“Agama harus dipahami sebagai institusi atau lembaga kontrol sosial yang paling utama
dalam merajut hubungan sosial.” - Max Weber -
Agama diturunkan oleh Tuhan dengan karakteristiknya yang mengajarkan cinta dan
kasih sayang kepada semua makhluk tanpa pengecualian. Makna kasih sayang adalah
mencintai dalam hal apa pun sehingga tercipta suasana yang kondusif, aman, dan nyaman.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa agama berfungsi sebagai kontrol sosial. Agama mampu
menyejahterakan kehidupan manusia di dunia. Namun, berbanding terbalik dengan realitas di
era milenial ini yang justru agama seolah menjadi sumber perpecahan, banyak kekerasan dan
kerusakan mengatasnamakan agama.
Semua tindakan berawal dari sebuah pemahaman, termasuk tindakan sebagai umat
beragama. Hingga saat ini, tindakan umat beragama cenderung terbagi menjadi dua; ada yang
makin paham agama makin lembut perangainya, dan ada pula yang makin (merasa) paham
makin tertutup cara berpikirnya, bahkan hingga melahirkan radikalisme-radikalisme agama.
Turner membahas peran dan pengaruh pendidikan moral kristen menyangkut masalah
seksualitas dan kehidupan keluarga terhadap perkembangan hubungan harta dalam
masyarakat Eropa. Hubungan ini biasanya dipaparkan lewat analisis dampak asketisisme
terhadap relasi produksi kapitalis yang dapat kita temui dalam buku-buku karya Max Weber.
Turner membandingkan perspektif Friedrich Engels dengan Max Weber tentang
institusionalisasi seksualitas manusia di dalam sistem produksi ekonomi. Untuk mencari
definisi “konsepsi materialis” tentang sejarah, Friedrich Engels mengatakan bahwa
reproduksi manusia sebagai dimensi paling fundamental dari produksi dan reproduksi
“kehidupan nyata”. Proses ini berkarakter ganda. Pertama, adanya produksi alat-alat
subsistem (perkakas, pangan, sandang, dan papah). Kedua, adanya produksi manusia itu
sendiri, pengembang-biakan spesies.
Max Weber juga menanggapi masalah hubungan keluarga dan ekonomi yang tidak
terlalu dikembangkan. Dalam Economy and Society, Max Weber membahas berbagai aspek
hubungan kelompok-kelompok keturunan dengan harta, khususnya menyangkut tanah dan
wanita sebagai bagian dari kekayaan. Di samping untuk memberikan konsep formal bagi
analisis ekonomi, Weber juga cenderung menolak pandangan evolusionis terhadap
perkembangan sistem kekeluargaan, mulai dari matriarki, abduksi, sampai pada patriarki.
Dalam memahami agama dan seksualitas, banyak perspektif komparatif yang mengatakan
bahwa ajaran agama yang menyangkut seksualitas manusia memiliki banyak bentuk, mulai
dari penolakan total sampai pada orgi. Dalam paradigma Sociology of Religion, Max Weber
membedakan antara pelarian mistik dari seksualitas dengan pengekangan asketis terhadap
kehidupan instingtual. Namun begitu, ajaran agamalah yang kemudian menjadi pusat
perhatiannya yang utama, karena dorongan seksual adalah puncak nafsu manusia.
Weber memandang hal ini sebagai masalah yang sangat pelik bila dikaitkan dengan
penyelamatan (salvation) yang dicari-cari oleh manusia. Larangan-larangan asketik rasional,
pengendalian diri, dan perencanaan hidup secara metodik berasal dari aktus seksual yang
sangat irrasional, yang sebenarnya, dan anehnya, tidaklah bisa dilibatkan ke dalam organisasi
rasional. (Weber, 1996: 238). Menurut Weber di dalam sekte-sekte Protestan-lah pengawasan
tubuh dan pengalihan fungsi-fungsi reproduksi mencapai formulasi rasionalnya yang paling
sempurna. Tidak heran jika sebagian besar sosiologi agama Weber melacak akar-akar historis
asketisisme seksual. Dan dalam tesis Etika Protestan-lah dia memfokuskan perhatian pada
dampak-dampak yang ditimbulkan kontrol seksual terhadap perkembangan sekuler
kapitalisme industrial.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tubuh manusia dalam masyarakat memberi
kita perspektif baru dalam memandang tema tradisional, menunjukkan salah satu fungsi
agama sebagai kontrol sosial. Masalah konvesional integrasi sosial dan kontrol sosial bisa
dibicarakan dengan melihat keempat dimensi kejasmaniahan manusia, yakni tubuh individual
(luar dan dalam) dan tubuh populasi (ruang dan waktu). Sistem sosial telah mencoba
menyelesaikan masalah yang ditimbulkan keempat sistem ini, yakni kekangan, reproduksi,
representasi, dan registrasi.
Turner membahas agama sebagai kontrol sosial dalam bab khusus. Ia menegaskan
bahwa dalam beragama, seseorang tak lepas dari aturan itu sendiri. Dan agama berperan
penting dalam mendistribusikan dan mengontrol harta benda, sudah ada institusi-institusinya.
Dalam Islam, misalnya, hal ini telah dibahas panjang-lebar dalam konsep zakat. Begitu pun
dengan seksualitas, Islam mengatur pemeluknya dalam urusan seksusal. Ini menunjukkan
bahwa agama memperhatikan kehidupan manusia begitu jeli dan detail demi perdamaian dan
kesejahteraan kehidupan manusia.1
1
https://nalarpolitik.com/agama-sebagai-kontrol-sosial/