Anda di halaman 1dari 4

Agama Sebagai Kontrol Sosial

Oleh: Muhammad Nasrullah

“Agama harus dipahami sebagai institusi atau lembaga kontrol sosial yang paling utama
dalam merajut hubungan sosial.” - Max Weber -

Agama diturunkan oleh Tuhan dengan karakteristiknya yang mengajarkan cinta dan
kasih sayang kepada semua makhluk tanpa pengecualian. Makna kasih sayang adalah
mencintai dalam hal apa pun sehingga tercipta suasana yang kondusif, aman, dan nyaman.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa agama berfungsi sebagai kontrol sosial. Agama mampu
menyejahterakan kehidupan manusia di dunia. Namun, berbanding terbalik dengan realitas di
era milenial ini yang justru agama seolah menjadi sumber perpecahan, banyak kekerasan dan
kerusakan mengatasnamakan agama.

Semua tindakan berawal dari sebuah pemahaman, termasuk tindakan sebagai umat
beragama. Hingga saat ini, tindakan umat beragama cenderung terbagi menjadi dua; ada yang
makin paham agama makin lembut perangainya, dan ada pula yang makin (merasa) paham
makin tertutup cara berpikirnya, bahkan hingga melahirkan radikalisme-radikalisme agama.

Dalam Religion and Social Teory,Bryan S. Turner menawarkan teori-teori sosiologi


agama, termasuk membahas agama sebagai kontrol sosial. Turner menegaskan bahwa para
sosiolog agama bersepakat menempatkan agama sebagai perekat sosial yang merekatkan
potensi-potensi antagonistik antarindividu atau sebagai candu sosial yang menekan konflik
kepentingan antarkelompok yang cenderung antagonistik. Tulisan ini akan secara singkat
mendiskusikan tawaran Turner tersebut.

Ekonomi dan Seksualitas dalam Agama


Agama perlu dipahami bukan hanya sebagai penghubung antara hamba dan Tuhan
secara individual. Ia juga harus dipahami sebagai pendongkrak peradaban, yakni sebuah
usaha mempertahankan kohesi sosial. Selanjutnya, agama juga harus dipahami sebagai
institusi atau lembaga kontrol sosial yang paling utama dalam merajut hubungan sosial.
Menurut Turner, ekonomi dan seksualitas merupakan pembahasan yang sering
menjebak umat beragama dalam memahami agamanya. Dalam artian, sering kali agama
dijadikan legitimasi ketidakadilan dalam bidang ekonomi dan seksualitas. Relasi agama dan
ekonomi, secara historis, agama berperan penting dalam mendistribusikan dan mengontrol
harta benda dalam masyarakat. Peran ini dimainkan melalui keyakinan dan institusi-institusi
yang sudah tersedia dan sangat cocok untuk mengontrol kehidupan instingtual manusia.

Turner membahas peran dan pengaruh pendidikan moral kristen menyangkut masalah
seksualitas dan kehidupan keluarga terhadap perkembangan hubungan harta dalam
masyarakat Eropa. Hubungan ini biasanya dipaparkan lewat analisis dampak asketisisme
terhadap relasi produksi kapitalis yang dapat kita temui dalam buku-buku karya Max Weber.
Turner membandingkan perspektif Friedrich Engels dengan Max Weber tentang
institusionalisasi seksualitas manusia di dalam sistem produksi ekonomi. Untuk mencari
definisi “konsepsi materialis” tentang sejarah, Friedrich Engels mengatakan bahwa
reproduksi manusia sebagai dimensi paling fundamental dari produksi dan reproduksi
“kehidupan nyata”. Proses ini berkarakter ganda. Pertama, adanya produksi alat-alat
subsistem (perkakas, pangan, sandang, dan papah). Kedua, adanya produksi manusia itu
sendiri, pengembang-biakan spesies.

