Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL

ISRA’ILIYAT DALAM TAFSIR AL-QUR’AN

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Study islam

Dosen Pengampu: Miftahillah, S.Kom. M.Pd.I

Disusun oleh :

Sucila

Semester 4

STITNU AL-HIKMAH
Mojokerto
A. DEFINISI TAFSIR ILMI
Secara etimologis, kata “tafsir” berasal dari bahasa Arab Fassaro-yufassiru tafsiron,
yang bermakna memberi penerangan (Idzoh) dan memberi penjelasan (tibyan), dalam lisan al-
Arab dijelaskan bahwa bentuk mashdar al-Fasr bernakna “menyingkap sesuatu yang tertutup”
dan dalam bentuk mashdar at-tafsir bermakna menyingkap sesuatu makna yang musykil dan
pelik dalam al-Qur’an.
Sedangkan secara termonologis, Tafsir Ilmi didefinisikan sebagai sebuah crak
penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan teori-teori ilmiyah dan bertujuan untuk
menggali teori-teori ilmiyah dan pemikiran filosofis yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Qur’an.

B. KARAKTER TAFSIR ILMI


Pendekatan ini sesuai dengan sejarahnya yang banyak diwarnai dengan pertemuan
filsafat barat membawanya pada corak rasionalitas, empirisitas, positivitas, dan materialitas,
namun baru-baru ini corak tafsir lebih di dominasi dengan corak dan karakter sain modern yang
lebih mengunggulkan kajian kedokteran, kimia, fisika, dan biologi. Beberapa ilmu tersebut
banyak mewarnai penafsiran al-Qur’an abad ini dan seiring denganya muncul ilmuan seperti
Dzakir Naik. Keunggulan tafsir ini ialah mengenai otentisitas tafsirnya yang tidak mungkin—
seharusnya dan semestinya—dipengaruhi oleh madzhab. Dalam interpretasi interpreter
memposisikan diri dalam ruang objektif mendasarkan interpretasinya dengan dipertangung
jawabkan melaui research ilmiyah diuji kebenaranya berdasarkan metodologi yang telah ada.

Munculnya tafsir ini berawal dari gagasan bahwa antara al-Qur’an dan akal tidaklah
bertentangan. Ajaran yang terkandung di dalamnya sejalan dan pasti dapat dibuktikan dengan
rasio yang sampai saat ini kebenaran al-Qur’an ternyata sejalan dengan pembuktian lmiyah
yang ada, menjadikan karakter ilmi ini sebagai karakter tersendiri dalam membuktikan
kmu’jizatan Ilmiyah. Dan sekaligus ini menjadikan penjelasan tersendiri tentang hubungan
pendekatan ilmiyah dengan mu’jizat ilmiyah. Bahwa mu’jizat ilmiyah bisa diketahui melalui
interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan ilmiyah.
Pada dasarnya tafsir ilmi yang tidak bertentangan dengan Ilmu pengetahuan terbukti
setelah satu persatu ayat-ayat al-Qur’an dinyatakan kebenaranya melalui riset ilmiyah. Dan
semakin mempererat dan mempertegas nilain I’jaz al-Ilmi yang menjelaskan bahwa al-Qur’an
sudah melampaui akal manusia dalam hal ilmu pengetahuan pada masa lampau yang tidak
mungkin orang pada saat itu bisa membuat ayat seperti ayat al-Qur’an, karena belum ada ilmu
saat itu, diketahuinya kemu’jizatan ilmiyah al-Qur’an ialah tidak lain merupakan hasil dari
penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendekatan Ilmiyah yang menunjukan bahwa al-Qur’an
datangnya ialah tidak mungkin berasal dari manusia, meainkan itu sebuah buti bahwa al-Qur’an
datang dari Rabb alamin.

