Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan Dalam hal ini, kita akan mengkaji dimensi agama menurut pemeluknya atau menurut manusia tentang

agamanya, atau agama menurut di luar diri agama itu sendiri. Supaya lebih mengkerucut, maka pembahasan ini akan difokuskan pada dimensi agama menurut Ninian Smart dan penjabaran singkatnya. Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut beragama. Hal ini mengharuskan adanya unsur penelitian atas aspek-aspek suatu agama secara mendalam, terutama yang terkait dengan simbolitas keagamaan. Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentu dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu : 1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak religious. 2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematian. 3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus. 4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.

Dimensi dimensi agama


Setiap agama, apapun nama agama itu, pasti mempunyai empat dimensi, Pertama, dimensi spiritual. Kedua, dimensi ritual. Ketiga, dimensi sosial dan yang keempat, dimensi kemanusian atau humanitas. Berkenaan dengan masalah spiritual. Spiritualitas adalah hubungan antara individu dengan Tuhan yang diyakininya. Spiritualitas itu juga sangat privasi, tidak boleh disentuh oleh pihak lain, kecuali dengan kesadaran/ Tidak boleh disentuh dengan paksaan atau ajakanajakan yang bersifat menipu. Spiritualitas merupakan hak hubungan individu dengan Yang Maha Kuasa semata. Sedangkan dimensi ritual biasanya mempunyai dua aspek. Pertama, aspek hubungan antara individu dengan Yang Maha Kuasa, sekaligus (kedua) untuk membangun kepribadian yang kondusif dengan prilaku budi luhur. Jadi ada aspek duniawinya dan ada aspek ukhrawinya. Sedangkan pada dimensi sosial, seluruh agama mempunyai hal yang sama, tapi mempunyai strategi dan formasi yang berbeda di dalam mendukung soal itu. Seluruh agama akan mengharapkan masyarakat yang tentram, aman, makmur dan adil. Hanya bagaimana startegi menuju kemakmuran ini berbeda, dan formasinya pun berbeda. Mungkin Islamdengan zakat, sedekah dan lainnya, sementara agama lain dengan bentuk-bentuk yang lain, tapi dalam esensi yang sama. Maka sesungguhnya, antara spiritual dan ritual harus terbangun sebuah sosial yang sehat dan sinergis. Hal tersebut seperti bangunan piramida. Kalau tidak terbnagun sebuah 1 Tulisan ini hasil transkip dari uraian presentasi Hasyim Muzadi di acara seminar international Islam and Universal Values: Islams Contribution to the Construction of a Pluralistic World yang diadakan oleh Kedutaan Swiss bekerjasama dengan International Center For Islam and Pluralism (ICIP) serta pewakilan diplomat dari negara-negara anggota Organization Internationale de la Francoponie di Jakarta, pada 18 Maret 2004. tatanan sosial yang sehat sinergis, maka bearti piramida itu tebalik.. Khususnya untuk masalah-masalahyang menyangkut kemanusiaan, hampir terdapat di seluruh agama-agama, misalnya mengenai masalah keadilan, kejujuran, belas kasih, amanat dan sebagainya. Maka ketika agama berbenturan dengan agama lain, pasti karena tatanan piramida itu

terbalik. Ini mungkin terjadi pada semua agama , baik Islam di daerah tertentu, Hindu yang di Ayodhya, Kristen yang di Irlandia Utara, mungkin ini terjadi juga di Sudan Selatan atau di agama-agama yang lain. Ketika agama itu terbalik piramidanya, maka seluruhnya akan rusak. Maka merupakan kewajiban kita untuk menata empat dimensi ini sebaik-baiknya. Islam di Indonesia mempunyai pengalaman yang cukup panjang didalam menata keempat dimensi ini. Sehingga masyarakat Islam tidak pernah ada perang agama pada waktu yang lalu. Perang yang bertema agama merupakan hal yang baru, tapi sesungguhnya beresebsi politik, yakni perang kepentingan yang menggunakan tema agama pada 4-5 tahun belakangan ini. Indonesia mempunyai pengalaman sangat panjang, karena sebelum proses islamisasi di Indonesia, terlebih dahulu ada Hindu dan Buddha. Proses rai Hindu ke Buddha ke Islam tidak melalui perang, tetapi melalui akulturasi budaya. Karena akulturasi budaya, maka jadilah 90 % orang beragama Islam, tanpa ada sejarah perang antar agama di dalamnya. Ini mernunjukkan bahwa akulturasi budaya adalah baik. Saya mengambil contoh satu kerajaan yang ada di Demak, Ketika itu yang memimpin eksukutifnya adalah Raden Patah, legislatifnya Sunan Kudus Karena di daerah itu banyak orang Hindu, dilarang orang Islam menyembelih sapi pada waktu kurban, lebih dianjurkan untuk menyembelih sapi atau kerbau. Ini untuk menghindari rasa sakit hati, karena sapi ini mempunyai kedudukan tertentu pada orang Hindu. Proses akulturasi ini begitu bagus, sehingga hampir disebut Indonesia itu adalah (1)sebuah negeri muslim terbesar di dunia yang bersifat kultural, dan (2) bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia tidak menghendaki formalisme pada tingkat nation state, tetapi menhendaki pelaksanaan agama pada tingkat kemasyarakatan (civil society). Oleh karenanya, ketika umat muslim mencapai 90%, sekarang 87%, umat muslim tersebut tidak serta merta menyatakan Islam secara formal, tetapi mereka cukup menyatakan diri sebagai neagra Pancasila yang berundang-undang dasar 45. Hal ini karena dari proses akulturasi Indonesia tersebut mengakibatkan pada kesadaran umat Islam Indonesia yang lebih menyukai nilai daripada legal formal. Misalnya bila kita membuat rencana undang-undang nati korupsi, UU tersebut cukup isinya saja yang cocok dengan Islam, tidak perlu disebut Undang-Undang Islam Anti Korupsi. Sehingga dengan demikian, masing-masing orang bisa menjalankan agamanya masing-masing.

