Anda di halaman 1dari 2

Name: Agustina Inya Capa

Npm :2201000320091

Class :A/2020

Cross Culture Understanding

HUBUNGAN AGAMA DAN MANUSIA, KAPITALISME, REALITANYA

1.Hubungan Agama dan Manusia

Agama memiliki keterkaitan erat dengan manusia, Manusia merupakan mahluk Tuhan yang
paling sempurna karena manusia memiliki segala unsur dari mahluk hidup lainnya ditambah dengan
akal pikiran. Manusia membutuhkan agama karena hal tersebut merupakan fitrah manusia.

Manusia dengan agama adalah bentuk pengaplikasian dari akal manusia yang di mana agama
menjadi penyeimbang bagi manusia untuk memperoleh ketenangan jiwa dan menjadi alat untuk
memperoleh kebenaran, agama secara tidak langsunag mengikat dan menjadi doktrin pada
masyarakat yang di mana membuat manusia di tuntut untuk mematuhi segala norma – norma atau
aturan yang ada di dalam agama yang di ajarkan oleh kitap sucinya, secara tidak langsung agama
juga dapat menjadi tali penghubung komunikasi antar masyarakat yang di mana hal tersebut adalah
hakikat manusia itu sendiri sebagai makluk social.

Selain menjadi doktrin bagi masyarakat agama juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi
psikologis manusia karna di dalamnya diajarkan norma – norma yang baik yang dapat menjadi
pedoman bagi manusia untuk bersikap terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain, selain
mempengaruhi psikologis manusia agama juga menjadi salah satu timbulnya budaya yang ada di
dalam masyarakat yang di karnakan adanya aturan atau hal hal yang harus di patuhi oleh masyarakat
yang beragama.

2.Kapitalisme(Weber)

Max Weber tak sepakat dengan Karl Marx yang menempatkan basis ekonomi sebagai struktur
utama terciptanya kehidupan sosial. Weber menganggap Marx mengabaikan ide-ide keagamaan
karena terlanjur menempatkan segalanya dalam kerangka determinisme ekonomi, yakni segala hal
yang bersifat ideal sekadar dianggap sebagai kedok refleksi kepentingan material.

Determinisme ekonomi tersebut menjelaskan bahwa kepentingan materi yang menentukan ideologi,
atau dapat pula dikatakan: unsur materilah yang melahirkan ideologi.

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904-05), Weber mencoba mematahkan
determinisme ekonomi Marx lewat penjelasan Protestan sebagai sebuah gagasan keagamaan
memiliki pengaruh terhadap munculnya “semangat kapitalisme”. Dalam karya tersebut, Weber
mencoba membantah pemikiran Marx tentang kapitalisme—walaupun secara tak langsung Weber
sebenarnya juga melengkapi pemikiran Marx tentang bagaimana sistem kapitalisme muncul dan
berkembang.

Pemikiran Weber dengan Marx memang berbeda meskipun sekilas saling berkaitan. Jika Marx
mengemukakan teori kapitalisme, maka Weber mengemukakan teori rasionalisasi. Proses
rasionalisasi yang dijelaskan Weber adalah bagaimana agama memainkan peran sentral dalam
pertumbuhan ekonomi rasional di Barat, dalam hal ini calvinisme atau doktrin pendeta Protestan
John Calvin. Kata “rasionalime” sendiri digunakan Weber sebagai suatu istilah seni, yakni guna
menerangkan suatu sistem ekonomi yang tidak didasarkan pada tradisi, melainkan disesuaikan
sebagai upaya pencapaian keuntungan.

Pengkajian terhadap berbagai agama di dunia menggiring Weber melihat abstraksi religius yang
lebih implisit: sejauh mana tujuan akhir dari para penganut agama tersebut? Dari situ, sampailah
Weber pada simpulan bahwa calvinisme sebagai sebuah iman memiliki pengaruh besar bagi lahirnya
kapitalisme. Doktrin Calvin menerangkan upaya dan tujuan yang luar biasa berbeda dari agama-
agama lainnya sekalipun tetap memuat konsep yang sama seperti ‘keselamatan’ (salvation) dan
‘takdir’ (predestination). Ketekunan, sikap hemat, ketenangan hati, dan kebijaksanaan merupakan
tiga doktrin yang dipercaya penganut calvinisme bakal menghantarkannya pada kebahagiaan sejati.

Secara garis besar, terdapat tiga doktrin utama calvinisme. Pertama, ketekunan. Ketekunan
mengharuskan seseorang bekerja keras setiap waktu, ini sekaligus menjelaskan mengapa menjadi
miskin adalah dosa. Kedua, bersikap hemat. Sikap ini berimplikasi pada kemampuan untuk
mengendalikan dan membatasi diri dari segala hal yang tak diperlukan. Ketiga, ketenangan hati dan
kebijaksanaan. Kedua sikap tersebut, terutama terrepresentasi lewat “sedekah”. Bersedakah pada
mereka yang betul-betul membutuhkan akan membuat jiwa si pemberi menjadi tenang. Sedekah
akan membantu jiwa lain untuk tumbuh, bangkit, berbahagia, dan bersyukur. Kemampuan
seseorang dalam bersedekah juga menjelaskan keberhasilannya yang telah dicapai karena ia, pada
akhirnya, berguna bagi orang lain. Tindakan tersebut tentu turut menjadi praktik penyucian diri
sebagai “persiapannya” kelak.

3.Realitanya

Agama mengajarkan agar antar sesama saling mengenal , saling memahami , saling menghargai
,saling menyayangi , dan berujung agar menjadi saling tolong menolong , namun ternyata dalam
kehidupan yang sebenarnya justru sebaliknya. Sekalipun perbedaan diciptakan setidaknya agar
saling kenal mengenal, tetapi tidak jarang yang terjadinya adalah justru saling menjauh, konflik atau
menjadi pembatas dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal tersebut tidak terkecuali menyangkut ajaran berbagai agama. Apa yang dapat dibaca dari
teks atau kitab suci ternyata berbeda dari apa yang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Jarak
itu kadangkala terlalu jauh. Agama mengajarkan kasih sayang, kelembutan, toleransi, dan saling
menghormati, tetapi ternyata tidak jarang penganutnya saling menjauh, berperilaku kasar, dan
bahkan saling menyinggung dan menyakiti dianggap hal biasa. Kasus-kasus seperti yang
dimaksudkan itu tidak sulit dicarikan buktinya.

Memang tidak sedikit ajaran agama yang berhasil diwujudkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Mendasarkan pada ajaran agama, masyarakat menjadi hidup damai, tenteram, dan saling menjalin
kasih sayang, dan tolong-menolong di antara sesama. Akan tetapi, gambaran ideal itu tidak selalu
bisa dilihat pada setiap waktu dan tempat. Munculnya berbagai kekerasan atas nama agama, adalah
merupakan bukti bahwa apa yang terasa ideal pada kitab suci atau ajaran agama ternyata belum
tentu berhasil dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan yang terjadi adalah justru
berlawanan dengan gambaran ideal itu.

Anda mungkin juga menyukai