C. LATAR BELAKANG SEJARAH TAFSIR ILMI


Salah satu corak penafsiran (laun at-Tafsir) yang pernah muncul dalam sejarah
perkembangan tafsir dan terus berkembang hingga dewawsa ini ialah tafsir ilmi (scientific
exegesis). Dalam perjalanan sejarahnya, tafsir Ilmi mengundang kontroversi dikalangan ulama,
sebagian sangat mendukung keberadaan tafsir Ilmi dan sebagian yang lainya menolak secara
tegas tentang keberadaanya.
Al-Qur’an yang dianggap tidak bertentangan dengan akal atau secara lebih umum Islam
yang tidak bertentangan dengan akal pada mulanya dapat diterima dengan fnomena diskusi
antara Rosulullah SAW dengan mu’adz bin jabal di mana saat itu muncul kesimpulan bahwa
jika muncul persoaalan di tengah umat maka persoalan itu sepatutnya dicari solusinya dalam
al-Qur’an dan jika tidak terdapat di dalam al-Qur’an maka dapat dicari solusinya dalam Hadis
sampai akhirnya jika tidak terdapat dalam keduanya maka akal lah yang diharapkan bisa
memberi solusi yang terbaik atas permasalahan tersebut.
Dasar ini pada akhirnya banyak mengilhami para shohabat untuk berijtihad dengan akal
ketika menemukan permasalahan sebagaimana yang sering dilakukan kholifah Umar. Lebih
lanjut perkembangan akal dan ilmu pengetahuan sendiri dinilai penting termaktub dalam al-
Qur’an sendiri tentang diangkatnya derajat orang yang berilmu (mujadalah (58):11), shohabat
ali juga pernah di simbolkan dengan kunci dari gudang Ilmu dan Rosulullah sendiri sebagai
gudangnya.
Lebih lanjut pada masa keemasan Islam (asr ad-dzahabi) daulah abbasiyah ketika masa
al-Makmun didirikan sebuah lembaga ilmu pengetahuan yang diberinama Baitul Hikmah
tempat ini bisa dikatakan sebagai tempat yang multi fungsi karena disamping sebagai tempat
kajian ilmu dan perpustakaan tempat ini juga menjadi tempat untuk menterjemah buku-buku
yunani dan romawi kedalam bahasa arab. Pada era ini, ilmu pengetahuan sangat-sangat
dihargai yang konon setiap ilmuan ketika menulis, karyanya akan ditimbang dan dihargai
dengan emas seberat timbangan lembaran-lembaran yang ia tulis. Hal tersebut menunjukan
bahwa cendekia sangat-sangat dihargai oleh kholifah.
Namun, Rasionalisme ini pada akhirnya juga mengakibatkan noda hitam pada sejarah
islam tentang perdebatan keqodiman al-Qur’an yang berujung pada munculnya tragedy
penyiksaan ulama yang dikenal dengan tragedy mihnah yang salah satu korbanya ialah imam
Ahmad bin Hanbal.
Dari masa ini dapat disimpulkan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi masuknya
rasionalitas pada dunia islam ialah ada pengaruh faktor barat melalui penerjemahan-
penerjemaham buku-buku Yunani dan Romawi yang membawa ajaran filsafat.
Pada masa ini dunia Islam menjadi cermin dari peradaban dunia disaat dimana orang
barat masih bergulat dengan mitos-mitos sebagaimana catatan Ibn Sina ketika berkunjung
keperancis yang menjumpai komnitas yang mengobati orang sakit dengan ritual mengitari
sebuah pohon. Sangat jauh dengan perkembangan ilmu kedokteran yang sudah maju dalam
dunia Islam yang sampai menjadkan bahasa Arab menjadi bahasa Ilmiyah di Dunia. Tentang
hal ini, George Sarton sebagaimana dikutib oleh A.J. arberry, pernah menulis bahwa sejak
paruh ke-11 M, bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa ilmiyah.
Namun pada abad ke-12 M, dengan munculnya tahafut al-Falasifah ilmu pengetahuan
seolah stagnan, sampai pada akhirnya posisi ini dibalik oleh dunia barat yang menemukan
kejayaannya dengan peristiwa Renaissance, aufclarung, dan revolusi Industri, yang membuat
Islam harus mengakui keunggulan barat.
Seiring dengan dibaliknya kejayaan Islam yang dulu pernah berdiri di masa keemasanya
oleh dunia barat yang saat ini sudah lebih maju beberapa langkah dari Islam, muncul sebuah
semboyan kembali pada al-Qur’an, salah satu tokohnya ialah Muhammad Abduh dengan
konsep Purifikasi Islam yang muncul dari keresahan atas kondisi masyarakat Muslim yang saat
itu–dianggap—masih banyak menyibukan diri dengan tahayul yang menyelimuti segala
kehidupanya.
Dari sini para cendekia Muslim mencoba mengisyaratkan bahwa Islam harus difahami
secara berbeda agar tidak lagi kandas dalam ketertinggalan karena dengan dibiarkanya kondisi
ini akan mengakibatkan Islam akan semakin ditindas dengan kolonialisme penjajahan barat,
dimulai dengan penjajahan tahun 1764 oleh Inggris di bengli dan tahun 1786 di Penang,
kemudian penjajahan Rusia di Krimenia pada tahun 1783, dan Napoleon Bonaparte yang
meruntuhkan mesir tahun 1789.
Dengan serangan-serangan tersebut terutama serangan Napoleon Bonaparte di Mesir,
Umat muslim menjadi terkejut dan baru tersadar akan kemajuan barat yang Sudah sangat jauh
meninggalkan mereka yang saat itu masih sibuk dengan hal mistis. Dan hal mistis sejak saat
itu banyak diklaim sebagai hal yang bertanggung jawab atas jatuh dan porak-porandanya dunia
Islam, ini lah awal mula munculnya semboyan kembali pada al-Qur’an dan sunnah, semua
tindak Muslimin harus dimurnikan dari tahayul. Namun bukan berarti gerakan ini didukung
sepenuhnya oleh ulama karena banyak ulama yang masih berkeyakinan bahwa hal mistis tidak
sepenuhnya salah.
Dari sini muncullah pemaknaan berbeda mengenai semboyan “kembali pada al-Qur’an”,
bagi kelompok konservatif, semboyan itu dimaknai kembali pada hakikat makna al-Qur’an
secara tekstual apa adanya, dan bagi kaum reformis semboyan itu dimaknai sebagai kembali
pada makana pesan yang terkandung tidak hanya di luar, namun di dalam teks, dari sinilah
Hermeneutika muncul sebagai jembatan dalam mencari makna substansi al-Qur’an. Namun
menurut Abid al-Jabiri Hermeneutika telah menjadi wujut Hermeneutika Islam yang berbeda
dengan Hermeneutika umum terutama Hermeneutika Kristen, karena peliknya persoalan Bible
yang berbeda dengan permasalahan al-Qur’an.
Karena kesadaran akan posisi Islam membuat beberapa cendekia muslim pada abad 19-
20 M berupaya mendekonskruksi pemikiran konserfatif. Di antara beberapa tokohnya ialah
salah satu perintis tafsir al-Mannar Muhammad Abduh (1864-1905 M) yang menafsiri burung
ababil dengan mikroba,1[8] dan muncul karya Tafhim al-Qur’an2[9] pula Ahmad Khan (lahir
18173[10]) yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63 tentang nabi musa yang memukul
tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang bepergian melalui laut dengan menggunakan
tongkatnya.