Sementara negara, terutama pada kontribusi dan hukum, dia harus memayungi seluruh pluralismr yang ada. Itu dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia sekarang. Hal tersebut sudah berjalan beratus-ratus tahun. Tetapi dengan mendadak, mulai tahun 1994 sampai 2003, terjadi pertikaian-pertikaian yang menggunakan isu agama. Oleh karenanya, Nahdlatul Ulama (NU) bersama-sama dengan organisasi agama lain Muhammadiyah, Kristen Katolik, Hindu, Protestan datang ke Bali dan Maluku. Ternyata kita melihat tidak ada konflik agama, yang ada adalah konflik kepentingan dan menggunakan umat beragama sebagai umpan isu-isu itu. Dengan demikian, kita semakin erat dalam hubungan lintas agama di Indonesia, dan hal ini kita beritahukan pada tingkat global. Pada tingkat global pun kita juga melihat sangat sedikit konflik yang murni atas nama agama. Yang banyak terjadi adalah konflik ketifakadilan yang terdapat pada sebuah komunitas tersebut, tentu dengan menggunakan bendera-bendera agama. Dalam konteks Indonesia sendiri, kita melihat sebetulnya Belanda tidak menyerang agama, tetapi menjajah Indonesia. Tetapi perlawanan terhadap penjajahan oleh setiap umat beragama selalu dikumandangankan dengan ayat-ayat agamanya. Jadi di sini konflik sebenarnya bukan konflik agama, tapi ketidakadilan yang ada dimana-mana. Oleh karenanya, maka di dalam konferensi internasional para alim ulama, rektor serta cendekiawan muslim sedunia, yang baru kita selenggarakan, kita mengambil satu tema bahwa agama harus dikembalikan kepada agama sebagai potensi perdamaian dan persatuan, bukan sebagai potensi konflik. Dunia harus memahami bahwa ketidakadilan yang ada di banyak negara menciptakan kerawanan-kerawanan yang kadang-kadang digeserkan menjadi isu-isu agama. Dari Timur kita harapkan untuk mengembalikan agama sebagai agama, sementara dari Barat kita harapkan agar tidak menutup mata terhadap ketidakadilan yang ada di mana-mana.

Dimensi agama menurut Ninian smart Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia menggunakan analisis pandangandunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia.

Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind (1967) menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu 1) dimensi praktis atau ritual, 2) naratif atau mistis (Narrative and Mythic), 3) pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), 4) dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional), 5) etis atau legal (Ethical and legal), 6) doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical), 7) dan material/bahan. Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama. Dimensi emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang dialami para penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan, kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi. Dimensi naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama yang bersangkutan. Dimensi filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu. Dimensi legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai pula dengan system penghukuman kalau terjadi pelanggaran. Dimensi sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan keorganisasian, pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat ibadah.

Ketujuh dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di mana persaingan nilai-nilai dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi apologetic (penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi agama dewasa ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret hic et nunc, sementara agama dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif lebih banyak tabu, larangan, dan perintah. Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta merta menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini) menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama. Seorang fenomenolog dan filosof keagamaan tersebut, Ninian Smart, mengidentifikasikan tujuh dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi historis, yang kemudian memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan pada studi agama, dan juga dalam cara meraih kebenaran dalam berbagai macam agama yang ada.

Dimensi agama menurut Sartono Kartodirjo Sartono Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya tentang dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai berikut:

1. Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural. 2. Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk gaib dan kehidupan setelah kematian. 3. Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama. 4. Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama. Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau berupa ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu. 5. Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.

Dimensi agama secara kajian agama Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentu dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu : 1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak religious. 2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematian. 3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus. 4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.

Dimensi agama menurut keprcayaan Kristen Stark dan Glock berpendapat bahwa spiritualitas tidak lain adalah suatu komitmen religius, suatu tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Dalam hal ini Stark dan Glock mempunyai pendapat yang merangkum baik pendapat Eka maupun Ioanes Rakhmat. Dalam uraiannya itu Stark dan Glock menyebutkan adanya 5 dimensi dari komitmen religious dalam kristen, yaitu: 1. Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya. Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja. 2. Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa, berpuasa, membaca Alkitab. 3. Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani suatu agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di awal ataupun di tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman percaya seseorang. 4. Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.

5. Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah benar adanya.

Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian sekilas tentang dimensi agama tersebut, tampak bahwa semua agama, memiliki dua aspek penting, yaitu aspek normatif dan aspek historis. Barangkali dalam bahasa Mercia Eliade, adalah yang sakral dan yang profan. untuk mempertemukan dua hal yang saling bertolak belakang itu diperlukan suatu penghubung, yang kemudian bisa disebut realitas tengah. Setiap agama, apapun nama agama itu, pasti mempunyai empat dimensi, Pertama, dimensi spiritual. Kedua, dimensi ritual. Ketiga, dimensi sosial keempat, dimensi kemanusian atau humanitas.

Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami gejalagejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut beragama. Spiritualitas adalah hubungan antara individu dengan Tuhan yang diyakininya. Spiritualitas itu juga sangat privasi, tidak boleh disentuh oleh pihak lain, kecuali dengan kesadaran/ Tidak boleh disentuh dengan paksaan atau ajakanajakan yang bersifat menipu. Spiritualitas merupakan hak hubungan individu dengan Yang Maha Kuasa semata.

Anda mungkin juga menyukai