Anda di halaman 1dari 11

AGAMA DAN STATIFIKASI SOSIAL

Disusun oleh :
Kelompok 9
` Ririn Mardiani Kartika 19062014028
Taufik Jaya 190620140

Dosen Pengampu
Hendra Bin Idris,S.Pd.I., M.Pd

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sosiologi agama merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang profane. Ia bukanlah
lmu yang sakaral, bukan seperti ilmu teknologi, tetapi ilmu profane, yang positif dan empiris.
Pemahaman sosiologi tentang agama tidak ditimba dari “pewahyuan” yang datang dari “dunia
luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret sekitar agama yang
dikumpulkan dari sana sini baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian
sekarang.
Dalam struktur masyarakat selalui kita temui statifikasi sosial. Menentukan siapa yang lebih
tinggi kedudukannya dan menentukan hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat tertentu.
Ini adalah hal yang lumrah untuk melanggengkan status Quo sesuai dengan fungsi-fungsinya
yang ada dimasyarakat (teori struktur fungsional).
Mau tidak mau ada sistem yang mengatur pelapisan karena gejala tersebut sekaligus
memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, yaitu penempatan individu dalam tempat-
tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar malaksanakan kewajibannya
yang sesuai dengan kedudukan serta perannya. (soerjono soekanto:226)
Barnard menjelaskan pula dalam pengantar sosiologi karangan soerjono soekanto bahwa
sistem kedudukan dalam organisasi formal timbul kerena perbedaan kebutuhan, kepentingan dan
kemampuan individual yang mencakup hal-hal sebagai berikut.
1. Sistem fungsional yang merupakanpembagian kerja kepada kedudukan yang tingkatnya
berdampingan dan harus bekerjasama dalam kedudukan yang sederajat, dan;
2.   Sistem skala yang merupakan pembagian kekuasaan menurut tangga kedudukan dari bawah
ke atas.

Agama dalam pengertian yang dibangun Evans-Pritchard dalam penjelasannya tentang


agama dan perilaku masyarakat Nuer serta paham magis masyarakat azande, ia memperlihatkan
bagaimana agama dapat membentuk “cita rasa trandensi” bagi masyarakat tribal tertentu dan
dalam masa tertentu pula. Dia menunjukkan bagaimana agama secara intelektual tetap koheren
telah membentuk pola dalam masyarakat Nuer, baik masalah pribadi maupun sosial.
Marx mengatakan bahwa agama adalah bagian dari ekpresi kekecewaan manusia akibat
kegagalan dalam memperjuangkan kelas(tentang masyarakat kapitalis). Berbicara fungsi agama
maxr menjabarkan seperti ini. Kita akan menemukan kunci dalam memahami agama bila kita
telah menemukan apa yang diberikan agama kepada masyarakat. Baik dalam bentuk sosial,
psikologis atau kedua-duanya.
Bagaimana agama mengatur masyarakat, kehidupan ekonominya, sosialnya dan
psikologinya?. Atau bagaimana masyarakat menciptakan agama untuk kehidupan ekonominya
agar teratur, spikologisnya agar menemukan ketenangan?. Heh..
Disini kita menemukan kebingungan disisi lain agama dipandang sebagai ciptaan dari
khayalan manusia karena kondisi yang begitu menekan mereka sehingga menciptakan sesuatu
yang dianggap Maha.., kekuatan yang luar biasa. Sehingga menimbulkan kewajiban moral
sebagai aturan hidup seperti yang dijelaskan Durkheim dan herbert spenser tentang ciri-ciri
pengalaman keagamaan.
Tetapi marx mangatakan bahwa kita harus menarik garis pararel antara agama dan aktivitas
sosio ekonomi. Keduanya sama-sama menciptakan alienasi; agama merampas potensi ideal
kehidupan manusia dan mengarahkannya kepada sebuah realitas asing dan unnat-ural yang
disebut tuhan. Kita telah memberikan bagian dari diri kita sendiri “kebaikan dan perasaan kita”
kepada yang bersifat khayalan semata(kajian marx masyarakat kristen). Trus, yang menciptakan
manusia sehingga dia bias menciptakan alam khayal hingga menemukan konsep tuhan siapa?.
Kemudian akal manusia itu membuat satuan nilai moral untuk menempatkan seseorang kedalam
setatus dan kedudukan tertentu dalam kehidupan kelompok atau pribadinya.
Terlepas dari pencipta manusia membentuk system khayal manusia sehingga dia bisa
menciptakan konsep ketergantunggannya pada yang maha biasa disebut tuhan. Kita akan
membahas bagaimana konsep kemahaan ciptaan khayal manusia itu mampu mempengaruhi
dirinya dan masyarakat sekitarnya, dalam satu pola-pola hubungan dan mobilitas tertentu yang
disebut struktur.
B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana agama dan Pelapisan Sosial?
2. Bagaimana agama, kelas sosial dan demokrasi?
3. Bagaimana pengaruh agama tentang stratifikasi social?

