Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Nasrullah

Kelas : Aqidah dan Filsafat Islam “B”

NIM : 19105010049

Referensi : Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam

Karya : Seyyed Hosen Nasr dan Oliver Leaman (editor)

Al-quran dan Hadits sebagai Sumber dan Inspirasi Filsafat Islam

Ada dua sisi ketika meninjau eksistensi filsafat islam. Pertama, dalam perspektif
historis. Dengan perspektif ini, filsafat islam dilihat sebagai mata rantai dari filsafat atau
pemikiran yang sudah ada pada sebelumnya. Bentuk nyata jika ditinjau dari historis adalah
kesimpulan yang menyatakan bahwa filsafat islam hanya merupakan filsafat Yunani-
Alexandria yang kemudian dikalangan filosof islam dikemas dengan bungkus islam. Kita
sebenarnya tidak bisa menolak bahwa filsafat islam tidak mungkin tumbuh tanpa adanya
proses transmisi ilmu-ilmu diluarnya. Kedua, disisi lain perspektif historis, perkembangannya
yang begitu mengesankan dalam histori intelektual juga diiringi dengan kreativitas dan
orisinalitas islam. Dalam konteks ini, setiap perkembangan ilmu islam harus dirunut atau
dirujuk kepada kitab suci, karena seorang muslim akan mengikat dirinya secara kuat dan utuh
kepada kitab suci, setiap perilaku termasuk dalam berfilsafat, seorang muslim dalam
pemikirannya akan berorientasi pada kitab suci. Oleh karena itu, seperti cabang ilmu islam
yang lain, filsafat islam bersumber dari al-quran dan hadist.

“ Filsafat Islam adalah (bersifat) islam, bukan hanya karena ia dibudidayakan di dunia
islam dan dilakukan oleh kaum muslim, melainkan juga karena menjabarkan prinsip-prinsip
dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu islam, serta menangani banyak
permasalahan dengan sumber-sumber itu kendatipun ada klaim-klaim yang berlawanan dari
para penentangnya.” ( Seyyed Hosen Nasr)

Penjelasan pada teks di atas adalah Filsafat islam merupakan filsafat yang berorientasi
pada kitab suci yakni al-quran dan hadist. Buktinya semua filosof islam, sejak Al-kindi
sampai filosof terkini seperti ‘Allamah Thabathaba’i dalam kehidupan dan pemikirannya
bernapas di dalam sebuah dunia yang didominasi oleh realitas Al-quran dan Sunnah Nabi dan
hampir semua hidupnya berpijak pada Hukum atau Syariah Islam. Dapat disimpulkan bahwa
dalam pemikiran mereka meletakkan Al-quran dan Hadist sebagai sumber sentralnya.
Bahkan, mereka mengkritik pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan kedua sumber
tersebut. Di samping bersikap rasional-netralis, mereka adalah penganut setia agama tanpa
harus menjadi fideis (para pembela iman yang tidak mempertimbangkan argumentasi yang
bernalar).

Oleh karena itu, tidak heran jika beberapa filosof islam sekaligus merupakan ahli
dalam hukum islam (faqih) seperti Ibnu Rusyd yang menulis Bidayat al-Mujtahid (tentang
fiqh perbandingan) dan al-Ghazali yang menulis al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (tentang
Ushul Fiqh). Karena keterkaitan kuatnya dengan Al-quran dan Hadits, Seyyed Hosen Nasr
dan Henry Corbin menyebutnya filsafat islam dengan “filsafat profetik” atau “filsafat
kenabian” (prophetic philosophy), karena dalam filsafat islam merupakan sebuah upaya
mengharmonisasikan kebenaran rasional spekulatif filsafat dengan kebenaran absolut wahyu,
atau upaya memberikan dasar penjelasan rasional bagi ajaran islam.

Realitas Al-quran dan wahyu yang bisa diakses oleh manusia, mestilah menduduki
posisi sentral bagi seseorang yang hendak berfilsafat dalam dunia islam. hal ini akan
mengarahkannya pada sejenis filsafat yang menempatkan kitab wahyu bukan hanya sebagai
sumber tertinggi pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan, melainkan juga bagi hakikat
eksistensi dari sumber segala eksistensi .

Sesuai apa yang dijelaskan teks di atas tadi bahwassannya Al-quran adalah sentral
bagi perkembangan filsafat islam. Yusuf Musa dalam Al-quran wa al-falsafah, juga
memandang alquran sebagai faktor utama, sesudah persentuhan kaum muslimin dengan
karya-karya Yunani, yang menyebabkan perkembangan yang semarak dalam filsafat islam.
Kita bisa melihat peran al-quran dalam perkembangan filsafat islam dalam beberapa segi.

Pertama, istilah lain filsafat islam yakni dengan nama al-hikmah dari al-quran (Q.S
al-baqarah/ 2:269 dan Ali Imran/3:48) dan hadits, sebagaimana dikemukakan sebelumnya.
Penyebutan al-hikmah untuk filsafat islam guna menunjukkan bahwa di samping kebenaran
akal diakui perannya dalam islam, juga bahwa penggunaan akal harus tetap merupakan basis
penguat kebenaran-kebenaran yang disampaikan oleh wahyu. Ide bahwa filsafat dan agama
tidak bertentangan, seperti dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dalam Fashl al-maqal fima bayn al-
hikmah wa asy-syariah min al-ittishal, memperjelas peran kitab suci dalam pencarian
kebenaran melalui spekulasi akal.
Kedua, al-quran mendorong manusia untuk menggunakan pemikiran akal dengan
intensif dalam memahami agama dengan ungkapan seperti afala ta’qilun, afala
tatadabbarun, dan afala yatadabbarun. Tidak diragukan lagi bahwa akal merupakan sarana
penting untuk memahami islam. Bahkan, al-quran dalam menyampaikan ajaran-ajarannya
menggunakan metode khithabi (retorik), yakni menyampaikan pesan dari al-quran secara
retorik tanpa disertai dengan argumen rasional di dalamnya, juga menggunakan metode
burhani (demonstratif), yaitu menggunakan alasan-alasan rasional yang dapat diterima oleh
semua orang. Penggunaan metode burhani terutama berkaitan dengan ajakan al-quran kepada
manusia untuk bertauhid.

Studi yang lebih komprehensif terhadap filsafat islam selama dua belas abad
sejarahnya akan mengungkap peran al-quran dan hadis dalam perumusan, penjelasan, dan
problematika tradisi filosofis yang besar dan utama ini. Filsafat islam juga telah
mengejawantahkan selama berabad-abad perpautan batinnya dengan sumber-sumber wahyu
islam, suatu perpautan yang bahkan lebih menjelma setelah berjalan masa berabad-abad.
Sebab, filsafat islam pada dasarnya merupakan hermeneutika filosofis atas teks sakral di
samping memanfaatkan khazanah zaman purba. Itulah sebab mengapa filsafat islam selama
berabad-abad hingga hari ini tetap merupakan salah satu perspektif intelektual utama dalam
peradaban islam dengan akar yang tertanam dalam al-quran dan hadis, dan sama sekali
bukanlah sebuah fase asing dan sementara dalam sejarah pemikiran islam.

Anda mungkin juga menyukai