Anda di halaman 1dari 4

Agama sebagai Organisme ; Dimensi-dimensi agama dan Agama

sebagai “organisme”
Ninian Smart, 1976: 11-41. Ninian Smart, 1989: 9-30.
Oleh : Reza Nurdiana Sugiant
Dosen Pengampun : Prof. Abdul Syukur dan Dr. Casram

Roderick Ninian Smart adalah seorang tokoh yang konsen mempelajari agama
melalui dimensi-dimensi agama, dan juga mencurahkan seluruh hidupnya untuk
mengabdikan kepada perdamaian dunia melalui pemahaman agama yang utuh, tidak
parsial. Ninian Smart adalah salah satu dari tiga bersaudara, yang semuanya menjadi
professor. Selain sebagai pengajar, peneliti dan penulis, smart juga merupakan seorang
aktivis dalam mempromosikan pemahaman lintas-budaya. Pada tahun 1970-an, ia terlibat
dalam beberapa inisiati di Britania untuk memperluas kurikulum pendidikan public agama
dan menyertakan berbagai agama dunia yang sebelumnya hanya sebatas Kristen.
Agama adalah fenomena yang menarik dan rumit. Kompleksitas itu disebabkan
oleh kebutuhan untuk membedakan antara aspek lahiriah dan batiniah yang ditampilkan,
serta perbedaan keyakinan. Ninian Smart menulis dalam bukunya “The Religius
Experience of Mankind” bahwa agama telah menjadi bagian besar dalam sejarah manusia.
Memahami agama juga diperlukan untuk memahami kehidupan dan sejarah manusia. Saat
ini di dunia ini, kita harus memahami ideologi dan kepercayaan bangsa lain untuk
memahami makna hidup dari sudut pandang yang seringkali menyimpang dari sudut
pandang kita sendiri. Namun, orang akan dibatasi dalam kemampuan mereka untuk
mempelajari agama secara mendalam untuk mendapatkan pemahaman tentangnya.
Seringkali kepentingan dan keinginan menginginkan itu agama hanya titik batas ketat
komponen yang menunjukkan nyata atau nyata. Intinya, pemahaman agama seringkali
mengabaikan aspek yang lebih mendasar dari fenomena keagamaan yang bisa diamati.
Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan
mendalami gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam
realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala
agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah
manusia mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut “beragama”.
Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang
untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sehingga agama diuraikan menjadi beberapa
dimensi religiositas.
Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama menggunakan analisis
pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu
pandangan-dunia. Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind
(1967) menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu :
1. Dimensi pertama adalah dimensi Praktis-Ritual yang sebagaimana tampak
dalam Upacara Suci dan sebagainya. Smart memberikan dua gagasan
pemeriksaan tentang bagaimana sebuah agama dan perspektif arus utama akan
dimasukkan. "Superimposisi dan internalisasi" adalah dua konsep ini. Saat
ritual dilakukan, yang transenden mengalami internalisasi sebagai aktivitas.
Karena proses superimposisi, ritual tidak hanya terfokus pada ruang-ruang
“kosong”, seperti tempat pelaksanaan ritual. Hubungan antara dunia sakral dan
dunia profan dapat dibangun melalui ritual. Dari konsep ini dapat disimpulkan
bahwa gagasan tentang upacara yang dikaitkan dengan dunia transendental atau
yang sakral adalah konsep pemujaan atau pemujaan keagamaan yang berbeda.
Smart ingin menekankan jika superimposisi bisa saja memperkaya sekaligus
memperumit makna dari perilaku ritual.
2. Dimensi kedua adalah Emosional-Eksperiensial, menunjukan pada perasaan
dan pengalaman manusia yang bervariasi, peristiwa-peristiwa khusus, gaib,
dimana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi. Ninian smart
