Anda di halaman 1dari 2

Nama : Raden Ahmad Rosyiddin Brillyanto

NIM : 11171110000024

AGAMA
Konsep – Religi – Budaya

Agama sudah merupakan suatu yang tak asing bagi kita, di Indonesia seluruh warga negaranya
tanpa terkecuali wajib memeluk satu agama walaupun hanya sebagai formalitas belaka. Kebanyakan dari kita
sudah dikenalkan dengan konsep agama sejak kita masih kecil, kita sudah dikenalkan dengan konsep
ketuhanan sesuai dengan agama yang keluarga kita / sebagian besar orang disekitar kita anut.

Pembahasan mengenai agama ini menjadi menarik untuk menjadi sebuah pokok kajian karena
agama sudah menjadi darah dalam tubuh kebudayaan saat ini, seperti yang kita tau berapa banyak
kebudayaan kita yang sudah ada sejak mungkin ratusan tahun lalu mempunyai sistem kepercayaannya masing-
masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Agama pula juga menjadi suatu sistem norma yang
mempunya power yang cukup berpengaruh dikehidupan kita khususnya di Indonesia, dan negara kita pun
mengatur masalah keagamaan tiap warganya.

Pada dasarnya agama merupakan kepercayaan dan keyakinana akan suatu kekuatan yang besar
yang bersifat gaib/supranatural. Adapun pa ahli baik dari kempok klasik hingga modern pun memberikan
pengertina yang berbeda-beda mengenai pengertina dari agam itu sendiri. Clifford Geertz memberikan
pandangan bahwa agama adalah ‘sebuah sistem simbol-simbol yang bertindak untuk menetapkan suasana hati
dan motivasi-motivasi yang kuat. Meresap, dan tahan lama dalam diri manusia, dengan cara merumuskan
konsepsi-konsepsi mengenai suatu tatanan umum eksistensi, dan membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan
semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu yampak secara unik relistis’.
Sekilas definis agama yang dikemukakakn oleh Geertz lebih menunjukan bahwa agama sebagai suatu sistem
budaya yang keberadaannya dijadikan sebagai pedoman hidup oleh sekelompok masyarakat, maka inilah yang
disebut pengerian agama dalam sperspektif antropologi.

Berbeda hanya dengan definis yang dibawakan oleh Peter Connolly yang menyatakan bahwa,
‘agama adalah berbagai keyakinan yang mencakup penerimaan pada yang suci, wilayah transempiris dan
berbagai perilaku yang dimaksudkan untuk mempengaruhi relasi seseorang dengan wilayah transempiris itu’.
Pengertian ini lebih bersifat teologis, yakni lebih mengedepankan agama sebagai suatu kepercayaan akan
adanya sesuatu yang bersifat tidak empiris dan hanya bersandarkan pada kepercayaan belaka.

Perbedaan dari sisi definisi ini pula membawa perbedaan kepada para ahli dalam menjabarkan
tentang konsep-konsep agama. Konsep yang sering digunakan oleh para antropolog dalam menganalisi agama
adalah konsep tiga pendekatan terhadap asas religi, konsep pendekatan tersebut meliputi, pertama teori yang
dalampendekatannya berorientasi pada keyakinan religi. Maksud dari pendekatan yang pertama ini ialah
untuk menganalisa suatu bentuk agama dalam hal kepercayaannya kepada sesuatu yang dianggap memiliki
kekuatan maha dahsyat, seperti konsep ketuhanan, adanya dewa dan dewi, roh nenek moyang, dll. Kedua,
teori yang berorientasi pada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang bersifat gaib, hal ini tidak
dipungkiri bahwasanya hampir tiap agama memiliki kepercayaan akan hal gaib, diantara hal-hal gaib yang
umumnya ada dalam setiap agama ialah tentang hari kiamat, konsep tentang maha-agung, maha-sempurna,
maha-kuasa, dll. Ketiga ialah teori yang dalam pendekatannya berorientasi pada upacara religi, teori yang
ketiga ini berbeda dengan teori kedua yang lebih berusaha untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat keyakinan
dan sulit untuk dilihat secara langsung. Pada teori ini, peneliti diharapkan lebih menganalisa mengenai proses
ritual peribadatan dari suatu agam yang dapat kita amati langsung dengan mata kita. Dan yang seperti telah
dibahas dalam kajian sosiologi, bahwasanya ritual beribadatan pula memiliki pengaruh dalam struktur
masyarakat, seperti bahwa dengan ritual peribadatan akan lebih menambah solidaritas suatu kelompok
masyarakat dan lebih menambah intensitas dari interaksi masyarakat itu sendiri.

Setelah kita mengatahui pendekatan yang digunakan untuk mengetahui konsep-konsep agama
dalam antrpologi, berikutnya kita haru mengetahui tentang unsur-unsur yang ada di dalam agama jika dilihat
dari sudut pandang antropologi. Sudaha banyak para antropolog yang memberikan pendapatnya dalam
masalah ini, diantaranya ada Firth yang mengatakan bahwa agama tersusun atas (a) reliance of extra-human
aid, (b) prayer appealing for aid, (c) rites using symbols, offering, and sac rifices, (d) belief in spiritual being, dan
(e) group participation. Adapun antropolog asal Indonesia, prof. Koentjaraningrat, mengatakan bahwa unsur
dari agama ada lima poin, (a) emosi keagamaan, (b) sistem keyakinan, (c) sistem ritual, (d) peralatan ritual, dan
(e) umat agama. Hal yang mugkin asing kita dengar adalah ‘emosi keagamaan’, kurang lebih dapat diartikan
bahwa emosi keagamaan adalah ahasil dari ajaran-ajaran sebuah kepercayaan, yang dapat menilai suatu hal
bersifat sakral atau tidak.

Agama memiliki anggapan sebagai suatu sistem yang tercipta pada saat zaman purba, lantas
bagaimana eksistensinya dengan menghadapai perkembangan zaman yang semakin modern ? bukankah
zaman yang modern ini lebih mempercayai suatu yang bersifat empirik dan dapat langsung dapat dirasakan
keberadaannya? Para ahli baik dari bidang ilmu antropolog, sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya telah
menelaah permasalahan ini, dan pada umumnya mereka sepakat bahwa sistem keagamaan atau kepercayaan
akan hal yang bersifat gaib akan selalu ada walaupun zaman semakin canggih. Hal ini disebabkan karena
banyak perkara yang memang hingga saat ini sains belum bisa menjawabnya secara ilmiah dan sebab sistem
masyarakat yang memang masih mempercayai hal-hal gaib.

Bukannya tergerus oleh waktu, kini agama dibeberapa tempat di belahan duania malah memiliki
fungsi yang semakin beragam dalam kehidupan kita yang sebelumnya tidak kita ketahui. Kini agama bisa
mnejadi suatu branding atasu suatu produk untuk menarik konsumen, mengikat dan menalurkan suatu
ideologi, dan lain sebagainya.

Refrensi :

Djaka Soehendra, Bab XVIII

M. Belanawane, Antropologi Indonesia Vol. 32 No.2

Anda mungkin juga menyukai