C.    Tujuan
1. Menjelaskan agama dan pelapisan sosial.
2. Menjelaskan agama, kelas sosial dan demokrasi.
3. Menjelaskan pengaruh agama tentang stratifikasi sosial.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Agama dan Pelapisan Sosial

Agama dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Walaupun demikian,
membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topik, tetap akan mempunyai aspek–aspek
positif dalam kajian akademis, bahkan lebih jauh bisa menemukan hal–hal yang baru dalam
bidang keagamaan. Pernyataan ini tidak lepas dari anggapan bahwa agama dan masyarakat
dalam pengertian lapisan sosial diduga sebagai dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama
lain.
Dalam tulisan ini, agama didefinisikan sebagai sistem kepercayaan, yang di dalamnya
meliputi aspek–aspek hukum, moral, budaya, dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami
sebagai strata orang–orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian satuan) status
sosial. Tetapi, Horton dan Hunt menegaskan bahwa jika ditanya berapa banyak jumlah kelas
sosial, mereka sulit menjawabnya. Barangkali, enam klasifikasi yang diajukan oleh banyak ahli
bisa menjadi jawaban, yaitu (1) upper-upper class; (2) lower upper class; (3) upper-middle class;
(4) lower-middle class; (5) upper-lower class; dan (6) lower-lower class.
Klasifikasi sosial di atas, tentu tidak berlaku umum. Sebab, setiap kota ataupun desa masing–
masing memiliki karakteristik yang berbeda. Pernyataan ini, paling tidak, menggambarkan
bagaimana kelas sosial sebenarnya. Maka di sisni bisa ditegaskan bahwa kelas sosial merupakan
suatu realitas sosial yang penting, bukan sekedar suatu konsep teoritis. Manusia memang
mengklasifikasikan orang lain ke dalam kelompok yang sederajad, lebih tinggi, atau lebih
rendah. Manakala sejumlah orang menganggap orang–orang tertentu sebagai anggota masyarakat
mempunyai karakteristik perilaku tertentu pada gilirannya menciptakan kelas sosial.
Di Amerika sekalipun yang sering dijadikan contoh negara paling demokrasi hubungan atau
kaitan agama dan kelas sosial tetap disignifikan. Maksudnya, karena tidak ada gereja negara,
agama mudah merembes ke dalam kelas kelas sosial; sebagaimana dikemukakan Demerath
bahwa kegerejaan mencerminkan pengaruh sosial. Lebih lanjut, dia menandaskan bahwa agama
di Amerika, khususnya Protestanisme, secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas
menengah dan atas. Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan di atas, yaitu
keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan keikutsertakan dalam
kegiatan – kegiatan resmi gereja. Dalam setiap unsur tadi, orang–orang yang bersetatus tinggi
tampaknya lebih dalam keterlibatannya daripada yang bersetatus rendah.
Demikian pula hasil penelitian Contril. Ia menemukan bahwa anggota–anggota Protestan
umumnya mempunyai status yang lebih tinggi; meskipun perbedaan ini tidak besar di wilayah
selatan di mana fundamentalisme Protestanisme kuat di antara kelas–kelas bawah. Lebih dari itu,
kajian suami istri Lynd (1929) yang mempelajari hubungan antara kehadiran di gereja dan kelas
sosial, menunjukkan bahwa kalangan bisnis (white collar) tingkat kehadirannya ke gereja jauh
lebih tinggi daripada kelas pekerja (blue collar). Tetapi, kesimpulan ini ditolak oleh
Hollingshead. Dalam pandanagannya, kelas sosial tidak ada hubungannya dengan
kepercayaannya kepada Tuhan. Kehadiran dan kepercayaan adalah dua aspek yang penting dan
apabila kelas sosial tidak konsisten berkaitan dengan dua hal itu, kita harus berusaha menemukan
hubungan yang lebih kompleks antara kelas sosial dan keagamaan secara keseluruhan.
Terlepas dari hasil penelitian diatas, yang jelas antara agama dan stratifikasi sosial memiliki
hubungan yang mengandung multiinterpretasi. Penelitian Weber, misalnya, menyatakan bahwa
kelas menengah rendah dianggap memiliki peranan strategis dalam sejarah agama Kristen. Lebih
lanjut Weber menyimpulkan bahwa stratifikasi sosial dianggap sebagai factor yang menentukan
kecenderungan kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Tak heran, jika Weber
menyimpulkan bahwa kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak
dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu.
Hubungan lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi atau beralih agama, dari
agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa factor yang menyebabkan seseorang pindah
agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Treoltsch mengungkapkan
bahwa sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari kelas menengah bawah yang
hidup di kota–kota besar, yang menikmati peralihan peningkatan ekonomi yang terjadi secara
lamban pada waktu itu.
Dari perspektif di atas, paling tidak, akan dipahami tentang esensi gerakan sosialis abad ke-
19 dan awal abad ke-20 yang menawarkan ide sekuler dan komunisme sebagai “kecemburuan”
atas doktrin-doktrin agama. Atau, bisa jadi mereka tidak puas terhadap agama karena
kesenjangan sosial ternyata tidak pernah berhenti.
Tanpa berpretensi jelek terhadap agama Hindu yang mengakui eksistensi sistem kasta, hal ini
hal ini jelas suatu masalah moral yang besar. Mengapa, umpamanya, seorang Brahmana yang
malas dan mungkin tidak berguna memperoleh martabat sosial yang paling tinggi, sedangkan
seorang sudra atau orang yang tak berkasta tapi jujur dan rajin tidak hanya dipisahkan dalam
hubungan kerjanya, tetapi juga ditolak oleh masyarakat dan tidak diperkenankan menjalakan
hal–hal yang berkenaan dengan upacara keagamaan tertentu.