menyatakan bahwa sesuatu “yang di sana” adalah bagian dari pengalaman
beragama, jika seorang manusia dapat merasakan yang adikodrati itu sebagai
landasan dari pengalaman beragama itu. Smart juga menyatakan bahwa
pengalaman religius ini juga berbicara mengenai suatu kontemplasi terhadap
yang ada “di sana” itu di dalam diri sendiri.
3. Dimensi ketiga Naratif-Mistik menyajikan kisah atau cerita cerita suci untu
direnungkang contoh kisah para nabi. Ninian smart mengamati bahwa di dalam
setiap agama terdapat dimensi mistik ataupun narasi. Dalam buku Dimension of
Sacred, Smart tidak memberikan definisi tentang mitos secara literer namun
menjelaskan bahwa mitos merupakan suatu kisah yang berhubungan tentang
dimensi yang adikodrati.
4. Dimensi keempat, Filososis-Doktrinal menyajikan pemikiran rasional,
argumentasi dan penalaran menyangkut ajaran agama. Menurut Smart, ada
dimensi doktrinal dan filosofis dalam agama. Dimensi doktrinal memungkinkan
pemeluk agama untuk memahami apa yang dikatakan agama tentang berbagai
realitas keberadaan manusia. Bukan hanya tentang apa yang memberi kesan
tentang dunia nyata tetapi juga apa adanya. Hal yang paling mendasar dalam
agama adalah tentang 'Yang Surgawi'. Selain itu, agama membahas misteri
seperti kematian yang berada di luar kendali kita.
5. Dimensi kelima, Legal-Etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu
pengaturan norma-norma dan lainnya. Menurut Ninian Smart, setiap agama
mempunyai dimensi etis-legal yang akan menjadi pedoman bagi penganutnya
untuk bertindak dan berperilaku. Dimensi ini berlaku dalam semua agama.
Secara khusus dalam institusi agama, terutama agama-agama besar dunia, etika
dan hukum telah menjadi bagian fundamental agama tersebut. Di dalam
dimensi ini, Smart ingin menjelaskan bahwa di dalam dunia agama-agama,
terdapat suatu keinginan dari para penganutnya untuk memperoleh kehidupan
yang baik.
6. Dimensi keenam, Sosial-Institusional mengatur kehidupan bersama atau
keorganisasian. Dimensi keenam menguraikan agama sebagai sebuah lembaga
yang berisi kumpulan orang dengan peran tertentu. Sebelum menjelaskan
agama sebagai sebuah lembaga sosial atau berbentuk institusi, Smart terlebih
dahulu menjelaskan tentang figur sentral dalam suatu agama. Smart melihat
dalam setiap institusi keagamaan terdapat tokoh-tokoh kunci yang memiliki
peran yang besar untuk mempengaruhi disekitarnya.
7. Dimensi ketujuh, Material-Materialistik. Smart menjelaskan berbagai dinamika
perkembangan dimensi materi dalam sejarah perjalanan sejarah agama-agama
di dunia. Meskipun awalnya menjelaskan bahwa dimensi material tidak terbatas
pada identifikasi bangunan saja tetapi kenyataannya, di dalam buku tersebut
banyak menguraikan bangunan-bangunan agama. Tempat ibadah yang
dijelaskan dimulai dari kuil-kuil keagamaan Yunani dan Mesir kuno, candi-
candi Hindu-Buddha kuno hingga bangunan di zaman ini, Snagoga, Masjid, dan
Gereja. Situs suci suatu agama seperti tempat ziarah juga tidak bisa dilepaskan
dari dimensi ini.

Ketujuh dimensi diatas dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman
keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya, dimana persaingan nilai-nilai
dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan
fungsi apologetic “penjelasan” kiranya merupakan dimensi paling penting perannya. Posisi
agama saat ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif, pertama agama primitif
bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk persoalan kehidupan sehari-hari konkret,
sementara agama saat ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan
proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya
agar tidak bergeser dari keasliannya.

Anda mungkin juga menyukai