D. TAFSIR ILMI DALAM PRO DAN KONTRA ATAU ASPEK-ASPEK NEGATIF DAN
POSITIF
Melihat anjuran dan sinyal yang diberikan Quraisyihab tentang bahwa jangan sampai al-
Qur’an dijadikan alat untuk mendukung argument ilmiyah dengan memaksa mencocok-
cocokan antara temuan ilmiyah dengan ayat al-Qur’an. Secara otomatis jika penemuan ilmiyah
yang memiliki argument al-Qur’an dinyatakan salah oleh temuan ilmyah yang baru maka yang
salah bukanlah al-Qur’anya melainkan penemuan itu.
Argument Quraisyihab tersebut membuka diskusi mengenai al-Qur’an dalam pro dan
kontra. Bagi mereka yang kontra menyatakan bahwa tidak perlu adanya temuan ilmiyah yang
menyandarkan dengan ayat al-Qur’an tafsir ilmi tersebut merupakan sikap apologetic
(takhalluf bi ad-difa’). Paling tidak ada beberapa alasan penolakan mereka terhadap tafsir ilmi.
Pertama, terkadang ayat itu bisa melenceng dari pengertian sebagaimana ia diwahyukan.
Kedua, ada kecenderungan memaksakan kehendak. Ketiga, tidak semua teori iptek diambil
dari al-Qur’an, karena tidak semua ayat al-Qur’an yang bisa dijelaskan dengan ilmu
pengetahuan, hal ini karena al-Qur’an tetaplah al-Qur’an sebagai kitab yang membawa ajaran
sacral. Salah satu ulama yang gencar menolak tafsir ilmiyah ialah Amin al-Khulli dan
Muhammad Syaltut yang mengecam ulama kontemporer yang mengadopsi teori ilmiyah guna
merasionalkan al-Qur’an.
Namun beberapa cendekia seperti dzakir Naik dengan penemuan ilmiyah dalam
tafsirnya atas beberapa ayat al-Qr’an adalah upaya membantah para orientalis yang pertamakali
menganggap bahwa al-Qur’an irasional. Dan akhirnya Dzakirnaik menemukan hal yang
spektakuler dalam al-Qur’an yang memang real dan benar validitasnya bahkan sampai
dibenarkan oleh pakar ilmuan barat sendiri sebagaimana penemuanya atas embriologi dalam
al-Qur’an yang dibenarkan oleh embriolog terkemuka dari Amerika yaitu Prof. Dr. Keith
Moore, beliau mengatakan : "Saya takjub pada keakuratan ilmiyah pernyataan Al Qur’an yang
diturunkan pada abad ke-7 M itu". Selain iti beliau juga mengatakan, "Dari ungkapan Al
Qur’an dan hadits banyak mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk mengetahui
perkembangan hidup manusia yang diawali dengan sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika
ovum (sel kelamin betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan). Kesemuanya itu belum
diketahui oleh Spalanzani sampai dengan eksperimennya pada abad ke-18, demikian pula ide
tentang perkembangan yang dihasilkan dari perencanaan genetik dari kromosom zygote belum
ditemukan sampai akhir abad ke-19. Dan ini menunjukan kembali pada kemu’jizatan al-
Qur’an.