B.      Agama, Kelas Sosial, dan Demokrasi

Demikian pula dengan kelas sosial. Apakah agama bisa menjadi factor penentu dalam
factor kelas sosial dalam tatanan masyarakat, sangat dipengaruhi oleh interpretasi manusia atas
agama. Memang, kita tidak bisa mempungkiri, bahwa sekat–sekat sosial seringkali menimbulkan
masalah sosial. Atara si kaya dan si miskin tetap saja jelas perbedaannya. Maka suatu hal yang
wajar jika terdapat gereja–gereja yang peka terhadap setiap pelanggaran terhadap warga negara
ataupun kebebasan beragama, kemudian mereka melakukan gerakan-gerakan yang melindungi
hak–hak minoritas.
Kesalahan memahami prinsip–prinsip agama berkaitan dengan kelas sosial, pada gilirannya
mengarah pada pemikiran anti agama atau komunis. Agama “dikambinghitamkan”. Inilah
persoalan yang barangkali hingga saat ini masih dianut oleh sebagian manusia. Ini pula yang
barangkali yang harus menjadi pemikiran kita bersama, khususnya peminat sosiologi agama. Di
sini kita tidak bisa menafikkan bahwa secara de fakto masih terjadi ketimpangan sosial. Terlalu
jauh jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Tetapkah itu yang di salahkan agama? Menurut
saya, kritik kaum komunis-atau yang sejenisnya dengan–perlu dicermati dan ada sisi positifnya.
Maksudnya, sosiolog agama atau cendikiawan agama harus senantiasa mereinterpretasikan
ajaran agama yang ia percayai.
Dari pembicaraan ini mungkin kita bisa mengambil manfaat, khususnya untuk pembangunan
keagamaan di Indonesia. Bagaimana agar hidup tetap maju dalam suasana yang tetap
berketuhanan dan religious tanpa terjebak oleh paham–paham komunitas dan atheis, tentu
memerlukan interpretasi atas ajaran agama yang actual, kontekstual, tanpa melupakan inti dan
hakikat agama yang sebenarnya.
C.     Pengaruh Agama tentang Stratifikasi Sosial

