Isu mengenai permasalahan agama dan kemanusiaan mengalami masa yang amat
panjang dan meruntut pada sejarah agama tersebut. Dalam beberapa kasus dan wacana
analisis agama pun sangat gencar, mengingat dengan begitu naiknya tingkat kekerasan
yang mengatasnamakan agama. Inilah isu sentral yang akan saya bahas ke depan sebagai
bahan refleksi dalam analisis sosiologis.
Sangatlah disayang kan mengingat agama selalu saja mendapat nilai negative
dalam pandangan global. Kebenaran dan kearifan universal yang diusung oleh beberapa
tokoh pun dirasa kurang mampu untuk mengentaskan masalah yang amat fundamental
terhadap agama itu sendiri. Kekuatan umat manusia yang mayoritas beragama ini
sebenarnya memiliki andil yang besar dalam perdamaian dunia. Namun kerap kali agama
masuk dalam ranah kepentingan diplomatis yang syarat akan nilai-nilai oplitis
didalamnya.
Berikut sedikit akan saya kemukakan beberapa argumentasi mengenai agama dan
kemanusiaan dari beberapa sudut pandang agama. Namun perlu digaris bawahi bahwa
kendati saya merupakan seorang muslim, namun saya melihat ada sisi-sisi lain dalam
perihal kebenaran universal yang di bawa oleh agama-agama besar lainya. Dengan
adanya analisis sederhana seperti ini diharapkan mampu membuka mata terhadap segala
persoalan yang kian pelik terlebih agama sebagai objek kajian yang syarat akan nilai-nilai
kebenaran yang dibawanya. Saya percaya dari sekian banyak ajaran agama yang bersifat
dogmatis, disitu terdapat nilai-nilai universal yang semua setuju perdamaian antar umat
manusia. Adapun mengenai tercorengnya agama atas tindakan agama, itu jelas lahir dari
pemahaman pengikut yang tidak murni bersifat nilai keagamaan namun ada unsure lain
yang melandasi kekerasan tersebut.
Agama, dalam beberapa istilah dalam bahasa sansekerta agama berasal dari suku
kata a- yang artinya tidak dan gama- yang artinya rusak. Dalam terminologi sansekerta
didapati kesimpulan agama ( tidak rusak ). Atau dengan kata lain adalah ajaran yang
mengajarkan tentang nilai-nilai yang mengacu pada kebenaran. edangkan kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar
pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Dari berbagai istilah tersebut esensi dari
agama itu sendiri yaitu ajaran yang menganut nilai-nilai dogmatis yang mengajarkan
kebenaran yang hakiki dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia.
Lebih lanjut kung berpendapat bahwa setiap agama bersifat ambivalen sebagai
suatu gejala kemanusiaan. Artinya dari pernyataan Kung ini ialah bahwa agama memiliki
peran ganda dalam percaturan dunia ini. Pertama agama bisa menjadi pelopor atas
terbentuknya perdamaian di dunia, namun begitu di satu sisi pun agama sangat rentan
menjadi api penyulut bagi terjadinya konflik yang seringkali mengatasnamakan agama.
Ini lah yang dimaksud Kung dalam ambivalensi terhadap agama. Seperti contoh
perdamaina antara Jerman dan Polandia dipersiapkan dengan suatu memorandum yang
dirancang oleh Gereja Protestan (Gereja Evanjelik Jerman).
Namun begitu ia pun memperlihatkan nilai persamaan yang amat menonjol dari
hukum Islam dan HAM, itu tercermin dari sebuah ayat yang menyatakan pada prinsip-
prinsip HAM itu sendiri, dalam surat an-Nahl ayat 90. Selanjutnya ia mengemukakan
bahwa Islam tidaklah egosentris sehubungan hal-hal duniawi tetapi lebih mendorong kita
untuk kerja sama (ta’awun) untuk mencapai kesejahteraan manusia. Lebih jauh ia
mengungkapkan, walaupun mungkin ada beberapa area perbedaan konseptual antara
hukum Islam dan HAM, hal ini tidak membuat mereka tidak kompatibel.
Jika meruntut sejarah HAM, memang secara garis merah bahwa HAM lahir dari
rahim Barat. Para pakar eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan
lahirnya “Magna Charta” pada tahun 1215 di Inggris. Hingga pada saat ini dikenal
dengan dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB
pada tahun 1948.
Pertama, kaum muslim dapat hidup berdampingan dengan umat-umat yang lain,
bukan hidup terpisah dan menutup diri dari kehidupan global, karena bagaimanapun juga
masyarakat muslim adalah bagian dari masyarakat dan peradaban dunia yang terus
bergerak.
Kedua, persatuan umat muslim dan solidaritas Islam tidak boleh mengarah kepada
tindakan etnisentris atau eksploitasi materi maupun tindakan agresi, sebaliknya kaum
muslim harus selalu kooperatif dalam menjaga perdamaian, serta mengedepankan moral.
Ketiga, keum muslim senantiasa mau mendengar dan belajar dari pengalaman
orang lain dan kemudian mengambil hal-hal yang baik.
Sekian tulisan sederhana saya semoga sedikit bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya dan menjadikan refleksi bagi kita terlebih para penganut agama baik itu
Islam, Kristen, Hindu, Budha dll yang memiliki etika keberagamaan yang sama-sama
meluhurkan nilai-nilai moralitas pada manusia. Terikamasih.