Anda di halaman 1dari 4

Rekonstruksi Makna Agama sebagai Kontrol Sosial

Oleh: Muhammad Nasrullah

Sejak agama diturunkan oleh Tuhan, agama dengan karakteristiknya mengajarkan cinta kasih
sayang, cinta damai kepada semua makhluk tanpa pengecualian. Agama memiliki banyak fungsi salah
satunya sebagai kontrol sosial. Namun seiring berjalannya waktu, agama menjadi sumber perpecahan
pada dunia global, khususnya pada negara-negara yang fanatik akan keagamaan.

Perlunya merekonstruksi makna agama sebagai kontrol sosial. Kebanyakan orang yang
beragama namun sosialnya buruk, mereka adalah orang yang gagal paham dalam beragama. Terlalu
mendahulukan egonya daripada ajaran yang ditentukan oleh agamanya. Para sosiolog agama
menempatkan agama sebagai perekat sosial yang merekat potensi-potensi antagonistik antar individu
maupun kelompok.

Dalam buku yang berjudul Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, karya Bryan
S.Turner, penulis banyak menawarkan teori tentang sosiologi agama. Termasuk membahas agama
sebagai kontrol sosial, yang pada era millenial ini perlu dibahas dan dikaji lagi serta perlu
direkonstruksi makna agama sebagai kontrol sosial. Melihat realita yang ada, agama bukan lagi
menjadi kontrol sosial akan tetapi menjadi perpecahan sosial diantara mereka. Berikut teori-teori yang
dikemukakan oleh penulis dalam mendiskusikan agama sebagai kontrol sosial yang disebutkan diatas.

Diskusi Agama sebagai Kontrol Sosial

Menurut para sosiolog, mereka menempatkan agama sebagai perekat sosial yang merekat
potensi-potensi antagonistik antar individu atau sebagai candu sosial yang menekan konflik
kepentingan antar kelompok-kelompok yang cenderung antagonistik. Dalam kedua gaya penjelasan
yang berbeda tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi agama adalah untuk mempertahankan
kohesi sosial (Wilson,1982). Sedangkan menurut pendapat lain, agama sebagai institusi atau lembaga
kontrol sosial yang paling utama dalam merajut hubungan sosial.

Penulis buku, Bryan S. Turner dalam mendiskusikan agama sebagai kontrol sosial membagi
dua pembahasan, yakni agama dan ekonomi serta agama dan seksualitas. Dua hal tersebut dikupas
tuntas oleh penulis buku dan dijelaskan secara detail, berikut diskusi mengenai keduanya:

Agama dan Ekonomi

Secara historis agama berperan penting dalam mendistribusikan dan mengontrol harta benda
dalam masyarakat dan peran ini dimainkan melalui keyakinan dan institusi-institusi yang sudah
tersedia dan cocok sekali untuk mengontrol kehidupan instingtual manusia. Bryan S.Turner dalam
argumennya membahas peran dan pengaruh pendidikan moral kristen menyangkut masalah
seksualitas dan kehidupan keluarga terhadap perkembangan hubungan harta dalam masyarakat Eropa.
Hubungan ini biasanya dipaparkan lewat analisa dampak asketisisme terhadap relasi produksi
kapitalis yang dapat kita temui dalam buku-buku karya Max Weber

Bryan S.Turner juga berpedapat bahwa cara menghadapi hubungan antara agama, tubuh dan
ekonomi ini sangat selektif dengan membuktikan bahwa agama secara historis berperan besar dalam
mencari solusi empat persoalan sosial penting mendasar: pengekangan (restraint), reproduksi
(reproduction), registrasi (registration), dan representasi (representation). Dalam pembahasan ini ada
keterkaitan dengan eksplorasi masalah tatanan Hobbesian (Hobbesian problem of order), dan Bryan
S.Turner menafsirkan hal tersebut dalam bentuk pertanyaan: bagaimana tubuh manusia diatur?. Dan
Bryan S.Turner membandingkan perspektif Friedrich Engels dengan Max Weber tentang
institusionalisasi seksualitas manusia di dalam sistem produksi ekonomi. Untuk mencari definisi
“konsepsi materialis” tentang sejarah, Friedrich Engels mengatakan bahwa reproduksi manusia
sebagai dimensi paling fundamental dari produksi dan reproduksi “kehidupan nyata”. Proses ini
berkarakter ganda, pertama, adanya produksi alat-alat subsistem (perkakas, pangan, sandang, dan
papah), kedua, adanya produksi manusia itu sendiri, pengembang-biakan spesies.