Max Weber juga menanggapi masalah hubungan keluarga dan ekonomi yang tidak
terlalu dikembangkan. Dalam Economy and Society, Max Weber membahas berbagai aspek
hubungan kelompok-kelompok keturunan dengan harta, khususnya menyangkut tanah dan
wanita sebagai bagian dari kekayaan. Di samping untuk memberikan konsep formal bagi
analisis ekonomi, Weber juga cenderung menolak pandangan evolusionis terhadap
perkembangan sistem kekeluargaan, mulai dari matriarki, abduksi, sampai pada patriarki.
Dalam memahami agama dan seksualitas, banyak perspektif komparatif yang mengatakan
bahwa ajaran agama yang menyangkut seksualitas manusia memiliki banyak bentuk, mulai
dari penolakan total sampai pada orgi. Dalam paradigma Sociology of Religion, Max Weber
membedakan antara pelarian mistik dari seksualitas dengan pengekangan asketis terhadap
kehidupan instingtual. Namun begitu, ajaran agamalah yang kemudian menjadi pusat
perhatiannya yang utama, karena dorongan seksual adalah puncak nafsu manusia.
Weber memandang hal ini sebagai masalah yang sangat pelik bila dikaitkan dengan
penyelamatan (salvation) yang dicari-cari oleh manusia. Larangan-larangan asketik rasional,
pengendalian diri, dan perencanaan hidup secara metodik berasal dari aktus seksual yang
sangat irrasional, yang sebenarnya, dan anehnya, tidaklah bisa dilibatkan ke dalam organisasi
rasional. (Weber, 1996: 238). Menurut Weber di dalam sekte-sekte Protestan-lah pengawasan
tubuh dan pengalihan fungsi-fungsi reproduksi mencapai formulasi rasionalnya yang paling
sempurna. Tidak heran jika sebagian besar sosiologi agama Weber melacak akar-akar historis
asketisisme seksual. Dan dalam tesis Etika Protestan-lah dia memfokuskan perhatian pada
dampak-dampak yang ditimbulkan kontrol seksual terhadap perkembangan sekuler
kapitalisme industrial.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tubuh manusia dalam masyarakat memberi
kita perspektif baru dalam memandang tema tradisional, menunjukkan salah satu fungsi
agama sebagai kontrol sosial. Masalah konvesional integrasi sosial dan kontrol sosial bisa
dibicarakan dengan melihat keempat dimensi kejasmaniahan manusia, yakni tubuh individual
(luar dan dalam) dan tubuh populasi (ruang dan waktu). Sistem sosial telah mencoba
menyelesaikan masalah yang ditimbulkan keempat sistem ini, yakni kekangan, reproduksi,
representasi, dan registrasi.

Dalam proses sekuralisasi, berbagai bentuk kekangan moral, disiplin-disiplin internal


seperti asketisisme, ritual eksternal, dan kontrol publik. Kode-kode publik menyangkut
penampilan diri diubah dan dipindahkan menjadi praktik-praktik sekuler seperti kontrol
dalam bentuk diet, narsisme, dan kedekatan.

Dengan terjadinya perubahan-perubahan dalam kedekatan antarpersonal ini, maka


diperlukan pula ebolasi mendalam terhadap perangkat-perangkat yang menjalankan kontrol
sosial. Dan di balik perkembangan-perkembangan ini, terdapat proses sejarah yang panjang
di mana seksualitas dan keluarga terpisah dari bentuk-bentuk dasar akumulasi ekonomi dan
kepemilikan.

Agama sebagai Aturan Moral


Lantas bagaimana cara mewujudkan agama sebagai kontrol sosial?
Diskusi Turner ini kemudian menjawabnya. Pertama, harus paham dengan jelas
(komprehensif) substansi dan fungsi-fungsi agama. Kedua, beragama bukan sesuka ego saja.
Maksudnya, dalam beragama, jangan hanya mau seenaknya saja. Jika dalam ajaran agama
tidak sesuai dengan hati, maka ajarannya tidak akan diikuti. Berkomitmenlah dengan agama
yang dikayakini tanpa menuduh agama lain salah, sesat, apalagi kafir. Ketiga, bumikan
moderasi beragama, maka secara tidak disadari bahwa agama tersebut sudah menjalankan
salah satu fungsinya, yakni sebagai kontrol sosial.

Turner membahas agama sebagai kontrol sosial dalam bab khusus. Ia menegaskan
bahwa dalam beragama, seseorang tak lepas dari aturan itu sendiri. Dan agama berperan
penting dalam mendistribusikan dan mengontrol harta benda, sudah ada institusi-institusinya.
Dalam Islam, misalnya, hal ini telah dibahas panjang-lebar dalam konsep zakat. Begitu pun
dengan seksualitas, Islam mengatur pemeluknya dalam urusan seksusal. Ini menunjukkan
bahwa agama memperhatikan kehidupan manusia begitu jeli dan detail demi perdamaian dan
kesejahteraan kehidupan manusia.1

1
https://nalarpolitik.com/agama-sebagai-kontrol-sosial/

Anda mungkin juga menyukai