmu
pengetahuan.
Di samping itu, seorang mufassir yang hendak melakukan
penafsiran ilmi perlu memperhatikan hal-hal sebagian berikut,
yaitu17:

16 Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, Studi AliranAliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga ModernKontemporer. (Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 138.

17 Mustaqim, Dinamika, h. 138-140.

Bersikap modern artinya tidak terlalu berelebihan dalam


meniadakan atau dalam menetapkan ilmu pengatahuan
dalam al-Quran;

Seorang mufassir hendaknya berpegang pada kebenaran


ilmiah yang sudah mapan, bukan pada teori yang masih
bersifat asumtif dan prediktif;

Menjauhi pemaksaan diri (takalluf) dalam memahami teks


al-Quran, sehingga penafsir ilmi jangan sampai terlalu
jauh dari makna-makna yang masih mungkin yang
terkandung dalam suatu ayat;

Menghindari tuduhan tertentu kepada seorang pnafsir ilmi


secara keseluruhan hanya karena kita kurang atau tidak
memahami hal itu; dan

Produk tafsir ilmi hendaknya tidak di klaim sebagai satusatunya makna yang dikehendaki oleh Allah swt, sehingga
mengabaikan kemungkinan makna yang lain yang
terkandung dalam suatu ayat. Sebab ayat al-Quran itu
memungkinkan untuk multi-tafsir.

E. Black-Hole Perspektif al-Quran


Ererewtwt twretpert ntuepi tjrisafhg ;fg ;gsf; faghsfd; g
Gfhhh
Fghghfghf fdhgd gfhgfhn

DAFTAR PUSTAKA
Alaridl, Ali Hasan. 1992.Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta:
Rajawali Pers
Arfan Baraja, Abbas. 2009. Ayat-Ayat Kuniyah. Malang: UINMalang Press
Asy-Syirbashi. 1991. Sejarah Tafsir Quran. Jakarta: Pustaka
Firdaus
Ibrahim Hassan, Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Yogyakarta: Kota Kembang
Mustaqim, Abdul. 2010. Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Yogyakarta: LKiS Group
Mustaqim, Abdul.2014. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, Studi
Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga
Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press.
Mustaqim, Abdul.Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi. Jurnal
ilmu-ilmu al-Quran dan Tafsir.
Supiana, dan M.Karman. 2002. Ulumul Quran dan Pengenalan
Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika.
Keterangan

Anda mungkin juga menyukai