Max Weber juga menanggapi masalah hubungan keluarga dan ekonomi tidak terlalu
dikembangkan. Dalam volume I Economy and Society (1968), Max Weber membahas berbagai aspek
hubungan kelompok-kelompok keturunan dengan harta, khususnya menyangkut tanah dan wanita
sebagai bagian dari kekayaan. Disamping untuk memberikan konsep formal bagi analisa ekonomi,
weber juga cenderung menolak pandangan evolusionis terhadap perkembangan sistem kekeluargaan,
mulai dari matriarki, abduksi sampai pada patriarkhi. Secara umum dia menolak segala bentuk
mekanisme sebab-akibat dalam menjelaskan kaitan garis keturunan yang bercabang-cabang antara
sistem keturunan dengan bentuk-bentuk harta. Max Weber juga menganggap bahwa agar prilaku
ekonomi dapat berkembang dalam kapitalisme, menurut kalkulasi rasional, keluarga sebagai sumber
utama akumulasi ekonomi dipandang sebagai karakter masyarakat barat pra-kapitalis. Pemisahan
keluarga dengan ekonomi yang dilakukan Max Weber ini merupakan ciri khas seluruh pendekatannya
terhadap masyarakat kapitalis, artinya setiap masyarakat memerlukan syarat-syarat “kalkulasi yang
tepat”. Maka dalam pengantar The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1965), Max Weber
juga mengatakan bahwa tujuan rasional akumulasi ekonomi para kapitalis memerlukan kalkulasi yang
tepat dan kalkulasi ini hanya mungkin bila didasarkan pada pemisahan antara rumah tangga dan
usaha, pada landasan kerja yang bebas dan akhirnya pada hukum rasional dan administrasi yang
terpercaya. Etos rasional masyarakat kapitalis pada dasarnya “adalah keberhasilan hari ini sangat
tergantung pada bisa-tidaknya diperhitungkan segala faktor teknis yang ada” (Weber, 1965, hlm.24).
Agama dan Seksualitas

Dalam memaknai agama dan seksualitas, banyak perspektif komparatif yang mengatakan
bahwa ajaran agama yang menyangkut seksualitas manusia memiliki banyak bentuk, mulai dari
penolakan total sampai pada orgi (Tylor, 1953). Dalam paradigma Sociology of Religion, Max Weber
membedakan antara pelarian mistik dari seksualitas dengan pengekangan asketis terhadap kehidupan
instingtual, namun begitu, ajaran agamalah yang kemudian menjadi pusat perhatiannya yang utama,
karena dorongan seksual adalah puncak nafsu manusia, juga Max Weber memandangnya sebagai
masalah yang sangat pelik bila dikaitkan dengan penyelamatan (salvation) yang dicari-cari oleh
manusia, “larangan-larangan asketik rasional, pengendalian- diri dan perencanaan hidup secara
metodik berasal dari aktus seksual yang sangat irrasional, yang sebenarnya, dan anehnya, tidaklah
bisa dilibatkan ke dalam organisasi rasional. (Weber, 1996, hlm. 238)

Menurut Max Weber didalam sekte-sekte Protestanlah pengawasan tubuh dan pengalihan
fungsi-fungsi reproduksi mencapai formulasi rasionalnya yang paling sempurna. Tidak heran jika
sebagian besar sosiologi agama Max Weber melacak akar-akar historis asketisisme seksual dan,
dalam tesis Etika Protestanlah dia memfokuskan perhatian pada dampak-dampak yang ditimbulkan
kontrol seksual terhadap perkembangan sekuler kapitalisme industrial.

Konklusi Agama dan Ekonomi serta Seksualitas

Setelah berteori tentang agama sebagai kontrol sosial yang terbagi menjadi dua pembahasan
yakni agama dan ekonomi serta agama dan seksualitas. Dalam pembahasan tersebut dapat diketahui
tubuh dalam masyarakat memberi kita perspektiktif baru dalam memandang tema tradisional bahwa
salah satu fungsi agama adalah kontrol sosial. Masalah konvesional integrasi sosial dan kontrol sosial
bisa dibicarakan dengan melihat keempat dimensi kejasmaniahan manusia, yakni tubuh individual
(luar dan dalam), tubuh populasi (ruang dan waktu). Sistem sosial telah mencoba menyelesaikan
masalah yang ditimbulkan keempat sistem ini, yakni kekangan, reproduksi, representasi, dan
registrasi.