E. CONTOH PENAFSIRAN
Tafsir ilmi dar kajian kebahasaan:
1. Muhammad Abduh (1864-1905 M) yang menafsiri burung ababil dengan mikroba dalam Q.S.
al-fil (105): 3:

‫طي ًْرا أَبَا ِبي َل‬ َ ‫َوأ َ ْر‬


َ ‫س َل َعلَ ْي ِه ْم‬
“Dan kami utus atas mereka burung ababil”
2. Ahmad Khan (lahir 18174[13]) yang menafsiri Q.S. asy-Syu’ara’ (26): 63 tentang nabi musa
yang memukul tongkat dita’wilkan menjadi nabi musa yang bepergian melalui laut dengan
menggunakan tongkatnya

‫الط ْو ِد ْال َع ِظ ِيم‬ ٍ ‫اك ْال َب ْح َر فَا ْنفَلَقَ فَ َكانَ ُك ُّل ِف ْر‬
َّ ‫ق َك‬ َ ‫ص‬َ ‫سى أ َ ِن اض ِْربْ ِب َع‬
َ ‫فَأ َ ْو َح ْينَا ِإلَى ُمو‬
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu". Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”
Tafsir ilmi dari teori ilmiyah
1. Dzakirnaik yang membuktikan ilmu embriologi pada Q.S. al-Mu’minun (23):12-14

ٍ ‫ساللَ ٍة ِم ْن ِط‬
‫ين‬ َ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإل ْن‬
ُ ‫سانَ ِم ْن‬
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah.” (12)
ْ ُ‫ث ُ َّم َج َع ْلنَاهُ ن‬
ٍ ‫طفَةً فِي قَ َر ٍار َم ِك‬
‫ين‬
“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim).” (13)

‫ام لَ ْح ًما‬ َ ‫ظ‬ َ ‫س ْونَا ْال ِع‬ َ ‫ضغَةَ ِع‬


َ ‫ظا ًما فَ َك‬ ْ ‫ضغَةً فَ َخلَ ْقنَا ْال ُم‬ ْ ‫طفَةَ َعلَقَةً فَ َخلَ ْقنَا ْال َعلَقَةَ ُم‬
ْ ُّ‫ث ُ َّم َخلَ ْقنَا الن‬
َ‫س ُن ْال َخا ِل ِقين‬َ ‫َّللاُ أ َ ْح‬
َّ ‫ار َك‬ َ ‫ث ُ َّم أ َ ْنشَأْنَاهُ خ َْلقًا آخ ََر فَت َ َب‬
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang
itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (14).
DAFTAR PUSTAKA

adz-dzahabi, Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr 1976
Almirzanah, Syafa’atun. dan Syamsuddin, sahiron. (ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika dalam
kajian al-Qur’an dan Hadis Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2012
al-Qattan, Mana’, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Halim Jaya, 2007
Choir, Tholhatul. dan Fanani, Ahwan. (ed.), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Mustaqim, Abdul. “Kontroversi tentang Corak Tafsir Ilmi“ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-
Qur’an dan Hadis vol. 7, Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, 2006
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008,
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang. 1975

Anda mungkin juga menyukai