Masyarakat bukan saja struktur sosial yang stabil, tetapi struktur sosial yang dinamis,
berkembang dan berubah terus menerus sebagai akibat dari kekuatan hokum masyarakat yang
disebut proses sosial dan perubahan sosial dengan ritme cepat ataupun lambat. Laju proses sosial
(social process) dan perubahan sosial (social change) tidak terlepas dari perubahan sosio-
kultural dan dipengaruhi secara langsung oleh sosio-budaya. Lalu, apakah ada perbedaan yang
berarti dalam cara menanggapi dan menghayati iman (ajaran) agama oleh lapisan-lapisan sosial
dan satuan-satuan kategorial yang ada dalam masyarakat?
Berikut merupakan beberapa pandangan mengenai pengaruh agama atas lapisan-lapisan
sosial dan sebaliknya.
1. Golongan Petani
Sikap mental golongan petani terbentuk oleh pengaruh situasi dan kondisi di mana mereka
hidup, antara lain:
a) faktor klimatologis dan hidrologis seperti musim dingin dan musim panas, yang sejalan
dengan musim kering dan musim penghujan.
b) faktor flora dan fauna seperti tanaman padi, sayuran, palawija dan lain-lain yang
penggarapannya dibantu tenaga ternak seperti kuda, sapi kerbau dll.
2. Golongan Pengrajin dan Pedagang Kecil
Golongan ini hidup berdasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan
rasional.
3. Golongan Pedagang Besar
Pada umumnya golongan ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan moral,
seperti yang dimiliki tingkat menengah bawah. Kelas ini dikuasai oleh keduniawian yang
menutup kecenderungan kepada agama yang profesitis dan etis.
4. Golongan Karyawan
Terdapat ajaran hasil persetujuan bersama yang mengandung kekosongan mutlak akan
perasaan dan kebutuhan akan keselamatan atau landasan transenden untuk kesusilaan. Agama
perseorangan yang berdasarkan perasaan cenderung disingkirkan.
5. Golongan Kaum Buruh
Termasuk dalam golongan proletariat yang kehidupannya tidak diikutsertakan dalam
masyarakat. Marx berpendapat bahwa agama merupakan suatu instansi yang mengasingkan
proletar.
6. Kelas yang Beruntung dan golongan Elite dan Hartawan
Golongan ini tidak menaruh gagasan tentang keselamatan, dosa, dan kerendahan hati, namun
mereka haus akan kehormatan.
7. Kategori Orang Dewasa dan Kategori Orang Muda
Mempunyai sikap iman yang sudah terbentuk, stabil dan sulit diubah. Dalam intensitas iman
dan coraknya harus dikatakan tidak sama, karena kategori ini terdiri dari lapisan sosial yang
menurut garis vertical tidak sama kedudukannya.
8. Golongan Wanita
Menunjukkan reseptif yang kuat terhadap semua hal religious terkecuali berorientasi
kemiliteran. Weber mengatakan bahwa wanita cenderung ikut andil dalam kegiatan keagamaan
dengan keterlibatan emosional besar hingga titik yang disebut histeris.
BAB III
KESIMPULAN

Masyarakat bukan saja struktur sosial yang stabil tetapi struktur sosial yang dinamis.
Agama dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Meski demikian, stratifikasi atau
pelapisan sosial tersebut menarik untuk dikaji dalam perspektif sosiologi agama. Kelas sosial
merupakan suatu realitas sosial yang penting, bukan sekedar suatu konsep teoritis. Apakah
agama bisa menjadi faktor penentu faktor kelas sosial dalam tatanan masyarakat, sangat
dipengaruhi oleh interpretasi manusia atas agama.
Teologi memiliki peran yang cukup penting di dalam membentuk sikap dan cara pandang
seseorang atau kelompok masyarakat terhadap realitas kehidupan yang dijalaninya. Kesalahan
memahami prinsip–prinsip agama berkaitan dengan kelas sosial, menjadikan agama sering
“dikambinghitamkan”. Agama akan dapat memenuhi fungsi liberatifnya jika ia mampu
menunjukkan keterlibatannya dalam kehidupan sosial-politis, di mana perubahan dan
pembebasan menjadi inspirasi setiap agama.
Di dalam sosiologi agama dilihat pula beberapa pandangan mengenai pengaruh agama
atas lapisan-lapisan sosial dan sebaliknya yang terjadi pada golongan petani, pengrajin dan
pedagang kecil, pedagang besar, karyawan, kaum buruh, kelas yang beruntung dan golongan
elite dan hartawan, kategori orang dewasa dan muda, serta golongan wanita.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkham, dkk (ed: Muh. Asror Yusuf). 2006. Agama sebagai Kritik Sosial di tengah Arus
Kapitalisme Global. Yogyakarta: IRCiSoD

Bryan S. Turner. 2006. Agama dan Teori Sosial; Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi
Tuhan di antara Gelegar Ideologi-ideologi Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD

Dadang Kahmad. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: Rosdakarya

D. Hendropuspito, O.C. 2006. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius

Anda mungkin juga menyukai