Dalam proses sekuralisasi, berbagai bentuk kekangan moral, disipin-disiplin internal seperti
asketisisme, ritual eksternal seperti kontrol publik dan kode-kode publik menyangkut penampilan diri
dirubah dan dipindahkan menjadi praktek-praktek sekuler seperti kontrol dalam bentuk diet, narsisme,
dan kedekatan. Dengan terjadinya perubahan-perubahan dalam kedekatan antar personal ini, maka
diperlukan pula ebolasi mendalam terhadap perangkat-perangkat yang menjalankan kontrol sosial.
Dan di balik perkembangan-perkembangan ini, terdapat proses sejarah yang panjang dimana
seksualitas dan keluarga terpisah dari bentuk-bentuk dasar akumulasi ekonomi dan kepemilikan.
Rekonstruksi makna Agama sebagai kontrol sosial

Mengaca pada realita yang sudah banyak terjadi baik pada umumnya global village,
khususnya pada bumi nusantara. Bahwasannya agama bukan lagi menjadi institusi atau alat sebagai
kontrol sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh para sosiolog agama. Pada saat ini agama
bermakna terbalik dengan fitrahnya yang diturunkan sebagai media kedamaian serta cinta kasih
sayang menjadi sumber dari perpecahan. Orang yang terlalu fanatik dalam beragama, dia secara tidak
sadar sudah menolak segala perbedaan, yang pada hakikatnya perbedaan adalah keniscayaan.

Pada bumi nusantara, agama sudah mulai menjadi sumber perpecahan. Contohnya tragedi
pembakaran rumah ibadah, bom bunuh diri atas nama agama, dan agama yang ditunggangi oleh
politik. Semua peristiwa yang penulis sebutkan merupakan sumber perpecahan yang notabenenya
mengatasnamakan agama. Sehingga agama menjadi phobia diantara kita, khususnya agama islam di
indonesia. Phobia dimana-mana karena kelakuan oknum yang tak bertanggung jawab, yang bisa
dikatakan biadab sehingga menjadikan agama sebagai ketakutan dan sumber perpecahan.

Bagaimana cara merekonstruksi agama sebagai kontrol sosial ? Pertama,harus paham dengan
jelas (komprehensif) apa substansi agama itu sendiri dan apa saja fungsi-fungsi agama. Karena banyak
orang yang gagal paham dalam beragama, sehingga menganggap agama itu sendiri yang mengajarkan
kekerasan. Kedua, beragama bukan sesuka ego saja, maksudnya dalam beragama jangan hanya mau
seenaknya saja, jika dalam ajaran agama tidak sesuai dengan hati maka ajarannya tidak akan diikuti.
Berkomitmenlah dengan agama yang dikayakini tanpa menuduh agama lain salah, sesat, apalagi kafir.
Ketiga, bumikan moderasi beragama, maka secara tidak disadari bahwa agama tersebut sudah
menjalankan salah satu fungsinya, yakni sebagai kontrol sosial.

Didalam buku karya Bryan S.Turner pada bab Agama sebagai Kontrol Sosial dijelaskan
bahwa dalam beragama seseorang tak lepas dari aturan itu sendiri. Seperti di dalam buku Bryan
S.Turner, agama dan ekonomi. Di dalam sub pembahasan agama dan ekonomi, Bryan mengatakan
bahwasannya agama berperan penting dalam mendistribusikan dan mengontrol harta benda dan sudah
ada institusi-institusinya. Dan faktanya itu benar salah satu fungsi agama dalam mengatur dan
mendistribusikan hartanya semisal dalam islam dalam mendistribusikan hartanya kepada orang yang
membutuhkan sudah ada lembaganya yakni lembaga amil zakat nasional yang sudah diwadahi oleh
negara. Dan sub pembahasan agama dan seksualitas, bryan juga mengatakan bahwasannya agama
juga mengatur dalam masalah seksualitas. Dan faktanya itu benar, dalam islam mengatur pemeluknya
dalam urusan seksusal, contohnya dalam hubungan badan (jima’) saja, seorang muslim sudah ada
adabnya. Sudah jelas bahwasannya fungsi agama salah satunya sebagai kontrol sosial dan sejatinya
agama mengajarkan cinta kasih sayang serta damai, apabila ada kekerasan itu bukan dari agama,
melainkan ulah oknum yang gagal paham dalam beragama.

Anda mungkin juga menyukai